Reynald mengangguk, seolah sudah menduganya. “Duduk dulu, Amira.” Sepertinya mereka perlu berbicara lebih banyak kali ini. “Saya senang memberikan beasiswa untuk siswa seperti kamu.”Amira memang sudah mendapatkan beasiswa sejak pertama masuk ke Laveire. Tapi semenjak kepengurusan berpindah tangan, dia harus memastikan beberapa hal. “Beasiswa kamu akan tetap sama seperti yang sebelumnya kamu dapatkan. Saya berjanji akan membebaskan kamu dari biaya apa pun selama kamu bersekolah di Laveire.”Amira mengangguk lalu mengucapkan terima kasih. “Saya juga sudah menawarkan pekerjaan yang mungkin untuk kamu kerjakan.”Memang, Amira jujur semalam jika dia mungkin membutuhkan uang tambahan. Dia tak malu-malu pada Reynald. Terlebih, dia memang butuh izin dari pihak sekolah jika ingin melakukan pekerjaan sambilan. “Apa masih kurang? Kenapa kamu ingin tinggal di asrama? Kamu kan sudah punya tempat tinggal.”Reynald ingin tahu alasan Amira. Apa benar semua ini dilakukan hanya demi bisa lanjut b
“Lo nanti bakal capek banget kalau harus tampil lima kali. Latihannya juga pasti lama.”Ternyata Raga memikirkan posisi Amira yang nantinya akan menjadi vokalis. Amira jadi tidak bisa kesal lagi pada Raga. Cowoknya itu hanya membelanya. “Ya tapi ngomongnya biasa aja ke Evan, enggak usah ngegas,” tuduh Amira. Seketika, Raga berpaling–menunjukkan jika apa yang Amira tuduhkan benar. Rupanya kedua cowok itu memang bertengkar karena Raga yang mulai duluan. “Kita omongin lagi baik-baik pas mereka balik,” sambung Amira. Seolah tahu apa yang terjadi, tiba-tiba saja Evan dan Michelle kembali masuk ke ruang OSIS. “Nah, pas banget,” ucap Amira. Amira mengamati Evan yang masih merengut di kursinya. Meski cemberut, cowok itu tidak pergi dan tetap mendengarkan. “Gue udah ngomong sama Raga.” Amira memulai pembicaraan. Dia langsung mendapatkan perhatian dari Evan dan Michelle. “Gue setuju sama dia.”Evan menghel
“Lo gila?!” Raga terkejut saat Amira menampar pipinya. Tangan Amira membuat bekas merah berdenyut. “Astaga!” Raga mengaduh sambil mengusap pipi yang terasa perih. “Sakit tau!”Amira tidak merasa bersalah. Dia malah balas melotot. “Habisnya lo ngajak gue check in!”Seruan Amira membuat Raga tersadar kemudian. Dia tertawa keras. “Apaan? Kenapa malah ketawa?” Amira memicing sinis. Bukannya minta maaf, Raga malah menertawakan dirinya. Apa yang lucu, coba? “Lo mikir apaan?” Raga menyindir Amira dengan tatapan. “Mikir jorok, ya?”Seketika wajah Amira memerah. Dia langsung sadar jika dirinya pasti sudah salah paham. “Terus ngapain lo ngajak gue ke hotel? Mau ngapain di sana?”Raga terkekeh sesaat. “Sekarang gue sama keluarga sementara tinggal di sana.”“Jadi gue pikir lo mau mampir. Hotel tempat gue tinggal juga deket sama mal,” sambung Raga. Amira berdecak kesal. Harusnya Rag
