Bahkan ketika kamu merasa dunia memusuhimu, memberikanmu ketakutan, kelemahan, kehancuran, masih ada sesuatu yang akan membangkitkanmu dari perasaan tersebut...
Pagi ini lain dari biasanya. Perasaannya mengatakan demikian.
Entah apa yang membuatnya merasakan hal tersebut, hanya saja, ketika dirinya terbangun dari mimpi buruk yang selalu menemaninya setiap malam, sesuatu yang aneh menyerang hatinya. Seperti biasanya, dia duduk terlebih dahulu di tempat tidur, menatap datar dan kosong ke arah selimut yang menutupi sebagian tubuhnya, kemudian memejamkan mata.
Mengingat kembali semua mimpi buruk yang dialaminya, baik dalam bentuk denotasi maupun konotasi.
Kemudian, jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya, sehingga dia harus meremas kuat dadanya. Something is going wrong, she said it out loud in her heart. Hanya saja, sekuat apapun dia berpikir apa yang salah pada pagi hari ini, dia tidak bisa menemukannya.
Lalu, dia menyerah.
Cewek dengan rambut panjang tipis sepunggung dan berwarna hitam kemilau itu kini turun dari ranjang. Seperti diseret, dia berjalan menuju kamar mandi dan menutup pintunya dengan bantingan. Dibawah pancuran shower, lagi-lagi cewek itu berpikir.
Apa yang salah? Apa yang berbeda dengan hari ini? Apa sesuatu yang buruk akan terjadi? Apa dia akan... mati? Jika benar demikian, maka dia sangat menantikan hal tersebut.
Selesai membasahi seluruh tubuhnya, kecuali rambutnya karena dia memakai plastik penutup rambut, cewek itu keluar. Dia mengambil seragam sekolahnya yang digantung di dalam lemari, memakai satu demi satu seragamnya sesuai urutan. Pertama kemeja lengan panjang bergaris hitam dan merah, dipadu dengan rok lipit sebatas lutut berwarna hitam. Kemudian, dasi berwarna senada dengan rok dan kaus kaki putih sepanjang betis.
Selanjutnya, dia berjalan ke arah meja rias. Diperhatikannya sekilas wajah putih pucatnya. Semua orang berkata bahwa wajah pucatnya mengingatkan mereka akan para vampir di serial Twilight. Tapi, dia tidak peduli. Yang orang-orang itu lakukan memang berbisik di belakangnya, tapi dengan suara seperti itu, bahkan saat dirinya sudah lumayan jauh pun, dia masih bisa mendengar mereka.
Memakai bedak setipis mungkin, kini dia menyisir rambut tipis hitamnya yang semakin memanjang. Sekarang, cewek itu berdiri. Penampilannya sudah rapi, seperti biasa. Tak lama, cewek itu mengambil ponsel yang sedang di charge, memasukkannya ke dalam saku rok sekolahnya, lantas memakai tas selempangnya.
Setelah memeriksa kamarnya sekali lagi, dia mengambil kunci yang menempel di lubangnya, kemudian ke luar. Dia menutup pintu lalu menguncinya. Ketika dia berbalik, seseorang dari kamar sebelah ternyata juga sedang mengunci pintu kamarnya.
“Ah,” gumam orang tersebut di depan pintu kamarnya ketika selesai mengunci pintu. Cowok berpostur tinggi dengan kacamata membingkai kedua mata tegas dan tajamnya itu kini mengangguk sedikit. Memberi salam pada cewek yang sedang berdiri di sampingnya. “Pagi. Maaf, gue belum sempat memperkenalkan diri kemarin. Gue penghuni baru kamar ini sejak semalam.”
Cewek itu hanya diam. Menatap datar dan kosong ke arah si cowok tinggi berkacamata. Harus dia akui, cowok itu memiliki aura yang sangat kuat. Aura yang bisa memancing kekaguman para cewek di luar sana. Tapi, dia tidak akan terperangkap pada aura tersebut. Dia tidak sama dengan cewek-cewek lainnya. Dia hanyalah manusia yang bahkan tidak pantas untuk hidup lebih lama lagi.
“Pagi,” balas cewek tersebut setelah beberapa detik terlewat. Seolah tidak memedulikan penjelasan cowok tadi, dia kemudian berjalan melewatinya dan turun ke bawah. Sejak lima tahun yang lalu, tepatnya ketika dia baru duduk di kelas satu SMP, dia sudah tinggal di rumah kost campuran ini.
