“Jangan angkat yang berat-berat dulu, La. Kamu belum benar-benar pulih. Aku nggak mau sampai kamu kenapa-kenapa lagi,” ucap pria bersahaja itu dengan intonasi sangat lembut juga hati-hati. “Aku Cuma pengen mangku anak kamu, Vir. Tapi ternyata berat. Aku nggak kuat!” Virgo menarik kedua ujung bibir, mendudukkan Alexa di sebelahku, sedangkan dia malah duduk bersila di lantai. Pukul empat sore, setelah puas bermain dengan gadis kecil yang ternyata begitu aktif itu, Virgo akhirnya mengajakku ke suatu tempat, dan katanya akan mengenalkan aku dengan ibunya Alexa. Dia tidak mengatakan hendak mengajakku ke mana, tetapi yang pasti kali ini tidak setakut dan sedeg-degan tadi. Sebab, sepertinya Virgo memang sudah berpisah dengan mantan istrinya. Buktinya, mereka sudah tidak lagi tinggal se rumah. Perputaran keempat roda mobilku menepi di depan gerbang sebuah pekuburan. Aku menoleh ke arah pria yang masih duduk di kursi kemudi, dan terlihat dengan jelas ada duka di kedua bulat beningnya. “Ini
“Iya, kalau kamu tidak percaya, tanyakan saja sendiri sama Lala!” “Apa benar itu, La?” “Iya. Tapi aku tolak, karena tidak mencintai Kak Irsyad!” “Kamu denger sendiri ‘kan, Isyad? Lala menolak. Dan itu tandanya dia masih bebas. Lagian cowok kaya kamu sepertinya nggak pantes bersanding dengan Lala. Cinta kamu nggak tulus.” “Sopir seperti kamu tau apa tentang ketulusan, Virgo. Kamu mendekati Nirmala juga pasti karena ngincer harta ayahnya!” “Saya tidak licik seperti kamu. Saya tidak butuh uang Om Wildan, tapi butuh Lala untuk menjadi pendamping hidup saya, jadi ibu untuk anak saya!” Aku mengulum senyum mendengar pertanyaan Virgo. Bunga-bunga cinta bermekaran dalam taman hati, tinggal menunggu sang kumbang singgah sebagai pelengkap. “Ayo, La. Kita masuk. Jangan hiraukan racauan bocah miskin itu!” Aku tersentak kaget ketika tiba-tiba pria berkacamata itu menarik kasar tanganku, tanpa memedulikan ringisan serta tubuhku yang hampir tersungkur karena belum bisa berjalan cepat tanpa tong
Aku kembali menatap wajah pria itu dengan mimik terkejut. Bagaimana bisa? Sementara pertemuan kami saja baru terjadi beberapa bulan yang lalu? “Aku pertama kali liat kamu tiga tahun yang lalu. Sebelum kamu mengalami kecelakaan. Kamu inget nggak? Saat menghadiri acara ulang tahun PT Aliando Sejahtera. Kamu datang bersama Om Wildan dan Mbak Delima. Saat itu aku pengen deketin kamu, tetapi malu karena statusku seorang duda beranak satu. Dan beberapa bulan yang lalu tiba-tiba Mbak Delima nelepon aku, minta dicarikan orang buat jadi mata-mata kamu. Dia juga menceritakan semua masalah yang menimpa kamu. Dan dari situ aku memilih untuk maju, menjadi pelindung kamu sekalian pedekate. Kamu itu memang wanita luar biasa, La. Mudah dicintai oleh siapa saja, termasuk aku. Makanya aku nggak mau lama-lama menahan perasaan ini. Aku pengen kita langsung nikah, supaya nggak ada lagi yang gangguin kamu. Aku pengen kamu jadi milikku selamanya.” Aku mencoba mengingat-ingat kejadian beberapa tahun yang l
