Erangan pelan yang berasal dari atas tempat tidur Khanza membuat Keanu mengalihkan tatapannya dari novel yang sedang dia baca.
Tersenyum dan menutup novel tersebut hanya dengan sebelah tangan, Keanu lantas bangkit dan berjalan ke arah tempat tidur. Kenzo memegang kepalanya yang terasa sedikit pusing dan bangun dari posisi tidurnya. Cowok itu kemudian duduk, menatap ke seluruh ruangan dan menyadari bahwa ini bukanlah ruang kelas, juga bukan kamarnya, melainkan kamar Khanza.
“You’re awake now, huh?” tanya Keanu.
Mendengar suara itu, Kenzo menoleh dan mendongak. Dia mengerutkan kening karena menemukan sosok Keanu berdiri tepat di hadapannya sambil tersenyum, sebelum akhirnya cowok tersebut duduk di atas tempat tidur, tepat di sampingnya. Kenzo baru sadar kalau aksen bahasa Inggris Keanu sangat bagus, seperti orang Inggris pada umumnya.
“Kenapa gue ada di kamar Khanza? Seingat gue, gue lagi di kelas dan sepertinya gue ketiduran.” Kenzo mengambil kacamata yang ada di atas meja di samping tempat tidur.
“Lo pingsan,” kata Keanu memulai penjelasan. “Gue nggak begitu paham sama apa yang terjadi, tapi Khanza menelepon gue dan suaranya terdengar panik. Dia cuma bilang kalau lo tiba-tiba pingsan setelah memeluk dia dan mengucapkan serentetan kata yang nggak dipahami sama cewek itu.”
“Gue meluk Khanza?” tanya Kenzo dengan nada tidak percaya. Benar-benar tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi pada dirinya. “Kenapa gue meluk dia? Keanu, gue benar-benar minta maaf sama lo. Gue sama sekali nggak ingat kalau gue meluk Khanza sebelum ini dan gue juga nggak ada maksud kotor sama sekali dengan perbuatan gue itu.”
Keanu semakin tersenyum dan meninju pelan lengan Kenzo.
“Easy, Zo. Gue tau lo bukan tipe cowok seperti itu.”
Jadi... Kenzo dirasuki sesuatu? Tapi... siapa? Kenapa Khanza bilang kalau Kenzo mengatakan pada cewek itu bahwa dia akhirnya menemukannya?
“Mm... soal kalimat yang gue ucapin ke Khanza,” ucap Kenzo tiba-tiba, memutus pemikiran Keanu. “Apa yang gue ucapin ke dia?”
Hening. Baik Kenzo dan Keanu sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Kenzo yang mencoba mengingat apa saja yang sudah dia katakan dan lakukan sebelum ini pada Khanza, Keanu yang bimbang apakah harus memberitahu Kenzo mengenai ucapannya. Akhirnya, setelah menarik napas panjang, Keanu berkata, “Lo bilang ke Khanza, ‘Akhirnya, aku menemukanmu’.”
Kenzo sedikit kaget dengan kalimat Keanu, tapi kemudian menunduk untuk berpikir. Kenapa? Kenapa dia bisa mengucapkan kalimat itu pada Khanza tanpa disadarinya? Ah, tunggu. Dia ingat sekarang. Dia ingat melihat Khanza berada di pintu kelas. Tapi, setelah melihat Khanza, dia melupakan semuanya. Dan...
“Sebelum gue pingsan, gue ingat kalau gue ketiduran di kelas dan mimpi sesuatu.”
“Mimpi?”
Kenzo mengangguk. “Mimpi yang cukup aneh. Tentang dua kerajaan. Tentang perang antar manusia dan makhluk-makhluk jahat. Tentang sepasang kekasih yang dibunuh oleh pihak musuh. Juga tentang sumpah untuk bertemu kembali.”
Sumpah untuk bertemu kembali?
Baru saja Keanu ingin menanyakan sesuatu, pintu kamar Khanza terbuka. Kenzo dan Keanu otomatis menoleh dan menemukan Khanza di ambang pintu. Cewek itu menatap datar ke arah Kenzo dan Keanu, lantas masuk ke dalam kamar dan membiarkan pintu kamarnya terbuka lebar untuk menghindari omongan yang tidak-tidak.
“Jadi?” tanya Keanu pada Khanza. Mendengar itu, Kenzo mengangkat satu alis dan menatap Khanza serta Keanu bergantian.
Ada apa?
“Nothing,” jawab Khanza pelan.
