Mendengar suara keributan, Wildan berjalan ke arah kami, ikut menarik kerah bajuku seraya menatap sinis wajahku. “Kamu itu memang paling suka bikin keributan, Arya!” sungutnya kemudian, mengepalkan tangan hendak meninjuku, akan tetapi Nirmala menghalangi. Pasti dia tidak tega melihat diriku dianiaya, karena sebenarnya masih ada rasa cinta bersemayam di dada. “Mas Arya nggak ngapa-ngapain aku, Yah. Dia Cuma mau ngajak aku ngobrol tadi, tapi Virgo langsung terbawa emosi dan menonjoknya!” bela Nirmala membuatku tersenyum penuh kemenangan. “Saya Cuma mau memberitahu ke Lala kalau Virgo sudah punya istri dan anak. Itu saja, Yah. Tidak ada maksud lain selain itu. Saya nggak mau Lala kecewa juga sakit hati nantinya!” sanggahku, dan aku lihat lelaki bertubuh tegap itu malah tertawa renyah. “Kamu pikir semua laki-laki itu sama seperti kamu? Brengsek semua? Virgo tidak seperti itu, Arya. Saya sudah lama mengenal dia dan tau bibit, bebet, dan bobotnya, juga masa l
Duduk menyandar di headboard, memijat kaki yang terasa pegal setelah kemarin seharian menemani Ayah duduk di pelaminan.Pernikahan Ayah dan mbak Delima memang terkesan mendadak. Tetapi ini permintaan dariku, karena merasa tidak nyaman melihat mereka sering pergi berduaan tanpa ikatan.Lagian dari cara memandang, antara Ayah dan sahabatnya itu saling memiliki rasa yang begitu mendalam. Lebih baik segera dihalalkan supaya tidak terus terhasut rayuan syaitan."Kamu ada di dalam, La!" Terdengar suara teriakan mbak Delima dari luar pintu, dan tidak lama kemudian pintu didorong ke dalam. Mama tiriku tersenyum semringah dengan susu putih di tangan.Mulai, deh. Diperlakukan seperti anak kecil. Ini tidak enaknya jika ada mbak Delima di rumah. Setiap pagi harus mengonsumsi susu, katanya supaya tulangku kuat.Aku mengernyitkan kening melihat cara mbak Delima berjalan. Agak aneh, seperti ada yang mengganjal di antara kedua kakinya.
"Insya Allah pasti. Nanti setelah pekerjaanku di Bandung selesai, aku langsung mampir ke sini buat jemput kamu. Kita akan kembali ke Jakarta bersama-sama.""Hati-hati. Jaga ini untuk aku di sana nanti!" Menautkan telapak tangan di dada sebelah kanan Virgo, memindai wajahnya sekali lagi sebelum dia benar-benar pergi.Aku melambaikan tangan ketika mobil milik calon suami bergerak meninggalkan pelataran rumah. Rasa hampa tiba-tiba menghinggapi, karena biasanya Virgo selalu ada di sisi.Sekarang aku sudah tahu siapa dia sebenarnya. Seorang pemilik perusahaan besar, yang memiliki tanggung jawab besar pula di perusahaan yang tengah ia pimpin. Virgo tidak mungkin selamanya akan menemani diriku, berpura-pura menjadi supir serta bodyguard dengan gaji recehan.Ah, mendadak jadi malu jika mengingat ekspresi pria itu saat menerima gaji dariku. Pantas saja setiap menerima bayaran dia hanya meminta beberapa rupiah saja. Ternyata uang supirku lebih banya
