Kita harus segera melakukan pemeriksaan lebih lanjut kepada Ibu, supaya bisa cepat tertangani. Sebab kalau dari ciri-ciri fisik yang saya lihat, penyakit yang diderita ibu itu sudah lumayan cukup parah. Terlebih lagi saat ini istri Bapak sedang mengandung.
Wanita yang sedang hamil dapat menularkan penyakit gonore ke bayinya saat melahirkan. Penyakit gonore juga dapat menyebabkan kebutaan pada bayi, atau mengalami infeksi mata yang parah akibat bakteri penyakit gonore. Makanya secepatnya kita harus melakukan pemeriksaan lebih lanjut kepada Ibu, karena saya khawatir infeksi penyakitnya sudah menjalar ke rahim,” terang dokter panjang lebar, membuat dada ini terasa sesak seperti sedang terimpit benda berat.Jadi mungkin penyakit yang aku derita juga menular dari Siska, sebab kemarin ketika melakukan pemeriksaan juga dokter mengatakan hal yang sama.Ya Tuhan ....Sepertinya harus segera mengambil surat hasil laboratorium ke rumah sakit tempatk“Silakan duduk, Bu?” Kupersilakan perempuan yang aku taksir berusia lebih dari setengah abad itu duduk, memanggil Siska tanpa memberitahu siapa yang datang. Mata bulat dengan iris hitam milik Siska terkesiap dengan kelopak membuka sempurna, saat melihat siapa yang bertamu. Sedangkan bocah berpakaian lusuh yang mengaku sebagai anaknya langsung menghambur memeluk istriku dan memanggil dia mama. “Aku bukan mama kamu. Kamu jangan ngaku-ngaku. Mana mungkin aku punya anak jelek seperti kamu ini!” Dengan kasar Siska mendorong tubuh gadis mungil tersebut, hingga bocah yang wajahnya mirip sekali dengannya itu jatuh terjengkang di lantai. “Mae, kamu itu dari dulu nggak pernah ada baik-baiknya sama anak. Biar bagaimanapun, Siska ini anak kamu! Kenapa kamu selalu kasar seperti ini sama dia. Kami jauh-jauh datang dari pelosok hanya karena Siska merengek minta ketemu mamanya, dan setelah sampai di sini kamu masih tetap saja tidak mengakui dia. Siska juga tidak pernah memaksa untuk dilahirkan, apa
Beranjak dari kursi plastik yang ada di teras, mengayunkan kaki masuk ke dalam kemudian merebahkan bobot di atas kasur lantai depan televisi karena malas seranjang dengan Siska. Geli rasanya kalau dia menyentuh tubuhku, apalagi saat ini dia sedang mengidap penyakit menular. Dia 'kan maniak. Tahu dirinya sakit juga masih tetap memaksa melakukan. *** Pagi-pagi sekali, aku sudah bersiap pergi ke kantor, karena ini hari terakhir menjalani training. Aku tidak mau sampai terlambat dan mendapatkan nilai buruk dari atasan. Pokoknya harus mendapatkan pekerjaan di sana, menjadi karyawan tetap supaya bisa kembali hidup layak dan bisa membayar hutang. 'Kan sayang kalau tanah Ibu juga diambil oleh rentenir, setelah bangunannya di robohkan oleh ayah mertua. Sepeda motor milikku menepi di parkiran PT Aliando Sejahtera. Sebuah mobil sport berwarna putih menepi tidak jauh dari tempatku memarkirkan sepeda motor. Seorang pria dengan wajah mirip sekali dengan Virgo keluar dari dalam mobil tersebut, l
Wah...Wah...Wah... Benar-benar berita segar. Ada sisi baiknya juga bertemu dia hari ini, karena akhirnya bisa tahu rahasia terbesar pria sok cool tersebut. Tidak kusangka, kalau ternyata dia sudah berkeluarga. Kasian sekali kamu Nirmala. Dipermainkan perasaannya oleh Virgo, dan dijadikan selingkuhan. Mungkin itu karma kamu karena sudah meninggalkan aku serta melukai hati ini. “Kamu mau langsung pulang apa mau ke mana lagi, Bang?” tanya perempuan berkerudung soft pink itu seraya menatap wajah Virgo. “Mungkin tidak pulang malam ini, Dek. Soalnya masih ada urusan. Titip Eca. Kalau butuh apa-apa cepet-cepet hubungi Abang. Jangan sampai kaya kemarin. Abang nggak mau anak Abang sampai terluka!” jawab Virgo sambil menciumi pipi anaknya. Buru-buru mengambil ponsel, membidikkan kamera ke arah mereka bertiga mengabadikan momen langka itu. Tidak sabar rasanya ingin bertemu Nirmala, menunjukkan foto tersebut supaya dia tidak lagi semena-mena dan merasa selalu di atas karena dicintai Virgo yan