Keanu meneliti Khanza. Jelas, cewek itu sedang menyembunyikan sesuatu. Dia meminta izin pada Keanu untuk mencari Ven, karena menurut Khanza, Ven ada di dalam kelas dan menangis. Kemudian, Khanza berkata bahwa dia mendengar suara seorang wanita, dan tahu-tahu saja, bayangan seorang wanita cantik dengan rambut indahnya muncul di benak saudara sepupunya itu. Khanza juga bilang bahwa wanita itu menyebut nama Ven dan berkata bahwa Ven adalah adiknya yang sangat baik hati.
Di tempatnya, Khanza terdiam. Dia sedang mengaduk cokelat panasnya sambil memikirkan Ven. Dia berhasil bertemu dengan Ven, tapi Ven seolah menghindarinya.
Tolong jangan biarin masa lalu kembali terulang, Khanza. Gue nggak sanggup melihat hal itu lagi, meskipun kita hidup di dunia ini sebagai orang lain yang tidak terikat.
Itu adalah kata-kata yang diucapkan oleh Ven, sebelum cowok tampan tersebut menghilang. Kata-kata yang terus dipikirkan oleh Khanza apa maknanya. Lalu, Khanza mengernyit dan dia mengerjap saat mendengar suara khawatir Kenzo. Begitu dia menoleh, Khanza menemukan Kenzo sudah berada di sisinya, memegang erat tangannya dan menatapnya dengan tatapan cemas.
“Tangan lo, Za! Lo kenapa bisa seceroboh ini, sih?! Lo mikirin apa, sampai-sampai nggak fokus dan biarin air panas itu tumpah ke tangan lo?!”
Dada Khanza kini bergemuruh tatkala Kenzo menarik tangannya dan meniup pelan punggung tangannya yang mulai memerah. Jantungnya seakan diremas dengan kuat. Sangat sesak. Matanya mulai memanas, tanpa dia tahu penyebabnya. Kemudian, dia mendengar suara tawa seorang wanita. Dan... bayangan wanita cantik itu kembali hadir. Kali ini, dia ditemani seorang pria yang sedang tersenyum lebar. Seorang pria lainnya juga ikut tertawa tak jauh dari kedua orang tersebut.
Detik itu juga, Khanza menyentak tangan Kenzo dan mundur beberapa langkah. Keanu bangkit dari posisi duduknya, sementara Kenzo menatap heran ke arah Khanza.
“Khanza? Lo kenapa?” tanya Kenzo. Dia maju dua langkah, tapi terpaksa berhenti karena Khanza merentangkan tangan kanannya ke depan. Meminta secara tersirat pada Kenzo untuk berhenti.
“Gue... gue nggak apa-apa,” jawab Khanza. Jantungnya kini semakin berdetak kencang. “Gue... gue keluar sebentar.”
Tanpa membiarkan Kenzo dan Keanu merespon, Khanza segera berlari keluar dari kamarnya. Meskipun Khanza mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja, tapi Kenzo merasa sangat cemas. Dia memutuskan untuk mengejar Khanza. Pun dengan Keanu. Namun, niat Keanu terhenti saat sosok transparan Ven muncul tepat di hadapannya.
“Ven?”
Ven mengangkat wajah. Keanu terperangah saat menyadari bahwa wajah Ven begitu kacau dan kedua mata cowok itu sedikit berkaca.
“Ven? Lo kenapa?”
Ven mengepalkan kedua tangan dan kembali menunduk. Kini, Keanu bisa melihat bahu transparan Ven bergetar. Ketika Keanu akan kembali bersuara, Ven telah lebih dulu berbicara.
“Tolong... tolong jangan biarin masa lalu kembali terulang, Keanu....”
Apa?
“Tolong... tolong lindungi Khanza dan Kenzo. Gue mohon. Gue nggak akan sanggup menyaksikan hal yang sama kembali terulang. Tolong Khanza... tolong Kakak gue... tolong dia....”
Ven membeku.
Kakak? Bukannya Ven sudah meninggal dua tahun silam dan cowok itu lebih tua daripada Khanza? Lantas... apa maksudnya kalau Khanza adalah... Kakaknya?
###
Di taman kompleks, Khanza duduk merenung sambil memeluk kedua kakinya.
Meskipun sudah malam, Khanza seakan tidak peduli dengan keselamatan dirinya sendiri. Taman ini begitu sepi. Beberapa cowok terkadang melewati taman ini sambil bersiul dan menggodanya, tapi Khanza tidak ambil pusing. Cewek itu tenggelam dalam dunia dan pikirannya sendiri.