Sepeninggal cewek berwajah pucat dengan tatapan datar dan kosong tadi, cowok yang baru saja menempati kamar di sebelahnya menatap ke arah pintu kamar cewek tersebut. Senyumnya mengembang meski hanya sedikit. Senyuman yang tidak bisa diartikan maknanya. Matanya ikut tersenyum. Kini, cowok itu bersedekap dan menyandarkan sebelah pundaknya pada pintu kamarnya sendiri.
“Hmm...,” gumamnya dengan nada tertentu.
###
Awan hitam memang sudah membayangi bumi sejak pagi hari.
Angin kencang bertiup sesekali, menerbangkan daun-daun berwarna cokelat dan melemparnya ke bumi. Di dalam lapangan sekolah, upacara semester baru telah dimulai. Mulai hari ini, dia, Khanza Syahila menduduki tempat tertinggi di sekolah. Kelas tiga. Tahun terakhirnya di SMA. Tapi, semua tidak ada bedanya untuk cewek berumur delapan belas tahun tersebut.
Semua tetap sama. Kosong, hampa, gelap.
Saat ini, Khanza sedang duduk di atas pohon di halaman belakang sekolah. Tidak terlalu tinggi memang, tapi kalau Khanza jatuh, tetap saja akan mengakibatkan beberapa luka, walau tidak akan fatal. Khanza malas mengikuti upacara karena memang tidak ada yang perlu dia dengarkan. Kemungkinan besar, kepala sekolah hanya akan berbicara mengenai hal-hal yang itu-itu saja.
Khanza juga tidak memiliki teman. Semua teman-teman sekelasnya dari kelas satu sampai kelas dua memang mencoba mendekatinya, tapi Khanza menarik diri. Dia tidak butuh teman. Dia tidak perlu siapa pun. Dia hanya ingin sendiri. Mengurung diri dalam dunia khayalnya. Menjauh dari dunia nyata, menghilang dari dunia yang kejam menurutnya.
Angin kembali bertiup, memainkan rambut panjangnya. Khanza menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, kemudian menatap awan hitam dengan tatapan kosong seperti biasa. Hatinya berdenyut sakit. Lagi, mimpi-mimpi buruknya membuatnya takut dan sakit. Matanya mulai memanas, tapi dia menahan diri untuk tidak menangis.
Aah... sampai kapan dia harus bertahan? Tidak bisakah dia menyerah saja? Dia sudah lelah... dia sangat lelah. Dia ingin beristirahat. Kalau perlu, selamanya.
“Ah....”
Gumaman itu membuat lamunan Khanza buyar. Cewek itu menunduk dan matanya membulat tatkala bertatapan dengan pemilik manik tegas dan tajam yang ditemuinya tadi sebelum berangkat sekolah. Bahkan dibalik bingkai kacamata saja, Khanza bisa menebak bahwa mata tegas dan tajam itu memang memberikan aura yang sangat kuat.
“Elo....” Belum sempat Khanza melanjutkan kalimatnya, keseimbangan tubuhnya goyah karena terlalu menunduk ke bawah. Angin yang bertiup kencang sekali lagi, membuat Khanza tidak bisa mempertahankan diri dan akhirnya pasrah jatuh ke bawah. Cewek itu bahkan tidak menjerit, tidak menutup mata. Seolah-olah, dia sangat menantikan kejadian ini. Di mana tubuhnya akan menghantam kerasnya bumi lalu nyawanya akan melayang.
Yang dilupakan oleh Khanza saat ini adalah, bahwa ada seorang cowok yang sedang berdiri tepat di bawahnya, ketika tadi dia sedang duduk di atas pohon tersebut. Cowok itu hanya tersenyum dan mengulurkan kedua tangannya, seakan dia siap menyambut kedatangan Khanza. Kemudian, tubuh Khanza jatuh menimpa tubuh cowok tersebut dan keduanya terbaring di atas tanah, ditemani dedaunan, dengan posisi Khanza berada di atas tubuh cowok tersebut.
“Siswi bermasalah, heh?” tanya cowok berkacamata tersebut sambil tersenyum miring. Khanza langsung bangkit dan memasang sikap waspada. Ketajaman dan ketegasan mata cowok itu kini membuatnya nampak berbahaya. Juga senyuman miring yang terkesan mengintimidasi itu.
