Seluruh pasang mata yang mereka lewati diam-diam memperhatikan. Hingga Abian sampai di samping tempat mobilnya terparkir."Buka pintunya!" titah Abian menghentikan langkah kakinya di sisi kiri mobil.Kedua tangan Abian yang kini menopang tubuh sang istri membuatnya kesulitan menggerakkan tangan. Lara pun gegas membantu membuka pintu.Abian perlahan memindahkan tubuh Lara ke atas bangku di samping kemudi.Namun saat akan bangkit, tubuh Abian tertahan oleh sesuatu."Ouch! Tu-tunggu dulu, Pak. Rambut saya tersangkut," ujar Lara memegangi kepalanya yang terus bergerak mengikuti gerakan tubuh Abian.Beberapa helai rambut Lara yang terurai, tak sengaja tersangkut di salah satu kancing kemeja sang suami."Tck! Kamu sungguh repotkan." Abian akhirnya kembali menunduk. Membiarkan Lara melepas simpul rambut yang menaut di salah satu kancing kemejanya.Hampir lima menit berlalu, namun Lara tak kunjung berhasil menarik kembali helai rambutnya yang tersangkut."Tidak bisa? Tarik saja kalau begitu."
Atas arahan dokter, Lara gegas dibawa ke salah satu bangsal di rumah sakit itu.Setelah melakukan sejumlah pemeriksaan medis pada kaki, dokter melilitkan perban elastis di sekitar luka memar."Ini akan membaik dalam beberapa hari ke depan. Ganjal kaki yang terkilir dengan bantal atau guling saat tidur, guna mengurangi pembengkakan," terang dokter."Hanya begitu saja? Tidak dikasih obat atau salep gitu?" Abian mengangkat alisnya heran."Saya akan memberikan obat pereda nyeri. Kompres air es jika bengkaknya tak kunjung kempes." Dokter mengambil satu strip obat pereda nyeri dalam raknya dan memberikannya pada Abian.Abian memandangi parasetamol yang ada di tangannya. 'Jika tahu begini, aku juga bisa menghubungi Dokter pribadi untuk datang ke rumah. Tidak perlu membuang waktu pergi ke rumah sakit'Setelah selesai melakukan pemeriksaan, keduanya keluar dari dalam rumah sakit. Namun bedanya, Lara kini duduk di sebuah kursi roda. Sedangkan Abian mendorongnya dari belakang."Aku mengerti kau
"Begitukah? Apa itu benar, Abian?""I-iya, Ma," jawab Abian tergagap. Wajahnya tertunduk menyembunyikan sorot kebohongan dari matanya."Kalau begitu Mama akan segera memanggil Dokter, maaf telah menyalahkanmu atas semua ini.""Tidak perlu, Ma. Kami baru saja pulang dari rumah sakit," sahut Lara sebagai penengah. Tentunya hal itu ia lakukan sebab tatapan sang mama mertua masih menyiratkan rasa curiga."Benarkah? Karena Abian adalah Suami sigap yang siap siaga, selama kaki Lea belum sembuh, seluruh tanggung jawab mengenai keperluan Lea ada di tanganmu. Mulai dari mandi, makan, obat, dan segala kebutuhan lainnya. Mama tak mengijinkan Pelayan membantumu. Mengerti, Abian?" Sita melipat kedua tangannya di depan dada. Sedangkan tatapannya masih terasa penuh curiga."Si-siap!" jawab Abian lantang tanpa berpikir panjang. Yang terpenting baginya untuk saat ini hanyalah menghilangkan kecurigaan sang ibu setelah dirinya diminta untuk mencoba menerima Lea sebagai seorang istri. Terlebih, kondisi L