Memikirkan kalimat Ven, memikirkan bayangan seorang wanita yang sudah dua kali datang ke benaknya.
Beberapa makhluk halus silih berganti mengganggunya, tapi Khanza mengabaikan. Terkadang mereka tertawa menakutkan, mencoba berbicara dengannya, bahkan menampakkan bentuk yang paling menyeramkan, tapi, Khanza tetap tidak memedulikan mereka. Sampai kemudian, Khanza mengerutkan kening saat dia merasa tidak mendapatkan gangguan lagi. Cewek itu mendongak dan menghela napas berat ketika mendapati sosok Kenzo ada di hadapannya.
“Kesannya lo nggak suka kalau gue ada di sini,” kata Kenzo. Cowok itu tersenyum tipis. Dari tatapannya, dia terlihat lega karena Khanza baik-baik saja. Tanpa meminta persetujuan, Kenzo duduk di samping Khanza dan melirik cewek itu.
“Kenapa lo ada di sini?” tanya Khanza datar. “Lo nggak takut kalau misalkan ada guru lain atau siswa sekolah kita yang ngeliat lo dan gue berduaan malam-malam begini di taman? Konsekuensinya, lo bisa dipecat.”
“It’s ok. Asal gue bisa memastikan keselamatan lo, itu udah cukup.”
Hati Khanza berdesir dan menghangat begitu saja ketika mendengar kalimat Kenzo barusan. Tapi, mendadak semuanya hilang ketika dia mengingat cewek bernama Nandini, juga wanita cantik yang selalu mampir di benaknya. Tanpa sadar, Khanza menarik napas panjang dan mendongak untuk menatap langit malam.
“Kalau gue boleh tau, kenapa tadi lo kabur begitu aja? Kenapa lo seolah... takut sama gue?” tanya Kenzo.
Khanza membeku, namun dia cepat-cepat menormalkan sikapnya lagi. Dia menatap Kenzo yang ternyata sudah lebih dulu menatapnya. Keduanya saling tatap, berusaha menembus dunia masing-masing.
Semuanya bisa Khanza tebak dalam tatapan Kenzo. Cowok itu seakan tidak menyembunyikan apapun, karenanya, Khanza bisa melihat dan membaca ekspresi Kenzo melalui mata cowok tersebut. Sementara bagi Kenzo, dia sama sekali tidak bisa masuk ke dalam dunia Khanza. Cewek di hadapannya itu sangat pintar dalam menyembunyikan apapun.
“Nggak ada apa-apa. Cuma refleks.” Khanza mengangkat bahu tak acuh dan sengaja memberikan tatapan bete ke arah Kenzo. “Lo lupa kalau lo meluk gue di kelas secara tiba-tiba?”
Kenzo meringis dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Cowok itu kemudian menggeleng dan tertawa begitu saja, membuat Khanza mengerutkan kening dan memiringkan kepala.
“Kenapa lo ketawa?”
“Sorry, sorry,” kata Kenzo setelah tawanya sedikit reda. “Gue nggak tau apa yang terjadi sama gue waktu itu. Gue bahkan nggak ingat kalau gue meluk elo dan mengucapkan kalimat aneh itu.”
“Jadi, Kak Keanu udah cerita ke lo?”
“Yup!” Kenzo mengangguk. “Maaf banget, Za... gue nggak bermaksud jelek ke elo, kok.”
Khanza menghela napas. Dia mendapat gagasan bahwa mungkin saja, Kenzo dirasuki sesuatu. Kalau dipikir-pikir lagi oleh Khanza, menurutnya Kenzo adalah sosok yang misterius. Cowok itu bisa menyingkirkan para makhluk halus yang memiliki niat jahat, bisa melihat dan mendengar mereka, tetapi kurang bisa mendeteksi keberadaan mereka. Contohnya saja, musuh besar Khanza dan Keanu. Kenzo bisa mengusirnya dari tubuh Khanza, tapi tidak bisa merasakan keberadaannya. Juga, para makhluk halus yang tadi mengganggu Khanza di taman ini. Mereka semua langsung menghilang tatkala Kenzo datang.
Seolah-olah, Kenzo memiliki kekuatan yang begitu hebat, karena hanya dengan kehadiran cowok itu saja, para makhluk halus tadi menjadi takut.
“Zo,” panggil Khanza. Karena ini diluar sekolah, keduanya memakai bahasa non-formal. Bahasa yang biasa digunakan para remaja pada umumnya. Lagipula, umur mereka tidak terlalu jauh. “Boleh gue tanya sesuatu?”
“Sure. Go ahead.”
Khanza agak ragu, tapi dia memantapkan hati.
