Lara mengerucutkan bibir menahan rasa dongkol.Sedangkan Abian gegas mendorong tubuh sang istri menjauh darinya dan segera bangkit. Rasa gusar membuatnya melangkahkan kakinya cepat keluar dari dalam ruangan."Dia datang!" suara tipis yang terdengar samar membuat langkah Abian terhenti selang selangkah melewati garis pintu.Sadar tengah diperhatikan diam-diam, Abian memutar bola matanya menyisir seluruh penjuru ruangan. Namun tak membuat pria itu menggerakkan kepalanya. Hal itu ia lakukan agar si pengintai tak tahu jika Abian mengetahui keberadaan mereka.Sebuah siku terlihat bergerak dari balik vas bunga keramik yang letaknya tak jauh dari tempat Abian berdiri kala itu. Vas bunga yang tak terlalu besar, tak dapat menutupi dua tubuh orang dewasa yang tengah bersembunyi di balik sana.Bisa Abian pastikan, jika mereka adalah mertua Abian yang tengah menguping di depan kamar. Terlihat dari gelang emas yang dipakai mama mertuanya sebelum ini.Abian menghela nafas panjang, sebelum beranjak
Sadar sesuatu menyembul dari balik resleting celana, mata Abian yang sebelumnya memejam tiba-tiba melebar. Ia gegas mendorong tubuhnya menjauhi Lara.Tautan bibir yang dipaksa terlepas membuat napas Abian dan Lara memburu. Kedua pandangan mata itu saling bertemu untuk beberapa saat, sebelum Abian memutuskan untuk bangkit dan melawan hawa nafsu yang mulai menguasai dirinya.Lara diam mematung. Merasakan kekecewaan yang mulai menyesakkan dada."Se-sepertinya orang tuamu sudah pergi. Aku akan cek ke luar," ujar Abian tergagap sebab salah tingkah. Matanya mengedar, seakan tak ingin teralih pada tubuh sang istri lagi, yang kini pakaiannya acak-acakan sebab ulahnya sendiri. Mungkin kejantanannya akan kembali bangkit jika hal itu benar terjadi.Abian gegas melangkah pergi tanpa menunggu jawaban. Namun bukan untuk mengecek keberadaan kedua mertuanya, Abian justru memasuki ruang kerjanya.Abian lantas buru-buru menutup pintu dan bersender di dinding ruangan. Mencoba menjernihkan pikirannya seb
Lara mengangguk ragu sebagai jawaban. Ada rasa tak percaya mendapatkan respon baik seperti yang ia harapkan. Namun ia melupakan sesuatu. Yakin kehadiran kedua orang tuanya yang menjadi sebab sikap Abian berubah."Tetaplah di rumah hari ini. Aku akan meminta seseorang untuk menggantikan tugasmu untuk sementara. Istirahatlah sejenak," ujar Abian seraya menyuapkan roti ke dalam mulutnya.Seluruh pasang mata yang menatap mulai mematung, seakan tak percaya dengan apa yang telah telinga mereka dengar."Aku harus berangkat sekarang, ada meeting dengan Klien penting hari ini." Setelah menghabiskan roti dalam sekali suap, Abian gegas bangkit. Mencium tangan kedua orang tuanya dan kedua mertuanya.Setelahnya Abian menghampiri Lara. Mengambil tangan kanan Lara paksa dan menempelkan punggung tangannya di dahi sang istri."Tetaplah di rumah, jangan keluyuran," pesan Abian singkat seraya menyentuh sedikit hidung Lara dengan telunjuknya.Lara sontak diam mematung. Bahkan kecupan kecil pada dahinya m
