Zachary menggeram marah. Dengan langkah lebar ia menghampiri Julian. Zachary menarik paksa Julian lalu memukulnya di wajah. Sial, Zachary tidak dapat mengontrol emosinya.“What the heck!” pekik Julian sambil memegangi mulutnya yang berdarah.Belum puas, Zachary kembali memukul Julian berkali-kali sampai pria itu terkapar di tanah. Julian bangkit, menyeringai dengan darah dari mulutnya yang menetes, “Itu saja?”Gigi Zachary menyatu, rahangnya semakin mengeras, ia menarik kerah Julian dan memukulnya kembali dengan keras.Cailey masih mencerna kejadian yang terlalu mendadak itu. Ia terlalu terkejut dengan mata yang membulat sempurna. “Zachary!” Teriak Cailey kemudian. Zachary menoleh dan Julian mengambil kesempatan itu untuk membalas pukulannya.Tubuh Zachary terhempas hampir terjatuh. Pukulan Julian melebihi kerasnya pukulannya. “Cukup, kalian membuatku malu!” teriak Cailey menyadari mereka menjadi perhatian orang-orang di sekeliling. Meskipun sedikit orang, tapi Cailey sangat benci men
Mobil Julian berhenti di depan hotel terdekat dengan The Dusty Pub. Julian menoleh ke kanan, mendapati Cailey yang tertidur dengan pulas. Sebagian wajahnya tertutupi rambut cokelatnya.Tangan kanan Julian meraih rambut itu untuk diselipkannya ke belakang telinga. Julian tersenyum memandangi Cailey sebentar, sebelum ia menggerakan tangannya kembali. Mengelus pipi Cailey halus untuk membangunkannya.Cailey mengerjap. Anatomi matanya berusaha menyesuaikan cahaya.“Kita sudah sampai,” kata Julian.Melihat hotel di hadapannya, Cailey mengernyit. “Ini hotel yang sama yang aku tempati saat aku ke Tucson sebelumnya,” katanya.“Well, itu bagus. Kita akan bergerak malam hari, mau jalan-jalan dahulu?" tanya Julian.Cailey mengangguk setuju.Mereka memasuki hotel terlebih dahulu, memesan satu kamar dengan dua ranjang. Julian melempar barangnya ke ranjang, sebelum keluar kembali untuk membeli dua kaleng minuman bersoda, untuk mengurangi dahaganya.Di depan hotel, Cailey melihat pria yang pernah me
Cailey menutup pintu mobil, sebelum mobil berwarna hitam anti peluru itu bergerak keluar dari hotel. Tiga agen berpakaian lengkap dengan senjata berada dalam satu mobil dengan Cailey dan Julian, sedangkan agen lainnya mengikuti di belakangnya dengan dua mobil besar.Cailey mengikat rambutnya lebih kencang dan memastikannya tidak akan lepas saat beraksi nantinya.“Kau terlihat semakin cantik, Ash,” kata salah satu rekannya sambil mengerlingkan matanya.Cailey menaikkan satu alisnya lalu tersenyum, sedangkan Julian bersiap mengangkat senjatanya.“Astaga, Jay! Kupikir kalian tidak benar-benar berkencan!” pekiknya.Julian tersenyum miris, sedangkan Cailey meringis, “Memang tidak.”Sedangkan, rekannya tadi tersenyum miring dengan menaik turunkan alisnya sambil menyikutkan sikunya ke pinggang Julian. Julian menatapnya datar.“Ah, kau membawa spy glasses ku?” tanya Cailey pada rekannya.“Tentu saja, Ken mengatakan alat ini lebih canggih dari yang sebelumnya.”“Well terima kasih. Kau membawa