“Apa lo bisa merasakan keberadaan para makhluk halus?”
Kenzo mengerjap dan detik berikutnya dia tersenyum. Cowok itu bersandar di bangku taman, kemudian mendesah keras. Pertanyaan itu sering dia terima. Dia memang bisa melihat, mendengar bahkan mengusir para makhluk halus yang jahat, hanya saja, dia selalu terlambat mendeteksi keberadaan mereka.
“Nggak terlalu.”
“Maksudnya?”
Kenzo melirik sekilas dan menahan senyum ketika melihat wajah dan tatapan polos serta penasaran milik Khanza. Cewek itu agak berbeda sekarang, jika dibandingkan dengan sikap-sikapnya sebelum ini.
“Gue bisa dibilang selalu terlambat mendeteksi keberadaan mereka.” Cowok itu mulai menjelaskan. “Bisa dibilang, gue agak lemot. Gue baru menyadari keberadaan para makhluk itu kalau ada sesuatu yang terlihat ganjil dan nggak beres. Sesuatu yang nggak bisa dipikirkan dengan logika. Saat itulah, gue sadar kalau para makhluk halus tersebut mulai beraksi. Dan, tau-tau aja, mata gue mulai menyesuaikan keadaan sehingga gue bisa melihat wujud mereka.”
Jadi itu penyebabnya... itu juga yang bikin Kenzo nggak bisa ngerasain keberadaan musuh terbesar gue dan Kak Keanu.
“Tapi, kakek gue bilang, gue dilindungi sama sebuah kekuatan besar. Hmm, mungkin orang-orang nyebutnya guardian spirit or something?”
Dilindungi?
“Kayak... malaikat penjaga?”
Kenzo tertawa dan mengangguk. “Something like that,” katanya. “Jadi, guardian spirit ini yang menjaga dan melindungi gue sejak kecil. Niatnya sih supaya gue nggak bisa mendeteksi keberadaan para makhluk halus, sehingga gue nggak harus berurusan sama mereka atau diganggu dan disakiti oleh mereka. Cuma, beranjak dewasa, kemampuan itu datang sendiri ke gue. Pertama, gue bisa mendengar mereka. Kedua, dalam hal tertentu, gue mulai bisa melihat mereka. Ketiga, dengan bantuan guardian spirit gue, gue bisa menyingkirkan mereka.”
Khanza tersenyum tipis dan mengangguk. Keluarga Kenzo sangat harmonis. Mereka saling membantu dan melindungi. Bahkan, Kenzo memiliki guardian spirit yang bertugas untuk menjaganya. Seandainya saja, keluarganya sendiri juga bersikap seperti itu...
Dia anak yang dikutuk! Dia anak pembawa sial! Kita harus mengusirnya!
Seandainya kamu tidak pernah lahir, mungkin nasib kami tidak akan sesial dan seburuk ini!
Dasar anak terkutuk! Kenapa kamu tidak mati saja, hah?!
Lihat! Karena kemampuannya itu, ayahnya meninggal dunia dan ibunya menjadi gila. Nggak lama, ibunya pun meninggal dunia.
Hei, dia si anak yang katanya bisa melihat hantu. Lebih baik, kita menjauh darinya. Dia bisa mendatangkan kesialan dan nasib buruk!
DEG!
Kalimat demi kalimat menyakitkan yang pernah didengarnya dulu sekali, kini mulai menyeruak. Satu per satu, kenangan buruk dan menyedihkan Khanza mulai naik ke permukaan. Mengurungnya dalam kegelapan, memaksanya untuk mengunci dirinya di dalam kegelapan itu. Khanza menggeleng sambil meremas dadanya.
Sakit. Rasanya sakit.
“Khanza?” panggil Kenzo, ketika dia melihat wajah pucat dan penuh peluh milik cewek di sampingnya itu. Kenzo memegang lengan Khanza dan terperanjat kala merasakan dingin pada kulit putihnya. “Hei, Khanza! Lo kenapa?!” serunya panik dan cemas.
Khanza tidak bisa lagi mendengar suara Kenzo. Dadanya terasa sakit dan sesak. Semua kalimat dan kenangan buruk itu semakin mengurungnya. Napasnya mulai terasa satu-satu. Semakin lama, Khanza semakin kuat meremas dada kirinya itu.
“Khanza!”
Percuma.
