Sinar matahari begitu terik. Namun, semangat para penonton di tribun sama sekali belum reda. Bahkan, mereka semakin bersemangat karena pertandingan sudah memasuki inning terakhir dengan kedudukan yang hanya selisih dua run.
Situasi semakin memanas ketika sang batter bertubuh kecil itu berhasil memukul bola menukik hingga membentur pagar pembatas dengan kencang. Otomatis, aku pun ikut bersorak, ketika pelari di base tiga berhasil mencapai home, sementara pelari setelahnya dan juga si batter barusan mengisi base ketiga dan kedua.
Pertandingan semakin memanas ketika p
Pakaiannya kasual. Ia mengenakan kaos polos berwarna putih di balik jaket denim dengan celana berwarna senada dengan jaketnya. Jika dibandingkan orang-orang yang mengantri di sekitarnya, ia tergolong pria yang tinggi. Punggungnya yang tegap, kulitnya yang putih, rambut hitamnya yang dipotong pendek dan rapi, serta sisi wajahnya yang terlihat ketika ia menoleh, semuanya benar-benar membuatku teringat pada pemuda sok sibuk yang sampai sekarang belum membalas email terakhir yang kukirimkan. “Udah mati kali tuh orang.” Itulah komentar dari beberapa teman kampusku tentang seseorang yang dulunya selalu ada, tetapi mendadak tidak pernah memberikan kabar. Bisa jadi mereka komentar begitu karena saat itu topik pembicaraan kami mengarah tentang para pelaku gho
Sepanjang perjalanan, aku sudah membayangkan kalau akan ada perbedaan signifikan dari pesta bisnis yang selama ini kami hadiri. Nyatanya, memang banyak. Yang paling mencolok adalah bahasa yang digunakan.Sebenarnya aku cukup cemas karena Kobayashi-san, wanita cantik yang dipekerjakan Zean sebagai bodyguard dan juga interpreter untukku sejak kami menginjakkan kaki di Jepang, dilarang sang boss untuk menghadiri pesta ini. Padahal, sepanjang pengamatanku, ada beberapa tamu yang didampingi penerjemah.Well, Zean memang bilang kalau aku tidak perlu penerjemah selama aku bersamanya. Namun, kalau memang begitu, bukankah itu artinya ia menyuruhku untuk menempelinya sepanjang pesta? L
"Kak, ke Disneyland, yuk!"Aku melirik Chris sekilas, kemudian kembali fokus menyantap sarapanku."Sorry, not today, Brother. Siang nanti aku mau nonton pertandingan.""Baseball lagi?" tebaknya.Aku mengangguk, dan terdengarlah suara helaan napas panjang dari arah pemuda yang duduk di seberangku. Ia terdengar kecewa, tetapi aku tidak ambil pusing."Kak Eka nggak seru," oloknya tiba-tiba yang ⏤tentu saja⏤ aku abaikan.Menurutku, ia sudah cukup dewasa untuk melancong sendirian. Kalaupun ia memang per
Menjadi seorang kakak memang tidak mudah. Terlebih, jika menjadi kakak seorang Chris Reefhitch.Bukannya tidak bersyukur, tetapi menghadapi Chris memang agak menyusahkan. Terutama saat harus menanggapi "perhatian"-nya yang kadang ditunjukkan dengan cara yang … agak menyebalkan.Mungkin bagi sebagian orang, membuat kesal saudaranya adalah hal yang biasa. Well, kuakui, aku pun kadang-kadang melakukannya juga untuk membalas keusilan kedua saudara laki-lakiku. Namun, aku merasa kalau aku tidak pernah melakukan hal itu sesering yang dilakukan kak Naki dan Chris terhadapku.Apakah ini efek karena DNA papa Ian yang dominan di tubuh mereka?Well
"Lho?"Aku menoleh, lalu menatap Chris heran. "Kenapa, Chris?"Pemuda itu menunjukkan layar gawainya ke arahku."Tumben Kak Zean telepon aku," gumamnya ikut heran sambil mengusap lingkaran hijau ke tengah layar agar telepon tersambung. Kemudian, ia menekankan logo pengeras suara sehingga aku juga bisa mendengarkan."Hallo, Kak.""Hai, Chris. Apakah sekarang Anna bersamamu?"Chris langsung menoleh ke arahku, dan aku langsung tahu maksudnya."Ya, Zean. Aku di sini. Ada apa?""Anna? Do you lose your phone?"
Begitu kami sampai di cafe yang dimaksud, aku langsung menghubungi gawaiku dengan ponsel milik Chris. Beruntung, cafe itu sedang tidak terlalu ramai. Jadi, jika gadget-ku berdering, seharusnya tidak akan sulit untuk menemukannya.Benar saja! Dering yang familiar terdengar dari arah meja ketiga dari sudut ruangan. Hampir berlari, aku pun segera menghampiri si sumber bunyi.Tepat ketika aku berdiri di samping meja itu, aku mendapati gawaiku yang masih berdering di atas meja. Saat aku melihat layar benda itu menampilkan foto Chris yang sedang berpose hendak melempar bola basket, aku jadi semakin yakin.Well, meskipun sudut fotonya diambil dari samping dan separuh wajahnya tertutup
DUK! DUK! DUK!“Chris, guard him!” titah pria tampan bertubuh tinggi yang berdiri di tengah lapangan basket. Tangan kanannya sibuk memantulkan si bola oranye, sedangkan tangan kiri yang bebas mengusap keringat di dahinya.Sayangnya, aku, yang seharusnya ikut bermain basket dengan Chris dan Adachi, malah duduk di pinggir lapangan dengan Kobayashi-san dan Reika, keponakan Adachi. Bukannya aku tidak suka duduk bersama Kobayashi-san dan Reika yang menggemaskan. Hanya, aku merasa sangat tidak adil.Awalnya, kami sudah sepakat untuk bermain two on one secara bergantian. Namun, semua rencana langsung berubah ketika Zean datang.
“Kenapa mukamu merah?”“Nggak usah ngoceh yang aneh-aneh! Sana fokus jaga si bocah!” titahku kesal pada Adachi yang masih sempat-sempatnya menggodaku. Padahal Chris baru saja menembus pertahanannya dan mencetak angka dengan dunk yang cantik.“Oh, pelukan yang tadi nggak cukup, ya?” godanya lagi yang langsung kuhadiahi lirikan tajam.Bukannya kapok atau berhenti, Adachi malah menyeringai. “Ok, Boss. Pria single yang tampan ini tidak akan mengganggu bermesraan kalian.”Sebelum aku mengomel, Adachi sudah berlari menghampiri Chris yang memantulk