“Kenapa lo ada di sini?” Khanza balas bertanya, tidak menjawab pertanyaan cowok itu sebelumnya.
Beberapa detik terlewat. Suasana lumayan canggung dan mencekam. Cowok itu bangkit dari tanah, membersihkan celana bahan berwarna hitamnya dan juga membenarkan kacamatanya. Kemudian, dia berjalan ke arah Khanza yang tetap berdiri tegak. Khanza kini terpaksa mendongak agar matanya bisa menatap mata cowok di hadapannya itu.
Lalu, Khanza mundur dengan cepat, seperti tersengat lebah, di saat cowok itu mengulurkan sebelah tangannya. Khanza mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuh, menatap orang tersebut dengan tatapan dinginnya, yang dibalas dengan alis terangkat satu oleh cowok itu.
“Let me introduce myself.” Cowok itu berdeham sebentar, meski tetap merasa aneh dengan tingkah Khanza. “Karena ini diluar jam pelajaran, gue nggak perlu bersopan ria di hadapan lo. Gue Kenzo Bratama. Penghuni kamar kost di sebelah kamar kost lo, sekaligus guru baru di sekolah ini. Gue mengajar Bahasa Inggris, sekaligus wali kelas 3 IPS 2.”
Khanza berdecak dan mendecih seraya memalingkan wajah. Melihat sikap Khanza itu, Kenzo Bratama tersenyum miring sekali lagi dan bersedekap.
“Looks like i’m your homeroom teacher, right....” Kenzo sengaja memenggal kalimatnya supaya memancing Khanza agar menatap ke arahnya. Dan, Khanza memang melirik ke arahnya. “Khanza Syahila?”
Baru saja Khanza ingin bertanya, darimana guru baru sekaligus wali kelasnya dan penghuni kamar kost di sebelah kamarnya itu tahu namanya, Kenzo Bratama sudah lebih dulu menunjuk saku kemeja seragam sekolah Khanza.
Badge seragam sekolah yang tertulis namanya lah, yang membuat cowok itu tahu namanya.
###
“Good morning, class!” Sapaan dari Kenzo dibalas dengan antusias oleh semua orang di dalam kelas, yang tentu saja lebih didominasi oleh suara para siswi ketimbang para siswa. Kenzo tersenyum ramah dan berjalan menuju meja guru, kemudian menaruh beberapa buku di atasnya, juga papan berisikan daftar nama para siswa-siswinya. “Mister Kenzo?” Kenzo mengangkat kepala dari daftar nama para siswanya dan menatap salah satu siswi yang duduk di dekat jendela. Siswi berambut pendek sebahu itu tersenyum lebar dan menatap Kenzo dengan tatapan memuja. “Yes?” “I
Kenzo sedang tenggelam dalam lamunan, ketika dia mendengar suara gaduh di samping kamarnya. Tersadar dari dunia khayalnya sendiri, Kenzo mengerutkan kening dan mematikan rokoknya. Dia masuk ke dalam rumah—sebelumnya, cowok dua puluh lima tahun itu sedang merokok sambil memikirkan Khanza dan kemampuan supernaturalnya di beranda—kemudian menuju pintu kamar. Setelah memutar anak kunci sebanyak dua kali, Kenzo membuka pintu dan menengok ke kamar sebelah. Ke kamar Khanza. Apa yang terjadi pada cewek anti sosial itu? Kenapa terdengar banyak suara gaduh dari dalam kamarnya? Membiarkan pintu kamarnya terbuka sedikit, Kenzo mendekati pintu kamar Khanza dan berdiri di depannya. Cow
Kedua mata Khanza perlahan terbuka. Hal pertama yang dilihatnya adalah langit-langit kamarnya. Meringis menahan rasa pusing yang mendera, Khanza memijat pelipisnya. Memejamkan matanya sejenak, cewek itu berusaha mengingat apa yang sudah terjadi. Dia ingat, dia melihat wali kelas sekaligus penghuni kamar kost di sampingnya—Kenzo, sedang berdiri di depan pintu kamarnya sambil mengetuk daun pintu tak berdosa itu dengan membabi-buta. Lalu, mereka berbincang sebentar, masuk ke dalam kamar dan... dan... Khanza kembali membuka kedua mata dan mendesah. Dia tidak ingat apapun setelah itu. Perlahan, Khanza bangkit dari posisi tidurnya dan menarik napas panjang. Keningnya berkerut kala menyadari dia berada di bagian kanan ranjang dan bukannya di bagian kiri di dekat dinding seperti biasa. Dia juga merasa bagian kiri ranjangnya sedikit menekan