“Kamu tidak apa-apa, Sayang? Eca juga tidak apa-apa, ‘kan?” tanya Virgo terdengar begitu panik. Aku hanya menggeleng tanpa melepas pelukan Alexa. Tubuh ini masih gemetar luar biasa saking takutnya. “Bunda Eca takut,” rengek gadis kecil dalam dekapanku seraya mempererat pelukannya. “Jangan takut, Sayang. Ada Bunda sama ayah.” Mengusap rambut Alexa yang tergerai, mencium puncak kepalanya merasa begitu kasihan kepadanya. Baru pertama kali ikut jalan bersama kami, tetapi malah hampir mengalami kecelakaan. Untung saja Tuhan masih melindungi kami semua dari mara bahaya. Ponsel dalam saku Virgo terdengar berdering nyaring. Pria berkaus hitam serta celana pendek itu segera mendekatkan benda pipih persegi berukuran enam inci ke telinga, menyapa sang penelepon dengan salam dan berbincang sebentar. “Ayo, Pak. Lanjut jalan. Bismillah. Pelan-pelan saja!” perintah Virgo dan segera dilaksanakan oleh sopirnya. “Kamu minum dulu, La. Badan kamu sampe gemetaran begin
“Saya berniat menikahi putri om Wildan setelah selesai masa idahnya. Dan Lala sudah setuju!” timpal Virgo tanpa menoleh menatap wajah lawan bicaranya. “Apa kalian sudah yakin?” Aku menatap wajah ayah, pun dengan Virgo hingga tanpa sengaja kami mengangguk secara bersamaan. *** #Arya. Duduk mematung di depan layar laptop, sesekali melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiri. Sudah pukul lima sore, tetapi masih banyak pekerjaan yang belum terselesaikan. Orang kepercayaan Virgo malah menyuruhku untuk lembur, padahal tubuh ini sudah terasa begitu lelah, lemas, seperti tidak bertenaga sama sekali. Sambil mengistirahatkan badan sejenak, iseng-iseng membuka aplikasi berwarna hijau, berniat membaca pesan yang masuk, tapi, jari ini malah tergerak untuk melihat story teman-teman, hingga perhatianku tertuju kepada status Mbak Delima—sekretaris pribadi ayahnya Nirmala. Ad yang tersayat perih melihat story perempuan itu, apalagi melihat caption
Aku mengambil binatang kecil yang sedang menggeliat-geliat tersebut, memastikan kalau apa yang aku lihat benar-benar nyata. Rasa takut tiba-tiba menelusup ke dalam hati, apalagi aku pernah membaca salah satu karya Mak Ida Saidah yang berjudul PETAKA JAJAN di sebuah grup literasi, yang menceritakan seorang lelaki yang mengidap penyakit raja singa, hingga akhirnya seluruh senjatanya harus dipangkas habis tak tersisa. Bergidik ngeri membayangkan jika itu sampai terjadi. Membersihkan area pangkal paha, menahan nyeri yang tidak terkira. Ampun, Tuhan. Jangan terus dera hamba dengan segudang coba serta siksa. Jangan biarkan hamba-Mu ini kehilangan salah satu aset berharga yang hamba miliki, karena pasti tidak akan ada lagi wanita yang mau menerima diriku jika sudah tidak memiliki senjata untuk bertempur. Selesai mandi, segera menyiapkan sarapan, membuat nasi goreng karena hanya ada dua butir telur dan nasi saja di rumah. Mau belanja ke luar kaki ini rasanya se
Sambil menggerutu kembali menyalakan mesin sepeda motor, berjalan menyusuri kota menuruti arah hati ingin pergi. Lebih baik ke rumah Irni, siapa tahu dia mau meminjamkan mobil suaminya, sekaligus ingin minta dia mengurus ibu. Rumah adik perempuanku terlihat sepi ketika aku sampai di kediamannya. Mungkin dia sedang sibuk di dapur, memasak untuk suaminya karena lelaki yang menikahi dia itu sudah seperti raja. Apa-apa harus sediakan dengan sempurna. Menyebalkan. “Ir!” Tok! Tok! Tok! Mengetuk pintu rumahnya perlahan, dan tidak lama kemudian seraut wajah kusut melongok dari balik pintu. “Ada apa, Mas?” tanya Hendy—adik iparku dengan nada tidak suka. “Irninya ada?” “Di dalam. Mas tunggu saja di teras. Nanti saya panggilkan.” Duh, jumawa sekali dia. Tidak menghargaiku sebagai kakak ipar. Bukannya disuruh masuk, malah disuruh nunggu di teras seperti ini. “Ada apa, Mas?” Aku menoleh ketika mendengar suara adikku. Kutelisik tampilannya dari ujung k