“Mau nyaingin lo,” jawab Amira. Raga memasang wajah bingung. Dia tidak mengerti. Menyaingi apa? Kenapa mereka harus bersaing?Amira tidak sabar melihat ekspresi Raga yang bingung. Dia mengulurkan tangan, mengambil garpu yang ada di atas mangkuk mi. Raga menggeleng saat Amira menunggu mulutnya terbuka untuk menyuapkan makanan. “Enggak,” tolak Raga. “Jawab dulu.”Amira bergeming. “Makan atau gue colok ke hidung lo.”Ancaman itu membuat Raga berdecak. Mau tak mau dia membuka mulutnya. Amira mengangguk puas saat Raga mulai mengunyah. “Gue enggak mau kalah sama lo.”“Masa pacar gue pewaris, gue cuma meringis? Enggak lucu, kan?” Amira meminta Raga untuk memahami keadaannya. “Gue enggak mau jadi orang enggak pantes berdiri di samping lo.”Mungkin Raga tidak merasa ada masalah, tapi Amira tak bisa begitu. Dia tidak mau malu dan memalukan. “Tapi gue–” Amira kembali menyuapkan ma
“Siapa?” Raga ikut melongok keluar, dan dia mendapati Dika dan Dina di pintu masuk. Seketika, tatapan Raga berubah tajam. Dia mendelik tidak suka. “Kalian ngapain di sini?” Tanya Raga, sinis. Dika dan Dina saling pandang. Mereka malah menunjuk kamar Amira. “Murid yang mau tinggal di sini itu kamu?” Tanya Dina tak percaya. Dina melihat kamar yang terbuka, dan dia langsung tahu jika dugaannya benar. “Wah, keren! Kak Amira tinggal sama kita!” Seru Dika, sangat bersemangat. Sebaliknya, Raga langsung menarik Amira. Dengan sengaja, Raga menyembunyikan Amira di balik badannya. “Enggak,” ucap Raga sambil menggeleng. “Kita mau pergi.”Namun, Amira tidak menurut. Dia dengan sengaja melepaskan tangannya dari Raga. “Gue tinggal di sini, kok.” Amira berdiri di samping Raga, membiarkan dirinya terlihat oleh Dika dan Dina. Raga tidak bisa membantah lagi. Dia membiarkan Amira bicara.
“Mau apa?” Amira bertanya bingung. Dilihatnya Raga mengambil handphone dan malah sibuk sendiri. Tak lama, Amira merasakan getaran dari ponselnya. Dia mengeluarkan handphone dari saku dan melihat kontak yang menghubungi. “Ngapain lo nelpon gue?!” Amira menunjukkan layar handphone miliknya yang menyala. Tertulis kontak Raga di sana.Amira tak mengerti. Untuk apa Raga menghubungi dia? Mereka kan saling berhadapan begini. “Jangan tutup telepon dari gue,” ancam Raga saat cowok itu berpamitan. “Pokoknya jangan matiin sampai lo tidur.”“Hah?” Amira mengernyit bingung. Dia tidak mengerti. “Hari pertama lo di tempat baru. Gue enggak mau sampai terjadi apa-apa sama pacar gue.”Amira menilik wajah Raga. Dia menarik tangan cowok itu penasaran. Seketika, sekelebat bayangan masa depan terlihat dalam benaknya. “Lo cemburu?” Amira menghela. “Mau tau gue ngapain aja?” Raga cuma menunjukkan satu jari. “Ha
“Bantu apa?” Tanya Dina penasaran. Dika pun ikut menyimak. “Isi acara. Gue yakin kalian pasti bisa ngelakuin itu.”Amira duduk mendekat. Dia membisikkan permintaannya pada kakak beradik itu. “Mulai besok bisa, kan?” Tanya Amira dengan kedua mata penuh pengharapan. Dika dan Dina saling pandang. Mereka tampak ragu. “Memangnya enggak apa-apa? Orang-orang kan enggak suka sama kita.” Dina tidak mau mempermalukan Amira, juga dirinya sendiri.“Ngomong apa sih? Gue minta karena gue suka,” sahut Amira. “Lagian juga beda bukan berarti benci, kan?”Amira mencoba meyakinkan keduanya, sampai mereka mengucapkan kata iya. Dika yang mengangguk pertama. “Kalau Kak Amira yang nyuruh, aku mau.”Amira tersenyum senang. “Bagus! Besok kalian ikut sama gue.”Ketiganya berbincang tentang kegiatan esok sampai akhirnya Amira berpamitan. Camilan mereka sudah habis, dan hari sudah malam.