Mbak Agnes mempersilakan kami duduk di ruang tamu, lalu izin masuk ke kamar untuk mengambil laptop miliknya.“Ini, Pak. Saya masih menyimpan rekaman CCTV dua tahun yang lalu, tepat dimana Lala mengalami kecelakaan!” ucap mbak Agnes seraya menunjukkan sebuah rekaman, bahkan aku sendiri tidak berani melihatnya. Terlalu sadis cara penjahat itu menabrakku, hingga terpental beberapa puluh meter dan tubuhku menggelepar di atas aspal.Ayah terlihat mencatat pelat mobil si pengendara, berniat melacak pemilik kendaraan tersebut supaya tahu siapa pelaku sebenarnya.“Maafkan saya karena tidak langsung melapor ke polisi dulu. Sebab saya melihat video ini juga sudah tiga bulan setelah kejadian. Saat itu saya sedang berada di luar negeri, dan baru pulang beberapa minggu yang lalu karena terus kepikiran dengan video ini!” terang perempuan bermata sipit itu lagi.Kami hanya bisa mengangguk memaklumi. Tetapi yang aku herankan, kenapa dulu polisi yang menan
Selepas Magrib, pria dengan garis wajah tegas itu membawaku pergi ke sebuah acara pesta pernikahan temannya. Aku menoleh tidak yakin ketika dia mengajakku turun dari kendaraan, dan menggandengku masuk ke dalam sebuah hotel.“Mas, kamu yakin mau ajak aku masuk? Nggak malu?” Menatap lamat-lamat wajah calon suami, merasa tidak percaya diri karena di dalam pasti akan ada orang-orang penting yang mengenal dia. Bagaimana nanti jika Virgo ditertawakan karena pergi ke pesta membawa wanita bertongkat seperti aku ini?“Malu? Kenapa harus malu, Sayang. Kamu cantik, jadi tidak perlu merasa malu.” Kedua alis pria di hadapanku bertaut hingga hampir menyatu satu sama lain.“Tapi aku cacat, Mas. Aku merasa tidak pantas. Takut kamu ditertawakan di dalam sana karena bawa perempuan seperti aku!”“Ya Tuhan, Nirmala Wulan sayang. Seperti apa pun kondisi dan keadaan kamu, tidak akan pernah mengurangi nilai aku terhadap kamu secuil pun. Kamu tetap c
Aku tidak akan memaafkan segala kesalahan yang telah dia perbuat, dan akan menyeret dia ke meja hijau untuk mempertanggung jawabkan semua kejahatannya kepadaku."Sabar, Sayang. Jangan terbawa emosi," ucap Virgo seraya mengusap lembut punggung tanganku."Aku benar-benar tidak menyangka kalau ternyata pelakunya justru orang terdekatku, Mas. Ternyata aku begitu bodoh, karena telah menghidangkan Surga kepada orang yang telah menghancurkan masa depan serta impian aku!" lirihku sembari menggigit bibir bagian bawah, menekan dada kuat-kuat menggunakan tangan kiri, merasakan nyeri teramat dahsyat."Mas mengerti perasaan kamu saat ini. Kita akan buat dia membayar semua yang sudah dilakukan. Mas akan mengusut tuntas kasus ini dan akan selalu ada di sisi kamu, melindungi kamu dan Mas siap melakukan apa saja yang penting bisa membuat kamu bahagia. Kita beritahu om Wildan supaya kasus ini segera terselesaikan." Tangan pria dengan mata bulat serta iris berwarna cok
Virgo terkekeh dan menarik gemas hidungku. “Pikiran kamu jangan ngeres terus apa, Nirmala Wulan?” Dia menyerahkan kemeja putihnya kepadaku, menyuruhku untuk memakainya dan dia mengambil tas yang ada di jok belakang lalu mengambil sebuah kaos berwarna hitam dan lekas dia kenakan. “Kamu itu aneh, Mas. Untuk apa pake acara buka baju di tempat sepi seperti ini dan menyuruhku untuk memakainya. Kalau ada orang liat dan dikira kita lagi macem-macem dan digerebek warga bagaimana?” protesku seraya memakai kemeja yang menguarkan aroma tubuh calon suami itu. “Jangan lupa dikancing sampai atas!” Aku mengernyitkan dahi menatap wajah tampan lawan bicaraku. Aneh sekali. “Buruan, Sayang. Biar kita kembali melanjutkan perjalanan!” “Jalan tinggal jalan aja, Mas. Memangnya apa hubungannya dengan kemeja ini?” “Nirmala Wulan, calon istriku. Pakaian yang kamu kenakan itu terlalu terbuka. Jangan sampai imanku goyah karen terus saja melihat apa yang tidak seharusnya belum boleh aku lihat.” Aku menole
