“Di mana ini?”
Khanza terus berjalan, meski cewek itu tidak tahu di mana dirinya sekarang. Yang jelas, dia berada di sebuah ruangan berwarna putih. Tidak ada apapun di tempat ini. Kosong, hampa. Itulah yang Khanza rasakan. Sampai kemudian, langkah Khanza terhenti begitu dia menyadari seseorang mendekatinya dari kejauhan.
“Siapa?” tanya Khanza dengan suara lantangnya. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuh. Lalu, entah dorongan darimana, Khanza memanggil nama Kenzo berulang kali di dalam hatinya. “Siapa di sana?!”
Sosok itu perlahan terlihat, membuat Khanza menyipitkan mata karena cahaya yang mengelilingi orang tersebut. Kemudian, di saat mata Khanza sudah bisa beradaptasi dengan cahaya itu, Khanza tersentak. Cewek itu mundur dua
Sepanjang perjalanan pulang, Kenzo tidak bersuara sama sekali. Cowok itu nampak serius dengan jalanan di depannya, juga sesuatu yang sedang dia pikirkan. Di sampingnya, Khanza sesekali melirik. Sedikit khawatir dengan tingkah wali kelas sekaligus guru bahasa Inggrisnya tersebut. Bahkan, pengakuan cinta Kenzo tidak terlalu dipikirkan oleh Khanza. Khanza yang sedikitnya berubah. Berubah karena ingatan mengenai kehidupannya di masa lalu sudah kembali sepenuhnya. Cewek itu memang masih cuek dan datar, tapi sudah mulai terbuka sedikit. Khanza jadi lebih sering membuka percakapan. Kepada Kenzo, kepada Shio, Keanu dan Ven. Mengenai pengakuan cinta Kenzo, jujur saja, Khanza merasa kaget sekaligus senang. Ini pertama kalinya dia mendapatkan pernyataan cinta. Ini pertama kal
Bahkan ketika kamu merasa dunia memusuhimu, memberikanmu ketakutan, kelemahan, kehancuran, masih ada sesuatu yang akan membangkitkanmu dari perasaan tersebut...Pagi ini lain dari biasanya. Perasaannya mengatakan demikian. Entah apa yang membuatnya merasakan hal tersebut, hanya saja, ketika dirinya terbangun dari mimpi buruk yang selalu menemaninya setiap malam, sesuatu yang aneh menyerang hatinya. Seperti biasanya, dia duduk terlebih dahulu di tempat tidur, menatap datar dan kosong ke arah selimut yang menutupi sebagian tubuhnya, kemudian memejamkan mata. Mengingat kembali semua mimpi buruk yang dialaminya, baik dalam bentuk denotasi maupun konotasi. Kemudian, jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya, se
“Good morning, class!” Sapaan dari Kenzo dibalas dengan antusias oleh semua orang di dalam kelas, yang tentu saja lebih didominasi oleh suara para siswi ketimbang para siswa. Kenzo tersenyum ramah dan berjalan menuju meja guru, kemudian menaruh beberapa buku di atasnya, juga papan berisikan daftar nama para siswa-siswinya. “Mister Kenzo?” Kenzo mengangkat kepala dari daftar nama para siswanya dan menatap salah satu siswi yang duduk di dekat jendela. Siswi berambut pendek sebahu itu tersenyum lebar dan menatap Kenzo dengan tatapan memuja. “Yes?” “I
