Abah mendadak terdiam. Dia sendiri bahkan tak bisa memberikan keterangan atas sesuatu yang tidak dia ketahui.
“Kasus seperti ini memang jarang ditemukan, tetapi kami akan melakukan yang terbaik. Beruntung pasien masih dalam pengawasan, kebanyakan pasien yang mengidap depresi, memilih mengakhiri hidupnya dengan cara yang salah. Saya tidak bisa memastikan kapan pasien akan bangun. Sebenarnya ia bisa saja bangun kapan saja jika ada kemauan kuat, sayangnya pasien sendiri seakan-akan ingin tetap tertidur. Meskipun sudah melewati masa kritisnya, detak jantungnya masih sangat lemah. Bantu doa, ya.”Kepergian Dokter itu sungguh meninggalkan luka yang mendalam, bagi ketiga laki-laki itu. Ketiganya saling diam, sibuk merutuk dirinya masing-masing. Terutama Zayn, karena dalam hal ini dialah yang paling dekat dengan Nada, tetapi yang menjadi yang tidak tahu apa-apa.“Kita 3 orang, tetapi melindungi 1 wanita saja tidak bisa,” kata Abah dengan suara yang gemetar.“Ilyas, apa yang kamu lakukan? Kamu sadar enggak, ini rumah sakit. Selesaikan masalah kalian di luar, kamu tak memikirkan Mbakmu, hah? Kalian malah ribut di sini.”Suara Abah begitu menggelegar. Bahkan Ilyas yang sejak tadi, terus saja menyerang Zayn, mendadak menghentikan aksinya.“Sialan! Urusan kita belum selesai. Aku enggak akan melepaskan ibumu.”“Apa maskud kamu bawa-bawa ibu?”“Kamu tanyakan pada wanita tua itu, apa yang dia katakan sampai membuat mbakku berada di sini!”Zayn terdiam, tetapi saat itu petugas keamanan menggiringnya keluar rumah sakit. Atas permintaan Ilyas, Zayn bahkan dilarang menemui Nada. Sungguh berat bagi Zayn harus mengetahui ibu membuat wanita yang ia cintai di ambang kematian. Kenapa setelah semua hal, ia masih saja mencari kesempatan untuk menyakiti Nada. Detik itu juga, Zayn mendatangi ibu yang kini berada di rumah yang ia sewa. Ia tinggal bersama. Setelah ditinggalkan Aya, Gavin bahka
“Kamu menyerah, Nad? Maafkan aku yang terlambat menyadarinya.”Siang itu Zayn menuju kantor polisi, Arnav dibebaskan. Anak itu bahkan terus saja bertanya tentang keberadaan Nada.“Kenapa bukan Bunda yang jemput?”“Bundamu lagi istirahat.”“Loh, Bunda sakit lagi? Bukannya Bunda lagi hamil, kok sakit-sakitan terus, adikku enggak apa-apa ‘kan?”Zayn bahkan hanya bisa terdiam. Ia sendiri bingung menjelaskannya.“Ayah jangan diam aja! Semuanya baik-baik aja ‘kan?”Saat itu Zayn benar-benar terganggu dengan rentetan pertanyaan putranya. Ia tiba-tiba saja menghentikan laju kendaraan. Lantas, menatap Arnav, sambil memegang kedua bahunya.“Ayah harap semuanya akan baik-baik saja setelah Bunda ketemu kamu. Jadi bisa ‘kan biarkan Ayah berkonsentrasi menyetir? Ayah bawa ponselmu di belakang. Ambil saja, ada di tas.”“Aku enggak butuh ponsel Ayah, aku hanya ingin tahu kabar Bunda.”“Kalau memang kamu sayang