Merogoh saku dalam-dalam, mengambil ponsel lalu menekan sebelas digit angka, hingga nama Pak Handoyo tertera di layar dan segera menekan tombol dial. Tidak aktif. Tuhan .... Rasa gelisah seketika menyelimuti hati, begitu takut kalau pria itu malah menjual tanah milikku kepada orang lain, kemudian kabur setelah mendapatkan uang dari penjualan tanah tersebut. Aku harus berusaha tenang dan tidak boleh gegabah. Bisa jadi dia hanya sedang jalan-jalan sebentar, dan besoknya akan kembali ke Jakarta lagi. “Mas, nyari Pak Handoyo juga?” Tiba-tiba seorang pria paruh baya menghampiri dan menegur. “Iya. Saya mau bayar cicilan, tetapi beliau tidak ada di rumah sepertinya,” jawabku mencoba bersikap santai. “Dia sudah lama menjual rumah ini dan pindah entah ke mana. Soalnya nggak pamit sama tetangga, kita tau dia pindah juga pas ada truk mengangkut barang, dan pas tanya sama sopir katanya Pak Handoyo mau pindahan.” Glek! Menelan saliva dengan susah payah, tubuh ini terasa limbung mendengar ka
“Namaku Siska, Mas. Kamu liat sendiri di KTP ‘kan?” protesnya kesal. “Terserah. Pokoknya aku nggak mau ngasih uang sama kamu!” “Kalau kamu nggak ngasih uang, aku akan pergi dari sini, Mas!” Aku tertawa renyah mendengar ancaman wanita itu. Lucu sekali berani mengancam. Apa dia lupa kalau aku sudah beberapa kali mengusirnya dari sini? Kalau dulu pas masih cantik dan mulus mungkin takut kehilangan dia. Tapi kalau sekarang? Ih! Bergidik ngeri sendiri melihat tampilannya yang sudah seperti monster. Jerawat tumbuh di mana-mana. Kulit melepuh serta menghitam dan mulai terlihat bekas-bekas sayatan. Menakutkan. “Silakan kamu pergi dari rumah ini, Siska. Aku tidak akan melarang, malah merasa senang jika kamu sadar diri dan memilih angkat kaki. Aku sudah tidak sudi beristrikan perempuan seperti kamu. Geli!” Plak! Panas perih menjalar di wajah ketika tangan Siska mendarat di pipi. Brengsek! Dia berani menamparku. “Kamu?!” Beranjak dari kursi, menunjuk wajah Siska sambil mencengkeram rahan
#NirmalaDuduk di sebelah Virgo, menatap layar besar yang tengah menunjukkan adegan romantis. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, melihat beberapa pasang yang sedang menonton ikut terbawa suasana. Mereka saling menggenggam jemari, berpelukan, bahkan ada yang...Ah, tidak mungkin aku sebutkan."Kenapa, La? Nggak nyaman ya ada di tempat seperti ini? Nanti kita juga bisa seperti itu kalau sudah halal," ucap Virgo seraya tersenyum dan menatap wajahku.Aku menggigit bibir bawah, berpura-pura fokus menonton adegan demi adegan yang diperagakan, padahal hati ini grogi sekali karena merasa terus saja diperhatikan oleh lelaki di sebelahku.Dan benar saja, ketika aku menoleh, dia masih terus saja memindai sambil tersenyum."Kamu kenapa liatin aku terus, Vir? Katanya mau nonton?" tanyaku sambil mencomot berondong jagung yang ada di tangan pria itu, lalu memasukkannya ke dalam mulut."Aku lebih suka liat kamu, La. Kamu cantik, mirip sekali dengan..." Dia menggantung kalimat, tetapi aku tahu, pasti Vir