“Kamu kenapa tiba-tiba menanyakan hal itu, Sa? Nggak usah mengada-ada, lah. Nanti Lala denger dan dia salah paham. Abang mencintai dia, Sa. Sungguh. Memang awalnya mendekati dia karena mirip dengan almarhumah istri Abang, tapi lama-lama Abang jatuh cinta beneran sama dia. Lala itu wanita yang mudah sekali dicintai. Dia juga membuat Abang selalu merasa nyaman berada di sisinya!” jawab Virgo membuat hati ini berbunga-bunga.“Pokoknya aku nggak mau kalau sampai Abang mempermainkan dia. Aku wanita, dia juga wanita. Aku bisa merasakan seperti apa sakitnya jika dipermainkan. Kalau Abang memang mencintai Kak Lala aku dukung seratus persen untuk bersama. Tapi kalau Abang mendekati dia hanya karena kemiripannya dengan almarhumah Kak Kinanti, lebih baik Abang akhiri semua ini dan tinggalkan Kak Lala. Dia baru saja dikhianati oleh mantan suaminya, jadi jangan sampai kembali jatuh dan terpuruk, karena yang aku lihat Kak Lala itu begitu mencintai Abang. Aku juga nggak suka kalau Abang
Buk!Aku meringis kesakitan ketika sebuah bola sepak tidak sengaja mengenai kepala. Seorang anak laki-laki berusia sekitar tiga belas tahunan berjalan setengah berlari ke arahku, mengambil bola tersebut sambil berkali-kali mengucap kata maaf.“Aku nggak sengaja, Pak. Tadi nendangnya terlalu kenceng!” ucapnya penuh dengan penyesalan.“Iya, gak apa-apa. Ngomong-ngomong, siapa nama kamu?” tanyaku seraya mengusap lembut rambut bocah berseragam SMP itu, merasa kagum dengan sikapnya yang santun juga mau mengakui kesalahan. Pasti dia terlahir dari keluarga paham agama, sebab dari cara dia berbicara juga sikapnya, menunjukkan betapa suksesnya sang orang tua mendidik anak tersebut.“Nama aku Azam, Pak!” Dia mengulas senyum tipis, menunjukkan kedua ceruk di pipinya, menambah kesan tampan di wajah bocah itu.“Azam. Nama yang bagus.”“Terima kasih. Nama Bapak sendiri siapa?”“Arya.”“Sekali lagi aku minta ma
Samar-samar terdengar suara panik beberapa orang, akan tetapi aku tidak bisa meminta bantuan kepada siapa pun, karena suaraku tercekat di kerongkongan. Tidak bisa mengucapakan kata, karena semakin lama semakin terasa kehabisan napas.Membuka mata perlahan, lalu menutupnya kembali mengadaptasi cahaya yang menyilaukan. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, merasa nyeri di perut bagian bawah dan tidak bisa menggerakkan sebagian anggota tubuh. Perut juga sudah terlihat mengempis, tidak sebesar tadi saat sebelum aku jatuh dan terbentur. Apa aku sudah melahirkan?Pintu kamar rawat inapku terbuka perlahan. Seorang perawat datang dengan buku catatan pasien di tangan, mengulas senyum tipis kepadaku lalu mengecek infus yang menggantung di tiang penyangga.“Suster, kenapa saya tidak bisa menggerakkan tubuh bagian bawah saya?” tanyaku penasaran, karena kedua kaki terasa sudah mati rasa.“Mungkin efek anestesi, Bu. Ibu kan habis menjalank