Kenzo sedang tenggelam dalam lamunan, ketika dia mendengar suara gaduh di samping kamarnya. Tersadar dari dunia khayalnya sendiri, Kenzo mengerutkan kening dan mematikan rokoknya. Dia masuk ke dalam rumah—sebelumnya, cowok dua puluh lima tahun itu sedang merokok sambil memikirkan Khanza dan kemampuan supernaturalnya di beranda—kemudian menuju pintu kamar. Setelah memutar anak kunci sebanyak dua kali, Kenzo membuka pintu dan menengok ke kamar sebelah. Ke kamar Khanza. Apa yang terjadi pada cewek anti sosial itu? Kenapa terdengar banyak suara gaduh dari dalam kamarnya? Membiarkan pintu kamarnya terbuka sedikit, Kenzo mendekati pintu kamar Khanza dan berdiri di depannya. Cow
Kedua mata Khanza perlahan terbuka. Hal pertama yang dilihatnya adalah langit-langit kamarnya. Meringis menahan rasa pusing yang mendera, Khanza memijat pelipisnya. Memejamkan matanya sejenak, cewek itu berusaha mengingat apa yang sudah terjadi. Dia ingat, dia melihat wali kelas sekaligus penghuni kamar kost di sampingnya—Kenzo, sedang berdiri di depan pintu kamarnya sambil mengetuk daun pintu tak berdosa itu dengan membabi-buta. Lalu, mereka berbincang sebentar, masuk ke dalam kamar dan... dan... Khanza kembali membuka kedua mata dan mendesah. Dia tidak ingat apapun setelah itu. Perlahan, Khanza bangkit dari posisi tidurnya dan menarik napas panjang. Keningnya berkerut kala menyadari dia berada di bagian kanan ranjang dan bukannya di bagian kiri di dekat dinding seperti biasa. Dia juga merasa bagian kiri ranjangnya sedikit menekan
Erangan pelan yang berasal dari atas tempat tidur Khanza membuat Keanu mengalihkan tatapannya dari novel yang sedang dia baca. Tersenyum dan menutup novel tersebut hanya dengan sebelah tangan, Keanu lantas bangkit dan berjalan ke arah tempat tidur. Kenzo memegang kepalanya yang terasa sedikit pusing dan bangun dari posisi tidurnya. Cowok itu kemudian duduk, menatap ke seluruh ruangan dan menyadari bahwa ini bukanlah ruang kelas, juga bukan kamarnya, melainkan kamar Khanza. “You’re awake now, huh?” tanya Keanu. Mendengar suara itu, Kenzo menoleh dan mendongak. Dia mengerutkan kening karena menemukan sosok Keanu berdiri tepat di hadapannya sambil tersenyum, sebelum akhirnya cowok tersebut duduk di atas tempat tidur, tepat di sampingnya. Ken
Ini di mana? Khanza menatap sekeliling dan mengerutkan kening. Cewek itu memeluk tubuhnya sendiri dan terus berjalan membelah kegelapan. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari pertolongan. Tempat ini begitu dingin dan sunyi. Seolah-olah, tidak ada cahaya yang pernah memasukinya. Kemudian, suara tawa itu terdengar. Begitu jelas dan menakutkan. Khanza berhenti melangkah dan memasang sikap waspada. Ini adalah tawa yang selalu dia dengar di dalam mimpinya. Tawa dari musuh terbesarnya. Musuh yang menginginkannya. Musuh yang ingin mengambil alih tubuhnya untuk melakukan kejahatan, kemudian membuang roh nya ke tempat paling kejam dan menyeramkan. “Hoo... jadi sekarang kau sudah memiliki penjaga, gadis kecilku?”