Ada yang tercacah-cacah dalam rongga dada, juga merasakan perih tersayat rasa cemburu. Pasti Virgo sedang berbicara dengan kekasihnya, atau, mungkin diam-diam malah sudah memiliki istri. "Dari siapa, Vir? Kayaknya mesra banget?" tanyaku penasaran. "Orang rumah." "Istri kamu?" Dia tidak menjawab, malah terlihat serius membalas pesan dari orang tersebut. Sudahlah! Untuk apa mencampuri urusan Virgo. Dia itu 'kan hanya sopir dan bodyguard-ku saja. Jadi seumpama sudah punya pendamping hidup, kenapa harus marah dan sakit hati? Pukul sepuluh malam, mobil yang kami tumpangi akhirnya menepi di depan rumah. Buru-buru sang pemilik rahang tegas itu turun, membukakan pintu untukku lalu mengulurkan tangan hendak membantu berjalan. "Nggak usah, Vir. Aku bisa sendiri!" tolakku sambil berusaha turun dari mobil, berjalan perlahan serta hati-hati. "Aku bantu sampai ke dalam, La. Aku nggak tega liat kamu seperti ini. Takut kaki kamu masih sakit." "Aku sudah biasa hidup dalam kesakitan, Vir. Tidak
Sekuat tenaga menahan air mata yang sudah menggelayut di pelupuk, supaya tidak merebak di depan Virgo serta istrinya.“Kamu di sini, La?” tanyanya dengan ekspresi yang sulit sekali bisa diartikan. Terlihat terkejut, juga takut.“Iya. Mau beli novel. Biar nggak suntuk kalau lagi sendirian!” jawabku terbata, sampai hampir tidak bisa mengeluarkan kata. “Ini siapa? Anak kamu?” “Iya. Ini Alexa. Putri aku. Ayo, Sayang. Salim sama Tante Lala!” perintah laki-laki itu kepada putrinya dan segera dipatuhi oleh gadis kecil itu.Sementara perempuan yang tengah berdiri di samping Virgo, dia hanya mengulas senyum, dengan mode terus saja memeluk lengan bodyguard-ku, seolah ingin menunjukkan kalau lelaki di sebelahnya hanya milik dia seorang“Ya sudah, Vir. Aku permisi dulu. Udah ditungguin sama Bibi!” Segera menarik diri dari hadapan keluarga kecil itu, tidak mau menambah parah luka di dalam dada.“Apa kamu perlu bantuan, La? Wajah kamu pucat!”“Tidak. Aku bisa sendiri. Tenang saja!” Mengayunkan kaki
Buk!Aku meringis kesakitan ketika sebuah bola sepak tidak sengaja mengenai kepala. Seorang anak laki-laki berusia sekitar tiga belas tahunan berjalan setengah berlari ke arahku, mengambil bola tersebut sambil berkali-kali mengucap kata maaf.“Aku nggak sengaja, Pak. Tadi nendangnya terlalu kenceng!” ucapnya penuh dengan penyesalan.“Iya, gak apa-apa. Ngomong-ngomong, siapa nama kamu?” tanyaku seraya mengusap lembut rambut bocah berseragam SMP itu, merasa kagum dengan sikapnya yang santun juga mau mengakui kesalahan. Pasti dia terlahir dari keluarga paham agama, sebab dari cara dia berbicara juga sikapnya, menunjukkan betapa suksesnya sang orang tua mendidik anak tersebut.“Nama aku Azam, Pak!” Dia mengulas senyum tipis, menunjukkan kedua ceruk di pipinya, menambah kesan tampan di wajah bocah itu.“Azam. Nama yang bagus.”“Terima kasih. Nama Bapak sendiri siapa?”“Arya.”“Sekali lagi aku minta ma
Samar-samar terdengar suara panik beberapa orang, akan tetapi aku tidak bisa meminta bantuan kepada siapa pun, karena suaraku tercekat di kerongkongan. Tidak bisa mengucapakan kata, karena semakin lama semakin terasa kehabisan napas.Membuka mata perlahan, lalu menutupnya kembali mengadaptasi cahaya yang menyilaukan. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, merasa nyeri di perut bagian bawah dan tidak bisa menggerakkan sebagian anggota tubuh. Perut juga sudah terlihat mengempis, tidak sebesar tadi saat sebelum aku jatuh dan terbentur. Apa aku sudah melahirkan?Pintu kamar rawat inapku terbuka perlahan. Seorang perawat datang dengan buku catatan pasien di tangan, mengulas senyum tipis kepadaku lalu mengecek infus yang menggantung di tiang penyangga.“Suster, kenapa saya tidak bisa menggerakkan tubuh bagian bawah saya?” tanyaku penasaran, karena kedua kaki terasa sudah mati rasa.“Mungkin efek anestesi, Bu. Ibu kan habis menjalank