Khanza seolah terkurung dalam kegelapan. Kemudian, ketika dia menoleh, Kenzo tak ada di sana. Sepi, dingin, gelap, itulah yang Khanza rasakan. Kemudian, Khanza mendengar tawa itu. Tawa menyeramkan yang selalu menghantuinya dulu jika dia tidak sadarkan diri, dan baru-baru ini kembali mendatanginya. Kemudian, sesuatu mengalungi leher Khanza, membuatnya ketakutan.
“Hai, gadis kecilku... datanglah kepadaku. Serahkan jiwamu, padaku. Kelak, kau tidak akan pernah merasakan kesedihan dan ketakutan lagi. Kau akan tenang dan aman bersamaku.”
“KHANZA!”
Teriakan itu membuat Khanza tersentak dan menyapukan pandangannya ke segala arah. Masih tetap sama. Masih kosong, tidak ada siapapun. Hanya saja, dia kini tidak lagi merasakan sesuatu yang tadi mengalungi lehernya dari belakang. Kini dia merasa lebih tenang dan aman. Kemudian, sebuah cahaya muncul di depan matanya. Dia mengulurkan tangan, berusaha menggapai cahaya itu.
“Khanza? Lo baik-baik aja, kan?!”
Wajah dan suara panik Kenzo menyambutnya. Bisa Khanza lihat, cowok itu sedang mendekapnya erat. Sebelah tangannya melingkari pundak Khanza dan sebelah tangannya yang lain menggenggam tangannya dengan kuat. Berbagi kehangatan dan keamanan.
“Gue....”
“Lo tiba-tiba pingsan tadi. Nggak begitu lama, sih. Kenapa? Lo ngerasa sakit, Za? Jantung lo nggak apa-apa, kan?”
Khanza tersentak. Dia ingin melepaskan diri dari dekapan Kenzo, namun cowok itu tidak membiarkan.
“Gue tau semua. Maaf. Malam itu, gue udah bangun dan mendengar percakapan lo juga Keanu. Maafin gue, Za.”
Khanza hanya diam dan memejamkan kedua mata. Cewek itu merasa pusing dan lemah. Lalu, dia tertidur begitu saja dalam dekapan Kenzo.
Dari balik batang pohon berdaun rindang, seseorang mengamati Khanza dan Kenzo. Tatapannya tidak terbaca dan wajahnya tanpa ekspresi. Kemudian, angin kencang berhembus, menggugurkan daun dari pohon besar tersebut.
Kenzo menatap pohon besar berdaun rindang tak jauh di depannya. Matanya menajam. Angin kencang menggugurkan daun dari pohon besar itu, hingga daun-daunnya terbang ke arah Kenzo. Dia semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh mungil Khanza yang sedang tertidur.
“Gue tau lo di sana,” kata Kenzo dengan nada tegas dan dingin.
Orang tersebut keluar dari tempat persembunyiannya dan mendekati Kenzo. Kenzo tetap diam. Cowok itu mengamati bagaimana orang tersebut kini membungkuk sedikit.
“Apa Master baik-baik saja? Bagaimana dengan Nona Khanza?”
“We are fine. Tolong siapkan kamar untuk Khanza di rumah. Gue akan bawa dia ke rumah utama. Dia harus dilindungi semaksimal mungkin. Mengerti?”
Orang tersebut membungkuk lagi dan menaruh tangan kanannya ke dada kiri.
“Baik, Master. Akan saya laksanakan.”
###
Ini di mana? Khanza menatap sekeliling dan mengerutkan kening. Cewek itu memeluk tubuhnya sendiri dan terus berjalan membelah kegelapan. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari pertolongan. Tempat ini begitu dingin dan sunyi. Seolah-olah, tidak ada cahaya yang pernah memasukinya. Kemudian, suara tawa itu terdengar. Begitu jelas dan menakutkan. Khanza berhenti melangkah dan memasang sikap waspada. Ini adalah tawa yang selalu dia dengar di dalam mimpinya. Tawa dari musuh terbesarnya. Musuh yang menginginkannya. Musuh yang ingin mengambil alih tubuhnya untuk melakukan kejahatan, kemudian membuang roh nya ke tempat paling kejam dan menyeramkan. “Hoo... jadi sekarang kau sudah memiliki penjaga, gadis kecilku?”