Mendengar suara keributan, Wildan berjalan ke arah kami, ikut menarik kerah bajuku seraya menatap sinis wajahku. “Kamu itu memang paling suka bikin keributan, Arya!” sungutnya kemudian, mengepalkan tangan hendak meninjuku, akan tetapi Nirmala menghalangi. Pasti dia tidak tega melihat diriku dianiaya, karena sebenarnya masih ada rasa cinta bersemayam di dada. “Mas Arya nggak ngapa-ngapain aku, Yah. Dia Cuma mau ngajak aku ngobrol tadi, tapi Virgo langsung terbawa emosi dan menonjoknya!” bela Nirmala membuatku tersenyum penuh kemenangan. “Saya Cuma mau memberitahu ke Lala kalau Virgo sudah punya istri dan anak. Itu saja, Yah. Tidak ada maksud lain selain itu. Saya nggak mau Lala kecewa juga sakit hati nantinya!” sanggahku, dan aku lihat lelaki bertubuh tegap itu malah tertawa renyah. “Kamu pikir semua laki-laki itu sama seperti kamu? Brengsek semua? Virgo tidak seperti itu, Arya. Saya sudah lama mengenal dia dan tau bibit, bebet, dan bobotnya, juga masa l
Buk!Aku meringis kesakitan ketika sebuah bola sepak tidak sengaja mengenai kepala. Seorang anak laki-laki berusia sekitar tiga belas tahunan berjalan setengah berlari ke arahku, mengambil bola tersebut sambil berkali-kali mengucap kata maaf.“Aku nggak sengaja, Pak. Tadi nendangnya terlalu kenceng!” ucapnya penuh dengan penyesalan.“Iya, gak apa-apa. Ngomong-ngomong, siapa nama kamu?” tanyaku seraya mengusap lembut rambut bocah berseragam SMP itu, merasa kagum dengan sikapnya yang santun juga mau mengakui kesalahan. Pasti dia terlahir dari keluarga paham agama, sebab dari cara dia berbicara juga sikapnya, menunjukkan betapa suksesnya sang orang tua mendidik anak tersebut.“Nama aku Azam, Pak!” Dia mengulas senyum tipis, menunjukkan kedua ceruk di pipinya, menambah kesan tampan di wajah bocah itu.“Azam. Nama yang bagus.”“Terima kasih. Nama Bapak sendiri siapa?”“Arya.”“Sekali lagi aku minta ma
Samar-samar terdengar suara panik beberapa orang, akan tetapi aku tidak bisa meminta bantuan kepada siapa pun, karena suaraku tercekat di kerongkongan. Tidak bisa mengucapakan kata, karena semakin lama semakin terasa kehabisan napas.Membuka mata perlahan, lalu menutupnya kembali mengadaptasi cahaya yang menyilaukan. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, merasa nyeri di perut bagian bawah dan tidak bisa menggerakkan sebagian anggota tubuh. Perut juga sudah terlihat mengempis, tidak sebesar tadi saat sebelum aku jatuh dan terbentur. Apa aku sudah melahirkan?Pintu kamar rawat inapku terbuka perlahan. Seorang perawat datang dengan buku catatan pasien di tangan, mengulas senyum tipis kepadaku lalu mengecek infus yang menggantung di tiang penyangga.“Suster, kenapa saya tidak bisa menggerakkan tubuh bagian bawah saya?” tanyaku penasaran, karena kedua kaki terasa sudah mati rasa.“Mungkin efek anestesi, Bu. Ibu kan habis menjalank