“Perut sialan. Kenapa sakit banget begini sih? Bayi kurang ajar, kenapa kamu nggak mati saja!” umpatku kesal, seraya memukuli perut yang terasa sakit. Sudah mulas dari dua hari yang lalu, tetapi anak ini tidak juga keluar. Bikin semua terasa nyeri dan tidak nyaman saja. Argh! Menjerit histeris, meremas-remas perut yang kian terasa nyeri juga mendorongnya agar si bayi lekas lahir. “Sepertinya harus dirujuk ke rumah sakit dan menjalani operasi caesar, Bu. Soalnya bayinya sungsang!” Ucapan bidan kembali terngiang di telinga, membuat diri ini kian frustrasi dibuatnya. Boro-boro buat operasi caesar. Buat makan saja Senin Kamis. Jual diri juga tidak laku karena wajah terlihat jelek dan perut gendut. Paling banter dapet tamu dari kelas teri, yang bayarannya pake duit recehan, bau apek lagi badannya. Mas Arya juga. Pake dipenjara segala, padahal aku sedang mengandung. Bodoh banget memang itu laki-laki. Hanya menabrak orang sa
“Sudah, jangan ribut. Mbak Delima melakukan itu juga karena terpaksa. Karena dia takut kehilangan Ayah. Jadi, sebaiknya masalah ini diselesaikan dengan kepala dingin, jangan pakai emosi,” timpal Lala dengan intonasi sangat lembut.“Dia bukan takut kehilangan Ayah, tapi takut kehilangan harta Ayah!”“Pa, Mama mohon. Jangan usir Mama dari sini. Maafkan Mama. Mama khilaf, dan Mama janji tidak akan melakukannya lagi. Mama juga akan mengembalikan uang Lala yang sudah Mama ambil, tapi dengan cara dicicil. Soalnya sudah buat beli mobil untuk Ibu dan buat beli berlian. Aku minta maaf, Pa. Ampun. Jangan usir Mama.” Mbak Delima mencekal kaki Ayah sambil menangis tersedu.“Oke, Papa mau kasih kamu kesempatan sekali lagi, tapi, jatah bulanan kamu Papa kurangi separo. Anggap saja itu hukuman dari Papa, karena kesalahan yang sudah kamu perbuat. Papa benar-benar nggak nyangka kamu bisa sejahat itu sama Papa dan anak aku. Padahal, selama ini Papa tidak pernah pilih
Astagfirullah ... kenapa malah tiba-tiba jadi berprasangka buruk terhadap Mbak Delima? “Ayo, Virgo, Lala, silakan masuk!” Mbak Delima terlihat begitu ramah. Aku merangkul pundak Nirmala, sementara tangan kiriku menggandeng Alexa. Kami duduk di kursi ruang tamu, bergabung dengan yang lainnya akan tetapi tidak terlihat keramahan sama sekali di wajah keluarga ibu tiri istriku. Entahlah. Mungkin hanya perasaanku saja, atau memang mereka tidak suka dengan kedatangan kami bertiga. “Kenapa kalian nggak pernah ngasih kabar? Kalian juga nggak pernah bertandang ke rumah, padahal ayah itu kangen banget sama kalian,” ucap Ayah membuat dahi ini berkerut-kerut, menatap wajah mertua dengan mimik bingung. Kami tidak pernah memberi kabar? Bukannya dia sendiri yang selalu menolak panggilan dari kami, juga tidak pernah membalas pesan yang aku maupun Nirmala kirimkan. “Maaf, Ayah. Bukannya ...” “Pah, bisa minta tolong ambilin