Setelah melepas seluruh pakaiannya, Lara gegas menuangkan sabun cair ke bak mandi. Setelahnya, kedua tangannya mengocok air hingga gelembung sabun terlihat memenuhi bathtub.Hal itu Lara lakukan agar tubuh bagian bawahnya tak terlihat dari air jernih yang ia pakai berendam.Lara pun pada akhirnya teringat akan sesuatu. 'Aduh! Aku lupa membawa baju ganti'"Emm, Pak Abian. Bisa bantu saya mengambil baju ganti? Sa-saya lupa bawa," ujar Lara ragu. Ini kali pertama dirinya memberikan sebuah perintah untuk Abian selama berstatus sebagai atasannya."Oke." Di luar dugaan, Abian menanggapinya dengan santai. Tak sedikit pun Lara menangkap raut kesal setelah menerima perintah dari dirinya.Pria tampan dengan kaos hitam polos itu masih tetap berada di posisi semula. Membelakangi bak mandi. Gegas berjalan ke arah pintu dan kembali menutupnya rapat.Selang beberapa detik, pria itu kembali, namun dengan mata terpejam. Kedua tangannya meraba mencari pegangan, begitu pula kakinya yang berusaha mencari
Tanpa aba-aba, Lara gegas berdiri tegak di hadapan Abian. Tentunya bagian intim dari wanita itu terkespos sempurna.Meski merasa malu awalnya, namun Lara berusaha meredam rasa itu. Sebab jika dirinya terus jual mahal, tak menutup kemungkinan jika dirinya hanya bisa menunggu liontin kelopak bunga habis tanpa bisa berbuat banyak."Sentuhlah di bagian mana pun yang Anda mau," ujar Lara meyakinkan.Abian diam mematung dengan wajah terperangah. Menghindar pun rasanya sulit, sebab bak mandi yang mereka tempati terlalu sempit.Nafsu Abian terasa bergejolak, namun hati nuraninya terus menolak.Seraya mengatur nafas yang tersengal, Abian memutar cepat kepalanya ke arah lain. Ia tak ingin pemandangan indah itu membutakan nuraninya. "Jangan gila! Cepat pakai pakaianmu!" titah Abian lantang.Mendengar penolakan itu seketika membuat hati Lara sesak. Wanita itu menundukkan wajah tak berdaya, sebelum kembali bertekad kuat dengan semakin berani mendekatkan dirinya pada sang suami.Seakan tak memiliki
Ini jelas bukan gaya bicara Lea. Jangankan perihal agama, membaca basmalah saja dia tidak bisa.Abiam membeku dengan mata melebar. Ini aneh, sungguh aneh.Abian tanpa sadar gegas bangkit dan mundur beberapa langkah. Kepanikannya membuat sebaskom air hangat yang semula ia letakkan di atas meja terjatuh ke lantai.Dengan tubuh gemetaran, Abian menatap Lara penuh waspada. "Si-siapa kamu sebenarnya?"Lagi. Pertanyaan itu membuat nyeri hebat perlahan menjalar ke sekujur tubuh. Lara tercekat hingga tak mampu bersuara, sebab nyeri itu tak lagi menyerang dada dan tenggorokannya, tapi mulai menyerang kepala.Entah efek demam tinggi yang ia derita, atau efek dari Abian yang telah menaruh curiga?Pandangan Lara terasa berkunang-kunang. Perlahan kabur dan mulai gelap. Dalam rasa sakit itu, akhirnya Lara kehilangan kesadaran.***Suara alat pendeteksi detak jantung terdengar berirama. Dan akhirnya berhasil membuat Lara terjaga."Detak jantung Pasien sangat lemah. Untungnya, Pasien segera dibawa ke
"Baiklah, hari ini aku memaafkanmu, Abian. Tapi jika sampai Lea terluka lagi karenamu, aku akan langsung membawanya ke pengadilan agama," terang Calista memperingati."Baik, Ma. Aku berjanji hal seperti ini tidak akan terulang lagi."Sita memandang heran ke arah Abian. Sikap sopan dan janjinya hari ini benar-benar membuatnya takjub. Tanpa Sita sadari, seulas senyum mengembang sempurna di bibirnya."Permisi," sela salah seorang perawat yang tengah memasuki bangsal dengan mendorong sebuah troli.Sontak seluruh kaki yang menghalangi jalan gegas berjalan menepi.Setelah mendekati tempat tidur pasien, perawat wanita itu nampak meletakkan sebuah makanan di atas piring bersekat. Tak lupa beberapa tablet vitamin sesuai anjuran dokter diletakkan perawat itu di sampingnya.Pelayan wanita mengangguk sekilas sebelum beranjak pergi mendorong troli keluar dari dalam bangsal.Sita menatap tajam ke arah sang putra dan memberi isyarat dengan anggukan dagu.Sedangkan Abian yang langsung mengerti segera