Tahun 1818... Khanza tersenyum saat melihat anaknya dan Kenzo—Ksatria, berlatih pedang bersama dengan Ven. Adik cowoknya itu terlihat sangat bersemangat melatih Ksatria untuk menjadi seorang yang kuat dan hebat, seperti Kenzo. Ven memang sangat mengagumi kakak iparnya tersebut. Menurutnya, Kenzo adalah sosok yang baik hati, adil dan tentu saja kuat. “Ksatria, ayo istirahat dulu, Nak.” Khanza mendekati anaknya yang tahun ini memasuki usia tujuh tahun. Mendengar namanya dipanggil, Ksatria tersenyum lebar dan bergegas menghampiri Khanza, kemudian memeluk ibunya tersebut. Ven sendiri mendesah panjang dan duduk begitu saja di atas rerumputan. Di usianya yang masih menginjak tujuh tahun, Ven harus mengakui bahwa k
“Di mana ini?” Khanza terus berjalan, meski cewek itu tidak tahu di mana dirinya sekarang. Yang jelas, dia berada di sebuah ruangan berwarna putih. Tidak ada apapun di tempat ini. Kosong, hampa. Itulah yang Khanza rasakan. Sampai kemudian, langkah Khanza terhenti begitu dia menyadari seseorang mendekatinya dari kejauhan. “Siapa?” tanya Khanza dengan suara lantangnya. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuh. Lalu, entah dorongan darimana, Khanza memanggil nama Kenzo berulang kali di dalam hatinya. “Siapa di sana?!” Sosok itu perlahan terlihat, membuat Khanza menyipitkan mata karena cahaya yang mengelilingi orang tersebut. Kemudian, di saat mata Khanza sudah bisa beradaptasi dengan cahaya itu, Khanza tersentak. Cewek itu mundur dua
Sepanjang perjalanan pulang, Kenzo tidak bersuara sama sekali. Cowok itu nampak serius dengan jalanan di depannya, juga sesuatu yang sedang dia pikirkan. Di sampingnya, Khanza sesekali melirik. Sedikit khawatir dengan tingkah wali kelas sekaligus guru bahasa Inggrisnya tersebut. Bahkan, pengakuan cinta Kenzo tidak terlalu dipikirkan oleh Khanza. Khanza yang sedikitnya berubah. Berubah karena ingatan mengenai kehidupannya di masa lalu sudah kembali sepenuhnya. Cewek itu memang masih cuek dan datar, tapi sudah mulai terbuka sedikit. Khanza jadi lebih sering membuka percakapan. Kepada Kenzo, kepada Shio, Keanu dan Ven. Mengenai pengakuan cinta Kenzo, jujur saja, Khanza merasa kaget sekaligus senang. Ini pertama kalinya dia mendapatkan pernyataan cinta. Ini pertama kal
Bahkan ketika kamu merasa dunia memusuhimu, memberikanmu ketakutan, kelemahan, kehancuran, masih ada sesuatu yang akan membangkitkanmu dari perasaan tersebut...Pagi ini lain dari biasanya. Perasaannya mengatakan demikian. Entah apa yang membuatnya merasakan hal tersebut, hanya saja, ketika dirinya terbangun dari mimpi buruk yang selalu menemaninya setiap malam, sesuatu yang aneh menyerang hatinya. Seperti biasanya, dia duduk terlebih dahulu di tempat tidur, menatap datar dan kosong ke arah selimut yang menutupi sebagian tubuhnya, kemudian memejamkan mata. Mengingat kembali semua mimpi buruk yang dialaminya, baik dalam bentuk denotasi maupun konotasi. Kemudian, jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya, se
“Good morning, class!” Sapaan dari Kenzo dibalas dengan antusias oleh semua orang di dalam kelas, yang tentu saja lebih didominasi oleh suara para siswi ketimbang para siswa. Kenzo tersenyum ramah dan berjalan menuju meja guru, kemudian menaruh beberapa buku di atasnya, juga papan berisikan daftar nama para siswa-siswinya. “Mister Kenzo?” Kenzo mengangkat kepala dari daftar nama para siswanya dan menatap salah satu siswi yang duduk di dekat jendela. Siswi berambut pendek sebahu itu tersenyum lebar dan menatap Kenzo dengan tatapan memuja. “Yes?” “I
Kenzo sedang tenggelam dalam lamunan, ketika dia mendengar suara gaduh di samping kamarnya. Tersadar dari dunia khayalnya sendiri, Kenzo mengerutkan kening dan mematikan rokoknya. Dia masuk ke dalam rumah—sebelumnya, cowok dua puluh lima tahun itu sedang merokok sambil memikirkan Khanza dan kemampuan supernaturalnya di beranda—kemudian menuju pintu kamar. Setelah memutar anak kunci sebanyak dua kali, Kenzo membuka pintu dan menengok ke kamar sebelah. Ke kamar Khanza. Apa yang terjadi pada cewek anti sosial itu? Kenapa terdengar banyak suara gaduh dari dalam kamarnya? Membiarkan pintu kamarnya terbuka sedikit, Kenzo mendekati pintu kamar Khanza dan berdiri di depannya. Cow