"Mama pulang dulu, Lea. Jaga kesehatanmu."Belum sepenuhnya pertanyaan Lara terjawab, tanpa Lara sadari, Calista telah melambaikan tangan dari kaca mobil yang perlahan menghilang dari pandangan mata.Entah kenapa, namun ada rasa tidak rela yang tiba-tiba menghantam. Seolah alam bawah sadar memerintahkan Lara untuk menghentikan mobil itu. Namun tak Lara sanggupi. Ia hanya diam menatap jalanan yang baru dilewati mobil kedua orang tuanya dengan tatapan sendu.Hingga dirinya hampir melupakan sesuatu. Yakin pesan singkat yang baru Abian kirimkan padanya.Lara pun buru-buru berlari kembali memasuki rumah tanpa menghiraukan tatapan heran dari kedua mertuanya."Aku harus cepat pergi ke perusahaan!" gumamnya lirih di tengah-tengah langkah kakinya yang tak henti menapaki lantai rumah.Setelah bersiap, Lara gegas kembali keluar rumah guna menunggu taksi online langganannya."Lea. Mau pergi ke mana? Abian menyuruhmu di rumah hari ini, kan?" Pertanyaan Sita seketika menghentikan langkah Lara setel
***Lara yang telah menyelesaikan makan siangnya, berdiri dari tempat duduk dan hendak membuang wadah bekas makanan ke tempat sampah.Tanpa lara sadari sebelumnya, salah seorang karyawati yang tak jauh dari tempat Lara gegas berdiri dan mengekor ke mana pun Lara memijakkan kaki.Bak seorang penguntit, wanita itu semakin mendekatkan dirinya ke arah Lara yang kala itu tengah membelakangi.Sadar dan merasa tak nyaman, Lara seketika menghentikan langkah kaki dan hendak berbalik badan dengan wajah kesal. Meminta penjelasan pada karyawati yang seakan membuntutinya ke mana pun ia pergi.Namun belum sempat mengucapkan sepatah kata, bahu Lara seketika diputar cepat kembali pada posisinya semula. Lara pun mengerinyitkan dahi tak mengerti."Sttt!" Karyawati meletakkan jari telunjuk di ujung bibirnya."Siapa kamu? Apa maumu?" tanya Lara cemas, selagi tubuhnya yang masih membelakangi, sebab kedua bahunya ditahan paksa oleh wanita asing yang tidak pernah ia lihat dalam perusahaan sebelumnya."Janga
Medina seketika meraih kalung di lehernya dan menatapnya sekilas."Kalung seperti ini kamu bilang bagus?" Medina menelengkan kepala dengan tatapan meremehkan.Kalung itu memang terlihat cukup usang, namun jika tidak menyukainya, seharusnya Medina menjual atau menyimpannya saja, kenapa harus dipakai?"Model kalung itu terlihat seperti punya Mamaku. Tapi sekarang sudah hilang karena dicuri seseorang. Tapi sudahlah, mungkin orang itu miskin, dan jauh lebih membutuhkan dari keluargaku." Lara menggidikkan bahu seraya tersenyum kecil.Sindiran itu tanpa sadar membuat darah Medina mendidih hingga naik ke puncak ubun-ubun.Sebagai seorang wanita yang mudah tersulut emosi, Medina merasa sindiran itu memang ditujukan padanya. Sebab kalung itu sebenarnya memang bukanlah miliknya. Namun sang suami selalu meminta dirinya memakai kalung itu tanpa sebab yang jelas. Ketika Medina bertanya pun Prasetya tak mengatakan alasannya dan memilih untuk pergi. Secara tidak langsung Medina beranggapan jika sang
"Berbalik!" titah Abian memutar jari telunjuk sebagai isyarat."Ta-tapi, Pak--""Berbalik!" Abian mengulangi kalimatnya dengan lantang, tatkala Lara tak kunjung menuruti perintahnya.Mendapatkan tatapan tajam membuat Lara gegas menurut tanpa banyak bertanya."Menunduk! Posisikan kedua tanganmu di depan seperti kelinci."Lara mengerinyitkan dahi, dan memutuskan untuk menurut saja tanpa banyak bertanya. Jika hari ini dia kembali membuat masalah, tidak menutup kemungkinan jika hukumannya akan ditambah semakin berat.Namun di sisi lain Lara merasa bingung. Ini pertama kali untuknya. Sebab biasanya, Abian hanya menghukum para pekerjanya dengan skorsing atau menghanguskan bonus bulanan.Mungkin status Lara saat ini membuat hukuman itu berubah."Lompat! Katakan, aku kelinci, sampai aku perintahkan untuk berhenti," titah Abian datar. Menyenderkan punggungnya di senderan kursi seraya menyilangkan kaki.'Apa? Aku kelinci? Apa orang ini sudah gila?' batin Lara heran."Tidak dengar perintahku? Ma
