“Aku enggak akan ganggu kamu kalau mau sendiri.”Seperti raga yang terpisah dengan jiwanya, wanita itu berjalan lurus, melewati beberapa ruangan. Hingga berhenti pada sebuah tempat terbuka hijau.Entah kenapa ia malah duduk di pinggiran lantai rumah sakit. Lalu, mulai terdiam sesaat. Usai, ia menyenderkan punggungnya pada tiang yang berada di sampingnya.Nada masih belum menyadari, jika pria itu masih mengikutinya.“Kamu tahu cara paling ampuh menghilangkan kesedihan, tapi kenapa enggak melakukannya?”15 menit berlalu akhirnya pria itu membuka suara. Ia tak tahan lagi melihat wanita di depannya yang menatap bintang dengan pandangan yang begitu pilu. Bukannya menjawab, Nada hanya diam saja.“Lepas alas kakimu, Nada!”Sekilas Nada mengalihkan fokusnya, seingatnya ia tak pernah memperkenalkan diri saat pertemuan terakhir mereka.“20 tahun yang lalu, seseorang datang padaku sambil berkata, kalau kamu sedih, kita cuma perlu mendongakkan wajah menatap
Menyadari Nada tak ada di ranjang, Ilyas yang panik seketika bangun dan mencarinya. Hingga fokusnya teralihkan pada kerumunan orang yang saat itu berada di dekat ruang terbuka hijau. Merasa akrab dengan teriakannya Ilyas nekat menerobos kerumunan.Melihat Nada yang ketakutan, tanpa aba-aba ia mendorong Zayn hingga pria itu kehilangan keseimbangan. Zayn terjatuh di lantai, tetapi Ilyas tak peduli hal itu. Rasa hormatnya menguap begitu saja. Mana kala melihat Nada yang terus saja menangis tanpa suara sambil menutup kedua telinganya.“Ayo ke ruangan lagi, Mbak!”“Mbak enggak mau ketemu dia, Dek.”“Iya, Mbak. Ilyas akan minta dia pergi dan menjauh dari Mbak, oke?”“Mbak udah enggak punya apa-apa, Dek. Apa lagi yang mau mereka minta.”“Enggak akan ada yang ganggu Mbak, aku jamin. Mbak aman sama aku!” Saat itu Ilyas membiarkan pundaknya basah, oleh kesedihan yang selama ini dibiarkan terpendam bertahun-tahun tanpa pernah ada
“Gini aja deh, kalau Mas memang benar-benar mau balikkan sama Mbakku. Bisa enggak kamu kosongin rumah itu! bukankah rumah itu juga dibeli pakai uang Mbak Nada.”“Apa maksudmu Yas, aku enggak mungkin mengusir ibuku sendiri!”Ilyas justru tersenyum tipis.“Itulah bedanya kamu dan Mbak Nada. Dia rela menyerahkan apa pun yang dia punya demi kebahagiaan kamu, tapi kamu malah sebalinya. Aku bukannya enggak sanggup menghidupi anak dan istrimu, tapi aku hanya ingin tahu sejauh apa usahamu untuk menjaga keluargamu supaya tetap utuh.”Zayn hanya terdiam. Pilihanya terlalu sulit baginya.“Keenakan dimanjain sama Mbakku ya, udah biasa nyuruh istrinya berkorban. Sampai-sampai cuma ngelakuin hal kecil aja udah nolak duluan. Cemen.”Smirk di wajah Ilyas sungguh menyinggung Zayn. Ia merasa sangat direndahkan sebagi seorang laki-laki, apa lagi saat pemuda itu menggeser tubuhnya dengan kasar, saat ia tak sengaja menghalangi jalannya.Seka
