Situasi saat ini sungguh berbahaya. Di atas kursi mobil yang sempit ini, Amira menindih Raga. Amira tidak peduli dengan kakinya yang sudah naik ke atas kursi dengan begitu kurang ajarnya. Wajah Amira menatap Raga, tapi tatapannya kosong entah kemana.Raga tahu apa yang terjadi. Amira sedang melihat masa depan, dengan pose yang menantang begini.“Gue bukan orang yang bisa tahan godaan,” ucap Raga pelan. Tangan Raga menarik Amira yang masih melamun. Dia meraih pinggang Amira, menjauhkan tubuh gadis itu. Raga mendudukkan Amira kembali ke tempatnya semula.“Kalau lo begitu lagi, gue enggak bisa jamin kelanjutannya bakal sama kayak sekarang ….”Amira tersentak. Dia yang baru sadar dari lamunan, hanya mendengar sebagian kalimat Raga. “Udahan liat masa depannya?” Tanya Raga pelan.Meski jantungnya serasa akan meledak, Raga memilih untuk bersikap biasa saja. Dia duduk bersandar di kursi, mencoba menenangkan kegilaannya sendiri. “Lo … cuma mau ngajak gue makan?” Tanya Amira heran. Raga ber
Amira melihat ke segala arah. Di restoran mewah bernuansa merah ini, petunjuk yang Amira dapatkan hanyalah jenis makanannya. Pasti makanan oriental, karena ada tulisan Mandarin yang terukir pada dinding di hadapan mereka. “Raga, kenapa kita ke sini?” Tanya Amira cemas. Raga menoleh, menatap Amira. Namun, dia tidak menjawab. Hanya tangannya saja yang bergerak, mengangkat tangan Amira yang sedang tertaut dengannya. Benar, Amira sudah mengeceknya tadi. Mereka akan makan di tempat ini. “Gue pesen ruang VIP, biar aman.” Jari Raga menunjuk ke kening Amira. “Otak lo aja yang kotor.” “Enak aja!” Bantah Amira sambil menepis tangan Raga. “Gue juga enggak mikir apa-apa!” Amira menutupi rasa malunya dengan memalingkan wajah. Sayang sekali, di sisi lain malah ada Alex. Raga tidak melihat, tapi jadi Alex yang melihatnya. Sungguh memalukan! “Silakan, Tuan, Nona.” Untungnya sambutan para pelayan mengalihkan perhatian Raga dan Alex. Para pelayan itu membukakan pintu kayu di hadapan mereka.
Amira gelagapan. Dia mendorong kursinya mundur. Kedua mata Amira langsung tertuju ke arah pintu keluar. Dia ingin segera pergi dari ruang VIP restoran mewah ini. Secepatnya!“Jangan!” Ujar Raga saat Amira hendak beranjak. Tangan Raga terulur, mencegah Amira pergi. “Gue cuma bercanda,” ucapnya kemudian.Tangan Amira menepis Raga kasar. “Bercandaan elo enggak lucu!”Amira menatap Raga dengan wajah memerah. Sungguh, Amira benar-benar panik. Memori buruknya tentang lelaki, seketika menyeruak keluar bagai air bah. Terus membanjir membuatnya hilang arah.“Sorry ….” Raga mengucapkan maaf. Sudut mata Amira yang berair, membuat Raga semakin serba salah. Raga bergerak mendekat. Tangannya terulur pada Amira. “Gue enggak tau kalau lo bakalan takut begini.”Amira menunduk. Dia tidak mengucapkan satu kata pun. Tangannya sibuk meremas ujung roknya sendiri, begitu kencang sampai kusut tak berbentuk. Raga tidak bisa terus diam. Dia beranjak dari kursi, berlutut di samping Amira. “Maafin gue ….”Tak
