“Syaratnya adalah, Mbak Tika harus bersedia menjadi saksi dan memberikan keterangan dengan sejujur-jujurnya pada polisi.” Dean berkata dengan tegas. "Ya, kami ingin Mbak Tika menjadi saksi dan mengakui semuanya pada polisi. Setelah itu, kami akan mencabut laporan terhadap Mbak Tika dengan alasan kekeluargaan. Bagaimana?" Nauna menimpali. Tika terdiam. Sejenak, dia menimbang-nimbang syarat yang diberikan Dean dan Nauna. Tidak butuh waktu lama, dia segera menyetujuinya. “Baik. Aku bersedia menjadi saksi dan akan memberikan keterangan dengan sejujurnya-jujurnya. Aku juga akan mengaku bahwa aku dan Mas Daniel memang terlibat dalam rencana Mas Rudy, meskipun pada akhirnya kami nggak mendapatkan apa-apa." Tika berkata dengan raut wajah meyakinkan. Dean dan Nauna saling berpandangan. Mereka tidak menyangka, Tika akan langsung setuju. Terbesit rasa ragu di dalam benak keduanya. Mereka tidak bisa mempercayainya begitu saja. "Mbak benar-benar bersedia? Mbak nggak akan memberikan keterangan
Dinara sedang berada di firma hukum ketika Dean dan Nauna menghubunginya dan meminta waktu untuk bertemu. Dia segera setuju dan menawarkan untuk bertemu di luar, tapi mereka lebih memilih mendatanginya langsung. Sekitar sepuluh menit kemudian, mereka sudah berada di ruangan Dinara. Ketiganya duduk berhadapan dan mulai berbicara dengan serius. Ketika mendengar bahwa Dean dan Nauna ingin mencabut laporan terhadap Tika, Dinara agak keberatan. Dia menatap pasangan itu dan bertanya untuk memastikan, "Kalian benar-benar yakin ingin mencabut laporan? Apa kalian sudah memikirkannya baik-baik?"Dean mewakili Nauna untuk mengangguk dan mengiyakan. "Ya, kami sudah memikirkannya baik-baik.""Kami memikirkan nasib anaknya yang masih balita. Selain itu, dia juga berjanji akan menjadi saksi dan mengatakan apapun yang dia tahu dengan sebenar-benarnya pada polisi." Nauna menimpali dengan raut wajah meyakinkan. "Apakah keputusan kami salah?" Dia bertanya kemudian.Dinara tidak segera menjawab. Dia ter
Pagi itu, Tika datang ke kantor polisi sesuai janji. Dia sengaja datang lebih awal agar bisa bertemu dan bicara dengan Daniel terlebih dahulu. Wajah Daniel terlihat lebih kusut hari ini. Sepertinya, dia benar-benar tidak tidur semalaman. Begitu melihat Tika, dia segera duduk dan bertanya dengan nada tak sabar, "Bagaimana? Kamu berhasil membujuk Dean dan Nauna untuk mencabut laporan terhadap kita?"Tika menatapnya dengan datar. Dia menarik napas panjang, lalu berkata dengan tenang, "Ya. Mereka akan mencabut laporan hari ini."Daniel terkesiap. Sepasang matanya terbuka lebar-lebar. Dia menatap Tika dengan tatapan tak percaya. "Kamu serius? Mereka benar-benar mau mencabut laporan?"Tika mengangguk. "Ya. Aku serius. Mereka nggak tega pada Bella, karena itu memutuskan untuk mencabut laporan."Daniel merasa sangat lega. Wajah kusutnya seketika dihiasi dengan senyum merekah. Dia bahkan tidak bisa menahan tawa kemenangan yang keluar dari mulutnya. "Ternyata Dean dan Nauna memang benar-bena
Jeremy bersikap acuh saat berpapasan dengan Dean, Nauna dan Dinara. Wajahnya terlihat dingin dan tatapannya begitu tajam. Tanpa berkata apa-apa, dia melangkah pergi begitu saja bersama dengan David dan seorang pengacara yang mendampingnya. Dinara agak terkejut dengan sikap acuhnya. Begitu pula dengan Dean dan Nauna. Mereka sempat mengira, Jeremy akan menyerang mereka dengan kata-kata tajam. Akan tetapi, laki-laki itu justru berlalu tanpa kata. Dinara menatap punggung yang semakin menjauh dengan tatapan nanar. Ada perasaan aneh yang menyusup ke dalam hatinya pada saat ini, tetapi segera dia tepis seiring menghilangnya Jeremy dari pandangan. "Sepertinya, dia baru saja diperiksa." Dean membuka suara, membuat Dinara segera berpaling ke arahnya. "Ya, sepertinya begitu," sahutnya dengan acuh tak acuh. Mereka tidak membahasnya lagi dan bergegas masuk ke dalam. Tika rupanya sudah menunggu. Perempuan itu segera menghampiri begitu melihat mereka datang. "Oh, ternyata Mbak Tika sudah di sin