“Perut sialan. Kenapa sakit banget begini sih? Bayi kurang ajar, kenapa kamu nggak mati saja!” umpatku kesal, seraya memukuli perut yang terasa sakit. Sudah mulas dari dua hari yang lalu, tetapi anak ini tidak juga keluar. Bikin semua terasa nyeri dan tidak nyaman saja. Argh! Menjerit histeris, meremas-remas perut yang kian terasa nyeri juga mendorongnya agar si bayi lekas lahir. “Sepertinya harus dirujuk ke rumah sakit dan menjalani operasi caesar, Bu. Soalnya bayinya sungsang!” Ucapan bidan kembali terngiang di telinga, membuat diri ini kian frustrasi dibuatnya. Boro-boro buat operasi caesar. Buat makan saja Senin Kamis. Jual diri juga tidak laku karena wajah terlihat jelek dan perut gendut. Paling banter dapet tamu dari kelas teri, yang bayarannya pake duit recehan, bau apek lagi badannya. Mas Arya juga. Pake dipenjara segala, padahal aku sedang mengandung. Bodoh banget memang itu laki-laki. Hanya menabrak orang sa
“Sudah, jangan ribut. Mbak Delima melakukan itu juga karena terpaksa. Karena dia takut kehilangan Ayah. Jadi, sebaiknya masalah ini diselesaikan dengan kepala dingin, jangan pakai emosi,” timpal Lala dengan intonasi sangat lembut.“Dia bukan takut kehilangan Ayah, tapi takut kehilangan harta Ayah!”“Pa, Mama mohon. Jangan usir Mama dari sini. Maafkan Mama. Mama khilaf, dan Mama janji tidak akan melakukannya lagi. Mama juga akan mengembalikan uang Lala yang sudah Mama ambil, tapi dengan cara dicicil. Soalnya sudah buat beli mobil untuk Ibu dan buat beli berlian. Aku minta maaf, Pa. Ampun. Jangan usir Mama.” Mbak Delima mencekal kaki Ayah sambil menangis tersedu.“Oke, Papa mau kasih kamu kesempatan sekali lagi, tapi, jatah bulanan kamu Papa kurangi separo. Anggap saja itu hukuman dari Papa, karena kesalahan yang sudah kamu perbuat. Papa benar-benar nggak nyangka kamu bisa sejahat itu sama Papa dan anak aku. Padahal, selama ini Papa tidak pernah pilih
Astagfirullah ... kenapa malah tiba-tiba jadi berprasangka buruk terhadap Mbak Delima? “Ayo, Virgo, Lala, silakan masuk!” Mbak Delima terlihat begitu ramah. Aku merangkul pundak Nirmala, sementara tangan kiriku menggandeng Alexa. Kami duduk di kursi ruang tamu, bergabung dengan yang lainnya akan tetapi tidak terlihat keramahan sama sekali di wajah keluarga ibu tiri istriku. Entahlah. Mungkin hanya perasaanku saja, atau memang mereka tidak suka dengan kedatangan kami bertiga. “Kenapa kalian nggak pernah ngasih kabar? Kalian juga nggak pernah bertandang ke rumah, padahal ayah itu kangen banget sama kalian,” ucap Ayah membuat dahi ini berkerut-kerut, menatap wajah mertua dengan mimik bingung. Kami tidak pernah memberi kabar? Bukannya dia sendiri yang selalu menolak panggilan dari kami, juga tidak pernah membalas pesan yang aku maupun Nirmala kirimkan. “Maaf, Ayah. Bukannya ...” “Pah, bisa minta tolong ambilin
Membuka pintu, mengulas senyum tipis lalu mempersilakan Irsyad untuk masuk ke dalam.“Ada apa, Syad? Tumben mampir?” tanyaku tanpa basa-basi, apalagi ketika melihat netra di balik kacamata itu terus saja menyisir ke seluruh penjuru ruangan, seolah sedang mencari sesuatu di dalam rumahku. Pasti dia sedang mencari Nirmala. Tidak akan kubiarkan mantan tunangan istriku bertemu dengan Nirmala, walau hanya sedetik saja.“Saya datang ke sini hanya ingin mengantar undangan.” Dia menyodorkan sebuah surat undangan dengan tinta emas, dan di sampul undangan tersebut terdapat foto dirinya bersama seorang wanita.Alhamdulillah. Akhirnya mantan tunangan Nirmala mendapatkan jodoh, sehingga aku tidak perlu lagi khawatir kalau dia mengganggu kekasih hatiku nanti.“Selamat, ya, Syad. Semoga kalian berbahagia, dan cepet dapet momongan nanti. Kaya saya nih. Ces pleng.” Aku terkekeh, tetapi entah mengapa ekspresi lawan bicaraku terlihat tidak senang