“Granat! Menyingkir!” Seru Julian.DuarrTubuh Cailey terpental hingga lima meter jauhnya, ia dapat merasakan rasa sakit yang terpusat pada siku tangan kirinya. Cailey memegang dahinya yang sedikit pening, pandangannya masih lumayan gelap. Hanya ada sisa-sisa penerangan dari bekas api granat.Maniknya menyipit, lalu mengedarkan pandangannya ke seisi ruangan yang dapat dilihatnya. Disana, ia dapat melihat Julian yang bersusah payah berusaha untuk bangkit.Cailey membenarkan kacamata canggihnya. Tak sengaja menyentuh tombol on. Sehingga kacamata tersebut menyesuaikan keadaan dirinya, yang dapat membuat maniknya dipenuhi oleh reseptor cahaya. Menyebabkan pupil Cailey terbuka sangat lebar, layaknya mata kucing.Cailey dapat melihat dalam gelap.“Wow,” takjubnya.Cailey merangkak ke arah Julian. “Kau baik-baik saja?”“Ya, hanya sedikit terkejut.”Julian mengeluarkan senternya, “Ayo!” ajaknya.Cailey mempersiapkan senjatanya di tangan. “Kau tetaplah di belakangku,” kata Cailey.“Aku? Lelaki
“Gyula Roberto.” “Hai Jennifer Hutton atau aku bisa bilang Cailey Riegan?” bukan Gyula yang menjawab melainkan Barbera. Cara bicaranya yang riang mengingatkannya pada Yukio saat memanggil Deadpool setiap kali mereka bertemu pada film antihero seri kedua itu. Berbanding terbalik dengan sikapnya yang berwibawa saat di pesawat. Cailey memandang Barbera dengan jengah. Kemudian tatapannya kembali pada Gyula yang bibirnya kini menyeringai ngeri. Julian berusaha berdiri dengan tegak, mengabaikan rasa sakit pada kakinya. Karena detik berikutnya Gyula dan Barbera berlari bersamaan menyerbu Cailey dan Julian. Sesekali Gyula melemparkan api yang dipegangnya. Cailey berusaha menghindar sambil menarik pelatuk senjatanya ke arah mereka. Anehnya mereka sama sekali tidak terlumpuhkan, barangkali mereka menggunakan baju anti peluru yang lebih canggih. Cailey menduga, mereka pasti sudah mempersiapkan segalanya. Masih berusaha, Cailey mengganti pistolnya dengan senjata rifle, kemudian menembaki titi
Cailey terbangun diatas ranjang berwarna putih, disekelilingi dinding dengan warna serupa.Maniknya melirik perutnya yang sudah terbalut perban. Kemudian ke arah tangannya dan menyusuri selang hingga sampai ke sebuah kantong dengan cairan bening yang terus menetes.Ugh, rumah sakit.Cailey mengerang saat berusaha untuk duduk. Tak ada siapapun di ruangan ini. Dilihatnya jam di dinding yang menunjukkan hampir pukul sebelas malam. Mungkin saja semua orang sudah tertidur.Sepertinya ini rumah sakit khusus agen-agent intelijen yang terluka. Dilihat dari sebuah lambang yang khas di dinding. Cailey memang belum pernah ke rumah sakit ini, well karena Cailey memang membenci rumah sakit. Tetapi ia tahu, rumah sakit ini ada.Kemudian tangan kanan Cailey bergerak untuk menekan tombol panggilan dan lima menit kemudian seorang dokter pria datang menghampirinya.“Tolong berbaring nona, biar saya periksa,” katanya.Cailey menuruti perintahnya. Selagi dokter itu memeriksa tubuhnya, Cailey melontarkan
Langit berkabut disertai hujan kecil yang turun ke bumi saat mobil Kenny sampai pada sebuah rumah sakit umum di daerah pusat kota London. Cailey menggunakan tangannya untuk menghalau air hujan yang mengenai wajahnya, lalu berjalan cepat menuju lobi rumah sakit. Diikuti Kenny dibelakangnya.“Ikuti aku,” titah Kenny dan membawanya hingga sampai pada ruang rawat Julian.Kenny lah yang membukakan pintunya dan Cailey mendapati Julian sedang tidur di ranjangnya.Cailey mendekat dan duduk pada sebuah kursi di dekat ranjang. Tangannya terangkat untuk menyentuh tangan Julian dan bersamaan dengan itu, kelopak mata Julian terbuka.“Sweetheart...,” panggilnya dengan suara serak.“Bodoh, mengapa kau memilih mengalah untuk mendapatkan rumah sakit biasa?”Julian tersenyum lemah, “Bukan masalah aku berada di rumah sakit manapun selama rumah sakit itu memberikan perawatan yang terbaik.”Cailey berdecak, kemudian maniknya terarah pada kaki Julian yang diperban, “Baiklah, jadi bagaimana kakimu? Pasti sa