“Kamu usir Ibu dari sini?”“Aku akan carikan rumah buat ibu.”“Kamu lebih milih orang lain, yang baru kamu kenal, dari pada ibu kandungmu sendiri?”Utami menatap lemah, ia benar-benar tak percaya pada akhirnya putranya bukan hanya berani mengusir kakak kandungnya, tetapi dirinya juga. Sekilas pandangannya menjadi kabur, karena linangan air mata yang menggenang di pelupuk.Hanya butuh satu kedipan saja, untuk membuat wajahnya menjadi basah.“Tolong jangan menangis, aku melakukan ini bukan karena tak menyayangi Ibu. Hanya saja yang ibu lakukan juga tak kalah menyakitkan. Aku baru saja kehilangan calon bayiku, bisakah ibu tenang sedikit. Aku enggak mau mendengar apa pun, terlebih jika yang itu menjelekkan Nada.”Zayn melangkah meninggalkan Ibu yang masih terpaku sambil menangis tanpa suara. Marah, kesal dan kecewa memenuhi perasaannya. Ia memang salah, tetapi haruskah kesalahan ini layak membuatnya terusir di rumah ini.“Ap
“Loh, bukannya Mas yang kirim bunga sekalian makan siang?”“Aku enggak pernah mengirimkan apa pun.”Saat itu Zayn merasa heran, ia sendiri memang mempertanyakan beberapa buket bunga yang selalu ada di nakas. “Kamu enggak pernah lihat siapa yang ngirim?”“Enggaklah, aku pikir Mas. Ngapain juga aku mengurus hal seperti itu.”“Besok dia ngirim lagi enggak?”“Kenapa cemburu? Lihatlah Mas, kamu punya saingan sekarang.”Kenyataannya meski ia menerima kehadiran Zayn, setiap malam. Ilyas tetap menaruh kebencian, karena sikapnya yang kurang tegas. Kakak perempuannya harus terbaring lemah di ranjang rumah sakit sampai berhari-hari.Saat itu sejujurnya Zayn merasa sedikit resah. Jika seseorang mengirim bunga dan makanan setiap hari, tentu saja sebagai seorang laki-laki dia paham sekali, apa tujuan dari perlakuannya itu.Malam itu tepat akhir pekan. Jadi, sepertinya Abah baru akan mengunjungi rumah sakit di s
Abah mendadak terdiam. Dia sendiri bahkan tak bisa memberikan keterangan atas sesuatu yang tidak dia ketahui. “Kasus seperti ini memang jarang ditemukan, tetapi kami akan melakukan yang terbaik. Beruntung pasien masih dalam pengawasan, kebanyakan pasien yang mengidap depresi, memilih mengakhiri hidupnya dengan cara yang salah. Saya tidak bisa memastikan kapan pasien akan bangun. Sebenarnya ia bisa saja bangun kapan saja jika ada kemauan kuat, sayangnya pasien sendiri seakan-akan ingin tetap tertidur. Meskipun sudah melewati masa kritisnya, detak jantungnya masih sangat lemah. Bantu doa, ya.”Kepergian Dokter itu sungguh meninggalkan luka yang mendalam, bagi ketiga laki-laki itu. Ketiganya saling diam, sibuk merutuk dirinya masing-masing. Terutama Zayn, karena dalam hal ini dialah yang paling dekat dengan Nada, tetapi yang menjadi yang tidak tahu apa-apa.“Kita 3 orang, tetapi melindungi 1 wanita saja tidak bisa,” kata Abah dengan suara yang gemetar.
