"Ibu senang sekali kamu dan Alina mau datang menemui Ibu. Bagaimana kabar kalian selama ini? Kalian baik-baik saja, kan?"Jihan membuka obrolan bersama Dinara dan juga Alina di ruang tamu rumah barunya. Viola duduk menemani di sebelahnya. Wajah wanita paruh baya itu tampak berseri-seri. Tidak ada lagi sisa-sisa air mata yang beberapa saat lalu mengalir deras. Suasana hatinya pun sangat baik. Dia bahkan tidak berhenti mengulas senyum, menatap mantan menantu dan juga cucunya yang begitu dia rindukan. "Alhamdulillah, kami berdua baik-baik saja, Bu." Dinara menjawab pertanyaannya dengan segaris senyum. "Ibu sendiri bagaimana?""Ibu juga baik-baik saja, hanya terkadang, terlalu merindukan kalian," sahut Jihan. Viola melirik ibunya, lalu berkata pada Dinara, "Sebenarnya, setahun belakangan ini, Ibu kurang sehat, Kak. Ibu terkena diabetes.""Viola..." Jihan tampak keberatan saat Viola mengatakan apa yang menimpanya setahun belakangan ini. Viola hanya tersenyum. Dia tidak bisa lagi menari
"Papa!"Teriakan Alina yang lantang, tidak hanya memutus kontak mata antara Dinara dan Jeremy, tapi juga menarik perhatian Viola dan Jihan. Dua wanita itu menoleh bersamaan, mengikuti arah pandangan Alina. Begitu melihat kehadiran Jeremy, Jihan lekas mengurai pelukan dengan Dinara. Dia menatap putranya itu dengan tatapan penuh arti. Seulas senyum terus melengkung di bibirnya. Sedangkan Viola diam-diam melirik ke arah Dinara. Dia ingin melihat reaksi perempuan itu atas kedatangan Jeremy, tapi yang dia dapatkan hanya raut wajah tenang, tanpa perubahan ekspresi yang berarti. Viola menghela napas pasrah. Sekarang dia mulai percaya, sudah tidak ada lagi perasaan cinta di hati Dinara untuk kakaknya. "Papa!" Suara Alina kembali terdengar. Kali ini, dia bangkit berdiri dan berlari menghampiri Jeremy. Laki-laki itu tersenyum dan menyambutnya dengan merentangkan kedua tangan. Alina seketika masuk ke dalam pelukannya yang hangat dan juga nyaman. "Kamu datang menemui Papa, ya?" Jeremy berta
Langit tampak begitu gelap. Cuaca malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Seorang lelaki berjalan tergesa-gesa, menyusuri jalan setapak tanpa penerangan, sembari menenteng dua buah kantung plastik di tangan kanannya. Wajahnya hampir tak terlihat, tertutup masker dan topi hitam. Sesekali, dia melirik ke sekitar. Memasang tatapan waspada di bawah keremangan cahaya rembulan. Jalanan yang dilaluinya benar-benar sepi. Hanya ada pepohonan rimbun di kanan kiri. Tak lama kemudian, dia membelokkan langkah, mendekat pada sebuah rumah sederhana yang tampak terasing dari pemukiman. Sepasang matanya mengawasi keadaan sekitar, sementara tangannya mulai mengetuk pintu. Hanya tiga kali ketukan, pintu seketika terbuka. Lelaki itu bergegas masuk. Secepat kilat, pintu kembali ditutup dan dikunci dari dalam. “Sampai kapan kita seperti ini?” Pertanyaan itu terdengar begitu mengganggu. Rudy melepas topi dan masker yang menyamarkan wajahnya, lalu melemparnya ke lantai bersama dengan dua buah kantun