Kedua mata Khanza perlahan terbuka. Hal pertama yang dilihatnya adalah langit-langit kamarnya. Meringis menahan rasa pusing yang mendera, Khanza memijat pelipisnya. Memejamkan matanya sejenak, cewek itu berusaha mengingat apa yang sudah terjadi. Dia ingat, dia melihat wali kelas sekaligus penghuni kamar kost di sampingnya—Kenzo, sedang berdiri di depan pintu kamarnya sambil mengetuk daun pintu tak berdosa itu dengan membabi-buta. Lalu, mereka berbincang sebentar, masuk ke dalam kamar dan... dan... Khanza kembali membuka kedua mata dan mendesah. Dia tidak ingat apapun setelah itu. Perlahan, Khanza bangkit dari posisi tidurnya dan menarik napas panjang. Keningnya berkerut kala menyadari dia berada di bagian kanan ranjang dan bukannya di bagian kiri di dekat dinding seperti biasa. Dia juga merasa bagian kiri ranjangnya sedikit menekan
Sepanjang perjalanan pulang, Kenzo tidak bersuara sama sekali. Cowok itu nampak serius dengan jalanan di depannya, juga sesuatu yang sedang dia pikirkan. Di sampingnya, Khanza sesekali melirik. Sedikit khawatir dengan tingkah wali kelas sekaligus guru bahasa Inggrisnya tersebut. Bahkan, pengakuan cinta Kenzo tidak terlalu dipikirkan oleh Khanza. Khanza yang sedikitnya berubah. Berubah karena ingatan mengenai kehidupannya di masa lalu sudah kembali sepenuhnya. Cewek itu memang masih cuek dan datar, tapi sudah mulai terbuka sedikit. Khanza jadi lebih sering membuka percakapan. Kepada Kenzo, kepada Shio, Keanu dan Ven. Mengenai pengakuan cinta Kenzo, jujur saja, Khanza merasa kaget sekaligus senang. Ini pertama kalinya dia mendapatkan pernyataan cinta. Ini pertama kal
“Di mana ini?” Khanza terus berjalan, meski cewek itu tidak tahu di mana dirinya sekarang. Yang jelas, dia berada di sebuah ruangan berwarna putih. Tidak ada apapun di tempat ini. Kosong, hampa. Itulah yang Khanza rasakan. Sampai kemudian, langkah Khanza terhenti begitu dia menyadari seseorang mendekatinya dari kejauhan. “Siapa?” tanya Khanza dengan suara lantangnya. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuh. Lalu, entah dorongan darimana, Khanza memanggil nama Kenzo berulang kali di dalam hatinya. “Siapa di sana?!” Sosok itu perlahan terlihat, membuat Khanza menyipitkan mata karena cahaya yang mengelilingi orang tersebut. Kemudian, di saat mata Khanza sudah bisa beradaptasi dengan cahaya itu, Khanza tersentak. Cewek itu mundur dua
Tahun 1818... Khanza tersenyum saat melihat anaknya dan Kenzo—Ksatria, berlatih pedang bersama dengan Ven. Adik cowoknya itu terlihat sangat bersemangat melatih Ksatria untuk menjadi seorang yang kuat dan hebat, seperti Kenzo. Ven memang sangat mengagumi kakak iparnya tersebut. Menurutnya, Kenzo adalah sosok yang baik hati, adil dan tentu saja kuat. “Ksatria, ayo istirahat dulu, Nak.” Khanza mendekati anaknya yang tahun ini memasuki usia tujuh tahun. Mendengar namanya dipanggil, Ksatria tersenyum lebar dan bergegas menghampiri Khanza, kemudian memeluk ibunya tersebut. Ven sendiri mendesah panjang dan duduk begitu saja di atas rerumputan. Di usianya yang masih menginjak tujuh tahun, Ven harus mengakui bahwa k
Ini di mana? Khanza menatap sekeliling dan mengerutkan kening. Cewek itu memeluk tubuhnya sendiri dan terus berjalan membelah kegelapan. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari pertolongan. Tempat ini begitu dingin dan sunyi. Seolah-olah, tidak ada cahaya yang pernah memasukinya. Kemudian, suara tawa itu terdengar. Begitu jelas dan menakutkan. Khanza berhenti melangkah dan memasang sikap waspada. Ini adalah tawa yang selalu dia dengar di dalam mimpinya. Tawa dari musuh terbesarnya. Musuh yang menginginkannya. Musuh yang ingin mengambil alih tubuhnya untuk melakukan kejahatan, kemudian membuang roh nya ke tempat paling kejam dan menyeramkan. “Hoo... jadi sekarang kau sudah memiliki penjaga, gadis kecilku?”