“Ilyas, apa yang kamu lakukan? Kamu sadar enggak, ini rumah sakit. Selesaikan masalah kalian di luar, kamu tak memikirkan Mbakmu, hah? Kalian malah ribut di sini.”Suara Abah begitu menggelegar. Bahkan Ilyas yang sejak tadi, terus saja menyerang Zayn, mendadak menghentikan aksinya.“Sialan! Urusan kita belum selesai. Aku enggak akan melepaskan ibumu.”“Apa maskud kamu bawa-bawa ibu?”“Kamu tanyakan pada wanita tua itu, apa yang dia katakan sampai membuat mbakku berada di sini!”Zayn terdiam, tetapi saat itu petugas keamanan menggiringnya keluar rumah sakit. Atas permintaan Ilyas, Zayn bahkan dilarang menemui Nada. Sungguh berat bagi Zayn harus mengetahui ibu membuat wanita yang ia cintai di ambang kematian. Kenapa setelah semua hal, ia masih saja mencari kesempatan untuk menyakiti Nada. Detik itu juga, Zayn mendatangi ibu yang kini berada di rumah yang ia sewa. Ia tinggal bersama. Setelah ditinggalkan Aya, Gavin bahka
“Kamu menyerah, Nad? Maafkan aku yang terlambat menyadarinya.”Siang itu Zayn menuju kantor polisi, Arnav dibebaskan. Anak itu bahkan terus saja bertanya tentang keberadaan Nada.“Kenapa bukan Bunda yang jemput?”“Bundamu lagi istirahat.”“Loh, Bunda sakit lagi? Bukannya Bunda lagi hamil, kok sakit-sakitan terus, adikku enggak apa-apa ‘kan?”Zayn bahkan hanya bisa terdiam. Ia sendiri bingung menjelaskannya.“Ayah jangan diam aja! Semuanya baik-baik aja ‘kan?”Saat itu Zayn benar-benar terganggu dengan rentetan pertanyaan putranya. Ia tiba-tiba saja menghentikan laju kendaraan. Lantas, menatap Arnav, sambil memegang kedua bahunya.“Ayah harap semuanya akan baik-baik saja setelah Bunda ketemu kamu. Jadi bisa ‘kan biarkan Ayah berkonsentrasi menyetir? Ayah bawa ponselmu di belakang. Ambil saja, ada di tas.”“Aku enggak butuh ponsel Ayah, aku hanya ingin tahu kabar Bunda.”“Kalau memang kamu sayang
Tak pernah terbayangkan aku akan sesakit ini mendengar kabar pernikahan Nada dengan Ali yang disampaikan langsung oleh Arnav. Putraku tak lagi menentang hubungan mereka. Aku tidak tahu, kapan tepatnya anak it berubah pikiran. Padahal, jelas saat ia datang untuk membantu acara tahlilan ibu, aku melihatnya begitu antusias menjodohkanku kembali dengan Bundanya.Bagaimana bisa ia berubah secepat itu?Ia bahkan mengatakan padaku, jika akan jadi pengantar pengantin, kala Bundanya menikah. Bahkan, yang lebih menyakitkan adalah ia mengatakan itu semua dengan bangga.Aku yang menghidupinya selama ini. Kenapa ia malah lebih percaya pada orang lain yang justru baru ia kenal.Sejujurnya aku masih tak percaya jika Nada benar-benar menikah. Jadi, hari di mana akadnya dilangsungkan aku mendatangi hotel tersebut. Sayangnya tak sembarangan orang bisa masuk ke acara pernikahannya. Penjagaannya cukup ketat. Aku bahkan harus check in hanya untuk mendapatkan in
“Aku mengizinkannya Al, lakukan saja!”“Terima kasih Nad. Kalau, kamu masih bingung mau pilih yang mana. Besok staff yang menjual perhiasannya akan datang ke rumahmu. Pilih saja yang kamu suka.”“Bagaimana kalau seleraku enggak sesuai sama kamu?”“Aku yakin pilihanmu pasti yang terbaik.”“Baiklah. Aku akan pilih yang termurah kalau begitu.”“Nad, yang benar saja. Aku akan meminta staff untuk enggak mencantumkan harganya.”Aku sampai dibuat terkekeh dengan kepanikan Ali. Ada apa dengannya, padahal aku hanya bercanda.“Kenapa malah ketawa? Aku serius juga.”“Uangmu pasti banyak sekali Al, sampai-sampai membuangnya dengan begitu mudah.”“Siapa juga yang sedang membuang uang, jelas-jelas aku sedang membelikanmu mahar. Apa kamu akan membuang mahar setelah akad berlangsung? Enggak mungkin ‘kan.”