“Kamu lebih sayang nenekmu atau bunda?”“Bundalah Om, dia yang selalu ada buat aku. Andai aku menurutinya, seharusnya semua ini enggak akan terjadi.”“Nav, jika Om melakukan sesuatu pada Nenekmu, apa kamu akan marah?”“Jika ini sakitnya bunda, karena nenek. Aku enggak akan bisa maafin dia.”Ilyas hanya tersenyum saja.“Hapus air matamu, anak laki-laki itu harus kuat.”“Aku mau ketemu dulu. Boleh ‘kan Om? Aku harus jelaskan sama Bunda, kalau aku menusuk anak itu karena dia mau membunuh temanku. Aku hanya membela diri, kalau aku enggak menusuknya, berapa banyak lagi teman-temanku yang jatuh dan meninggal. Percayalah Om, aku enggak mungkin nusuk orang gitu aja. Kalau jadi aku apa Om akan diam aja, kalau ngeliat orang lain mau menusuk anak perempuan yang enggak salah apa-apa?”Saat itu Ilyas bahkan melihat Arnav yang gemetar.“Om tahu niatmu baik Nav, tapi masalahnya tawuran itu bukan perbuatan yang diterima ba
“Mas pikir aku percaya. Kalau kamu bicara kemarin, aku bisa saja terkecoh, tapi hari ini aku mengetahui apa yang kamu lakukan ke mbakku. Sudah cukup membuktikan kalau kamu pria sejati.”“Kamu salah, Yas!”Ali terlihat tak terpengaruh dengan keyakinan Ilyas, tentang perasaannya. Ia dengan santainya menepuk pundak pemuda itu.“Enggak semua hal yang kamu percaya itu sebuah kebenaran.”“Mas cuma malu mengakuinya, iya ‘kan? Entah kenapa Mas biarkan semua orang percaya kalau Mas menyimpang, padahal sebenarnya enggak begitu. Sudahlah sudahi pura-puramu. Menikah itu enak.”“Kamu bicara begitu, seperti kamu sudah berpengalaman.”“Karena aku cukup tahu cara membedakan pria yang normal dan menyimpang. Mas Ali enggak punya satu kriteria itu. Biar apa sih, menyembunyikan fakta samai bertahun-tahun?”Sat itu Ali terdiam. Ia hanya bingung kenapa di antara orang-orang yang
Arnav melirik Ilyas sekilas.“Kenapa, kamu melihatku?”“Om ada-ada aja.”“Kamu sudah makan?”Arnav menggeleng.“Ayahmu itu, anak bukannya dikasih makan. Urusan begini pun dia enggak bisa diandalkan.”“Om.”“Ya?”“Kenapa Ayah enggak masuk, Bunda sama Ayah baik-baik aja ‘kan?”“Om enggak tahu Nav, sebaiknya kita cari makan dulu. Om belikan makanan yang enak-enak, oke.”“Bagaimana bisa aku makan enak, kalau Mamah masih enggak mau bangun.”“Kalau begitu makan ini saja!”Ilyas mengangkat paper bag yang selalu diberikan Ali.“Dari orang yang tadi di sini, ya?” tanya Arnav.“Kamu kenal?”“Dia ayahnya anak yang aku tusuk. Aku bahkan enggak tahu wajahnya seperti apa, hanya saja cara jalan dan pakaiannya terlihat enggak asing.
“Di mana?” “Ali enggak ada di sini, lagi pula kenapa Mbak tanya Ali? Dia bahkan enggak pernah mau masuk ke ruangan. Lagi pula, dari mana Mbak tahu soal Mas Ali? “ Nada hanya terdiam. Ia sendiri hanya mengingatnya secara samar-samar, yang jelas, seolah Ali adalah orang terakhir yang ia temui sebelum ia membuka mata. “Mimpi,” kata Nada. “Bisa-bisanya kamu memimpikan orang lain, aku bahkan merawatmu selama ini.” “Makasih.” “Enggak, aku yang harusnya mengucap terima kasih. Terima kasih karena Mbak udah mau membuka matamu kembali.” “Jangan nangis!” “Aku lebih suka kamu mengomel seperti dulu, dari pada terus tidur seperti ini.” Nada hanya tersenyum saja, meski ia ingin sekali mengusap rambut Ilyas yang tepat di sebelah telapak tangannya, tetapi bahkan untuk menggerakkan tangan saja ia kesulitan. “Nak, ada yang sakit?” tanya Abah. Nada hanya tersenyum. “Enggak usah dipaksa, kamu ingin menjewer a