Lara membeku dengan mata melebar. Dia tak percaya jika Abian berani mengatakan hal itu di depannya.Akhirnya, Lara pasrah. Membiarkan Abian bertingkah sesukanya, termasuk mengompres perutnya hingga rasa nyeri perlahan mereda."Apa sudah mendingan?" Abian bertanya sebelum mengambil handuk yang sudah beberapa kali ia basahi dengan air hangat di atas perut sang istri.Namun Lara hanya mengangguk pelan sebagai jawaban, lantas kembali menunduk. Sekedar menatap wajah Abian pun ia terlalu malu.Abian tersenyum tipis, pertanda mengerti, sebelum bangkit dan beranjak pergi membawa baskom dan handuk basah di tangannya.****Keesokan harinya.Bunyi denting peralatan dapur terdengar saling beradu. Dimainkan dengan lihai oleh kedua tangan pemiliknya.Para pelayan hanya mampu menyaksikan dengan rasa was-was dari kejauhan. Mengingat peringatan yang diberikan majikannya kemarin, jika sang nona muda dilarang menginjakkan kaki di dapur. Namun sang nona muda seakan tak menggubris larangan mereka. Sementa
"Pak, Nyonya masuk ke sebuah ruangan bersama wartawan itu." Kris yang bisa melihat dengan jelas dari balik kaca kemudi melapor pada atasannya, sontak Abian segera menepis tubuh Kris karena menutupi pandangannya, dan mendekatkan wajahnya ke arah jendela.Kris terkejut hingga terjepit di antara Abian dan senderan kursi kemudi, namun dia tidak bisa protes atau pun menunjukkan reaksi yang menonjol, sebab tak ingin menjadi sasaran kemarahan atasannya. Akhirnya, Kris hanya diam, bahkan untuk bernapas saja dia berusaha sepelan mungkin."Tck! Wanita itu!" decak Abian hampir tak terdengar, kedua tangannya mengepal erat menahan rasa geram.Setelah itu, Abian buru-buru mengambil ponselnya dan berinisiatif menelpon istrinya, dia ingin melihat apakah istrinya akan berkata jujur atau malah berbohong padanya.Setelah berdengung beberapa kali, akhirnya Lara mengangkat teleponnya, namun Abian hanya mendapati keheningan dari sana.Abian mengatur napasnya berulang kali, dia mencoba menahan diri dan bers
"Apa?" Prasetya tertegun dengan mata melebar, dia hampir tidak percaya dengan apa yang baru keluar dari mulut kekasihnya itu."Aku tidak memaksamu, hanya saja ... jika aku membawa mobil dengan nama orang lain, mungkin keluargaku, atau bahkan suamiku akan curiga," timpal Lara berkilah. Sejak kematiannya hari itu, Lara menjadi seorang wanita yang pandai bersilat lidah, bahkan dia sendiri pun hampir tidak mengenali dirinya sendiri."Memang ada benarnya." Prasetya terdiam sambil berpikir. 'Jika aku membeli mobil atas nama Lea, bagaimana aku menjelaskan tagihan kartu kredit yang akan datang pada Medina?'Di detik berikutnya, Prasetya dikejutkan dengan kedatangan pemilik showroom yang hendak melayaninya secara eksklusif."Pak Ronald." Prasetya buru-buru menjabat tangan pria paruh baya yang tengah tersenyum ramah ke arahnya, setelan jas hitam yang dia kenakan menunjukkan statusnya yang bukanlah orang biasa."Apakah Anda sudah memilih model yang Anda sukai, Pak Pras?" tanyanya."Belum, pacar