Seluruh pasang mata yang mereka lewati diam-diam memperhatikan. Hingga Abian sampai di samping tempat mobilnya terparkir."Buka pintunya!" titah Abian menghentikan langkah kakinya di sisi kiri mobil.Kedua tangan Abian yang kini menopang tubuh sang istri membuatnya kesulitan menggerakkan tangan. Lara pun gegas membantu membuka pintu.Abian perlahan memindahkan tubuh Lara ke atas bangku di samping kemudi.Namun saat akan bangkit, tubuh Abian tertahan oleh sesuatu."Ouch! Tu-tunggu dulu, Pak. Rambut saya tersangkut," ujar Lara memegangi kepalanya yang terus bergerak mengikuti gerakan tubuh Abian.Beberapa helai rambut Lara yang terurai, tak sengaja tersangkut di salah satu kancing kemeja sang suami."Tck! Kamu sungguh repotkan." Abian akhirnya kembali menunduk. Membiarkan Lara melepas simpul rambut yang menaut di salah satu kancing kemejanya.Hampir lima menit berlalu, namun Lara tak kunjung berhasil menarik kembali helai rambutnya yang tersangkut."Tidak bisa? Tarik saja kalau begitu."
"Pak, Nyonya masuk ke sebuah ruangan bersama wartawan itu." Kris yang bisa melihat dengan jelas dari balik kaca kemudi melapor pada atasannya, sontak Abian segera menepis tubuh Kris karena menutupi pandangannya, dan mendekatkan wajahnya ke arah jendela.Kris terkejut hingga terjepit di antara Abian dan senderan kursi kemudi, namun dia tidak bisa protes atau pun menunjukkan reaksi yang menonjol, sebab tak ingin menjadi sasaran kemarahan atasannya. Akhirnya, Kris hanya diam, bahkan untuk bernapas saja dia berusaha sepelan mungkin."Tck! Wanita itu!" decak Abian hampir tak terdengar, kedua tangannya mengepal erat menahan rasa geram.Setelah itu, Abian buru-buru mengambil ponselnya dan berinisiatif menelpon istrinya, dia ingin melihat apakah istrinya akan berkata jujur atau malah berbohong padanya.Setelah berdengung beberapa kali, akhirnya Lara mengangkat teleponnya, namun Abian hanya mendapati keheningan dari sana.Abian mengatur napasnya berulang kali, dia mencoba menahan diri dan bers
"Apa?" Prasetya tertegun dengan mata melebar, dia hampir tidak percaya dengan apa yang baru keluar dari mulut kekasihnya itu."Aku tidak memaksamu, hanya saja ... jika aku membawa mobil dengan nama orang lain, mungkin keluargaku, atau bahkan suamiku akan curiga," timpal Lara berkilah. Sejak kematiannya hari itu, Lara menjadi seorang wanita yang pandai bersilat lidah, bahkan dia sendiri pun hampir tidak mengenali dirinya sendiri."Memang ada benarnya." Prasetya terdiam sambil berpikir. 'Jika aku membeli mobil atas nama Lea, bagaimana aku menjelaskan tagihan kartu kredit yang akan datang pada Medina?'Di detik berikutnya, Prasetya dikejutkan dengan kedatangan pemilik showroom yang hendak melayaninya secara eksklusif."Pak Ronald." Prasetya buru-buru menjabat tangan pria paruh baya yang tengah tersenyum ramah ke arahnya, setelan jas hitam yang dia kenakan menunjukkan statusnya yang bukanlah orang biasa."Apakah Anda sudah memilih model yang Anda sukai, Pak Pras?" tanyanya."Belum, pacar
