Segumpal awan menjadi target penglihatan Cailey saat dirinya mulai bosan. Bibirnya membentuk lengkungan tipis, mengingat wajah cemberut Zachary saat Cailey tak mengizinkannya untuk mengantar dirinya sampai ke bandara. Liam memanggil Zachary untuk membutuhkan Alpha-nya dengan segera. Cailey tidak ingin menjadi beban untuk pack Zachary hanya karena pria itu lebih memilih untuk mengantar dirinya dibandingkan mengurus pack-nya. Cailey mengganti posisi duduknya dan pada saat itu juga jari telunjuknya tergores, mengenai resleting tasnya yang memang runcing di bagian ujung. “Akh,” Cailey menggigit bibir bawahnya. Luka kecil, namun terasa sedikit perih. Seorang wanita dengan rambut pirang disebelahnya menoleh. “Kau baik-baik saja?” tanyanya. Cailey tersenyum kaku, “Ya, hanya sedikit tergores.” Wanita pirang itu merogoh saku tasnya, mengambil sebuah plester dan diberikannya pada Cailey. “Ini, semoga membantu,” katanya. “Ah terima kasih,” ucap Cailey sambil tersenyum. Lalu menempelkan ple
Dengan segera ia bertanya pada bartender itu kembali, “Jam berapa Pub ini tutup?”“Pukul 11 PM.”Cailey langsung melangkahkan kakinya keluar pub setelah meninggalkan uang tagihannya. Cailey menengadahkan kepalanya ke langit. Langit masih menurunkan rintikan airnya, tidak sebanyak sebelumnya. Namun cukup untuk membasahi wajah Cailey kala dirinya belum membuka payung hitam miliknya.Rambut cokelatnya sedikit basah, ia memundurkan langkahnya lalu mengambil payung. Dibukannya payung itu, kemudian berjalan ke titik koordinat alamat itu. Yup, di tengah jalan.Cailey menatap pijakan dibawahnya, lalu maniknya bergerak ke sekelilingnya. Mencoba menganalisis kira-kira dimana akses yang memungkinkan untuk menuju ke bawah tanah.Cailey menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan bahwa jalanan sudah kosong, lalu ia berjongkok di atas aspal. Cailey mengeluarkan semacam alat untuk melacak, GPR (Ground Penertating Radar) atau radar penembus tanah dalam versi yang lebih kecil yang berukuran 10×5 cm buata
Cailey bergegas berlari melalui jendela depan pub, meski harus menghancurkan kunci jendela sialan itu terlebih dahulu.Demi Tuhan Cailey sangat panik dan beberapa kali gagal mencongkel kuncinya dan sialnya, Cailey tidak memakai sarung tangannya. Sidik jari Cailey pastinya terdeteksi disana. Ditambah lagi kedua serigala itu menghancurkan jendelanya. Pemilik Pub itu bisa saja menuntutnya atas pembobolan jendela.Cailey mengumpat dua kali.Cailey berlari cepat menuju hotel. Membiarkan hujan membasahi dirinya. Cailey menoleh kebelalang. Bersyukur, kedua serigala itu tidak mengejarnya lagi. Cailey berhenti pada persimpangan jalan. Ia menoleh ke belakang sekali lagi, memastikan. Selanjutnya ia dapat menghela napas lega karena kedua serigala itu benar-benar tak mengikutinya lagi.Jalanan tampak sepi. Namun Cailey dapat melihat dari kejauhan sebuah taksi. Alih-alih kembali ke hotel. Cailey lebih memilih untuk menghentikan taksi itu dan menaikinya.Cailey tak dapat menunggu lebih lama. Perseta
“ZACHARY!” teriak Cailey yang membuat seluruh warrior Zachary menoleh.Cailey merasakan jantungnya berpacu. Ia segera menghampiri Zachary, tak peduli dengan seluruh warrior pack yang menatapnya dengan tatapan aneh.SialCailey terlalu cepat mengartikan situasi.Ternyata Zachary hanya bermain peran, latihan, simulasi perang, atau apalah itu istilahnya.Pantas saja para warrior Zachary tidak panik sama sekali.Matanya menyipit dengan wajah datar saat ia melihat Zachary tertawa kencang sambil memegangi perutnya. Ditambah lagi wajah-wajah para warrior yang tampak menahan tawa melihat wajah Cailey yang sudah berubah menjadi merah padam. Cailey berbalik hendak menghampiri Albert sebelum buru-buru Zachary bangkit dan memeluknya dari belakang.“Aku hampir gila. Aku hampir gila merindukanmu Ashley,” bisiknya tepat disamping telinga Cailey.Cailey tersenyum miring lalu menarik tangan Zachary dan membanting tubuhnya ke tanah. Zachary sempat terkejut. Meskipun Cailey membantingnya tidak dengan se