Cailey masih memikirkan kejadian semalam, dimana ia melihat Julian berlari. Bahkan larinya sangat cepat, sehingga Cailey tak mampu mengejarnya. Sampai saat ini keberadaan Julian masih belum dapat diketahui. Pelacaknya ditemukan terakhir di rumah sakit, entah bagaimana Julian dapat melepas pelacak dalam kulitnya itu. Barangkali menggunakan alat-alat dokter di rumah sakit atau apa itu tidak penting. Bagaimana mungkin? Cailey bahkan melihat dengan jelas saat peluru itu menembus kulitnya tempo hari dan bagaimana darah itu mengucur terekam dengan jelas pada otaknya. “Hei,” sapa Kenny sambil melambaikan tangannya di depan wajah Cailey yang tengah melamun. “Oh hai,” balas Cailey. Kenny menarik kursinya dan duduk berhadapan dengan Cailey. “Memikirkan Julian?” Cailey mengangguk. “Aku akan bantu melacaknya. Kau sudah mengurus pemberhentian kerjamu?” tanya Kenny. Cailey menggeleng, “Bukan waktu yang tepat,” kata Cailey lalu menyodorkan sebuah amplop berwarna coklat. “Aku akan pergi ke A
Cailey membuka sebuah tirai sewarna putih tulang yang menggantung pada jendela ruang kerja di istana Zachary. Di dekatnya, meja kayu berdebu yang beraroma khas diletakkan menempel pada sebagian sisi jendela. Cailey mengambil berkas yang tertumpuk di atas buku ‘Silsilah Manusia Serigala di Hutan Arizona’. Dalam sebuah map besar berwarna cokelat, Cailey menarik beberapa kertas penting. Beruntung insiden peperangan tidak mengenai bagian sayap kiri gedung, sehingga hal-hal penting yang tersimpan rapi di bunker dan ruang kerja Zachary tidak terpengaruh olehnya, termasuk dokumen atas kasus Gyula Roberto yang kini ada di tangannya.Logo Secret Intelligence Service yang menonjol menjadi perhatian manik Cailey untuk pertama kali, lengkap dengan tulisan top secret di bawahnya, menandakan bahwa dokumen ini bersifat sangat rahasia. Cailey membalikan kertas itu untuk membaca laporan berisikan kasus pembunuhan perdana menteri Inggris yang berhasil ia kumpulkan, dengan tambahan informasi yang didapa
Dua hari kemudian...Lima tangkai bunga krisan putih yang mekar disusun dengan sentuhan elegan pita hitam yang mengikatnya menjadi satu. Diletakannya bunga itu di atas gundukan tanah, dekat dengan nisan yang masih baru. Sebuah nama yang terukir di atasnya membuat Cailey mengusap air mata pada pipinya sekali lagi. Matahari hampir kembali ke peraduannya, namun Cailey seakan tidak ingin beranjak. Sudah satu jam lamanya Cailey duduk, menatap nisan itu dengan tatapan kosong. Karenanya, bagian ujung bawah gaun hitamnya menjadi kotor terkena tanah.Pikiran Cailey kembali memutar memori saat pertama kali seorang anak lelaki mengulurkan tangan padanya. Mengajaknya melihat dunia dari sisi yang berbeda, memulai kehidupan baru dan melupakan kesedihan yang selama itu ia bawa dalam hatinya. Saat itu matahari menyinari kota London dengan cerah. Rambut keperakan anak lelaki itu bergerak tertiup angin, seiring kapal yang ditumpanginya bergerak menyusuri sungai Thames. Itu adalah pertama kalinya Cailey