Erangan pelan yang berasal dari atas tempat tidur Khanza membuat Keanu mengalihkan tatapannya dari novel yang sedang dia baca. Tersenyum dan menutup novel tersebut hanya dengan sebelah tangan, Keanu lantas bangkit dan berjalan ke arah tempat tidur. Kenzo memegang kepalanya yang terasa sedikit pusing dan bangun dari posisi tidurnya. Cowok itu kemudian duduk, menatap ke seluruh ruangan dan menyadari bahwa ini bukanlah ruang kelas, juga bukan kamarnya, melainkan kamar Khanza. “You’re awake now, huh?” tanya Keanu. Mendengar suara itu, Kenzo menoleh dan mendongak. Dia mengerutkan kening karena menemukan sosok Keanu berdiri tepat di hadapannya sambil tersenyum, sebelum akhirnya cowok tersebut duduk di atas tempat tidur, tepat di sampingnya. Ken
Ini di mana? Khanza menatap sekeliling dan mengerutkan kening. Cewek itu memeluk tubuhnya sendiri dan terus berjalan membelah kegelapan. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari pertolongan. Tempat ini begitu dingin dan sunyi. Seolah-olah, tidak ada cahaya yang pernah memasukinya. Kemudian, suara tawa itu terdengar. Begitu jelas dan menakutkan. Khanza berhenti melangkah dan memasang sikap waspada. Ini adalah tawa yang selalu dia dengar di dalam mimpinya. Tawa dari musuh terbesarnya. Musuh yang menginginkannya. Musuh yang ingin mengambil alih tubuhnya untuk melakukan kejahatan, kemudian membuang roh nya ke tempat paling kejam dan menyeramkan. “Hoo... jadi sekarang kau sudah memiliki penjaga, gadis kecilku?”
Tahun 1818... Khanza tersenyum saat melihat anaknya dan Kenzo—Ksatria, berlatih pedang bersama dengan Ven. Adik cowoknya itu terlihat sangat bersemangat melatih Ksatria untuk menjadi seorang yang kuat dan hebat, seperti Kenzo. Ven memang sangat mengagumi kakak iparnya tersebut. Menurutnya, Kenzo adalah sosok yang baik hati, adil dan tentu saja kuat. “Ksatria, ayo istirahat dulu, Nak.” Khanza mendekati anaknya yang tahun ini memasuki usia tujuh tahun. Mendengar namanya dipanggil, Ksatria tersenyum lebar dan bergegas menghampiri Khanza, kemudian memeluk ibunya tersebut. Ven sendiri mendesah panjang dan duduk begitu saja di atas rerumputan. Di usianya yang masih menginjak tujuh tahun, Ven harus mengakui bahwa k
“Di mana ini?” Khanza terus berjalan, meski cewek itu tidak tahu di mana dirinya sekarang. Yang jelas, dia berada di sebuah ruangan berwarna putih. Tidak ada apapun di tempat ini. Kosong, hampa. Itulah yang Khanza rasakan. Sampai kemudian, langkah Khanza terhenti begitu dia menyadari seseorang mendekatinya dari kejauhan. “Siapa?” tanya Khanza dengan suara lantangnya. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuh. Lalu, entah dorongan darimana, Khanza memanggil nama Kenzo berulang kali di dalam hatinya. “Siapa di sana?!” Sosok itu perlahan terlihat, membuat Khanza menyipitkan mata karena cahaya yang mengelilingi orang tersebut. Kemudian, di saat mata Khanza sudah bisa beradaptasi dengan cahaya itu, Khanza tersentak. Cewek itu mundur dua