Tahun 1818... Khanza tersenyum saat melihat anaknya dan Kenzo—Ksatria, berlatih pedang bersama dengan Ven. Adik cowoknya itu terlihat sangat bersemangat melatih Ksatria untuk menjadi seorang yang kuat dan hebat, seperti Kenzo. Ven memang sangat mengagumi kakak iparnya tersebut. Menurutnya, Kenzo adalah sosok yang baik hati, adil dan tentu saja kuat. “Ksatria, ayo istirahat dulu, Nak.” Khanza mendekati anaknya yang tahun ini memasuki usia tujuh tahun. Mendengar namanya dipanggil, Ksatria tersenyum lebar dan bergegas menghampiri Khanza, kemudian memeluk ibunya tersebut. Ven sendiri mendesah panjang dan duduk begitu saja di atas rerumputan. Di usianya yang masih menginjak tujuh tahun, Ven harus mengakui bahwa k
Sepanjang perjalanan pulang, Kenzo tidak bersuara sama sekali. Cowok itu nampak serius dengan jalanan di depannya, juga sesuatu yang sedang dia pikirkan. Di sampingnya, Khanza sesekali melirik. Sedikit khawatir dengan tingkah wali kelas sekaligus guru bahasa Inggrisnya tersebut. Bahkan, pengakuan cinta Kenzo tidak terlalu dipikirkan oleh Khanza. Khanza yang sedikitnya berubah. Berubah karena ingatan mengenai kehidupannya di masa lalu sudah kembali sepenuhnya. Cewek itu memang masih cuek dan datar, tapi sudah mulai terbuka sedikit. Khanza jadi lebih sering membuka percakapan. Kepada Kenzo, kepada Shio, Keanu dan Ven. Mengenai pengakuan cinta Kenzo, jujur saja, Khanza merasa kaget sekaligus senang. Ini pertama kalinya dia mendapatkan pernyataan cinta. Ini pertama kal
“Di mana ini?” Khanza terus berjalan, meski cewek itu tidak tahu di mana dirinya sekarang. Yang jelas, dia berada di sebuah ruangan berwarna putih. Tidak ada apapun di tempat ini. Kosong, hampa. Itulah yang Khanza rasakan. Sampai kemudian, langkah Khanza terhenti begitu dia menyadari seseorang mendekatinya dari kejauhan. “Siapa?” tanya Khanza dengan suara lantangnya. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuh. Lalu, entah dorongan darimana, Khanza memanggil nama Kenzo berulang kali di dalam hatinya. “Siapa di sana?!” Sosok itu perlahan terlihat, membuat Khanza menyipitkan mata karena cahaya yang mengelilingi orang tersebut. Kemudian, di saat mata Khanza sudah bisa beradaptasi dengan cahaya itu, Khanza tersentak. Cewek itu mundur dua
Tahun 1818... Khanza tersenyum saat melihat anaknya dan Kenzo—Ksatria, berlatih pedang bersama dengan Ven. Adik cowoknya itu terlihat sangat bersemangat melatih Ksatria untuk menjadi seorang yang kuat dan hebat, seperti Kenzo. Ven memang sangat mengagumi kakak iparnya tersebut. Menurutnya, Kenzo adalah sosok yang baik hati, adil dan tentu saja kuat. “Ksatria, ayo istirahat dulu, Nak.” Khanza mendekati anaknya yang tahun ini memasuki usia tujuh tahun. Mendengar namanya dipanggil, Ksatria tersenyum lebar dan bergegas menghampiri Khanza, kemudian memeluk ibunya tersebut. Ven sendiri mendesah panjang dan duduk begitu saja di atas rerumputan. Di usianya yang masih menginjak tujuh tahun, Ven harus mengakui bahwa k
Ini di mana? Khanza menatap sekeliling dan mengerutkan kening. Cewek itu memeluk tubuhnya sendiri dan terus berjalan membelah kegelapan. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari pertolongan. Tempat ini begitu dingin dan sunyi. Seolah-olah, tidak ada cahaya yang pernah memasukinya. Kemudian, suara tawa itu terdengar. Begitu jelas dan menakutkan. Khanza berhenti melangkah dan memasang sikap waspada. Ini adalah tawa yang selalu dia dengar di dalam mimpinya. Tawa dari musuh terbesarnya. Musuh yang menginginkannya. Musuh yang ingin mengambil alih tubuhnya untuk melakukan kejahatan, kemudian membuang roh nya ke tempat paling kejam dan menyeramkan. “Hoo... jadi sekarang kau sudah memiliki penjaga, gadis kecilku?”