Mobil sedan tua itu mulai meninggalkan halaman parkir restoran, Abian dan Kris bergegas mengikuti dari belakang."Pak, saya tahu ini urusan pribadi Anda, saya juga tahu jika sebenarnya saya tidak berhak untuk ikut campur, tapi saya sudah ikut terjebak dalam situasi ini. Bisakah Anda menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi?" Dalam kebingungan itu, Kris berusaha berkonsentrasi pada jalan raya dan mobil sedan Prasetya yang melaju semakin cepat.Dalam situasi tegang itu Abian terdiam sejenak. "Singkatnya, Lea menanggapi ajakan makan wartawan itu dengan serius, mungkinkah Lea memiliki perasaan padanya?" Abian menatap Kris dengan wajah penasaran seakan menunggu jawaban.Kris tercengang, hingga kemudi mobil yang sedang dia pegang hampir memutar 60 derajat dari posisi semula. Beruntungnya, Kris dapat dengan cepat mengendalikan kemudi dan menyelamatkan dua nyawa yang hampir melayang.Plak!Abian menepuk keras bagian kepala belakang asistennya, sembari mendengus kesal. "Apa kau sudah gila?! Kit
Plak!Lara menepis kasar kedua lengan kekar yang hendak merengkuhnya."Jaga tingkah lakumu! Di sini banyak orang," bisik Lara memperingati dengan tatapan sengit.Namun alih-alih merasa bersalah, pria yang akrab disapa Prasetya itu hanya tersenyum tipis tanpa rasa malu.Abian melonggarkan simpul dasinya kasar. Berusaha menghilangkan sesaknya dada akibat pemandangan yang membuatnya kepanasan itu.Ternyata ajakan makan sebagai rasa terima kasih yang pernah jurnalis itu ucapkan ditanggapi sungguh-sungguh oleh sang istri.Sempat terbesit rasa bingung. Apa sebenarnya yang terlihat lebih baik dari wartawan itu jika dibandingkan dengan Abian? Mungkinkah selera sang istri sungguh rendahan?Melihat dua pasangan sejoli yang tengah berjalan memasuki cafe, membuat Abian memutuskan menghubungi sang asisten dengan ponselnya."Kris, sekarang temui aku di Cafe Hallyu. Bawa topi dan masker hitam. Aku menunggumu di parkiran," pungkas Abian sebelum memutus sambungan telepon tanpa menunggu jawaban.Hampir
Dengan cepat, Abian menyuapkan satu sendok sup ayam buatan Lara ke dalam mulutnya.Sup ayam adalah satu-satunya makanan berkuah favorit Abian. Ia tak tahu dari mana sang istri mengetahui makanan kesukaannya. Mungkinkah sang ibu yang memberitahunya sebelum ini?Daging ayam yang lembut berpadu dengan kuah kental itu terasa menyatu dalam mulut. Memberikan sensasi rasa yang berbeda pada lidah. Sebuah kenikmatan yang belum pernah Abian rasakan dalam setiap makanan yang pernah ia nikmati selama ini.Setelah suapan pertamanya, tanpa sadar tangan Abian terus menyuap tanpa henti. Ia bahkan hampir tak percaya jika hidangan ini dibuat oleh tangan seorang putri bangsawan manja yang bahkan tak pernah menginjakkan kaki di dapur sekali pun.Penyesalan seakan mulai menghantam. Rasanya ia telah menyia-nyiakan makanan enak selama ini dengan mengabaikan bahkan membuangnya ke tempat sampah."Pak, makannya pelan-pelan. Di dapur masih ada semangkuk lagi jika Anda masih mau." Ucapan Lara seakan menyadarkan
Lara membeku dengan mata melebar. Dia tak percaya jika Abian berani mengatakan hal itu di depannya.Akhirnya, Lara pasrah. Membiarkan Abian bertingkah sesukanya, termasuk mengompres perutnya hingga rasa nyeri perlahan mereda."Apa sudah mendingan?" Abian bertanya sebelum mengambil handuk yang sudah beberapa kali ia basahi dengan air hangat di atas perut sang istri.Namun Lara hanya mengangguk pelan sebagai jawaban, lantas kembali menunduk. Sekedar menatap wajah Abian pun ia terlalu malu.Abian tersenyum tipis, pertanda mengerti, sebelum bangkit dan beranjak pergi membawa baskom dan handuk basah di tangannya.****Keesokan harinya.Bunyi denting peralatan dapur terdengar saling beradu. Dimainkan dengan lihai oleh kedua tangan pemiliknya.Para pelayan hanya mampu menyaksikan dengan rasa was-was dari kejauhan. Mengingat peringatan yang diberikan majikannya kemarin, jika sang nona muda dilarang menginjakkan kaki di dapur. Namun sang nona muda seakan tak menggubris larangan mereka. Sementa