Ali hanya tersenyum saja. Namun, aku bisa melihat ekspresi kelegaan di wajah Abah dan Ilyas.Ya Allah, jika Engkau berkenan menyatukan kami dalam ikatan suci pernikahan. Maka, jadikanlah pernikahan itu sebagai jalan untuk mencapai ridho-Mu.Setelah mendapatkan jawabannya Ali memilih untuk berpamitan.“Besok Ali ke sininya habis dzuhur, ya Bah.”“Oh, baik kami tunggu kedatangan Nak Ali dan keluarga.”Ali mengangguk lagi, sesekali ia tampak melirik padaku.“Kayaknya ada yang mau ngeduluin nih!” sindir Ilyas, begitu Ali sudah meninggalkan rumah dengan kendaraan roda empatnya.“Aku sekali aja belum, Mbak udah mau dua kali aja!” ucap Ali.“Apaan sih kamu, Dek!”“Enggak boleh ngomong gitu, Yas! Memangnya ada yang mau pernikahannya gagal!” ucap Abah.Memang Ilyas ini keterlaluan. Merusak mood saja. Dia pikir enak berpisah, setelah bertahun-tahun menj
“Kamu tahu enggak sih yang kamu bicarain ini apa? Sudahlah Nav,Bunda enggak akan nikah kok. Asalkan kamu di samping Bunda, semua itu udah lebih dari cukup kok. Lagi pula sekarang Bunda sudah punya pekerjaan yang bisa diandalkan. Jadi, seenggaknya kalau suatu hari ayahmu berhenti memberikan uang untuk biaya Pendidikan kamu, kita sudah ada penghasilan lain.”“Nav serius, enggak apa kalau sekarang juga Bunda mau nikah sama Om Ali. Nav enggak akan menghalanginya lagi. Kalian tuh saling mencintai, tetapi Nav malah terus aja mencegah kalian Bersatu. Lagi pula Nav juga kayaknya butuh teman main, kayak Yusuf.”“Nav….”“Bun, sudah cukup Bunda nahan kesedihan sendirian. Nav pengen banget lihat Bunda ketawa terus kayak tadi, mungkin aja Om Alilah jawaban doa-doa Nav selama ini. Nav ‘kan juga minta supaya Bunda bahagia, tetapi Nav malah keliru dengan mendoakan supaya rujuk sama Ayah. Padahal, yang membuat Bunda ba
“Enggak begitu kok, Sayang.”“Sekarang Nav, ngerti bedanya Om Ali sama Ayah.”“Sayang, kalau kamu enggak suka Bunda dekat samam Om Ali, lain kali Bunda akan jaga jarak. Oke? Cuma tadi itu kebetulan mobil pick up Bunda rusak. Om Ali cuma nawarin bantuan, ya udah makanya kami tadi di jalanan. Jangan salah paham dulu!”“Nav enggak tahu, kenapa hubungan orang dewasa seribet ini?”“Enggak ribet kok, nanti kalau Nav dewasa, juga pasti ngerti.”“Nav enggak mau nikah Bun, kalau ujungnya cerai.”“Enggak ada pasangan yang mau pernikahannya gagal di tengah jalan Nak, andai saja mengembalikan kepercayaan itu mudah. Bunda pasti sudah melakukannya buat kamu?”“Memangnya apa yang bikin Bunda sampai enggak mau balikkan sama Ayah? Bukannya aku sudah jelasin semuanya.”“Bunda takut kalau suatu hari sakit dan enggak bisa ngapa-ngapain kayak kemar
“Jagung bakarnya datang!” ucap Zayn dengan sekantong besar di tangannya.“Zayn, aku ngantuk.”Saat itu Zayn dan Arnav yang tengah larut dalam tawa mendadak menatapku dengan aneh.“Kok ngantuk sih Bun, kita baru aja kumpul.”“Hari ini Bunda lagi kurang sehat, apa lagi besok harus kembali ke kota jadi enggak apa-apa ya, Bunda tidur duluan?”“Yah, enggak seru banget sih Bun?”Sata tu aku bisa melihat keduanya tampak kecewa. Namun, aku juga tak bisa membohongi perasaanku. Aku membenci Zayn. Meski, kini seseorang menjelaskan jika semua murni karena rasa terima kasih.Aku yang menyaksikan sendiri bagaimana ketika Zayn menatap Ochi dengan pandangan yang sama saat menatapku. Bagaimana ia bahkan tak membiarkan pria wanita itu pulang sendirian.Aku hanya tak sanggup membayangkan hari-hari selama aku tak ada di sampingya. Mungkin saja keduanya sering kali menghabiskan waktu denga