Hanya perlu waktu satu hari bagi Rudy untuk mempersiapkan keberangkatannya ke Austria bersama dengan Lusi dan Citra. Tiket pesawat sudah dipesan. Temannya yang berada di sana juga bersedia membantu, mereka bahkan sudah disiapkan tempat untuk tinggal. Tanpa membuang-buang waktu lagi, malam itu, Rudy membawa istri dan anaknya meninggalkan tempat persembunyian. Ketiganya mengenakan topi dan masker untuk menyamarkan wajah. Jarak dari tempat persembunyian ke jalan raya cukup jauh. Mereka harus berjalan kaki selama lebih dari dua jam lamanya, sambil menyeret koper masing-masing. Sampai di ujung jalan, sebuah mobil sudah menunggu. Rudy sengaja memesannya untuk mengantarkan mereka ke bandara. "Bu, sebenarnya, kita mau ke mana?" Citra pura-pura bertanya, saat mereka sudah duduk di dalam mobil. "Kita akan pergi berlibur, Sayang," sahut Lusi sambil tersenyum. "Ke mana?" Lagi-lagi Citra bertanya. "Ke... suatu tempat." Lusi kembali melengkungkan senyum. "Apa kita akan pindah ke hutan yang l
"Kenapa lama sekali?!"Tubuh Citra menegang, jantungnya berdebar dengan kencang dan napasnya seketika tercekat. Dia hampir saja menjatuhkan ponsel di tangannya, kalau saja tidak segera menyadari, bahwa yang baru saja menerobos masuk bukanlah Lusi, melainkan seorang wanita yang tidak dikenalinya sama sekali. Wanita itu sedang berbicara di telepon, dengan nada meledak-ledak dan raut wajah penuh emosi. Dia melewati Citra dan dua wanita lain yang berada di dekatnya, lalu melenggang masuk ke dalam salah satu bilik toilet. Ketegangan yang dirasakan Citra perlahan-lahan menguar, seiring menghilangnya wanita itu dari pandangan. Dia memejam sejenak, sambil mengatur ritme pernapasan yang sempat berantakan. Begitupun dengan debar jantung yang sempat berpacu dengan kencang. "Halo?" Suara Rey di seberang sana menarik kembali atensinya. Tidak ingin membuang kesempatan, Citra segera bicara dalam satu tarikan napas, "Kak Rey, ini aku Citra.""Citra?" Rey sepertinya terkejut. Terdengar dari nada su
Setelah meninggalkan Lusi dan Citra di bandara begitu saja, Rudy terus berlari tak tentu arah. Beberapa meter di belakangnya, ada sekitar lima petugas yang mengejarnya sambil mengacungkan senjata. Salah satu dari mereka beberapa kali beteriak, memintanya berhenti dan menyerahkan diri. Rudy berpura-pura tuli, dia sama sekali tidak mau menghentikan langkah. Kedua kakinya terus dipacu dengan kencang, berlari tunggang langgang dengan napas terengah-engah. Kondisi jalan yang ramai, membuatnya cukup kesulitan. Dia telah menjadi pusat perhatian banyak orang dan tak jarang, ada yang mencoba menghentikan langkahnya. Sekarang, bukan hanya polisi, beberapa warga sipil juga ikut mengejarnya. Akan tetapi, Rudy tidak mau menyerah begitu saja. Dengan menggunakan pisau lipat, dia mengancam dan menakuti semua orang yang mencoba menghalanginya, kemudian berlari masuk ke dalam gang sempit yang entah di mana ujungnya. Sambil terus memacu langkah, Rudy mengedarkan pandang ke berbagai arah, mencari-cari
Setelah menunggu selama beberapa jam dengan harap-harap cemas, kabar tertangkapnya Rudy dan Lusi, akhirnya sampai ke telinga Dean dan Nauna. Polisi yang menghubungi mereka lewat sambungan telepon juga menceritakan secara detail, bagimana proses penangkapan Rudy dan Lusi berlangsung—termasuk kondisi dua orang itu sekarang. “Saudara Rudy berusaha kabur dan melukai petugas, jadi kami terpaksa melumpuhkannya dengan satu tembakan di kaki.” Polisi itu berkata dengan tenang. “Saat ini, dia sudah ditangani tim medis dan akan segera di bawa ke kantor, bersama dengan saudari Lusi.” “Bagaimana dengan Citra—gadis yang bersama mereka, Pak?” Nauna bertanya dengan cemas. Dia sangat mengkhawatirkan Citra, mengingat gadis itu lah yang pertama memberikan informasi pada Rey tentang keberadaan Rudy dan Lusi. “Anda tidak perlu khawatir, saudari Citra aman bersama kami.” Polisi itu menjawab dengan lugas. Mendengar itu, Nauna dan Dean segera menghela napas lega. Rey sudah menceritakan pada mereka, bag