Moon Goddess menginjakkan kakinya di bumi dengan agung. Begitu pula seorang lelaki berambut pirang dengan wajah bak malaikat dan kulit yang bercahaya mengikuti dibelakangnya. Seluruh serigala berhenti berperang, burung-burung malam berhenti berkicauan, bahkan pepohonan seakan tunduk pada keagungannya. Lantas Parker berusaha bangkit dengan sisa tenaganya dan berlutut menundukkan tubuhnya, diikuti oleh seluruh werewolves lainnya.Dengan tangan yang dikepalkan pada dada, Parker menyapa “I'm Parker alias Alpha Zachary Colbert, greetings to Your Majesty The Queen of the Moon, Moon Goddess.”“All hail The Moon Goddess!” seru seluruh pasukan Zachary yang menggema dengan magis ke seluruh penjuru hutan. Menghantarkan pesan tak kasat telinga kepada seluruh werewolves di hutan Arizona. Memberi tahu kedatangan Moon Goddess yang jarang terjadi dalam seribu tahun ini.Cailey yang ikut menundukkan kepalanya mulai meneliti sekeliling melalui ekor matanya. Jarak pandangnya tidak begitu luas karena ia
Zachary melompat dan merubah tubuhnya menjadi serigala, meninggalkan Cailey dengan ekspresi terkejutnya. Bibir pucatnya kini sedikit memerah, rasa hangat yang ditinggalkannya membuat bibir itu tersenyum.Langit bertambah gelap, namun dengan bulan yang ada setidaknya mampu menerangi sebagian dari hutan. Sayangnya sinar yang menerangi itu tak dapat mengurangi atmosfer di udara yang kian mencekam.Parker melolong di bawah sinar rembulan, kemudian lolongan itu dibalas oleh seluruh kawananya layaknya sebuah paduan suara yang merdu. Rambut keabuannya berkilauan dan bergerak diterpa angin malam. Kekuatannya seolah bertambah kuat seiring sinar rembulan itu menyentuh kulitnya saat berlari. Bersyukur purnacandra penuh terjadi hari esok, sehingga seluruh serigala tidak akan mencapai puncak kekuatannya hingga esok.Kaki Parker berhenti melangkah, dihadapannya ia dapat melihat pasukannya yang tengah berperang. Parker mengedarkan pandangannya, meneliti situasi dengan cepat. Bernard dengan tubuh ser
Dagu Parker terangkat, menunjukkan kuasa atas pack-nya. Auranya begitu mengintimidasi, namun tetap berwibawa. Manik The Argjend menyorot tajam kemudian menyeringai secepat kilat, bahkan Parker tidak dapat memastikan apakah itu hanya halusinasinya atau The Argjend benar-benar tersenyum, sebelum akhirnya ia melihat jubah kebesaran itu berbalik menjauh. Parker me mindlink seluruh pasukannya untuk tetap bertarung dibawah arahan Sang Beta, kemudian tubuh serigala itu berlari, tak kuasa lagi membendung keinginannya untuk segera berjumpa dengan empunya aroma cherry blossom yang sejak tadi menguar begitu kuat seakan menariknya. Kaki Parker berhenti di sebuah gedung bercat putih, sebuah pahatan sebatang tongkat dengan seekor ular yang melingkarinya seolah menyambutnya. Kemudian Parker menaiki undakan tangga setinggi dua kali lipat tubuhnya. Saat ia memasuki gedung itu, ia dapat melihat semua orang tergesa-gesa, tenggelam dalam kesibukannya, hingga Parker melangkahkan satu kakinya. Auranya ya
“Kau?”“Hai Liam!”“Sidney! Apa yang kau lakukan disini?” Tanya Liam panik sambil mengedarkan pandangannya dengan was-was.“Tenanglah, aku bersama salah satu warrior ku,” kata gadis berambut sewarna karamel itu, membuat Liam menghela nafasnya lega saat maniknya menangkap warrior dari pack paman Zachary.Warrior yang bernama Arthur itu menundukkan kepalanya memberi hormat kepada Liam, “Beta, Helen mengutusku untuk membantumu.”Liam tersenyum hangat menyambutnya, “Lalu, bagaimana dengan Sidney?”“Nona Sidney memaksa untuk ikut kemari, dia sampai menangis, tapi aku berjanji untuk menjaganya,” jelas Arthur.Sidney tersenyum malu saat Liam memandangnya dengan tajam.“Kudengar kakak iparku sakit, aku hanya ingin mengunjunginya,” cicit Sidney sembari menautkan kedua jarinya.Pandangannya beralih pada tubuh Sang Luna yang terbaring dengan selimut yang menutupi hanya sampai ke tengah perutnya. Sidney mendekati Cailey perlahan dan menggenggam tangannya yang terbuka.Dilihatnya wajah Cailey yang
