Sudah hampir genap sepuluh menit berlalu, tetapi ketiga senior berparas ayu di hadapanku itu masih mengoceh panjang. Tidak ketinggalan dengan nada menyindir dan menegur yang sesekali disisipkan. Materinya masih sama, yaitu petuah untuk adik tingkat agar tidak berlebihan dalam menanggapi kebaikan lawan jenis.
Well, secara umum, yang mereka katakan tidak sepenuhnya salah, sih. Selain nada dan beberapa penekanan kata yang seolah menudingku sebagai gadis jahat yang mereka maksud, aku cukup setuju dengan pendapat mereka.
Yah, anggap saja kalau ini adalah bentuk perhatian mereka padaku, selaku adik tingkat yang "mereka sayangi", meskipun penyampaiannya agak menyebalkan.
"Sekarang lo paham?" tanya gadis berambut ombre yang berdiri di tengah.
<“SERIUS, KAK?!”Aku spontan menjauhkan telingaku dari Lucas. Nih anak ternyata kagetnya bisa lebay juga, ya?“Kalau kaget, nggak usah lebay!” tegur Rere, yang ternyata sepemikiran denganku, sambil memukul lengan Lucas yang duduk di sampingnya.Sudah pasti, pemuda itu tidak terima disalahkan. Apalagi oleh Rere. Pasalnya, menurut pendapat pribadi Lucas, gadis itu jauh lebih sering bertingkah berlebihan dibandingkan dirinya.“Kalau nggak lebay, berarti ya nggak kaget, Re!”Bukannya tidak bisa menjawab, aku cukup yakin kalau Rere, yang lebih memilih untuk diam dan meminum susu strawber
Seperti biasa, lantai dua Coffeetop, kedai kopi yang berada di seberang rumah sakit yang tidak jauh dari kampusku, menyuguhkan pemandangan kota yang tenang. Jalan raya di bawah sana tidak terlalu padat kendaraan. Cafe juga sedang tidak terlalu ramai karena belum jam makan siang. Sialnya, orang yang duduk di hadapanku adalah orang yang sama sekali tidak aku duga akan mengajakku makan bersama siang bolong begini. Well, ia memang jarang menelepon sejak aku tinggal di apartemen. Kami juga jarang bertemu kalau bukan karena acara keluarga atau kebetulan belaka. Jadi, jangan tanya seheran apa saat melihat nama kontaknya muncul di layar gawaiku sebagai penelepon beberapa menit yang lalu. Namun, di satu sisi, aku cukup berterima kasih karena
"BRUUUUUUUH! UHUK! UHUK!! UHUK!!!"Berkat refleks tubuh yang cepat, Kak Naki bisa segera menghindari semburan lemon tea-ku yang kedua.Tidak! Demi apapun, aku benar-benar tidak sengaja menyemburkan minumanku ke arah kak Naki! Ini ‘kan salah kak Naki sendiri karena bicara saat orang lain sedang minum! Jadi, ia juga harus terima risikonya kalau ia kena semprot minuman.Dikira aku tidak menderita? Hidung dan tenggorokanku juga terasa panas dan aneh setelah tersedak. Jadi, anggap saja kami sudah impas."Kak Naki sengaja ngomong gitu waktu aku minum ya? Biar aku tersedak?" tuduhku setelah tidak lagi terbatuk.Pria itu han
"Kak Naki." "Hm?" "Jam istirahat kak Naki masih lama?" Pria itu memutar pergelangan tangan, tempat jam tangannya melingkar. Lalu, ia kembali menatapku lurus. "Masih sekitar setengah jam lagi. Kenapa?" tanyanya balik sebelum meneguk orange juice-nya yang masih belum tersentuh. "Berantem, yuk?" "UHUKK!! HUKK! HUKK!" Kali ini giliran kak Naki yang tersedak. Bohong kalau aku bilang tidak sengaja. Meskipun aku memang ingin mengatakannya, tetapi aku juga menunggu momen ketika kakakku mulai minum.
"Kamu masih peduli padanya?" Kak Naki malah balik bertanya. "Nggak! Dih! Ngapain?" Detik berikutnya, aku menyesal karena menjawab terlalu cepat dan agak terbawa emosi. Apalagi kalau bukan karena kak Naki yang kini menahan tawa seraya menatapku mengejek. Kukira, ia akan menambahkan ejekan lisan, seperti biasa, agar aku semakin marah dan bertingkah lebih memalukan karena dikuasai emosi. Namun, diluar dugaanku, ia malah terdiam. Kakak sulungku itu lebih memilih untuk fokus menyantap makanannya. Di satu sisi, aku memang merasa lega karena kak Naki tidak memperpanjang urusan. Akan tetapi, di sisi lain, aku juga menjadi semakin bingung dengan tingkah tidak jelas kakak sulungku siang ini. "Serius, deh. Kak Naki tuh niatnya apa, sih? Kasih kabar kok nggak jelas. Bikin orang makin bingung aja," gerutuku lirih sebelum memasukkan suapan terakhir salad ke dalam mulutku. Kak Naki hanya tertawa lirih. "Menurutmu?" Tiba-tiba ia bertanya balik. Namun, ketika pandangan mata kami bertemu, s
Aku terdiam sesaat. Mataku menatapnya tidak percaya. "It's not you, is it?" "Please tell me that the doctor is not you," imbuhku cepat sebelum kak Naki sempat memberikan jawaban. Benar saja, pria itu langsung tertawa. Ia memang tidak mengatakan apapun, tetapi ekspresi bahagianya, karena melihatku mulai panik, sudah cukup meyakinkan bahwa kenyataan masih belum mau berpihak kepadaku. "Kak Naki bukan dokter ortopedi. Jadi, Zean nggak akan mungkin⏤" "Looks like you forgot something, little sister."
"Nothing, Kak. Really. Zean hanya melebih-lebihkan, entah kenapa," jawabku santai sambil mengaduk milk tea."Echana. Look at me."Ugh! Suara menyeramkan itu lagi!Kalau sudah begini keras kepala begini, kak Naki bisa jadi lebih menyebalkan dari ini. Terpaksa, aku menyerah untuk terus menghindari tatapan matanya.Setelah menelan saliva dengan gugup dan menarik napas panjang, aku baru menaikkan pandangan. Menatap lur
"Kamu nggak tanya bagaimana reaksi papa kemarin?" Bohong kalau aku bilang tidak penasaran. Namun, sebelum aku sempat merespon kak Naki, aku teringat siapa saja yang kemarin berusaha meneleponku. Sadly, nama kontak kedua orang tuaku tidak termasuk ke dalamnya. Jadi, anggap saja kalau mereka tidak peduli. Toh, mengungkit hal itu tidak akan membawa hal baik pula untukku sekarang. "Sepertinya aku sudah tahu tanpa perlu kak Naki kasih tahu," jawabku tenang seraya mengaduk milk tea. "Dan aku juga yakin kalau sekarang kamu sedang merangkai kesimpulanmu sendiri," sahut kak Naki tanpa kuminta.