Erangan pelan yang berasal dari atas tempat tidur Khanza membuat Keanu mengalihkan tatapannya dari novel yang sedang dia baca. Tersenyum dan menutup novel tersebut hanya dengan sebelah tangan, Keanu lantas bangkit dan berjalan ke arah tempat tidur. Kenzo memegang kepalanya yang terasa sedikit pusing dan bangun dari posisi tidurnya. Cowok itu kemudian duduk, menatap ke seluruh ruangan dan menyadari bahwa ini bukanlah ruang kelas, juga bukan kamarnya, melainkan kamar Khanza. “You’re awake now, huh?” tanya Keanu. Mendengar suara itu, Kenzo menoleh dan mendongak. Dia mengerutkan kening karena menemukan sosok Keanu berdiri tepat di hadapannya sambil tersenyum, sebelum akhirnya cowok tersebut duduk di atas tempat tidur, tepat di sampingnya. Ken
Kedua mata Khanza perlahan terbuka. Hal pertama yang dilihatnya adalah langit-langit kamarnya. Meringis menahan rasa pusing yang mendera, Khanza memijat pelipisnya. Memejamkan matanya sejenak, cewek itu berusaha mengingat apa yang sudah terjadi. Dia ingat, dia melihat wali kelas sekaligus penghuni kamar kost di sampingnya—Kenzo, sedang berdiri di depan pintu kamarnya sambil mengetuk daun pintu tak berdosa itu dengan membabi-buta. Lalu, mereka berbincang sebentar, masuk ke dalam kamar dan... dan... Khanza kembali membuka kedua mata dan mendesah. Dia tidak ingat apapun setelah itu. Perlahan, Khanza bangkit dari posisi tidurnya dan menarik napas panjang. Keningnya berkerut kala menyadari dia berada di bagian kanan ranjang dan bukannya di bagian kiri di dekat dinding seperti biasa. Dia juga merasa bagian kiri ranjangnya sedikit menekan
Kenzo sedang tenggelam dalam lamunan, ketika dia mendengar suara gaduh di samping kamarnya. Tersadar dari dunia khayalnya sendiri, Kenzo mengerutkan kening dan mematikan rokoknya. Dia masuk ke dalam rumah—sebelumnya, cowok dua puluh lima tahun itu sedang merokok sambil memikirkan Khanza dan kemampuan supernaturalnya di beranda—kemudian menuju pintu kamar. Setelah memutar anak kunci sebanyak dua kali, Kenzo membuka pintu dan menengok ke kamar sebelah. Ke kamar Khanza. Apa yang terjadi pada cewek anti sosial itu? Kenapa terdengar banyak suara gaduh dari dalam kamarnya? Membiarkan pintu kamarnya terbuka sedikit, Kenzo mendekati pintu kamar Khanza dan berdiri di depannya. Cow
“Good morning, class!” Sapaan dari Kenzo dibalas dengan antusias oleh semua orang di dalam kelas, yang tentu saja lebih didominasi oleh suara para siswi ketimbang para siswa. Kenzo tersenyum ramah dan berjalan menuju meja guru, kemudian menaruh beberapa buku di atasnya, juga papan berisikan daftar nama para siswa-siswinya. “Mister Kenzo?” Kenzo mengangkat kepala dari daftar nama para siswanya dan menatap salah satu siswi yang duduk di dekat jendela. Siswi berambut pendek sebahu itu tersenyum lebar dan menatap Kenzo dengan tatapan memuja. “Yes?” “I
Bahkan ketika kamu merasa dunia memusuhimu, memberikanmu ketakutan, kelemahan, kehancuran, masih ada sesuatu yang akan membangkitkanmu dari perasaan tersebut...Pagi ini lain dari biasanya. Perasaannya mengatakan demikian. Entah apa yang membuatnya merasakan hal tersebut, hanya saja, ketika dirinya terbangun dari mimpi buruk yang selalu menemaninya setiap malam, sesuatu yang aneh menyerang hatinya. Seperti biasanya, dia duduk terlebih dahulu di tempat tidur, menatap datar dan kosong ke arah selimut yang menutupi sebagian tubuhnya, kemudian memejamkan mata. Mengingat kembali semua mimpi buruk yang dialaminya, baik dalam bentuk denotasi maupun konotasi. Kemudian, jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya, se