Di saat Amira merasa canggung dengan suasana pembicaraan mereka. Terdengar suara dari pintu yang diketuk. Ruang VIP di restoran yang mereka tempati, sepertinya memiliki tamu.Raga mengalah dengan ketukan tersebut. Dia berseru memberikan izin. “Masuk aja.” Pintu terbuka, dan sebuah kereta dorong makanan terlihat. Para pelayan datang, membawa makanan yang mereka pesan. “Permisi, Tuan, Nona,” ucap salah satu pelayan. “Kami akan menyiapkan makanannya.”Raga tak repot merespon lebih banyak. Dia memilih untuk membiarkan para pelayan itu melakukan tugasnya. “Selamat menikmati, Tuan, Nona.”Para pelayan berpamitan pergi. Mereka sudah selesai mengisi meja sampai penuh dengan makanan. Seketika, perhatian Raga dan Amira beralih pada semua makanan itu. Tampilannya yang menggiurkan, juga harum yang menggelitik hidung, membuat mulut mereka berliur. “Makan, yuk.” Ajak Raga pada Amira. Tangannya dengan sigap mengambil sendok dan garpu. “Semuanya?” Amira menatap tak percaya. “Ini pesenan elo? Ba
Di sudut kamar kontrakan Amira, Alex mengulum senyum. Tuan mudanya tampak sangat senang saat ini. “Pelit banget, sih!” Raga mengomel saat Amira menyumpalkan semua isi piring ke dalam mulutnya. Gadis itu dengan sengaja tidak menyisakan sama sekali.“Terus buat apa lo nawarin kalau enggak mau ngasih, heh?”Amira tak menjawab. Dia hanya mendengus. Sungguh, Raga adalah orang yang tak mengerti basa-basi.“Udah kering belum rambut gue? Udah telat, nih.”Sengaja, Amira mengalihkan pembicaraan. Berdebat dengan Raga, jelas tak akan ada habisnya. “Belum, lah!” Raga baru pertama kali mengeringkan rambut seorang perempuan. Ternyata memakan waktu yang lama, apalagi rambut Amira panjang dan tebal. Lutut Raga juga sudah terasa sakit. Raga terpaksa harus menggunakan lutut sebagai tumpuan di lantai, agar tingginya bisa sesuai dengan Amira yang duduk di depannya.“Maju dikit, coba!” Ketus Amira. Kabel pengering rambut yang Amira miliki memang tidak panjang. Jadi mereka tak bisa bergeser sama seka
Setelah insiden pengering rambut, Raga mencoba bersikap biasa saja. Dia tidak mau sampai Amira tahu tentang otaknya yang tidak bersih. Cukup dirinya dan Tuhan yang tahu. Beruntungnya, setelah semua kerusuhan itu, mereka tidak terlambat. Raga dan Amira sampai di Laveire, tepat sebelum bel masuk berbunyi. Mereka pun belajar dengan tenang di kelas, sampai sekarang. “Untuk persamaan yang ini–”Penjelasan guru yang ada di depan kelas disela oleh bunyi bel istirahat. Semua siswa di kelas XI-A berseru senang.Guru yang ada di depan kelas pun memilih untuk sadar diri. Beliau mengakhiri pembelajaran dan menutup kelas, seperti yang murid-muridnya inginkan. “Elo makan sama temen lo lagi?” Tanya Raga setelah guru mereka berjalan ke luar. Amira mengangguk. “Iya.” Tangannya menunjuk ke depan pintu. “Itu udah ditungguin.”Raga menghela saat melihat Michelle yang sudah menunggu di depan kelas XI-A seperti biasa. Helaan itu semakin keras saat Evan muncul di belakang Michelle. “Lo mau ikut ke kant
“Hari ini lo lembur,” ucap Raga pada Amira. Bel pulang baru saja berbunyi, dan Raga sudah menentukan apa yang harus Amira lakukan. Amira tidak akan bisa lolos darinya sama sekali. “Enggak usah sampai begitu,” sahut Amira tenang. “Gue juga emang enggak berniat buat Nerima ajakan Evan, kok.” Sayang sekali, Amira melakukan hal yang salah. Harusnya Amira tidak membantah Raga. Setelah jam istirahat tadi, Raga sudah mati-matian menahan emosinya sendiri. Amira tidak tahu saja, jika Raga sudah ingin memutar balikkan meja di detik Evan mengutarakan ajakannya untuk nonton bersama Amira. “Emang seharusnya gitu,” sindir Raga kesal. “Lo pasti bakalan nyesel kalau terima ajakan dia.” Raga menarik tangan Amira kemudian. Dia tidak berniat menunggu lebih lama. “Udah beres, kan? Kita pergi sekarang!” Raga memimpin jalan menuju ke tempat parkir. Amira menghela kesal karena diseret begini. Namun, dia memilih untuk tidak mengajukan protes lagi. Lewat tangan mereka yang tertaut, Amira bisa
