“Kamu menyerah, Nad? Maafkan aku yang terlambat menyadarinya.”
Siang itu Zayn menuju kantor polisi, Arnav dibebaskan. Anak itu bahkan terus saja bertanya tentang keberadaan Nada.“Kenapa bukan Bunda yang jemput?”“Bundamu lagi istirahat.”“Loh, Bunda sakit lagi? Bukannya Bunda lagi hamil, kok sakit-sakitan terus, adikku enggak apa-apa ‘kan?”Zayn bahkan hanya bisa terdiam. Ia sendiri bingung menjelaskannya.“Ayah jangan diam aja! Semuanya baik-baik aja ‘kan?”Saat itu Zayn benar-benar terganggu dengan rentetan pertanyaan putranya. Ia tiba-tiba saja menghentikan laju kendaraan. Lantas, menatap Arnav, sambil memegang kedua bahunya.“Ayah harap semuanya akan baik-baik saja setelah Bunda ketemu kamu. Jadi bisa ‘kan biarkan Ayah berkonsentrasi menyetir? Ayah bawa ponselmu di belakang. Ambil saja, ada di tas.”“Aku enggak butuh ponsel Ayah, aku hanya ingin tahu kabar Bunda.”“Kalau memang kamu sayang“Kamu lebih sayang nenekmu atau bunda?”“Bundalah Om, dia yang selalu ada buat aku. Andai aku menurutinya, seharusnya semua ini enggak akan terjadi.”“Nav, jika Om melakukan sesuatu pada Nenekmu, apa kamu akan marah?”“Jika ini sakitnya bunda, karena nenek. Aku enggak akan bisa maafin dia.”Ilyas hanya tersenyum saja.“Hapus air matamu, anak laki-laki itu harus kuat.”“Aku mau ketemu dulu. Boleh ‘kan Om? Aku harus jelaskan sama Bunda, kalau aku menusuk anak itu karena dia mau membunuh temanku. Aku hanya membela diri, kalau aku enggak menusuknya, berapa banyak lagi teman-temanku yang jatuh dan meninggal. Percayalah Om, aku enggak mungkin nusuk orang gitu aja. Kalau jadi aku apa Om akan diam aja, kalau ngeliat orang lain mau menusuk anak perempuan yang enggak salah apa-apa?”Saat itu Ilyas bahkan melihat Arnav yang gemetar.“Om tahu niatmu baik Nav, tapi masalahnya tawuran itu bukan perbuatan yang diterima ba
“Mas pikir aku percaya. Kalau kamu bicara kemarin, aku bisa saja terkecoh, tapi hari ini aku mengetahui apa yang kamu lakukan ke mbakku. Sudah cukup membuktikan kalau kamu pria sejati.”“Kamu salah, Yas!”Ali terlihat tak terpengaruh dengan keyakinan Ilyas, tentang perasaannya. Ia dengan santainya menepuk pundak pemuda itu.“Enggak semua hal yang kamu percaya itu sebuah kebenaran.”“Mas cuma malu mengakuinya, iya ‘kan? Entah kenapa Mas biarkan semua orang percaya kalau Mas menyimpang, padahal sebenarnya enggak begitu. Sudahlah sudahi pura-puramu. Menikah itu enak.”“Kamu bicara begitu, seperti kamu sudah berpengalaman.”“Karena aku cukup tahu cara membedakan pria yang normal dan menyimpang. Mas Ali enggak punya satu kriteria itu. Biar apa sih, menyembunyikan fakta samai bertahun-tahun?”Sat itu Ali terdiam. Ia hanya bingung kenapa di antara orang-orang yang
Arnav melirik Ilyas sekilas.“Kenapa, kamu melihatku?”“Om ada-ada aja.”“Kamu sudah makan?”Arnav menggeleng.“Ayahmu itu, anak bukannya dikasih makan. Urusan begini pun dia enggak bisa diandalkan.”“Om.”“Ya?”“Kenapa Ayah enggak masuk, Bunda sama Ayah baik-baik aja ‘kan?”“Om enggak tahu Nav, sebaiknya kita cari makan dulu. Om belikan makanan yang enak-enak, oke.”“Bagaimana bisa aku makan enak, kalau Mamah masih enggak mau bangun.”“Kalau begitu makan ini saja!”Ilyas mengangkat paper bag yang selalu diberikan Ali.“Dari orang yang tadi di sini, ya?” tanya Arnav.“Kamu kenal?”“Dia ayahnya anak yang aku tusuk. Aku bahkan enggak tahu wajahnya seperti apa, hanya saja cara jalan dan pakaiannya terlihat enggak asing.