“Perut sialan. Kenapa sakit banget begini sih? Bayi kurang ajar, kenapa kamu nggak mati saja!” umpatku kesal, seraya memukuli perut yang terasa sakit. Sudah mulas dari dua hari yang lalu, tetapi anak ini tidak juga keluar. Bikin semua terasa nyeri dan tidak nyaman saja. Argh! Menjerit histeris, meremas-remas perut yang kian terasa nyeri juga mendorongnya agar si bayi lekas lahir. “Sepertinya harus dirujuk ke rumah sakit dan menjalani operasi caesar, Bu. Soalnya bayinya sungsang!” Ucapan bidan kembali terngiang di telinga, membuat diri ini kian frustrasi dibuatnya. Boro-boro buat operasi caesar. Buat makan saja Senin Kamis. Jual diri juga tidak laku karena wajah terlihat jelek dan perut gendut. Paling banter dapet tamu dari kelas teri, yang bayarannya pake duit recehan, bau apek lagi badannya. Mas Arya juga. Pake dipenjara segala, padahal aku sedang mengandung. Bodoh banget memang itu laki-laki. Hanya menabrak orang sa
“Sudah, jangan ribut. Mbak Delima melakukan itu juga karena terpaksa. Karena dia takut kehilangan Ayah. Jadi, sebaiknya masalah ini diselesaikan dengan kepala dingin, jangan pakai emosi,” timpal Lala dengan intonasi sangat lembut.“Dia bukan takut kehilangan Ayah, tapi takut kehilangan harta Ayah!”“Pa, Mama mohon. Jangan usir Mama dari sini. Maafkan Mama. Mama khilaf, dan Mama janji tidak akan melakukannya lagi. Mama juga akan mengembalikan uang Lala yang sudah Mama ambil, tapi dengan cara dicicil. Soalnya sudah buat beli mobil untuk Ibu dan buat beli berlian. Aku minta maaf, Pa. Ampun. Jangan usir Mama.” Mbak Delima mencekal kaki Ayah sambil menangis tersedu.“Oke, Papa mau kasih kamu kesempatan sekali lagi, tapi, jatah bulanan kamu Papa kurangi separo. Anggap saja itu hukuman dari Papa, karena kesalahan yang sudah kamu perbuat. Papa benar-benar nggak nyangka kamu bisa sejahat itu sama Papa dan anak aku. Padahal, selama ini Papa tidak pernah pilih
Astagfirullah ... kenapa malah tiba-tiba jadi berprasangka buruk terhadap Mbak Delima? “Ayo, Virgo, Lala, silakan masuk!” Mbak Delima terlihat begitu ramah. Aku merangkul pundak Nirmala, sementara tangan kiriku menggandeng Alexa. Kami duduk di kursi ruang tamu, bergabung dengan yang lainnya akan tetapi tidak terlihat keramahan sama sekali di wajah keluarga ibu tiri istriku. Entahlah. Mungkin hanya perasaanku saja, atau memang mereka tidak suka dengan kedatangan kami bertiga. “Kenapa kalian nggak pernah ngasih kabar? Kalian juga nggak pernah bertandang ke rumah, padahal ayah itu kangen banget sama kalian,” ucap Ayah membuat dahi ini berkerut-kerut, menatap wajah mertua dengan mimik bingung. Kami tidak pernah memberi kabar? Bukannya dia sendiri yang selalu menolak panggilan dari kami, juga tidak pernah membalas pesan yang aku maupun Nirmala kirimkan. “Maaf, Ayah. Bukannya ...” “Pah, bisa minta tolong ambilin
Membuka pintu, mengulas senyum tipis lalu mempersilakan Irsyad untuk masuk ke dalam.“Ada apa, Syad? Tumben mampir?” tanyaku tanpa basa-basi, apalagi ketika melihat netra di balik kacamata itu terus saja menyisir ke seluruh penjuru ruangan, seolah sedang mencari sesuatu di dalam rumahku. Pasti dia sedang mencari Nirmala. Tidak akan kubiarkan mantan tunangan istriku bertemu dengan Nirmala, walau hanya sedetik saja.“Saya datang ke sini hanya ingin mengantar undangan.” Dia menyodorkan sebuah surat undangan dengan tinta emas, dan di sampul undangan tersebut terdapat foto dirinya bersama seorang wanita.Alhamdulillah. Akhirnya mantan tunangan Nirmala mendapatkan jodoh, sehingga aku tidak perlu lagi khawatir kalau dia mengganggu kekasih hatiku nanti.“Selamat, ya, Syad. Semoga kalian berbahagia, dan cepet dapet momongan nanti. Kaya saya nih. Ces pleng.” Aku terkekeh, tetapi entah mengapa ekspresi lawan bicaraku terlihat tidak senang