Di tempat yang tidak Amira kenali ini, dia melihat kedekatan antara Raga dengan Catherine. Hati Amira terasa dongkol. Kedua matanya enggan menatap. Meski begitu, Amira tak bisa mengabaikan tangan Catherine yang terulur. Rasanya tidak sopan jika Amira mengabaikan perkenalan tulus dari Catherine. “Hai,” sapa Amira. “Salam kenal, Kak.” Amira menyapa sopan. Dia menyambut tangan Catherine. Saat tangan Amira dan Catherine bersentuhan, Amira bisa melihat sekilas bayangan masa depan. Seketika dia menoleh ke arah Raga. Raga tersenyum miring. Dia bisa menebak jika Amira sudah mengetahui semuanya. “Udah liat?” Sindir Raga pada Amira. Amira mendengus. Bibirnya cemberut, kesal. Tatapannya memicing sinis. “Kenapa enggak bilang dari tadi?”Andai saja Raga mengatakan tentang Catherine, Amira tidak perlu menggalau segala. “Ada apa?” Catherine yang mendengar pembicaraan keduanya, jadi bertanya. “Terjadi sesuatu?” Dia penasaran.Raga menggeleng. “Enggak ada.” Tangan Raga menunjuk ke bagian dalam g
“Buka matamu!” Teriakan Leon menggema di dalam ruang kumuh itu. Amira terpaksa membuka mata, meski tubuhnya sudah mati rasa. “Kamu pikir ini sudah selesai?” Leon tertawa nyaring. “Ini baru dimulai, Amira.”Amira terkejut saat Leon mengangkat tinggi handphone kecil yang Amira sembunyikan. “Kenapa kaget?” Tanya Leon dengan seringai di wajah. “Kamu pikir aku tidak tahu rencanamu?”Leon terkekeh sebentar. Pria itu terlihat sangat menikmati kengerian di wajah Amira. “Kalian sungguh bocah-bocah yang sombong,” ujar Leon, sinis. “Jangan mengira diri kalian pintar. Aku sudah menangani kasus seperti sejak bertahun-tahun yang lalu.”Leon berjalan di depan Amira. Sesekali dia menatap Amira sinis. Terkadang dia tiba-tiba memberikan tendangan–sesuai mood saja. “Kamu tahu pekerjaan apa yang aku urus di keluarga Wijaya, Amira?” Leon mengangguk, seolah membenarkan tebakan yang belum terucap.“Aku mengurus banyak pekerjaan, termasuk yang kotor seperti ini.” Amira tersentak saat wajah Leon tiba-
“Kita … mau ke mana?” Amira bertanya dengan suara cemas. Hari semakin gelap, tapi mobil yang Amira naiki dengan Leon belum juga berhenti. Mereka sudah begitu jauh berkendara. “Kenapa jalannya tidak rata? Apa kita ke hutan?” Amira terus bertanya, membuat Leon berteriak kesal. “Diamlah! Atau aku lempar kau ke jurang di luar sana!” Teriakan Leon membuat Amira terdiam. Dia memilih untuk tidak bicara sampai emosi Leon mereda. Sepertinya, Amira sudah memberikan cukup petunjuk lewat panggilan yang terhubung dengan Raga. Mobil terus berjalan sampai akhirnya berhenti perlahan. Leon memarkir mobil dan keluar lebih dulu. “Turun!” Teriak pria itu, tidak sabaran. Leon menarik Amira cepat. Ia membuat Amira terhuyung sampai akhirnya terjerembab di atas tanah yang keras. “Duh, menyusahkan!” Leon terpaksa membantu Amira. Amira kesulitan berdiri sendiri dengan tangan yang sudah terikat ke belakang. “Astaga, kenapa kamu rapuh sekali!” Leon mengomel saat melihat hidung Amira yang mengeluarkan d