Mobil sedan tua itu mulai meninggalkan halaman parkir restoran, Abian dan Kris bergegas mengikuti dari belakang."Pak, saya tahu ini urusan pribadi Anda, saya juga tahu jika sebenarnya saya tidak berhak untuk ikut campur, tapi saya sudah ikut terjebak dalam situasi ini. Bisakah Anda menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi?" Dalam kebingungan itu, Kris berusaha berkonsentrasi pada jalan raya dan mobil sedan Prasetya yang melaju semakin cepat.Dalam situasi tegang itu Abian terdiam sejenak. "Singkatnya, Lea menanggapi ajakan makan wartawan itu dengan serius, mungkinkah Lea memiliki perasaan padanya?" Abian menatap Kris dengan wajah penasaran seakan menunggu jawaban.Kris tercengang, hingga kemudi mobil yang sedang dia pegang hampir memutar 60 derajat dari posisi semula. Beruntungnya, Kris dapat dengan cepat mengendalikan kemudi dan menyelamatkan dua nyawa yang hampir melayang.Plak!Abian menepuk keras bagian kepala belakang asistennya, sembari mendengus kesal. "Apa kau sudah gila?! Kit
Plak!Lara menepis kasar kedua lengan kekar yang hendak merengkuhnya."Jaga tingkah lakumu! Di sini banyak orang," bisik Lara memperingati dengan tatapan sengit.Namun alih-alih merasa bersalah, pria yang akrab disapa Prasetya itu hanya tersenyum tipis tanpa rasa malu.Abian melonggarkan simpul dasinya kasar. Berusaha menghilangkan sesaknya dada akibat pemandangan yang membuatnya kepanasan itu.Ternyata ajakan makan sebagai rasa terima kasih yang pernah jurnalis itu ucapkan ditanggapi sungguh-sungguh oleh sang istri.Sempat terbesit rasa bingung. Apa sebenarnya yang terlihat lebih baik dari wartawan itu jika dibandingkan dengan Abian? Mungkinkah selera sang istri sungguh rendahan?Melihat dua pasangan sejoli yang tengah berjalan memasuki cafe, membuat Abian memutuskan menghubungi sang asisten dengan ponselnya."Kris, sekarang temui aku di Cafe Hallyu. Bawa topi dan masker hitam. Aku menunggumu di parkiran," pungkas Abian sebelum memutus sambungan telepon tanpa menunggu jawaban.Hampir
Dengan cepat, Abian menyuapkan satu sendok sup ayam buatan Lara ke dalam mulutnya.Sup ayam adalah satu-satunya makanan berkuah favorit Abian. Ia tak tahu dari mana sang istri mengetahui makanan kesukaannya. Mungkinkah sang ibu yang memberitahunya sebelum ini?Daging ayam yang lembut berpadu dengan kuah kental itu terasa menyatu dalam mulut. Memberikan sensasi rasa yang berbeda pada lidah. Sebuah kenikmatan yang belum pernah Abian rasakan dalam setiap makanan yang pernah ia nikmati selama ini.Setelah suapan pertamanya, tanpa sadar tangan Abian terus menyuap tanpa henti. Ia bahkan hampir tak percaya jika hidangan ini dibuat oleh tangan seorang putri bangsawan manja yang bahkan tak pernah menginjakkan kaki di dapur sekali pun.Penyesalan seakan mulai menghantam. Rasanya ia telah menyia-nyiakan makanan enak selama ini dengan mengabaikan bahkan membuangnya ke tempat sampah."Pak, makannya pelan-pelan. Di dapur masih ada semangkuk lagi jika Anda masih mau." Ucapan Lara seakan menyadarkan
Lara membeku dengan mata melebar. Dia tak percaya jika Abian berani mengatakan hal itu di depannya.Akhirnya, Lara pasrah. Membiarkan Abian bertingkah sesukanya, termasuk mengompres perutnya hingga rasa nyeri perlahan mereda."Apa sudah mendingan?" Abian bertanya sebelum mengambil handuk yang sudah beberapa kali ia basahi dengan air hangat di atas perut sang istri.Namun Lara hanya mengangguk pelan sebagai jawaban, lantas kembali menunduk. Sekedar menatap wajah Abian pun ia terlalu malu.Abian tersenyum tipis, pertanda mengerti, sebelum bangkit dan beranjak pergi membawa baskom dan handuk basah di tangannya.****Keesokan harinya.Bunyi denting peralatan dapur terdengar saling beradu. Dimainkan dengan lihai oleh kedua tangan pemiliknya.Para pelayan hanya mampu menyaksikan dengan rasa was-was dari kejauhan. Mengingat peringatan yang diberikan majikannya kemarin, jika sang nona muda dilarang menginjakkan kaki di dapur. Namun sang nona muda seakan tak menggubris larangan mereka. Sementa