Sepanjang perjalanan pulang, Kenzo tidak bersuara sama sekali. Cowok itu nampak serius dengan jalanan di depannya, juga sesuatu yang sedang dia pikirkan. Di sampingnya, Khanza sesekali melirik. Sedikit khawatir dengan tingkah wali kelas sekaligus guru bahasa Inggrisnya tersebut. Bahkan, pengakuan cinta Kenzo tidak terlalu dipikirkan oleh Khanza. Khanza yang sedikitnya berubah. Berubah karena ingatan mengenai kehidupannya di masa lalu sudah kembali sepenuhnya. Cewek itu memang masih cuek dan datar, tapi sudah mulai terbuka sedikit. Khanza jadi lebih sering membuka percakapan. Kepada Kenzo, kepada Shio, Keanu dan Ven. Mengenai pengakuan cinta Kenzo, jujur saja, Khanza merasa kaget sekaligus senang. Ini pertama kalinya dia mendapatkan pernyataan cinta. Ini pertama kal
Sepanjang perjalanan pulang, Kenzo tidak bersuara sama sekali. Cowok itu nampak serius dengan jalanan di depannya, juga sesuatu yang sedang dia pikirkan. Di sampingnya, Khanza sesekali melirik. Sedikit khawatir dengan tingkah wali kelas sekaligus guru bahasa Inggrisnya tersebut. Bahkan, pengakuan cinta Kenzo tidak terlalu dipikirkan oleh Khanza. Khanza yang sedikitnya berubah. Berubah karena ingatan mengenai kehidupannya di masa lalu sudah kembali sepenuhnya. Cewek itu memang masih cuek dan datar, tapi sudah mulai terbuka sedikit. Khanza jadi lebih sering membuka percakapan. Kepada Kenzo, kepada Shio, Keanu dan Ven. Mengenai pengakuan cinta Kenzo, jujur saja, Khanza merasa kaget sekaligus senang. Ini pertama kalinya dia mendapatkan pernyataan cinta. Ini pertama kal
“Di mana ini?” Khanza terus berjalan, meski cewek itu tidak tahu di mana dirinya sekarang. Yang jelas, dia berada di sebuah ruangan berwarna putih. Tidak ada apapun di tempat ini. Kosong, hampa. Itulah yang Khanza rasakan. Sampai kemudian, langkah Khanza terhenti begitu dia menyadari seseorang mendekatinya dari kejauhan. “Siapa?” tanya Khanza dengan suara lantangnya. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuh. Lalu, entah dorongan darimana, Khanza memanggil nama Kenzo berulang kali di dalam hatinya. “Siapa di sana?!” Sosok itu perlahan terlihat, membuat Khanza menyipitkan mata karena cahaya yang mengelilingi orang tersebut. Kemudian, di saat mata Khanza sudah bisa beradaptasi dengan cahaya itu, Khanza tersentak. Cewek itu mundur dua
Tahun 1818... Khanza tersenyum saat melihat anaknya dan Kenzo—Ksatria, berlatih pedang bersama dengan Ven. Adik cowoknya itu terlihat sangat bersemangat melatih Ksatria untuk menjadi seorang yang kuat dan hebat, seperti Kenzo. Ven memang sangat mengagumi kakak iparnya tersebut. Menurutnya, Kenzo adalah sosok yang baik hati, adil dan tentu saja kuat. “Ksatria, ayo istirahat dulu, Nak.” Khanza mendekati anaknya yang tahun ini memasuki usia tujuh tahun. Mendengar namanya dipanggil, Ksatria tersenyum lebar dan bergegas menghampiri Khanza, kemudian memeluk ibunya tersebut. Ven sendiri mendesah panjang dan duduk begitu saja di atas rerumputan. Di usianya yang masih menginjak tujuh tahun, Ven harus mengakui bahwa k
Ini di mana? Khanza menatap sekeliling dan mengerutkan kening. Cewek itu memeluk tubuhnya sendiri dan terus berjalan membelah kegelapan. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari pertolongan. Tempat ini begitu dingin dan sunyi. Seolah-olah, tidak ada cahaya yang pernah memasukinya. Kemudian, suara tawa itu terdengar. Begitu jelas dan menakutkan. Khanza berhenti melangkah dan memasang sikap waspada. Ini adalah tawa yang selalu dia dengar di dalam mimpinya. Tawa dari musuh terbesarnya. Musuh yang menginginkannya. Musuh yang ingin mengambil alih tubuhnya untuk melakukan kejahatan, kemudian membuang roh nya ke tempat paling kejam dan menyeramkan. “Hoo... jadi sekarang kau sudah memiliki penjaga, gadis kecilku?”