Nada hanya diam saja, sampai Ilyas menyadari Nada menggerakkan jari-jarinya. Pelan ia melakukan gerakkan seperti meremas. Namun, saat itu Ilyas tak mau berkata apa pun.“Aku mungkin akan merepotkanmu Dek, aku enggak bisa jalan.”“Tanpa kamu minta, aku akan bersedia mengajarimu berjalan Mbak.”Nada hanya tersenyum saja.Sejak saat itu Nada mulai melakukan terapi setiap pagi. Butuh waktu berminggu-minggu sampai ia bisa kembali seperti semula. Persendian Nada menjadi kaku dan lemas, karena lama tak pernah digerakkan.Hari itu meski pelan akhirnya Nada bisa kembali berjalan. Meski, ia tetap butuh tongkat, karena tak kuat jika berjalan terlalu lama.Di rumah yang disewa Ilyas, pagi itu Nada begitu semangat melatih kakinya untuk berjalan. Meski belum lancar, ini adalah suatu kemajuan baginya.“Mbak mau aku telepon Arnav?” tawar Ilyas. Hari itu kebetulan jatuh pada akhir pekan.“Jangan, Mbak m
“Bunda!”Saat itu Arnav yang tengah memegang pakaian yang baru saja ia dapatkan dari wanita asing yang entah, refleks menjatuhkannya begitu saja. Binar bahagia di wajah Arnav mendadak Sirna berganti dengan pandangan yang nanar mana kala Nada tersenyum sambil merentangkan tangannya.Anak laki-laki itu beranjak bangkit, lantas melangkah dengan cepat, ia memeluk Nada dengan begitu erat. Wanita yang bahkan tak pernah absen ia doakan setiap siang dan malamnya.Kenyataannya bukan hanya Arnav, Bu Utami dan Zayn juga tak akalah terkejut dengan kehadirannya di tempat ini.Zayn ikut bangun dan mendekati Nada. Saat itu Ilpyas sudah ingin melangkah untuk mencegah pria itu, tetapi Abah buru-buru mencegahnya.“Sayang.”Nada hanya diam saja.“Aku bicara padamu, Nad.”Saat itu barulah Nada mau memalingkan pandanganya pada pria itu.“Salim sama Kakek dan Om dulu, ya!” kata Nada sambil menun
Tak pernah terbayangkan aku akan sesakit ini mendengar kabar pernikahan Nada dengan Ali yang disampaikan langsung oleh Arnav. Putraku tak lagi menentang hubungan mereka. Aku tidak tahu, kapan tepatnya anak it berubah pikiran. Padahal, jelas saat ia datang untuk membantu acara tahlilan ibu, aku melihatnya begitu antusias menjodohkanku kembali dengan Bundanya.Bagaimana bisa ia berubah secepat itu?Ia bahkan mengatakan padaku, jika akan jadi pengantar pengantin, kala Bundanya menikah. Bahkan, yang lebih menyakitkan adalah ia mengatakan itu semua dengan bangga.Aku yang menghidupinya selama ini. Kenapa ia malah lebih percaya pada orang lain yang justru baru ia kenal.Sejujurnya aku masih tak percaya jika Nada benar-benar menikah. Jadi, hari di mana akadnya dilangsungkan aku mendatangi hotel tersebut. Sayangnya tak sembarangan orang bisa masuk ke acara pernikahannya. Penjagaannya cukup ketat. Aku bahkan harus check in hanya untuk mendapatkan in
“Aku mengizinkannya Al, lakukan saja!”“Terima kasih Nad. Kalau, kamu masih bingung mau pilih yang mana. Besok staff yang menjual perhiasannya akan datang ke rumahmu. Pilih saja yang kamu suka.”“Bagaimana kalau seleraku enggak sesuai sama kamu?”“Aku yakin pilihanmu pasti yang terbaik.”“Baiklah. Aku akan pilih yang termurah kalau begitu.”“Nad, yang benar saja. Aku akan meminta staff untuk enggak mencantumkan harganya.”Aku sampai dibuat terkekeh dengan kepanikan Ali. Ada apa dengannya, padahal aku hanya bercanda.“Kenapa malah ketawa? Aku serius juga.”“Uangmu pasti banyak sekali Al, sampai-sampai membuangnya dengan begitu mudah.”“Siapa juga yang sedang membuang uang, jelas-jelas aku sedang membelikanmu mahar. Apa kamu akan membuang mahar setelah akad berlangsung? Enggak mungkin ‘kan.”
