Begitu kami sampai di cafe yang dimaksud, aku langsung menghubungi gawaiku dengan ponsel milik Chris. Beruntung, cafe itu sedang tidak terlalu ramai. Jadi, jika gadget-ku berdering, seharusnya tidak akan sulit untuk menemukannya.
Benar saja! Dering yang familiar terdengar dari arah meja ketiga dari sudut ruangan. Hampir berlari, aku pun segera menghampiri si sumber bunyi.
Tepat ketika aku berdiri di samping meja itu, aku mendapati gawaiku yang masih berdering di atas meja. Saat aku melihat layar benda itu menampilkan foto Chris yang sedang berpose hendak melempar bola basket, aku jadi semakin yakin.
Well, meskipun sudut fotonya diambil dari samping dan separuh wajahnya tertutup
DUK! DUK! DUK!“Chris, guard him!” titah pria tampan bertubuh tinggi yang berdiri di tengah lapangan basket. Tangan kanannya sibuk memantulkan si bola oranye, sedangkan tangan kiri yang bebas mengusap keringat di dahinya.Sayangnya, aku, yang seharusnya ikut bermain basket dengan Chris dan Adachi, malah duduk di pinggir lapangan dengan Kobayashi-san dan Reika, keponakan Adachi. Bukannya aku tidak suka duduk bersama Kobayashi-san dan Reika yang menggemaskan. Hanya, aku merasa sangat tidak adil.Awalnya, kami sudah sepakat untuk bermain two on one secara bergantian. Namun, semua rencana langsung berubah ketika Zean datang.
“Kenapa mukamu merah?”“Nggak usah ngoceh yang aneh-aneh! Sana fokus jaga si bocah!” titahku kesal pada Adachi yang masih sempat-sempatnya menggodaku. Padahal Chris baru saja menembus pertahanannya dan mencetak angka dengan dunk yang cantik.“Oh, pelukan yang tadi nggak cukup, ya?” godanya lagi yang langsung kuhadiahi lirikan tajam.Bukannya kapok atau berhenti, Adachi malah menyeringai. “Ok, Boss. Pria single yang tampan ini tidak akan mengganggu bermesraan kalian.”Sebelum aku mengomel, Adachi sudah berlari menghampiri Chris yang memantulk
SRUUG!"YESS!"Suara bola yang masuk dengan sempurna ke dalam ring, disusul oleh sorak gembira dari si pelempar yang masih berdiri tepat di area three point shot.Demi apa? Saat pandangan mata kami bertemu, kedua ujung bibir Chris tiba-tiba terangkat, membentuk senyum menyebalkan yang membuatku ingin segera menjitak kepalanya.Baiklah. Di satu sisi, aku sangat paham kalau ia sedang sangat gembira karena lemparan tiga angka-nya lagi-lagi berhasil. Akan tetapi, lirikan yang sarat akan olokan itu seharusnya juga bisa dikondisikan, bukan? Atau ia memang sengaja memprovokasi amarahku aga
Seketika, kakiku berhenti melangkah. Kemudian, aku menoleh, dan menatap Zean seolah pria itu baru saja mengatakan hal yang tidak masuk akal."Aren't you mine already?"Biasanya, jika Zean mengatakan hal cheesy seperti tadi, aku cenderung memberikan respon datar atau dingin. Pertanda bahwa aku ingin ia segera berhenti mengatakan hal menggelikan yang terdengar seperti omong kosong itu. Namun, kali ini berbeda.Kalau Zean mengira aku akan kalah dengan jokes cheesy-nya, ia salah besar. Setelah bertahun-tahun ia gombali dengan topik yang kurang lebih sama, mana mungkin aku tidak kebal, 'kan?
“Apalagi, dia juga yakin banget kalau Kak Eka belum sadar kalau ponselnya Kakak hilang. Padahal, Kak Eka pasti sudah tahu, kan ya?"EH! Sial! Kenapa tebakan Lucas tepat sasaran?"I-iya, dong! Kalau nggak, mana mungkin sekarang aku yang angkat teleponmu, ya kan? Hahaha," jawabku spontan lalu tertawa hambar.Well, yang penting sekarang, saat Rere bertanya, aku sudah tahu kalau ponselku memang sempat hilang, 'kan? Berarti, aku tidak berbohong, 'kan?"Humph!"Seketika, aku langsung menoleh ke arah asal suara yang seperti sedang menahan tawa. Benar saja. Chris sedang menatapku sambil tersenyum jahil.
Langit yang semula didominasi oleh warna biru yang tenang, perlahan berubah menjadi jingga dengan gradasi yang indah. Pertanda bahwa senja sudah tiba. Angin yang bertiup sepoi-sepoi memperkuat kesan syahdu saat aku menikmati pemandangan alam dari atas bukit.Biasanya, dengan melihat pemandangan indah seperti ini akan membuat perasaanku membaik. Sayangnya, cara kali ini tidak terlalu berhasil. Apalagi kalau bukan karena aku masih sering tiba-tiba teringat cerita Rere di telepon tadi."Maaf, Kak. Tadi Lucas hanya bilang begitu, terus dia pergi ke ruangan lain buat telepon. Jadi, nama kontaknya pun aku nggak tahu."Pada saat itu, otakku langsung mereka ulang adegan saat aku baru mendapat kabar bahwa
Semula, aku memang berencana untuk menyendiri sambil merekam pemandangan langit senja. Namun, karena ada anak-anak yang bermain baseball di bawah bukit, aku pun tertarik untuk merekam pertandingan mereka juga untuk menambah footage video yang ingin kubuat. Sayangnya, sebelum aku sempat membereskan semua barangku untuk pindah tempat, tiba-tiba seseorang datang dan mengejutkanku. “Kak Eka mau ke mana?” Spontan, aku menoleh ke arah suara. Begitu melihat sosok Chris yang berdiri di sampingku sambil berwajah sok tegas, aku pun balas menatapnya tajam. “Memangnya kenapa?”
Bukannya langsung menjawab, Chris justru menatapku heran."Tahu apa?" Eh, pemuda itu malah bertanya balik.Otomatis, aku langsung menatapnya bingung. Berarti tadi Chris asal tebak? Jika ia memang asal menebak, aku tidak boleh sampai memperlihatkan kalau tebakannya benar! Ini bisa jadi bahan untuk meledekku, and who knows what will he do if he knew. So he better don’t know.Maka, aku pun menggeleng. Kemudian, dengan santainya, aku kembali membereskan barang-barangku untuk pindah lokasi meditasi."Lho? Rekam langitnya sudah selesai