“Enggak,” jawab Raga. Tentu saja Amira bisa menebak jika itu adalah jawaban yang akan Raga berikan. “Kalau begitu … kasih tau gue batasnya.” Raga mencoba mengalah. Di saat kesabaran Amira hampir habis, akhirnya cowok itu sadar dan peka. Amira menjawab dengan sebuah tatapan lekat. “Sewajarnya, Raga. Mungkin kayak dulu ke mantan-mantan lo sebelumnya?”Pastinya Raga lebih tahu, karena cowok itu pernah punya pacar. Tidak seperti Amira. “Jangan terlalu deket pokoknya. Gue risih!” Tukas Amira. Amira memilih untuk menyudahi pembicaraan dan mulai menyiapkan makanan dari Raga. “Ayo makan dulu.” Dia mengucapkan terima kasih, lalu mulai melahap. Keduanya tidak bicara lagi setelahnya.Raga hanya menunggu Amira bersiap. Mereka kemudian berjalan ke kelas bersama-sama, sementara Alex menunggu di luar gedung utama.Peraturan Laveire tetap sama. Supir dan pengantar menunggu di tempat yang dite
“Gue enggak ngerasa ini beneran,” ucap Amira. Setelah Amira dinyatakan benar-benar sembuh, Raga mengajaknya masuk ke dalam kediaman keluarga Wijaya. Raga tidak membiarkan Amira berhenti di depan pintu. Dia menarik Amira masuk ke dalam. Kali ini, tangan Amira tak terlepas dari genggaman. “Udah gue bilang, kan? Lo percaya aja sama gue,” sahut Raga sombong. Gavin dan Andini datang kemudian. Mereka menyambut Amira. “Kamu langsung bersiap saja.” Andini mendorong Amira masuk ke dalam salah satu ruangan. Di sana, sudah ada penata rias lengkap dengan para pelayan yang membantunya bersiap. Amira terus-menerus curiga, tapi tidak ada yang terjadi. Bahkan dia sudah mengecek masa depan dengan memegang semua orang, dan hasilnya sama. Tak akan terjadi apa pun. Semuanya berjalan lancar seperti seharusnya. “Sudah selesai.” Ucapan penata rias itu membuat Amira tertegun sesaat. Dia menghadap cermin lalu mendapati pantulan dirinya di sana. “Apa ada yang mau diperbaiki?” Penata rias it
“Pergi, dulu.” Setelah meminta izin pada Gavin, Andini, dan Heri, Raga dan Amira diantar oleh Ken. Alex sedang cuti untuk sementara waktu.Di asrama, Dika dan Dina menyambut Amira. Memang sedang libur semester, jadi suasana sekolah sepi. “Kak Amira mau pindah ke mana?” Dika bertanya penasaran. Amira tidak bisa memikirkan jawaban, jadi Raga yang mewakili.“Apartemen,” jawab Raga singkat. “Di sini ternyata enggak aman.”Amira tidak membantah. Dia biarkan saja Raga semaunya merangkai kebohongan tentang status juga tempat tinggal mereka.Terdengar hela kecewa dari mulut Dika. Meski begitu, Dika tetap membantu Amira berkemas. Dina pun melakukan hal yang sama. Dia tidak masalah di mana pun Amira tinggal, selama hubungan mereka baik.“Hati-hati di jalan ya!” Dina dan Dika melambai bersamaan. Kedua bersaudara itu mengantar Amira sampai ke depan gerbang. Amira memang tidak membawa semua barangnya. Dia cuma mengambil baju dan barang-barang penting. Sisanya bisa diambil nanti. “Dah!” Amira