Erangan pelan yang berasal dari atas tempat tidur Khanza membuat Keanu mengalihkan tatapannya dari novel yang sedang dia baca. Tersenyum dan menutup novel tersebut hanya dengan sebelah tangan, Keanu lantas bangkit dan berjalan ke arah tempat tidur. Kenzo memegang kepalanya yang terasa sedikit pusing dan bangun dari posisi tidurnya. Cowok itu kemudian duduk, menatap ke seluruh ruangan dan menyadari bahwa ini bukanlah ruang kelas, juga bukan kamarnya, melainkan kamar Khanza. “You’re awake now, huh?” tanya Keanu. Mendengar suara itu, Kenzo menoleh dan mendongak. Dia mengerutkan kening karena menemukan sosok Keanu berdiri tepat di hadapannya sambil tersenyum, sebelum akhirnya cowok tersebut duduk di atas tempat tidur, tepat di sampingnya. Ken
Kedua mata Khanza perlahan terbuka. Hal pertama yang dilihatnya adalah langit-langit kamarnya. Meringis menahan rasa pusing yang mendera, Khanza memijat pelipisnya. Memejamkan matanya sejenak, cewek itu berusaha mengingat apa yang sudah terjadi. Dia ingat, dia melihat wali kelas sekaligus penghuni kamar kost di sampingnya—Kenzo, sedang berdiri di depan pintu kamarnya sambil mengetuk daun pintu tak berdosa itu dengan membabi-buta. Lalu, mereka berbincang sebentar, masuk ke dalam kamar dan... dan... Khanza kembali membuka kedua mata dan mendesah. Dia tidak ingat apapun setelah itu. Perlahan, Khanza bangkit dari posisi tidurnya dan menarik napas panjang. Keningnya berkerut kala menyadari dia berada di bagian kanan ranjang dan bukannya di bagian kiri di dekat dinding seperti biasa. Dia juga merasa bagian kiri ranjangnya sedikit menekan
Kenzo sedang tenggelam dalam lamunan, ketika dia mendengar suara gaduh di samping kamarnya. Tersadar dari dunia khayalnya sendiri, Kenzo mengerutkan kening dan mematikan rokoknya. Dia masuk ke dalam rumah—sebelumnya, cowok dua puluh lima tahun itu sedang merokok sambil memikirkan Khanza dan kemampuan supernaturalnya di beranda—kemudian menuju pintu kamar. Setelah memutar anak kunci sebanyak dua kali, Kenzo membuka pintu dan menengok ke kamar sebelah. Ke kamar Khanza. Apa yang terjadi pada cewek anti sosial itu? Kenapa terdengar banyak suara gaduh dari dalam kamarnya? Membiarkan pintu kamarnya terbuka sedikit, Kenzo mendekati pintu kamar Khanza dan berdiri di depannya. Cow
“Good morning, class!” Sapaan dari Kenzo dibalas dengan antusias oleh semua orang di dalam kelas, yang tentu saja lebih didominasi oleh suara para siswi ketimbang para siswa. Kenzo tersenyum ramah dan berjalan menuju meja guru, kemudian menaruh beberapa buku di atasnya, juga papan berisikan daftar nama para siswa-siswinya. “Mister Kenzo?” Kenzo mengangkat kepala dari daftar nama para siswanya dan menatap salah satu siswi yang duduk di dekat jendela. Siswi berambut pendek sebahu itu tersenyum lebar dan menatap Kenzo dengan tatapan memuja. “Yes?” “I
Bahkan ketika kamu merasa dunia memusuhimu, memberikanmu ketakutan, kelemahan, kehancuran, masih ada sesuatu yang akan membangkitkanmu dari perasaan tersebut...Pagi ini lain dari biasanya. Perasaannya mengatakan demikian. Entah apa yang membuatnya merasakan hal tersebut, hanya saja, ketika dirinya terbangun dari mimpi buruk yang selalu menemaninya setiap malam, sesuatu yang aneh menyerang hatinya. Seperti biasanya, dia duduk terlebih dahulu di tempat tidur, menatap datar dan kosong ke arah selimut yang menutupi sebagian tubuhnya, kemudian memejamkan mata. Mengingat kembali semua mimpi buruk yang dialaminya, baik dalam bentuk denotasi maupun konotasi. Kemudian, jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya, se