Ali hanya tersenyum saja. Namun, aku bisa melihat ekspresi kelegaan di wajah Abah dan Ilyas.Ya Allah, jika Engkau berkenan menyatukan kami dalam ikatan suci pernikahan. Maka, jadikanlah pernikahan itu sebagai jalan untuk mencapai ridho-Mu.Setelah mendapatkan jawabannya Ali memilih untuk berpamitan.“Besok Ali ke sininya habis dzuhur, ya Bah.”“Oh, baik kami tunggu kedatangan Nak Ali dan keluarga.”Ali mengangguk lagi, sesekali ia tampak melirik padaku.“Kayaknya ada yang mau ngeduluin nih!” sindir Ilyas, begitu Ali sudah meninggalkan rumah dengan kendaraan roda empatnya.“Aku sekali aja belum, Mbak udah mau dua kali aja!” ucap Ali.“Apaan sih kamu, Dek!”“Enggak boleh ngomong gitu, Yas! Memangnya ada yang mau pernikahannya gagal!” ucap Abah.Memang Ilyas ini keterlaluan. Merusak mood saja. Dia pikir enak berpisah, setelah bertahun-tahun menj
“Kamu tahu enggak sih yang kamu bicarain ini apa? Sudahlah Nav,Bunda enggak akan nikah kok. Asalkan kamu di samping Bunda, semua itu udah lebih dari cukup kok. Lagi pula sekarang Bunda sudah punya pekerjaan yang bisa diandalkan. Jadi, seenggaknya kalau suatu hari ayahmu berhenti memberikan uang untuk biaya Pendidikan kamu, kita sudah ada penghasilan lain.”“Nav serius, enggak apa kalau sekarang juga Bunda mau nikah sama Om Ali. Nav enggak akan menghalanginya lagi. Kalian tuh saling mencintai, tetapi Nav malah terus aja mencegah kalian Bersatu. Lagi pula Nav juga kayaknya butuh teman main, kayak Yusuf.”“Nav….”“Bun, sudah cukup Bunda nahan kesedihan sendirian. Nav pengen banget lihat Bunda ketawa terus kayak tadi, mungkin aja Om Alilah jawaban doa-doa Nav selama ini. Nav ‘kan juga minta supaya Bunda bahagia, tetapi Nav malah keliru dengan mendoakan supaya rujuk sama Ayah. Padahal, yang membuat Bunda ba
“Enggak begitu kok, Sayang.”“Sekarang Nav, ngerti bedanya Om Ali sama Ayah.”“Sayang, kalau kamu enggak suka Bunda dekat samam Om Ali, lain kali Bunda akan jaga jarak. Oke? Cuma tadi itu kebetulan mobil pick up Bunda rusak. Om Ali cuma nawarin bantuan, ya udah makanya kami tadi di jalanan. Jangan salah paham dulu!”“Nav enggak tahu, kenapa hubungan orang dewasa seribet ini?”“Enggak ribet kok, nanti kalau Nav dewasa, juga pasti ngerti.”“Nav enggak mau nikah Bun, kalau ujungnya cerai.”“Enggak ada pasangan yang mau pernikahannya gagal di tengah jalan Nak, andai saja mengembalikan kepercayaan itu mudah. Bunda pasti sudah melakukannya buat kamu?”“Memangnya apa yang bikin Bunda sampai enggak mau balikkan sama Ayah? Bukannya aku sudah jelasin semuanya.”“Bunda takut kalau suatu hari sakit dan enggak bisa ngapa-ngapain kayak kemar
“Jagung bakarnya datang!” ucap Zayn dengan sekantong besar di tangannya.“Zayn, aku ngantuk.”Saat itu Zayn dan Arnav yang tengah larut dalam tawa mendadak menatapku dengan aneh.“Kok ngantuk sih Bun, kita baru aja kumpul.”“Hari ini Bunda lagi kurang sehat, apa lagi besok harus kembali ke kota jadi enggak apa-apa ya, Bunda tidur duluan?”“Yah, enggak seru banget sih Bun?”Sata tu aku bisa melihat keduanya tampak kecewa. Namun, aku juga tak bisa membohongi perasaanku. Aku membenci Zayn. Meski, kini seseorang menjelaskan jika semua murni karena rasa terima kasih.Aku yang menyaksikan sendiri bagaimana ketika Zayn menatap Ochi dengan pandangan yang sama saat menatapku. Bagaimana ia bahkan tak membiarkan pria wanita itu pulang sendirian.Aku hanya tak sanggup membayangkan hari-hari selama aku tak ada di sampingya. Mungkin saja keduanya sering kali menghabiskan waktu denga