“Semoga semua berjalan sesuai rencana,” lirih Amira. Amira dan teman-temannya mengangguk bersamaan. Mereka sudah siap. Satu-persatu, saling berpamitan, dimulai dari Evan, sampai Raga yang terakhir. “Lo hati-hati,” bisik Raga hampir tak terdengar. Dia menyempatkan diri memeluk Amira erat, sebelum melepaskannya.“Hati-hati di jalan,” seru Amira sambil melambai pada Raga. “Kabarin gue kalo udah sampe.”Raga membalas lambaian tangan Amira sebelum berbalik dan melangkah pergi bersama Alex. Hari sudah gelap, tapi belum terlalu larut. Amira, Dina, dan Dika berjalan bersisian menuju asrama. “Kamu mau langsung tidur?” Tanya Dina.Gedung asrama sudah terlihat. Namun, sampai sekarang, belum ada pertanda apa pun. “Iya, kayaknya,” jawab Amira sambil terus memantau waktu. Dia berusaha untuk tidak terlihat mencurigakan. Amira harus berpura-pura tidak tahu. “Aku juga. Tadi capek banget. Kayaknya malam ini aku bakal tidur nyenyak,” sahut Dina. Mereka akhirnya tiba di depan kamar masing-masin
“Siapa yang melakukannya?” Tanya Reynald. Dia masih mengurus kasus penculikan Raga yang terakhir kali. Tersangkanya masih diproses dalam persidangan yang berjalan.“Orang lain lagi? Lo liat?” Febby ikut bertanya. Febby berharap jika Amira mendapatkan sedikit petunjuk. “Enggak, tapi kayaknya gue tau siapa.”Amira melihat beberapa detail yang membuat dia sedikit yakin dengan tuduhannya. “Itu Pak Leon,” sambung Amira. Dia sempat melihat Raga mencari tahu keberadaan Leon, dan Raga di masa depan belum berhasil menemukannya. “Lo lebih baik cari Pak Leon dari sekarang.” Amira terdiam sebentar, lalu menggeleng. “Jangan,” sambungnya sambil membantah ucapan sendiri. “Cari adiknya.”Leon bersembunyi dengan begitu baik, jadi pria itu pasti tidak akan bisa ditemukan dengan mudah. “Lakukan diam-diam. Gue juga bakal pura-pura enggak tau sama rencana dia,” ucap Amira. Raga mengernyit tidak senang. “Maksud lo, gue harus ngeliat lo diculik di depan mata gue?!”“Lo enggak adil banget!” Raga men
“Kalian hebat!” Reynald tak berhenti memberikan pujian. Acara open house sudah selesai, dan bagi Reynald acara kali ini sukses. “Persiapan kita sebentar, tapi kalian bisa melakukannya dengan sangat sangat baik.” Berkali-kali Reynald memuji mereka, sampai Amira mungkin bisa sampai ke atas langit jika pujian itu ditumpuk. “Makasih, Pak. Bapak juga hebat bisa membuat banyak orang datang dan melihat open house sekolah kita.” Reynald mengangguk senang. Dia kemudian merapikan meja di depannya. Ruang kepala sekolah Laveire sudah disulap menjadi ruang perayaan. “Makanannya sudah datang,” ucap Reynald sambil menunjuk ke arah Alex yang baru masuk ke ruangan. Reynald memang meminta bantuan Alex untuk mengambil makanan yang dia pesan secara online. “Ayo kita makan dulu! Saya sudah menyiapkan kue juga.” Evan bersorak gembira. Dia terlihat menutupi rasa kecewa akibat kandasnya perasaan pada Amira. “Potong kuenya, Pak!” Seru Evan bersemangat. Evan, Michelle, Febby, Amira, Raga, Dik
“Jangan ingkar janji.” Senyum Raga melebar sempurna. Dia mengangguk bersemangat sebelum membiarkan Amira pergi menjauh darinya. “Ayo kita berikan tepuk tangan yang meriah!” Sorak-sorai bersahutan saat Amira naik ke panggung. “Amira!” Hal itu membuat Amira cukup tertekan. Apalagi saat Amira mengingat kenyataan tentang skill menyanyi pas-pasan miliknya. “Gue harus coba.” Amira meyakinkan dirinya sendiri. “Karena kesempatan ini mungkin cuma datang sekali, yang pertama juga yang terakhir.” Amira tersenyum lebar. Dia mengangkat kedua tangannya tinggi. “Come on! Sing with me!” Ketukan ceria terdengar. Amira pun mulai menyanyikan baris pertama dari “Price Tag” dengan penuh percaya diri. Saat itu juga, Raga tersenyum. Dia memandang Amira lekat. Harusnya Raga tahu kalau lagu yang dipilih Amira pasti yang seperti ini. “Lagu yang elo banget,” gumamnya pelan. Amira turun dari panggung setelah mendapatkan banyak tepuk tangan. Dia berjalan mendekat pada Raga. Mereka punya waktu k