"Baiklah, hari ini aku memaafkanmu, Abian. Tapi jika sampai Lea terluka lagi karenamu, aku akan langsung membawanya ke pengadilan agama," terang Calista memperingati."Baik, Ma. Aku berjanji hal seperti ini tidak akan terulang lagi."Sita memandang heran ke arah Abian. Sikap sopan dan janjinya hari ini benar-benar membuatnya takjub. Tanpa Sita sadari, seulas senyum mengembang sempurna di bibirnya."Permisi," sela salah seorang perawat yang tengah memasuki bangsal dengan mendorong sebuah troli.Sontak seluruh kaki yang menghalangi jalan gegas berjalan menepi.Setelah mendekati tempat tidur pasien, perawat wanita itu nampak meletakkan sebuah makanan di atas piring bersekat. Tak lupa beberapa tablet vitamin sesuai anjuran dokter diletakkan perawat itu di sampingnya.Pelayan wanita mengangguk sekilas sebelum beranjak pergi mendorong troli keluar dari dalam bangsal.Sita menatap tajam ke arah sang putra dan memberi isyarat dengan anggukan dagu.Sedangkan Abian yang langsung mengerti segera
Ini jelas bukan gaya bicara Lea. Jangankan perihal agama, membaca basmalah saja dia tidak bisa.Abiam membeku dengan mata melebar. Ini aneh, sungguh aneh.Abian tanpa sadar gegas bangkit dan mundur beberapa langkah. Kepanikannya membuat sebaskom air hangat yang semula ia letakkan di atas meja terjatuh ke lantai.Dengan tubuh gemetaran, Abian menatap Lara penuh waspada. "Si-siapa kamu sebenarnya?"Lagi. Pertanyaan itu membuat nyeri hebat perlahan menjalar ke sekujur tubuh. Lara tercekat hingga tak mampu bersuara, sebab nyeri itu tak lagi menyerang dada dan tenggorokannya, tapi mulai menyerang kepala.Entah efek demam tinggi yang ia derita, atau efek dari Abian yang telah menaruh curiga?Pandangan Lara terasa berkunang-kunang. Perlahan kabur dan mulai gelap. Dalam rasa sakit itu, akhirnya Lara kehilangan kesadaran.***Suara alat pendeteksi detak jantung terdengar berirama. Dan akhirnya berhasil membuat Lara terjaga."Detak jantung Pasien sangat lemah. Untungnya, Pasien segera dibawa ke
Tanpa aba-aba, Lara gegas berdiri tegak di hadapan Abian. Tentunya bagian intim dari wanita itu terkespos sempurna.Meski merasa malu awalnya, namun Lara berusaha meredam rasa itu. Sebab jika dirinya terus jual mahal, tak menutup kemungkinan jika dirinya hanya bisa menunggu liontin kelopak bunga habis tanpa bisa berbuat banyak."Sentuhlah di bagian mana pun yang Anda mau," ujar Lara meyakinkan.Abian diam mematung dengan wajah terperangah. Menghindar pun rasanya sulit, sebab bak mandi yang mereka tempati terlalu sempit.Nafsu Abian terasa bergejolak, namun hati nuraninya terus menolak.Seraya mengatur nafas yang tersengal, Abian memutar cepat kepalanya ke arah lain. Ia tak ingin pemandangan indah itu membutakan nuraninya. "Jangan gila! Cepat pakai pakaianmu!" titah Abian lantang.Mendengar penolakan itu seketika membuat hati Lara sesak. Wanita itu menundukkan wajah tak berdaya, sebelum kembali bertekad kuat dengan semakin berani mendekatkan dirinya pada sang suami.Seakan tak memiliki