Setelah meninggalkan kediaman Jihan, Dinara segera mengajak Dean dan Nauna bertemu. Kebetulan, pasangan suami istri itu sedang berada di luar rumah, jadi mereka memutuskan untuk bertemu di sebuah kafe, sekalian makan siang bersama. Dinara tiba lebih dulu, sementara Dean dan Nauna datang sekitar sepuluh menit kemudian. Setelah memesan makanan dan minuman masing-masing, mereka tidak berbasa-basi lagi. Dinara segera menceritakan secara detail semua yang dia dengar dari Jihan, tentang persaingan bisnis antara orang tua Dean dan orang tua Jeremy. Mendengar apa yang diceritakan oleh Dinara, Dean dan Nauna tampak terkejut. "Aku sama sekali nggak tahu tentang ini." Dean berkomentar setelah Dinara benar-benar menyelesaikan ceritanya. "Aku nggak pernah mendengar kalau perusahaan Ayah sampai menyebabkan kebangkrutan untuk perusahaan lain. Mungkin karena saat itu aku masih terlalu muda untuk mengetahuinya."Dinara menghela napas. "Sudah kuduga," ucapnya dengan nada rendah nyaris tenggelam. "Ka
Andaikan bisa menolak, Jihan tentu tidak akan mengatakan iya. Masalahnya adalah, apa yang diminta oleh Jeremy juga merupakan tuntutan dari pengadilan. Oleh karena itu, dia sama sekali tidak punya pilihan, selain menerima dengan berat hati. Pada akhirnya, rumah itu benar-benar dikembalikan kepada pemiliknya. Betapa bersyukurnya Dean dan Nauna ketika menerima kembali sertifikat rumah yang selama ini mereka perjuangkan. Air mata bahagia tumpah ruah, pasangan suami istri itu saling memeluk, sambil tak henti mengucap syukur. Hari berganti. Jihan dan Viola mulai mengemasi barang-barang milik mereka dan juga milik Jeremy untuk di bawa pergi. Alvaro dan beberapa orang suruhan membantu mereka membawakan barang-barang tersebut ke dalam mobil pickup. Setelah memastikan semuanya sudah terbawa, Jihan melangkah keluar dengan langkah yang begitu berat. Raut wajahnya benar-benar suram. Kesedihan masih tampak jelas dari kedua matanya yang sembab. Viola dan Alvaro yang mendampingi sang ibu, hanya bi
“Apa yang dilakukan perempuan itu di sini tadi? Dia menemuimu?” Alvaro bertanya dengan tajam. Tatapannya mengarah lurus pada Jeremy yang duduk diam di hadapannya. Tidak ada jawaban. Jeremy tidak berkata apa-apa. Dia hanya mengangkat pandangan yang semula terpaku pada permukaan meja, lalu menatap Alvaro dengan tatapan dingin. Aura suram menguar dari keseluruhan dia pada saat ini. Sangat jauh berbeda dibandingkan dengan pada saat dia berhadapan dengan Dinara. Alvaro berdecak kesal, tidak suka dengan reaksi Jeremy yang seperti ini. Dia menginginkan jawaban atas pertanyaannya, bukan sorot mata dingin dan mengintimidasi. “Nggak salah lagi, dia pasti datang untuk menemuimu dan kamu pasti bersedia bertemu dengannya.” Alvaro menyimpulkan sendiri, sebab tak kunjung mendapat jawaban. Jeremy masih belum menanggapi, alih-alih membiarkan Alvaro kembali berkata-kata, “Seharusnya, kamu menolak bertemu dengannya, Kak. Dia pasti datang untuk menertawakanmu, kan? Dia pasti senang melihatmu seperti