Pasukan The Argjend membuat ancang-ancang untuk meyerang. Membuat barisan rapi, dengan pakaian perak mereka yang berkilauan oleh sinar sang surya yang telah terbit di timur. Tentu saja, perak yang mereka gunakan bukan merupakan perak asli.Manik The Argjend berkilat, mengarah pada kaki Cailey yang tertancap peluru. Tidak ada tanda-tanda darah yang keluar, dapat dipastikan itu adalah peluru bius. Kemudian pandangannya beralih pada si penembak yang tengah memandang The Argjend dengan tatapan takut.“Demi Moon Goddess, bukan aku yang menembaknya,” cicitnya.Dengan segera warrior dibelakangnya mengecek tubuh si penembak itu dan menemukan satu buah pistol lengkap dengan peluru biusnya.The Argjend menarik salah satu sudut bibirnya.“Tunggu, kau bukan dari pack ku,” The Argjend menoleh kearah Liam, “kan?” tanyanya melanjutkan.Wajah Liam memucat. Penembak itu memang mata-mata yang dikirim oleh Liam sejak lima hari yang lalu, yang bahkan telah hilang kabarnya.DorBunyi tembakan itu menggema
Cailey terbangun saat merasakan tubuhnya tergoncang dengan keras. Pandangannya gelap, namun rentina nya masih mampu menangkap secercah cahaya yang merambat memasuki jendela kecil yang hanya berukuran 400 centimeter persegi disisi kanannya.Pemandangan di jendela itu hanya pepohonan tinggi, batangnya mirip pohon pinus. Suara-suara berisik mengiringi telinganya. Seperti langkah yang berlarian mengikuti kereta yang Cailey tumpangi.Kedua tangannya terbogol pada sisi ranjang yang Cailey tiduri.“Akh,” Cailey meringis, kepalanya teramat sakit karena bangun secara tak nyaman. Namun sialnya, kedua tangannya tidak bisa ia gunakan untuk sekedar mengelus kepalanya.Suara lolongan serigala terdengar dengan jelas di telinga Cailey. Dilihat dari goncangannya, sepertinya kereta ini melewati bebatuan yang tidak rata. Dan juga goncangannya lebih mulus untuk ditarik oleh kuda. Sepertinya kereta ini ditarik oleh serigala, mengingat suara lolongannya yang terasa sangat dekat dihadapan Cailey.Tenggoroka
Wajah serigala Julian tersenyum remeh, “Tidak akan bisa membunuhnya hm?” Julian mendekat pada Cailey.“Kurasa kau harus tahu berita apa yang baru saja kudapat dari warrior setiaku,” mulut Julian hampir menyentuh telinga Cailey.“Zachary, kekasihmu itu sudah mati,” katanya setengah berbisik.Manik Cailey membesar, “Tidak mungkin, aku tidak percaya padamu!”Zachary sangat kuat, tidak mungkin ia mati semudah itu.Cailey takut, itu pasti. Berusaha menyangkal dengan keras akalnya yang mengatakan bahwa tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini.“Kau tidak mempunyai bukti atas kematiannya,” kata Cailey masih berusaha menyangkalnya.“Bukti?” Julian tersenyum kemudian memanggil pria bertubuh jakung yang baru saja kemari tadi.Pria itu datang membawa sebuah karung hitam berukuran sedang di tangannya. “Alpha, kurasa Luna tak akan sanggup melihatnya,” kata pria itu.Kening Cailey mengernyit dalam. “Keluarkan saja, dia sudah biasa melihat mayat,” kata Julian santai.Pria bertubuh jakung itu mengan