“Kita bisa bicarakan ini lain kali ‘kan? Bukannya tujuan Nav ke sini mau bantuin Ayah, Nav bahkan belum ke makan nenek,” ucapku.Memecah hening yang terlanjur tercipta.“Nah iya, tapi kayaknya Nav juga capek. Mending istirahat dulu.”Saat itu Zayn langsung menarik ransel Zayn, sehingga tubuh anak itu terpaksa mengikuti langkah kaki ayahnya menuju kamar tidur.Ia mendorong tubuh Arnav ke dalam, lantas kembali menutup pintu. Saat itu Zayn masih saja terlihat canggung, tampak ketika ia tersenyum paksa padaku yang masih duduk di kursi tamu.“Astaghfirrullah, Ayah!”Dari arah dalam terdengar teriakan Arnav yang cukup nyaring. Sontak saja, kami langsung menghampirinya untuk memastikan apa yang terjadi.Begitu pintu terbuka, alangkah terkejutnya aku saat melihat keadaan kamar yang antah berantah. Pakaian yang tergeletak dilantai. Buku-buku yang ditumpuk asal, juga tumpahan kopi yang dibiarka
“Caramu salah, Zayn. Kamu membiarkan kebencian tumbuh di hati anak kita, padahal kamu tidak melakukan kesalahan.”“Cuma itu yang bisa aku lakukan untuk terakhir kali. Aku enggak tahu lagi cara apa lagi, selain membuatnya percaya kalau aku sudah menikah.”“Oke, kalau itu memang maumu.”“Jadi ikut, Nad?”Awalnya aku sedikit ragu, melihat bagaimana kami akan menaiki sepeda motor hanya berdua. Namun, melihat dua pria yang sangat kerepotan mengurus acara pemakaman ibunya. Hatiku tak bisa menolak untuk iba.Aku mengangguk tanda setuju. Menaiki sepeda motor berdua, menit pertama kami hanya saling diam. Bahkan, sampai menit-menit selanjutnya. Zayn juga seperti tak tertarik membuka percakapan. Hingga, tiba di mesin ATM, Zayn memintaku turun. Sedangkan, dia akan menunggu di luar. Sambil membeli beberapa minuman dan snack.Aku memperhatikan bagaimana pria itu sedikit kebingungan. Sampai ia kembali dan han
Aku tak mungkin salah mengenali keduanya. Itu Zayn dan Gavin.Aku masih mengikuti iring-iringan itu sampai ke pemakanan. Hingga tiba di mana Zayn mulai mengazani almarhumah, suasana haru kian menyeruak. Hingga prosesi pemakaman selesai, suasana duka turut menyelimuti.Satu persatu orang-orang mulai meninggalkan tempat peristirahatan terakhir almarhumah Bu Utami.Saat itu aku memilih untuk tinggal. Rasanya ada sedikit sesal, karena sejak terakhir kali kami bertemu, kondisinya masih baik-baik saja. Zayn bahkan, tidak pernah menceritakan keadaan Ibu sama sekali.“Dia sudah enggak ada, Nad.”“Maafkan aku Zayn, aku bahkan enggak pernah nengok ibu. Kenapa kamu enggak pernah kasih tahu tentang sakit ibu ke aku?”Saat itu Gavin masih ada di sana. Pria yang biasanya tak tahu diri dan selalu bersikap semena-mena itu hanya terisak sambil menatap pilu nisan ibu, ia bahkan tak menghiraukan keberadaanku.“Apa itu penti