Pagi buta, langit masih sehitam kopinya, Zachary terpaksa bangun karena Cailey terus mengguncang tubuhnya, meminta dirinya melatih Cailey kembali dalam bertarung.Bahkan kopinya yang masih setengah ia biarkan dingin, karena Cailey sudah menariknya terlebih dahulu menuju tempat Zachary melatihnya kemarin.“Kau harus tahu apa kekuatan dan kelemahan yang dimiliki seorang werewolf,” ujar Zachary saat melihat Cailey pemanasan, yang sialnya, ia harus menahan napas melihat Cailey hanya mengenakan kaos hitam ketat tanpa lengan dan celana pendek. Zachary benar-benar bisa gila.“Jadi apa kelebihan dan kelemahan seorang werewolf?” tanya Cailey.“Kembali ke istana dan ganti pakaianmu Ashley.”“Apa?”Zachary tak menghiraukan Cailey. Ia me-mindlink seorang Omega untuk dibawakannya pakaian lebih panjang untuk Luna-nya.“Zachary?” panggil Cailey.Zachary menoleh, “Ya?”“Kau terlihat tidak fokus dan kembali ke istana?” tanyanya saat melihat Zachary yang terus mengipasi dirinya sendiri dengan tangannya
Zachary menggeram marah. Dengan langkah lebar ia menghampiri Julian. Zachary menarik paksa Julian lalu memukulnya di wajah. Sial, Zachary tidak dapat mengontrol emosinya.“What the heck!” pekik Julian sambil memegangi mulutnya yang berdarah.Belum puas, Zachary kembali memukul Julian berkali-kali sampai pria itu terkapar di tanah. Julian bangkit, menyeringai dengan darah dari mulutnya yang menetes, “Itu saja?”Gigi Zachary menyatu, rahangnya semakin mengeras, ia menarik kerah Julian dan memukulnya kembali dengan keras.Cailey masih mencerna kejadian yang terlalu mendadak itu. Ia terlalu terkejut dengan mata yang membulat sempurna. “Zachary!” Teriak Cailey kemudian. Zachary menoleh dan Julian mengambil kesempatan itu untuk membalas pukulannya.Tubuh Zachary terhempas hampir terjatuh. Pukulan Julian melebihi kerasnya pukulannya. “Cukup, kalian membuatku malu!” teriak Cailey menyadari mereka menjadi perhatian orang-orang di sekeliling. Meskipun sedikit orang, tapi Cailey sangat benci men
Mobil Julian berhenti di depan hotel terdekat dengan The Dusty Pub. Julian menoleh ke kanan, mendapati Cailey yang tertidur dengan pulas. Sebagian wajahnya tertutupi rambut cokelatnya.Tangan kanan Julian meraih rambut itu untuk diselipkannya ke belakang telinga. Julian tersenyum memandangi Cailey sebentar, sebelum ia menggerakan tangannya kembali. Mengelus pipi Cailey halus untuk membangunkannya.Cailey mengerjap. Anatomi matanya berusaha menyesuaikan cahaya.“Kita sudah sampai,” kata Julian.Melihat hotel di hadapannya, Cailey mengernyit. “Ini hotel yang sama yang aku tempati saat aku ke Tucson sebelumnya,” katanya.“Well, itu bagus. Kita akan bergerak malam hari, mau jalan-jalan dahulu?" tanya Julian.Cailey mengangguk setuju.Mereka memasuki hotel terlebih dahulu, memesan satu kamar dengan dua ranjang. Julian melempar barangnya ke ranjang, sebelum keluar kembali untuk membeli dua kaleng minuman bersoda, untuk mengurangi dahaganya.Di depan hotel, Cailey melihat pria yang pernah me
Cailey menutup pintu mobil, sebelum mobil berwarna hitam anti peluru itu bergerak keluar dari hotel. Tiga agen berpakaian lengkap dengan senjata berada dalam satu mobil dengan Cailey dan Julian, sedangkan agen lainnya mengikuti di belakangnya dengan dua mobil besar.Cailey mengikat rambutnya lebih kencang dan memastikannya tidak akan lepas saat beraksi nantinya.“Kau terlihat semakin cantik, Ash,” kata salah satu rekannya sambil mengerlingkan matanya.Cailey menaikkan satu alisnya lalu tersenyum, sedangkan Julian bersiap mengangkat senjatanya.“Astaga, Jay! Kupikir kalian tidak benar-benar berkencan!” pekiknya.Julian tersenyum miris, sedangkan Cailey meringis, “Memang tidak.”Sedangkan, rekannya tadi tersenyum miring dengan menaik turunkan alisnya sambil menyikutkan sikunya ke pinggang Julian. Julian menatapnya datar.“Ah, kau membawa spy glasses ku?” tanya Cailey pada rekannya.“Tentu saja, Ken mengatakan alat ini lebih canggih dari yang sebelumnya.”“Well terima kasih. Kau membawa