Membuka pintu, mengulas senyum tipis lalu mempersilakan Irsyad untuk masuk ke dalam.“Ada apa, Syad? Tumben mampir?” tanyaku tanpa basa-basi, apalagi ketika melihat netra di balik kacamata itu terus saja menyisir ke seluruh penjuru ruangan, seolah sedang mencari sesuatu di dalam rumahku. Pasti dia sedang mencari Nirmala. Tidak akan kubiarkan mantan tunangan istriku bertemu dengan Nirmala, walau hanya sedetik saja.“Saya datang ke sini hanya ingin mengantar undangan.” Dia menyodorkan sebuah surat undangan dengan tinta emas, dan di sampul undangan tersebut terdapat foto dirinya bersama seorang wanita.Alhamdulillah. Akhirnya mantan tunangan Nirmala mendapatkan jodoh, sehingga aku tidak perlu lagi khawatir kalau dia mengganggu kekasih hatiku nanti.“Selamat, ya, Syad. Semoga kalian berbahagia, dan cepet dapet momongan nanti. Kaya saya nih. Ces pleng.” Aku terkekeh, tetapi entah mengapa ekspresi lawan bicaraku terlihat tidak senang
"Permisi, assalamualaikum!" Tok! Tok! Tok!Terdengar suara Robby mengetuk pintu seraya mengucapkan salam. Segera kupersilakan dia masuk, dan pria berkaus putih tersebut menyerahkan sepuluh lembar pecahan uang seratus ribuan kepadaku."Ini, Bu, uang yang tadi saya janjikan. Saya hanya bisa bantu segitu saja. Tidak bisa memberikan lebih!" Menyodorkan uang tersebut kepada Bu Haryanti, dan lawan bicaraku itu terlihat tidak percaya dengan tanggapan dariku."Jangan begitulah, Nak Virgo. Ibu datang ke sini itu bukan untuk mengemis. Tapi mau pinjam uang," ucapnya lagi, dengan nada kurang enak didengar."Saya tidak pernah menganggap Ibu pengemis. Tetapi saya juga tidak bisa membantu meminjami Ibu uang sebanyak itu. Saya setiap bulan memberikan uang ke kalian karena kasihan. Sebab biar bagaimanapun, Ibu itu tetap mertuanya Nirmala. Ada mantan suami, tetapi tidak ada mantan mertua kalau menurut saya. Sebab mertua sama dengan orang tua juga!"
“Ada apa, Mas?” tanya istri sambil mengambil jemariku, menggenggamnya kemudian mengecupnya memberi kehangatan cinta.“Nggak ada apa-apa, Sayang. Sonya ingin membahas masalah harta peninggalan ayah, tapi aku pikir belum saatnya. Kuburan Ayah masih basah dan rasanya tidak etis banget kalau kita yang baru saja ditinggalkan malah membahas hartanya. Karena sebenarnya harta miliknya itu delapan puluh persen hakku dan Alisa. Aku juga sudah nggak lagi ngarepin walaupun hanya seujung kuku. Kalau Sonya ingin menyerahkan kembali harta itu, niatku ingin menghibahkannya ke pesantren, atau orang-orang yang membutuhkan.”“Mas Virgo memang suami yang sangat luar biasa!” Perempuan berhijab putih itu mendaratkan bibirnya di pipi, menyandarkan kepala di bahu sambil merangkul lenganku.“Pak, tadi ada dua orang perempuan datang dan katanya ingin bertemu dengan Bapak. Mereka mengaku sebagai keluarganya Arya,” ucap Melvi ketika aku baru saja sampai di kantor.
Virgo segera menghubungi Alisa serta Robby, meminta mereka untuk segera pergi ke rumah ayah mertua tanpa memberitahu apa yang sebenarnya terjadi.“Kamu ganti pakaian dulu, Sayang. Yang panjang ya. Kalau bisa pake hijab!” titah suami sambil mengusap pipiku.“Iya, Mas.” Aku mengangguk dan segera beranjak dari kursi, mengayunkan kaki perlahan menuju kamar untuk menukar pakaian seperti apa yang diperintahkan oleh suami.Kuambil sebuah gamis putih yang tergantung di dalam lemari, mengenakannya, lalu memanggil Bibi untuk membantu memakaikan kerudung.“Maa syaa Allah … istrinya Mas Virgo cantik banget kaya bidadari,” puji suami membuat pipi ini seketika bersemu merah.“Terima kasih, Mas.” Menerbitkan senyuman termanis yang pernah kupunya, merangkul lengan suami yang sudah mengenakan kemeja hitam serta celana bahan dengan warna senada khas orang berbelasungkawa.Kendaraan roda empat milik Virgo melaju membelah kemacetan jalan