Erangan pelan yang berasal dari atas tempat tidur Khanza membuat Keanu mengalihkan tatapannya dari novel yang sedang dia baca. Tersenyum dan menutup novel tersebut hanya dengan sebelah tangan, Keanu lantas bangkit dan berjalan ke arah tempat tidur. Kenzo memegang kepalanya yang terasa sedikit pusing dan bangun dari posisi tidurnya. Cowok itu kemudian duduk, menatap ke seluruh ruangan dan menyadari bahwa ini bukanlah ruang kelas, juga bukan kamarnya, melainkan kamar Khanza. “You’re awake now, huh?” tanya Keanu. Mendengar suara itu, Kenzo menoleh dan mendongak. Dia mengerutkan kening karena menemukan sosok Keanu berdiri tepat di hadapannya sambil tersenyum, sebelum akhirnya cowok tersebut duduk di atas tempat tidur, tepat di sampingnya. Ken
Kedua mata Khanza perlahan terbuka. Hal pertama yang dilihatnya adalah langit-langit kamarnya. Meringis menahan rasa pusing yang mendera, Khanza memijat pelipisnya. Memejamkan matanya sejenak, cewek itu berusaha mengingat apa yang sudah terjadi. Dia ingat, dia melihat wali kelas sekaligus penghuni kamar kost di sampingnya—Kenzo, sedang berdiri di depan pintu kamarnya sambil mengetuk daun pintu tak berdosa itu dengan membabi-buta. Lalu, mereka berbincang sebentar, masuk ke dalam kamar dan... dan... Khanza kembali membuka kedua mata dan mendesah. Dia tidak ingat apapun setelah itu. Perlahan, Khanza bangkit dari posisi tidurnya dan menarik napas panjang. Keningnya berkerut kala menyadari dia berada di bagian kanan ranjang dan bukannya di bagian kiri di dekat dinding seperti biasa. Dia juga merasa bagian kiri ranjangnya sedikit menekan
Kenzo sedang tenggelam dalam lamunan, ketika dia mendengar suara gaduh di samping kamarnya. Tersadar dari dunia khayalnya sendiri, Kenzo mengerutkan kening dan mematikan rokoknya. Dia masuk ke dalam rumah—sebelumnya, cowok dua puluh lima tahun itu sedang merokok sambil memikirkan Khanza dan kemampuan supernaturalnya di beranda—kemudian menuju pintu kamar. Setelah memutar anak kunci sebanyak dua kali, Kenzo membuka pintu dan menengok ke kamar sebelah. Ke kamar Khanza. Apa yang terjadi pada cewek anti sosial itu? Kenapa terdengar banyak suara gaduh dari dalam kamarnya? Membiarkan pintu kamarnya terbuka sedikit, Kenzo mendekati pintu kamar Khanza dan berdiri di depannya. Cow
“Good morning, class!” Sapaan dari Kenzo dibalas dengan antusias oleh semua orang di dalam kelas, yang tentu saja lebih didominasi oleh suara para siswi ketimbang para siswa. Kenzo tersenyum ramah dan berjalan menuju meja guru, kemudian menaruh beberapa buku di atasnya, juga papan berisikan daftar nama para siswa-siswinya. “Mister Kenzo?” Kenzo mengangkat kepala dari daftar nama para siswanya dan menatap salah satu siswi yang duduk di dekat jendela. Siswi berambut pendek sebahu itu tersenyum lebar dan menatap Kenzo dengan tatapan memuja. “Yes?” “I
Bahkan ketika kamu merasa dunia memusuhimu, memberikanmu ketakutan, kelemahan, kehancuran, masih ada sesuatu yang akan membangkitkanmu dari perasaan tersebut...Pagi ini lain dari biasanya. Perasaannya mengatakan demikian. Entah apa yang membuatnya merasakan hal tersebut, hanya saja, ketika dirinya terbangun dari mimpi buruk yang selalu menemaninya setiap malam, sesuatu yang aneh menyerang hatinya. Seperti biasanya, dia duduk terlebih dahulu di tempat tidur, menatap datar dan kosong ke arah selimut yang menutupi sebagian tubuhnya, kemudian memejamkan mata. Mengingat kembali semua mimpi buruk yang dialaminya, baik dalam bentuk denotasi maupun konotasi. Kemudian, jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya, se