Hari itu, setelah menjemput Alina dari sekolah, Dinara membawanya pergi ke rumah Dean dan Nauna yang sekarang ditempati oleh keluarga Jeremy. Dia menghentikan mobilnya di depan gerbang dan menatap bangunan rumah itu dari dalam mobil. "Ma, ini rumah siapa? Kenapa kita pergi ke sini?" Alina bertanya dengan bingung, sembari mengikuti arah pandangan ibunya. Dinara menoleh dan menatap wajah cantik putri kecilnya dengan tatapan lembut. Lantas, dia tersenyum dan berkata, "Ini rumah baru Papa, Sayang."Sepasang bola mata Alina seketika memancarkan binar kebahagiaan. Gadis itu menatap Dinara dan bertanya dengan antusias, "Benarkah? Ini rumah baru Papa? Mama nggak bohong, kan?"Dinara tersenyum dan mengusap kepalanya dengan lembut. Ada rasa sedih yang terlintas di hatinya, saat melihat mata Alina yang berbinar-binar. Dia pasti sangat merindukan ayahnya. "Iya, Sayang. Ini rumah baru Papa," ucap Dinara dengan lirih. "Kalau begitu, ayo kita masuk!" Tanpa menunggu tanggapan Dinara, Alina sudah
"Ibu senang sekali kamu dan Alina mau datang menemui Ibu. Bagaimana kabar kalian selama ini? Kalian baik-baik saja, kan?"Jihan membuka obrolan bersama Dinara dan juga Alina di ruang tamu rumah barunya. Viola duduk menemani di sebelahnya. Wajah wanita paruh baya itu tampak berseri-seri. Tidak ada lagi sisa-sisa air mata yang beberapa saat lalu mengalir deras. Suasana hatinya pun sangat baik. Dia bahkan tidak berhenti mengulas senyum, menatap mantan menantu dan juga cucunya yang begitu dia rindukan. "Alhamdulillah, kami berdua baik-baik saja, Bu." Dinara menjawab pertanyaannya dengan segaris senyum. "Ibu sendiri bagaimana?""Ibu juga baik-baik saja, hanya terkadang, terlalu merindukan kalian," sahut Jihan. Viola melirik ibunya, lalu berkata pada Dinara, "Sebenarnya, setahun belakangan ini, Ibu kurang sehat, Kak. Ibu terkena diabetes.""Viola..." Jihan tampak keberatan saat Viola mengatakan apa yang menimpanya setahun belakangan ini. Viola hanya tersenyum. Dia tidak bisa lagi menari
"Papa!"Teriakan Alina yang lantang, tidak hanya memutus kontak mata antara Dinara dan Jeremy, tapi juga menarik perhatian Viola dan Jihan. Dua wanita itu menoleh bersamaan, mengikuti arah pandangan Alina. Begitu melihat kehadiran Jeremy, Jihan lekas mengurai pelukan dengan Dinara. Dia menatap putranya itu dengan tatapan penuh arti. Seulas senyum terus melengkung di bibirnya. Sedangkan Viola diam-diam melirik ke arah Dinara. Dia ingin melihat reaksi perempuan itu atas kedatangan Jeremy, tapi yang dia dapatkan hanya raut wajah tenang, tanpa perubahan ekspresi yang berarti. Viola menghela napas pasrah. Sekarang dia mulai percaya, sudah tidak ada lagi perasaan cinta di hati Dinara untuk kakaknya. "Papa!" Suara Alina kembali terdengar. Kali ini, dia bangkit berdiri dan berlari menghampiri Jeremy. Laki-laki itu tersenyum dan menyambutnya dengan merentangkan kedua tangan. Alina seketika masuk ke dalam pelukannya yang hangat dan juga nyaman. "Kamu datang menemui Papa, ya?" Jeremy berta
Langit tampak begitu gelap. Cuaca malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Seorang lelaki berjalan tergesa-gesa, menyusuri jalan setapak tanpa penerangan, sembari menenteng dua buah kantung plastik di tangan kanannya. Wajahnya hampir tak terlihat, tertutup masker dan topi hitam. Sesekali, dia melirik ke sekitar. Memasang tatapan waspada di bawah keremangan cahaya rembulan. Jalanan yang dilaluinya benar-benar sepi. Hanya ada pepohonan rimbun di kanan kiri. Tak lama kemudian, dia membelokkan langkah, mendekat pada sebuah rumah sederhana yang tampak terasing dari pemukiman. Sepasang matanya mengawasi keadaan sekitar, sementara tangannya mulai mengetuk pintu. Hanya tiga kali ketukan, pintu seketika terbuka. Lelaki itu bergegas masuk. Secepat kilat, pintu kembali ditutup dan dikunci dari dalam. “Sampai kapan kita seperti ini?” Pertanyaan itu terdengar begitu mengganggu. Rudy melepas topi dan masker yang menyamarkan wajahnya, lalu melemparnya ke lantai bersama dengan dua buah kantun