"Permisi, assalamualaikum!" Tok! Tok! Tok!Terdengar suara Robby mengetuk pintu seraya mengucapkan salam. Segera kupersilakan dia masuk, dan pria berkaus putih tersebut menyerahkan sepuluh lembar pecahan uang seratus ribuan kepadaku."Ini, Bu, uang yang tadi saya janjikan. Saya hanya bisa bantu segitu saja. Tidak bisa memberikan lebih!" Menyodorkan uang tersebut kepada Bu Haryanti, dan lawan bicaraku itu terlihat tidak percaya dengan tanggapan dariku."Jangan begitulah, Nak Virgo. Ibu datang ke sini itu bukan untuk mengemis. Tapi mau pinjam uang," ucapnya lagi, dengan nada kurang enak didengar."Saya tidak pernah menganggap Ibu pengemis. Tetapi saya juga tidak bisa membantu meminjami Ibu uang sebanyak itu. Saya setiap bulan memberikan uang ke kalian karena kasihan. Sebab biar bagaimanapun, Ibu itu tetap mertuanya Nirmala. Ada mantan suami, tetapi tidak ada mantan mertua kalau menurut saya. Sebab mertua sama dengan orang tua juga!"
“Ada apa, Mas?” tanya istri sambil mengambil jemariku, menggenggamnya kemudian mengecupnya memberi kehangatan cinta.“Nggak ada apa-apa, Sayang. Sonya ingin membahas masalah harta peninggalan ayah, tapi aku pikir belum saatnya. Kuburan Ayah masih basah dan rasanya tidak etis banget kalau kita yang baru saja ditinggalkan malah membahas hartanya. Karena sebenarnya harta miliknya itu delapan puluh persen hakku dan Alisa. Aku juga sudah nggak lagi ngarepin walaupun hanya seujung kuku. Kalau Sonya ingin menyerahkan kembali harta itu, niatku ingin menghibahkannya ke pesantren, atau orang-orang yang membutuhkan.”“Mas Virgo memang suami yang sangat luar biasa!” Perempuan berhijab putih itu mendaratkan bibirnya di pipi, menyandarkan kepala di bahu sambil merangkul lenganku.“Pak, tadi ada dua orang perempuan datang dan katanya ingin bertemu dengan Bapak. Mereka mengaku sebagai keluarganya Arya,” ucap Melvi ketika aku baru saja sampai di kantor.
Virgo segera menghubungi Alisa serta Robby, meminta mereka untuk segera pergi ke rumah ayah mertua tanpa memberitahu apa yang sebenarnya terjadi.“Kamu ganti pakaian dulu, Sayang. Yang panjang ya. Kalau bisa pake hijab!” titah suami sambil mengusap pipiku.“Iya, Mas.” Aku mengangguk dan segera beranjak dari kursi, mengayunkan kaki perlahan menuju kamar untuk menukar pakaian seperti apa yang diperintahkan oleh suami.Kuambil sebuah gamis putih yang tergantung di dalam lemari, mengenakannya, lalu memanggil Bibi untuk membantu memakaikan kerudung.“Maa syaa Allah … istrinya Mas Virgo cantik banget kaya bidadari,” puji suami membuat pipi ini seketika bersemu merah.“Terima kasih, Mas.” Menerbitkan senyuman termanis yang pernah kupunya, merangkul lengan suami yang sudah mengenakan kemeja hitam serta celana bahan dengan warna senada khas orang berbelasungkawa.Kendaraan roda empat milik Virgo melaju membelah kemacetan jalan