Hampir tiga puluh menit berlalu sejak tiba di kantor polisi, Dinara masih saja berdiam diri di dalam mobil. Bukan tanpa alasan, perempuan itu hanya perlu waktu sedikit lebih lama, untuk menyiapkan hati dan meyakinkan diri, sebelum benar-benar pergi menemui Jeremy. Sebab, bukan hal mudah untuk berhadapan dengan Jeremy di ketika ini. Jika kemarin siang saja laki-laki itu bisa menunjukkan kemarahan yang begitu menggebu-gebu terhadap dirinya, lantas bagaimana dengan hari ini? Biar bagaimanapun, ditahannya Jeremy, tidak terlepas dari upaya Dinara yang diam-diam merekam pembicaraan mereka kemarin lalu. Jadi, bukan tidak mungkin dia akan meluapkan kemarahan, jika mereka bertemu nanti. Pemikiran itulah yang membuat Dinara merasa was-was. Namun demikian, dia tidak bisa mundur begitu saja. Apapun yang terjadi, dia harus tetap bertemu dan bicara dengan Jeremy. Bukan sekedar untuk memenuhi permintaan Viola, melainkan juga untuk menuruti kata hatinya sendiri. Pada akhirnya, setelah memeriksa w
Sebagaimana yang dikatakan oleh Dinara, rekaman suara itu benar-benar bisa menjadi barang bukti yang kuat. Beberapa jam setelah Dean menyerahkannya pada polisi, Jeremy akhirnya resmi di tahan. Rasa kaget dan tak percaya tentu saja menyeruak dalam diri Jeremy, saat polisi menunjukkan surat perintah penahanan terhadap dirinya. Mereka mengatakan, sudah ada bukti yang menguatkan dugaan, bahwa dirinya terlibat dalam kasus penipuan yang dilakukan oleh Rudy. Hal yang membuat Jeremy merasa semakin kalut adalah, polisi menahannya ketika dia sedang memimpin rapat di kantor. Akibatnya, bukan hanya orang-orang yang berada di ruang rapat, tapi hampir semua orang yang ada di kantor melihat dengan mata kepala mereka sendiri, bagaimana dia dibawa pergi oleh polisi. Desas-desus tentang sang CEO yang ditangkap oleh polisi seketika menyebar dengan cepat. Berbagai spekulasi bermunculan. Dalam sekejap, Jeremy telah menjadi perbincangan hangat semua orang di perusahaannya, dan reputasinya benar-benar te
Jeremy menyorot Dinara dengan bias kemarahan di kedua matanya. Aura suram dan mengintimidasi yang menyeruak dari kesuluruhan dia, berhasil membuat mantan istrinya itu menahan napas selama sepersekian detik. “Apa yang sudah kamu katakan pada ibuku?” Sekali lagi, Jeremy mengulang pertanyaan yang sama, namun dengan nada yang lebih ditekan-tekankan dari sebelumnya. Dinara tidak segera menjawab, alih-alih menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan. Dalam diam, dia tengah mengatur debar jantung yang sempat berpacu dengan kencang, begitu pula dengan ritme pernapasan yang sempat tertahan hingga akhirnya menjadi berantakan. Dinara sepenuhnya mengerti, cara terbaik menghadapi seseorang yang sedang diselimuti emosi seperti Jeremy di ketika ini, adalah dengan bersikap tenang dan hati-hati. Karena itu, Dinara sebisa mungkin menciptakan aura tenang di keseluruhan dirinya, alih-alih menunjukkan ketakutan dan rasa terintimidasi yang kentara. “Kamu bilang padanya tentang kasus pen
"Mas?" Nauna menahan langkah saat dia dan Dean baru saja keluar dari ruangan tempat bertemu dengan Lusi. Ketika laki-laki itu menoleh dan mengunci tatap padanya, dia segera bertanya dengan hati-hati, "Kamu sungguh-sungguh sudah memaafkan Mbak Lusi?"Dean tidak langsung menjawab. Sesaat, dia menatap Nauna dalam-dalam. Sekian detik kemudian, barulah dia buka suara, tapi bukan untuk memberikan jawaban, alih-alih balik bertanya, "Apa aku terlihat nggak bersungguh-sungguh, Nau?""Bukan begitu, Mas." Nauna segera menyangkal. "Aku hanya ingin memastikan. Maksudku... Mbak Lusi sudah melakukan hal yang sangat merugikanmu. Apakah semudah itu dia mendapatkan maaf darimu?"Dean lagi-lagi tidak segera menjawab, alih-alih mengajak Nauna duduk di kursi yang berada tak jauh dari mereka. Setelah duduk, Dean mulai berkata-kata, "Sebenarnya, nggak semudah itu, Nau. Jujur, aku juga merasa berat, tapi..." Dean menggantung sebentar kalimatnya. Setelah menghela napas berat, barulah dia genapkan, "Bagaimanap