“Bisa,” balas Amira menantang. “Apa sih yang enggak buat lo?” Karena sudah terlanjur basah, sekalian saja berendam.“Nanti, siap-siap aja.” Raga mengedipkan sebelah mata.Amira hanya bisa tertawa melihat pacarnya itu menjadi genit sekarang. Tiba-tiba saja ponsel Amira bergetar. Ada panggilan masuk dari Evan.Amira mendengarkan suara dari seberang sebelum akhirnya mengangguk. “Gue ke sana sekarang.”Raga tahu arti ucapan Amira. Dia ikut bersiap bersama sang pacar. “Evan mau tampil,” ucap Amira menjelaskan. “Gue juga diminta siap-siap, soalnya gue tampil habis dia.”Raga mengangguk mengerti. Dia menyempatkan diri untuk menghapus sisa air mata di pipi Amira sebelum menggandeng Amira kembali. Saat itu, Amira bukan hanya merasa senang, tapi lega. Setidaknya, Raga ada di sisinya. Keduanya berjalan menyusuri lorong sambil bergandengan, mengabaikan tatapan orang yang memicing pada mereka.“Kalian sudah baikan?” Tanya Evan setibanya Amira dan Raga di belakang panggung. Cowok itu menunjuk
“Bagus!” Amira bisa merasakan pelukan erat Raga. Cowok itu membuatnya hampir tidak bisa bernapas. “Berhenti! Gue bisa mati!” Keluh Amira.“Sorry!” Raga mengurai pelukannya. “Gue cuma seneng banget. Akhirnya lo mau terima gue dengan jawaban yang jelas. Jadi sekarang gue bisa susun rencana selanjutnya.”Amira tersentak sesaat. “Rencana … apa?”Raga tidak menjawab. Dia malah menarik Amira kembali ke pelukan. “Nikahin lo. Secepatnya.” Raga dengan sengaja membungkam mulut Amira dengan memberikan sebuah kecupan. “Nanti gue jelasin,” sambungnya. Raga menarik tangan Amira, hendak membawa gadis itu keluar dari lorong. Namun, Amira menggeleng. “Bilang sekarang, atau enggak usah sama sekali.”Amira tak bersedia menunggu. Dia sudah mengorbankan masa depannya, hanya demi seorang Raga. Mungkin Amira memang sudah gila. Tapi setelah semua yang dia pertaruhkan, setidaknya Amira ingin tahu apa yang terjadi. “Apalagi yang perlu gue kasih biar lo ngomong sekarang?” Desak Amira. Rasanya Amira sud
“Kamu enggak apa-apa?” Tanya Dina. Dia mengajak Amira untuk duduk dan bicara, tapi Amira terlalu malu untuk melakukannya.“Enggak apa-apa,” jawab Amira cepat. “Gue … lagi malas ngomong aja.”Dina cuma angkat bahu. “Oh ….” Dia menarik Amira mendekat. “Ya udah duduk aja, enggak usah ngomong.”Amira jadi tak memiliki alasan untuk menolak. Dia mengambil tempat di sebelah Dina, menghela keras di sana. “Udah lama ya, kita enggak duduk bareng kayak gini,” ucap Dina sambil memasang senyum.“Aku senang kedatangan aku enggak sia-sia.”Dina memandang jauh ke depan, seolah sedang mengingat masa lalu di antara mereka sebelum ini. “Padahal awalnya aku mau nyerah,” sambung Dina. “Apalagi saat tahu kamu punya teman-teman yang ternyata sangat baik, lebih daripada aku.”Kali ini Dina menoleh, menatap Amira. “Mereka–”“Amira!” Raga menangkap tangan Amira, tidak membiarkan gadis itu hilang dari pandangannya lagi. “Kenapa kabur dari gue?!” serunya, dengan tatapan tajam. Amira beringsut sedikit. Baru