"Baiklah, hari ini aku memaafkanmu, Abian. Tapi jika sampai Lea terluka lagi karenamu, aku akan langsung membawanya ke pengadilan agama," terang Calista memperingati."Baik, Ma. Aku berjanji hal seperti ini tidak akan terulang lagi."Sita memandang heran ke arah Abian. Sikap sopan dan janjinya hari ini benar-benar membuatnya takjub. Tanpa Sita sadari, seulas senyum mengembang sempurna di bibirnya."Permisi," sela salah seorang perawat yang tengah memasuki bangsal dengan mendorong sebuah troli.Sontak seluruh kaki yang menghalangi jalan gegas berjalan menepi.Setelah mendekati tempat tidur pasien, perawat wanita itu nampak meletakkan sebuah makanan di atas piring bersekat. Tak lupa beberapa tablet vitamin sesuai anjuran dokter diletakkan perawat itu di sampingnya.Pelayan wanita mengangguk sekilas sebelum beranjak pergi mendorong troli keluar dari dalam bangsal.Sita menatap tajam ke arah sang putra dan memberi isyarat dengan anggukan dagu.Sedangkan Abian yang langsung mengerti segera
Ini jelas bukan gaya bicara Lea. Jangankan perihal agama, membaca basmalah saja dia tidak bisa.Abiam membeku dengan mata melebar. Ini aneh, sungguh aneh.Abian tanpa sadar gegas bangkit dan mundur beberapa langkah. Kepanikannya membuat sebaskom air hangat yang semula ia letakkan di atas meja terjatuh ke lantai.Dengan tubuh gemetaran, Abian menatap Lara penuh waspada. "Si-siapa kamu sebenarnya?"Lagi. Pertanyaan itu membuat nyeri hebat perlahan menjalar ke sekujur tubuh. Lara tercekat hingga tak mampu bersuara, sebab nyeri itu tak lagi menyerang dada dan tenggorokannya, tapi mulai menyerang kepala.Entah efek demam tinggi yang ia derita, atau efek dari Abian yang telah menaruh curiga?Pandangan Lara terasa berkunang-kunang. Perlahan kabur dan mulai gelap. Dalam rasa sakit itu, akhirnya Lara kehilangan kesadaran.***Suara alat pendeteksi detak jantung terdengar berirama. Dan akhirnya berhasil membuat Lara terjaga."Detak jantung Pasien sangat lemah. Untungnya, Pasien segera dibawa ke
Tanpa aba-aba, Lara gegas berdiri tegak di hadapan Abian. Tentunya bagian intim dari wanita itu terkespos sempurna.Meski merasa malu awalnya, namun Lara berusaha meredam rasa itu. Sebab jika dirinya terus jual mahal, tak menutup kemungkinan jika dirinya hanya bisa menunggu liontin kelopak bunga habis tanpa bisa berbuat banyak."Sentuhlah di bagian mana pun yang Anda mau," ujar Lara meyakinkan.Abian diam mematung dengan wajah terperangah. Menghindar pun rasanya sulit, sebab bak mandi yang mereka tempati terlalu sempit.Nafsu Abian terasa bergejolak, namun hati nuraninya terus menolak.Seraya mengatur nafas yang tersengal, Abian memutar cepat kepalanya ke arah lain. Ia tak ingin pemandangan indah itu membutakan nuraninya. "Jangan gila! Cepat pakai pakaianmu!" titah Abian lantang.Mendengar penolakan itu seketika membuat hati Lara sesak. Wanita itu menundukkan wajah tak berdaya, sebelum kembali bertekad kuat dengan semakin berani mendekatkan dirinya pada sang suami.Seakan tak memiliki