“Di mana?” “Ali enggak ada di sini, lagi pula kenapa Mbak tanya Ali? Dia bahkan enggak pernah mau masuk ke ruangan. Lagi pula, dari mana Mbak tahu soal Mas Ali? “ Nada hanya terdiam. Ia sendiri hanya mengingatnya secara samar-samar, yang jelas, seolah Ali adalah orang terakhir yang ia temui sebelum ia membuka mata. “Mimpi,” kata Nada. “Bisa-bisanya kamu memimpikan orang lain, aku bahkan merawatmu selama ini.” “Makasih.” “Enggak, aku yang harusnya mengucap terima kasih. Terima kasih karena Mbak udah mau membuka matamu kembali.” “Jangan nangis!” “Aku lebih suka kamu mengomel seperti dulu, dari pada terus tidur seperti ini.” Nada hanya tersenyum saja, meski ia ingin sekali mengusap rambut Ilyas yang tepat di sebelah telapak tangannya, tetapi bahkan untuk menggerakkan tangan saja ia kesulitan. “Nak, ada yang sakit?” tanya Abah. Nada hanya tersenyum. “Enggak usah dipaksa, kamu ingin menjewer a
Nada hanya diam saja, sampai Ilyas menyadari Nada menggerakkan jari-jarinya. Pelan ia melakukan gerakkan seperti meremas. Namun, saat itu Ilyas tak mau berkata apa pun.“Aku mungkin akan merepotkanmu Dek, aku enggak bisa jalan.”“Tanpa kamu minta, aku akan bersedia mengajarimu berjalan Mbak.”Nada hanya tersenyum saja.Sejak saat itu Nada mulai melakukan terapi setiap pagi. Butuh waktu berminggu-minggu sampai ia bisa kembali seperti semula. Persendian Nada menjadi kaku dan lemas, karena lama tak pernah digerakkan.Hari itu meski pelan akhirnya Nada bisa kembali berjalan. Meski, ia tetap butuh tongkat, karena tak kuat jika berjalan terlalu lama.Di rumah yang disewa Ilyas, pagi itu Nada begitu semangat melatih kakinya untuk berjalan. Meski belum lancar, ini adalah suatu kemajuan baginya.“Mbak mau aku telepon Arnav?” tawar Ilyas. Hari itu kebetulan jatuh pada akhir pekan.“Jangan, Mbak m
“Bunda!”Saat itu Arnav yang tengah memegang pakaian yang baru saja ia dapatkan dari wanita asing yang entah, refleks menjatuhkannya begitu saja. Binar bahagia di wajah Arnav mendadak Sirna berganti dengan pandangan yang nanar mana kala Nada tersenyum sambil merentangkan tangannya.Anak laki-laki itu beranjak bangkit, lantas melangkah dengan cepat, ia memeluk Nada dengan begitu erat. Wanita yang bahkan tak pernah absen ia doakan setiap siang dan malamnya.Kenyataannya bukan hanya Arnav, Bu Utami dan Zayn juga tak akalah terkejut dengan kehadirannya di tempat ini.Zayn ikut bangun dan mendekati Nada. Saat itu Ilpyas sudah ingin melangkah untuk mencegah pria itu, tetapi Abah buru-buru mencegahnya.“Sayang.”Nada hanya diam saja.“Aku bicara padamu, Nad.”Saat itu barulah Nada mau memalingkan pandanganya pada pria itu.“Salim sama Kakek dan Om dulu, ya!” kata Nada sambil menun
“Ibu akan minta maaf padanya sekarang.”“Jangan merusak kebahagiaannya, besok saja aku akan minta Ilyas alamat tempat tinggal Nada sekarang.”“Lalu, Ochi? Ibu rasa dia juga menaruh perasaan padamu.”“Aku enggak ingin menyakiti Nada lagi, dia sudah terlalu banyak menanggung rasa sakit. Mungkin aku akan memikirkan cara agar ke depannya kita enggak terlalu sering bertemu.”“Kamu juga menyukainya bukan?”“Enggak penting Bu, aku hanya ingin dia kembali. Selama dia ada di samping, bagiku sudah cukup, aku enggak butuh hal lain lagi.”~Saat itu Ochi yang sudah berada tak jauh dari tempat Utami dan Zayn, tanpa sengaja mendengar percakapan mereka. Namun, saat ia kembali. Ochi justru terlihat seperti tak terjadi apa-apa.Seperti janji Zayn, ia mengajak ibu untuk menemui Nada di rumah. Susah payah ia meminta alamat itu dari Ilyas. Butuh satu minggu untuk mengant
“Mbak jangan bodoh!” kata Ilyas yang sudah tak tahan dengan Nada yang terlalu lugu. “Aku enggak bodoh, Ilyas.” “Nad kamu tahu ‘kan apa yang kamu bicarakan ini enggak main-main loh!” “Nad aku tahu kamu marah. Jangan begini, aku akan meninggalkannya oke. Kita bisa kembali seperti dulu. Kamu tahu Ibu bahkan ingin meminta maaf dengan tulus padamu. Bukankah itu artinya kita memang ditakdirkan untuk sama-sama?” “Jangan membohongi dirimu sendiri, bukankah kalian saling mencintai. Jadi untuk apa menahannya lagi. Aku tunggu kabar baiknya.” “Yas, kamu sadar ‘kan sedang bicara sama suamimu.” “Hm, aku sadar dan aku serius.” “Aku enggak mau menikah lagi.” Nada hanya tersenyum saja, sekilas ia menatap Ochi yang wajahnya tampak basah dengan keringat dingin. “Enggak perlu takut, aku enggak akan mukul apa lagi jambak kamu. Aku lebih suka suamiku jujur dan berada di jalan yang benar, dari pada menjalani hubungan diam-diam seperti