“Kita bisa bicarakan ini lain kali ‘kan? Bukannya tujuan Nav ke sini mau bantuin Ayah, Nav bahkan belum ke makan nenek,” ucapku.Memecah hening yang terlanjur tercipta.“Nah iya, tapi kayaknya Nav juga capek. Mending istirahat dulu.”Saat itu Zayn langsung menarik ransel Zayn, sehingga tubuh anak itu terpaksa mengikuti langkah kaki ayahnya menuju kamar tidur.Ia mendorong tubuh Arnav ke dalam, lantas kembali menutup pintu. Saat itu Zayn masih saja terlihat canggung, tampak ketika ia tersenyum paksa padaku yang masih duduk di kursi tamu.“Astaghfirrullah, Ayah!”Dari arah dalam terdengar teriakan Arnav yang cukup nyaring. Sontak saja, kami langsung menghampirinya untuk memastikan apa yang terjadi.Begitu pintu terbuka, alangkah terkejutnya aku saat melihat keadaan kamar yang antah berantah. Pakaian yang tergeletak dilantai. Buku-buku yang ditumpuk asal, juga tumpahan kopi yang dibiarka
“Caramu salah, Zayn. Kamu membiarkan kebencian tumbuh di hati anak kita, padahal kamu tidak melakukan kesalahan.”“Cuma itu yang bisa aku lakukan untuk terakhir kali. Aku enggak tahu lagi cara apa lagi, selain membuatnya percaya kalau aku sudah menikah.”“Oke, kalau itu memang maumu.”“Jadi ikut, Nad?”Awalnya aku sedikit ragu, melihat bagaimana kami akan menaiki sepeda motor hanya berdua. Namun, melihat dua pria yang sangat kerepotan mengurus acara pemakaman ibunya. Hatiku tak bisa menolak untuk iba.Aku mengangguk tanda setuju. Menaiki sepeda motor berdua, menit pertama kami hanya saling diam. Bahkan, sampai menit-menit selanjutnya. Zayn juga seperti tak tertarik membuka percakapan. Hingga, tiba di mesin ATM, Zayn memintaku turun. Sedangkan, dia akan menunggu di luar. Sambil membeli beberapa minuman dan snack.Aku memperhatikan bagaimana pria itu sedikit kebingungan. Sampai ia kembali dan han
Aku tak mungkin salah mengenali keduanya. Itu Zayn dan Gavin.Aku masih mengikuti iring-iringan itu sampai ke pemakanan. Hingga tiba di mana Zayn mulai mengazani almarhumah, suasana haru kian menyeruak. Hingga prosesi pemakaman selesai, suasana duka turut menyelimuti.Satu persatu orang-orang mulai meninggalkan tempat peristirahatan terakhir almarhumah Bu Utami.Saat itu aku memilih untuk tinggal. Rasanya ada sedikit sesal, karena sejak terakhir kali kami bertemu, kondisinya masih baik-baik saja. Zayn bahkan, tidak pernah menceritakan keadaan Ibu sama sekali.“Dia sudah enggak ada, Nad.”“Maafkan aku Zayn, aku bahkan enggak pernah nengok ibu. Kenapa kamu enggak pernah kasih tahu tentang sakit ibu ke aku?”Saat itu Gavin masih ada di sana. Pria yang biasanya tak tahu diri dan selalu bersikap semena-mena itu hanya terisak sambil menatap pilu nisan ibu, ia bahkan tak menghiraukan keberadaanku.“Apa itu penti