"Permisi, assalamualaikum!" Tok! Tok! Tok!Terdengar suara Robby mengetuk pintu seraya mengucapkan salam. Segera kupersilakan dia masuk, dan pria berkaus putih tersebut menyerahkan sepuluh lembar pecahan uang seratus ribuan kepadaku."Ini, Bu, uang yang tadi saya janjikan. Saya hanya bisa bantu segitu saja. Tidak bisa memberikan lebih!" Menyodorkan uang tersebut kepada Bu Haryanti, dan lawan bicaraku itu terlihat tidak percaya dengan tanggapan dariku."Jangan begitulah, Nak Virgo. Ibu datang ke sini itu bukan untuk mengemis. Tapi mau pinjam uang," ucapnya lagi, dengan nada kurang enak didengar."Saya tidak pernah menganggap Ibu pengemis. Tetapi saya juga tidak bisa membantu meminjami Ibu uang sebanyak itu. Saya setiap bulan memberikan uang ke kalian karena kasihan. Sebab biar bagaimanapun, Ibu itu tetap mertuanya Nirmala. Ada mantan suami, tetapi tidak ada mantan mertua kalau menurut saya. Sebab mertua sama dengan orang tua juga!"
“Ada apa, Mas?” tanya istri sambil mengambil jemariku, menggenggamnya kemudian mengecupnya memberi kehangatan cinta.“Nggak ada apa-apa, Sayang. Sonya ingin membahas masalah harta peninggalan ayah, tapi aku pikir belum saatnya. Kuburan Ayah masih basah dan rasanya tidak etis banget kalau kita yang baru saja ditinggalkan malah membahas hartanya. Karena sebenarnya harta miliknya itu delapan puluh persen hakku dan Alisa. Aku juga sudah nggak lagi ngarepin walaupun hanya seujung kuku. Kalau Sonya ingin menyerahkan kembali harta itu, niatku ingin menghibahkannya ke pesantren, atau orang-orang yang membutuhkan.”“Mas Virgo memang suami yang sangat luar biasa!” Perempuan berhijab putih itu mendaratkan bibirnya di pipi, menyandarkan kepala di bahu sambil merangkul lenganku.“Pak, tadi ada dua orang perempuan datang dan katanya ingin bertemu dengan Bapak. Mereka mengaku sebagai keluarganya Arya,” ucap Melvi ketika aku baru saja sampai di kantor.
Virgo segera menghubungi Alisa serta Robby, meminta mereka untuk segera pergi ke rumah ayah mertua tanpa memberitahu apa yang sebenarnya terjadi.“Kamu ganti pakaian dulu, Sayang. Yang panjang ya. Kalau bisa pake hijab!” titah suami sambil mengusap pipiku.“Iya, Mas.” Aku mengangguk dan segera beranjak dari kursi, mengayunkan kaki perlahan menuju kamar untuk menukar pakaian seperti apa yang diperintahkan oleh suami.Kuambil sebuah gamis putih yang tergantung di dalam lemari, mengenakannya, lalu memanggil Bibi untuk membantu memakaikan kerudung.“Maa syaa Allah … istrinya Mas Virgo cantik banget kaya bidadari,” puji suami membuat pipi ini seketika bersemu merah.“Terima kasih, Mas.” Menerbitkan senyuman termanis yang pernah kupunya, merangkul lengan suami yang sudah mengenakan kemeja hitam serta celana bahan dengan warna senada khas orang berbelasungkawa.Kendaraan roda empat milik Virgo melaju membelah kemacetan jalan