"Nau, cepat ganti baju, kita ke kantor polisi sekarang!"Nauna baru saja keluar dari kamar mandi, ketika Dean tiba-tiba berkata dengan nada terburu-buru. "Ada apa, Mas?" Menanyakan itu, Nauna sambil beranjak menuju lemari, kemudian mengambil sehelai baju ganti dari dalamnya. "Mas Rudy dan Mbak Lusi sudah tiba di kantor pusat. Citra juga ada di sana, kita jemput dia sekarang," sahut Dean sebagaimana adanya. Mendengar ucapannya, sepasang mata Nauna terbuka lebar-lebar. Dia sudah menunggu kabar ini sejak tiga hari yang lalu, tepatnya sejak dia dan Dean pertama kali mendapatkan kabar tentang Rudy dan Lusi yang sudah ditangkap oleh polisi. Tanpa bertanya apa-apa lagi, Nauna bergegas berganti pakaian, kemudian mengambil kerudung dan mengenakannya dengan cepat. "Ayo, Mas!" ajak Nauna sembari menyambar tas dan memasukkan ponsel ke dalamnya. Dean mengangguk. Setelah meraih kunci mobil di atas nakas, dia dan Nauna segera keluar dari kamar dengan langkah tergesa-gesa. "Sudah sejak kapan me
"Ibu, tenanglah!" Viola berkata sembari menyentuh bahu sang ibu sebagai upaya menenangkannya. Meski Viola juga terkejut dengan semua yang dikatakan Dinara, dia masih bisa berpikir dengan jernih. Alih-alih mengusir mantan iparnya itu seperti apa yang dilakukan Jihan, dia justru ingin mendengar penjelasannya lebih banyak lagi. Akan tetapi, Jihan yang begitu emosional, tampaknya tidak mau mendengar apapun lagi. Sepasang matanya menyorot Dinara dengan tajam, kemudian berkata, "Pergilah, Dinara! Jangan katakan omong kosong apapun lagi tentang Jeremy!"Dinara tahu Jihan sedang kalut, karena itu dia sama sekali tidak ambil hati atas sikap dan ucapan wanita itu. Alih-alih angkat kaki seperti apa yang diminta, dia justru tetap duduk di tempatnya. "Bu," katanya dengan nada rendah dan terukur. "Ini nggak ada hubungannya dengan urusan pribadiku dan Mas Jeremy. Semua yang aku katakan ini, semata-mata untuk memberitahu Ibu yang sebenarnya, tentang apa yang sudah dilakukan Mas Jeremy demi mendapat
Setelah meninggalkan kediaman Jihan, Dinara segera mengajak Dean dan Nauna bertemu. Kebetulan, pasangan suami istri itu sedang berada di luar rumah, jadi mereka memutuskan untuk bertemu di sebuah kafe, sekalian makan siang bersama. Dinara tiba lebih dulu, sementara Dean dan Nauna datang sekitar sepuluh menit kemudian. Setelah memesan makanan dan minuman masing-masing, mereka tidak berbasa-basi lagi. Dinara segera menceritakan secara detail semua yang dia dengar dari Jihan, tentang persaingan bisnis antara orang tua Dean dan orang tua Jeremy. Mendengar apa yang diceritakan oleh Dinara, Dean dan Nauna tampak terkejut. "Aku sama sekali nggak tahu tentang ini." Dean berkomentar setelah Dinara benar-benar menyelesaikan ceritanya. "Aku nggak pernah mendengar kalau perusahaan Ayah sampai menyebabkan kebangkrutan untuk perusahaan lain. Mungkin karena saat itu aku masih terlalu muda untuk mengetahuinya."Dinara menghela napas. "Sudah kuduga," ucapnya dengan nada rendah nyaris tenggelam. "Ka