Aku terdiam sesaat. Mataku menatapnya tidak percaya. "It's not you, is it?" "Please tell me that the doctor is not you," imbuhku cepat sebelum kak Naki sempat memberikan jawaban. Benar saja, pria itu langsung tertawa. Ia memang tidak mengatakan apapun, tetapi ekspresi bahagianya, karena melihatku mulai panik, sudah cukup meyakinkan bahwa kenyataan masih belum mau berpihak kepadaku. "Kak Naki bukan dokter ortopedi. Jadi, Zean nggak akan mungkin⏤" "Looks like you forgot something, little sister."
"Nothing, Kak. Really. Zean hanya melebih-lebihkan, entah kenapa," jawabku santai sambil mengaduk milk tea."Echana. Look at me."Ugh! Suara menyeramkan itu lagi!Kalau sudah begini keras kepala begini, kak Naki bisa jadi lebih menyebalkan dari ini. Terpaksa, aku menyerah untuk terus menghindari tatapan matanya.Setelah menelan saliva dengan gugup dan menarik napas panjang, aku baru menaikkan pandangan. Menatap lur
"Kamu nggak tanya bagaimana reaksi papa kemarin?" Bohong kalau aku bilang tidak penasaran. Namun, sebelum aku sempat merespon kak Naki, aku teringat siapa saja yang kemarin berusaha meneleponku. Sadly, nama kontak kedua orang tuaku tidak termasuk ke dalamnya. Jadi, anggap saja kalau mereka tidak peduli. Toh, mengungkit hal itu tidak akan membawa hal baik pula untukku sekarang. "Sepertinya aku sudah tahu tanpa perlu kak Naki kasih tahu," jawabku tenang seraya mengaduk milk tea. "Dan aku juga yakin kalau sekarang kamu sedang merangkai kesimpulanmu sendiri," sahut kak Naki tanpa kuminta.
Sejauh yang aku ingat, aku tidak pernah mengalami kecelakaan lalu lintas. Itu pun kalau diserempet sesama sepeda kayuh di dekat perempatan komplek perumahan tidak termasuk dalam definisi kecelakaan lalu lintas. Lantas, kejadian apa yang dimaksud kak Naki barusan?"... Oh!" seruku tiba-tiba teringat sesuatu."Jangan bilang kalau yang Kak Naki maksud adalah kejadian sewaktu aku dan Rian hampir jatuh dari motor sepulang dari konser di luar kota?" terkaku.Kak Naki hanya mengedikkan bahu. "Who knows?""Tapi kan waktu itu nggak jadi jatuh, Kak. Memang hampir, sih, tapi kan nggak ada yang luka," protesku masih tidak terima.Lagi
Jantungku berdebar kencang. Bagaimana ini?! Bagaimana kalau sampai Rian tahu kalau ada di⏤Wait a minute!!"Kenapa kamu yang harus bersembunyi?” Si logis di dalam benakku tiba-tiba bertanya dengan nada sebal.“Bukan kamu yang salah, kenapa kamu yang bingung mau sembunyi?” tanyanya lagi dengan nada yang mulai meninggi.“Seharusnya, mereka yang bersembunyi karena malu, Echana!" protesnya lagi yang didukung oleh suara hatiku.“Iya! Benar! You've done the right thing, girl! Jangan biarkan mereka merasa kalau kamu layak untuk merasa bersalah!"
ZRAASH! JDUAAR! ZRAAASSH!Oh my. This is the worst.Hujan badai di luar sana benar-benar luar biasa. Gemuruh demi gemuruh terus terdengar, seperti sedang bersahut-sahutan.Sesekali, petir ikut muncul untuk memeriahkan suasana. Tidak ketinggalan, angin yang bertiup kencang dan membuat pohon tinggi bergoyang liar.Jika ini adalah pesta alam, aku bisa jamin kalau pesta ini benar-benar meriah. Tentu saja, dalam konotasi negatif karena berpotensi membahayakan keselamatan makhluk hidup. Well, siapa sangka akan turun hujan badai seperti ini, padahal siang tadi cuaca sangat terik, bukan?
Begitu aku mengusap lingkaran hijau ke atas, tampilan layar gawaiku seketika berubah. Yang tadinya berwarna putih polos, sesuai dengan langit-langit kedai kopi ini, kini menampilkan sosok Zean yang sedang memperbaiki dasi sambil menatap ke arahku, seolah ia baru saja menjadikan kameranya sebagai ganti cermin.Well, aku tidak keberatan, sih. Toh, penampilan Zean yang terbalut setelan jas selalu mempesona. With his look, he's such an eye candy."Hai, Daddy. Ready to go to the party?" sapaku separuh menggoda.Zean langsung tertawa pelan. "Hai, Baby. Where are you? I can't see you
JDUAAAR!! Petir tiba-tiba kembali menyambar, dan gemuruh mengikuti. Beruntung, aku tidak latah karena terkejut, meskipun kepalaku yang sudah menyusun jawaban seketika blank. Sejujurnya, aku memang belum menentukan destinasi yang pasti. Aku hanya ingin berkendara jauh, kalau bisa, sambil menikmati alam dan kesendirian. Pasalnya, sejak kemarin aku belum sempat menikmati me time-ku dengan benar. Awalnya, aku merasa kalau ditemani oleh satu atau dua orang tidak apa-apa. Namun nyatanya, I really need my me time, when I'm completely alo