“Gimana keadaan Bapak?” Tanya Amira saat menjenguk Reynald. Amira langsung menyeret Raga ke ruang rawat Reynald setelah tahu gurunya sudah sadar. Reynald tersenyum. “Baik.”Febby yang kemudian mewakili Reynald bicara lebih banyak. “Keadaannya udah stabil, jadi lo enggak perlu khawatir lagi.”Dia menepuk lengan Amira lembut. “Jangan merasa bersalah lagi, ya,” sambungnya. Amira mengangguk pelan. Melihat Febby yang tak lagi menangis membuat Amira merasa lega. “Mending lo istirahat, sana.” Febby membalikkan badan Amira. Dia menunjuk pintu keluar. “Tidur di atas kasur.”Amira menggeleng–menolak, tapi Febby memaksa. “Harus!”Perintah itu akhirnya dituruti Amira. Dia dibimbing Raga kembali ke dalam ruang rawatnya. Di sana, Raga langsung menyuruh Amira berbaring. “Akhirnya!” Raga ikut naik ke atas ranjang, berbaring di samping Amira. “Gue bisa tidur juga.”“Raga! Turun, ih!” Pekik Amira.Amira berusaha mendorong Raga menjauh, tapi pacarnya itu tidak bergerak. “Raga, gue tendang ya!” An
“Pendarahannya parah,” gumam Febby, dengan suara putus asa. Amira menarik napas dalam, mencoba meredam rasa bersalah yang menyesakkan. Namun, dia tahu jika ini bukan waktunya untuk lemah, apalagi mengeluh.“Ayo kita berdoa, Kak. Gue yakin, Pak Reynald pasti bisa melalui ini semua.”Febby hanya mengangguk dengan tatapan kosong. Dia tidak ingin berharap, tapi hanya harapan yang tersisa untuknya. Amira ikut berdoa dalam hati. Dia sungguh tidak bisa membayangkan jika Reynald benar-benar pergi. Amira tak mampu hidup dalam rasa bersalah.“Amira,” panggil Raga lembut. Raga duduk di samping Amira, menemaninya. “Sini, deketan sama gue,” ucap Raga seraya memberikan satu bahunya agar Amira bisa bersandar.“Gue enggak ngantuk,” jawab Amira, keras kepala.Amira mungkin mengatakan jika dia tidak lelah, tapi wajahnya sudah kusut dan kedua matanya hampir terpejam.Hanya butuh beberapa menit sebelum akhirnya Amira be
“Bangkeee!” Evan menjulurkan tangan, ingin menempeleng Raga. Namun, luka di tangannya membuat dia mengurungkan niat. Michelle sampai membantu Evan duduk kembali dengan tenang di kursinya. “Elo serius enggak punya rencana apa-apa?!” Evan memekik tak percaya. Padahal lagak Raga tadi sudah seperti orang serius. “Ada,” jawab Raga singkat. “Ini Amira lagi ngeliat rencana gue.” Amira yang mewakili Evan menyikut Raga. Dia juga kesal pada sikap pacarnya yang seenak udel begini. “Ngomongnya mau bikin perusahaan saingan. Hampir aja gue percaya!” Evan misuh-misuh. Sementara Raga, masih santai di samping Amira. Dia cuma mengangkat bahu sambil menjawab tenang. “Ya bagus, kan! Artinya tampang gue meyakinkan.” Raga menggampangkan masalah yang dia buat. Evan sudah sibuk mengomel. Michelle pun sama. Keduanya menatap Raga tak percaya. Mereka tidak pintar, tapi juga tidak bodoh untuk menyadari jika Raga hanya melakukan tindakan impulsif tanpa persiapan.“Terserah lo aja, deh!” Evan jadi lelah s
“Raga!” Heri akhirnya berteriak menghentikan Raga. Padahal, saat itu Raga baru mengambil dua langkah. Ternyata, cepat juga.“Ya?” Raga menoleh tanpa berbalik. Raga mengira Heri akan menyerah, tapi kakeknya itu tak mengiyakan. “Sembuhkan dulu lukamu.”Raga menggeleng kecewa. “Jawaban yang salah.” Kali ini Raga tidak menunggu lagi. Dia mendahului Evan, berdiri tepat di samping mobil temannya itu. Evan pun menyusul langkah Raga bersama Michelle. Terlihat wajah ayah Evan yang kebingungan. Meski begitu, pria paruh baya itu tetap mengikuti anaknya. “Berhenti!” Tangan Heri menghalangi Raga yang hendak membuka pintu mobil.Raga menoleh. Dia bisa melihat wajah Heri yang masam menahan amarah. Heri terlihat sangat tidak senang kali ini. “Apa, Kek?” Raga menggeleng sekilas. Dia memperbaiki kalimatnya kemudian. “Ada apa Tuan Heri Wijaya?” Tanya Raga, tanpa rasa bersalah. Heri menggeram. Dia
“Kakek lama sekali!” Keluh Raga. Dia menyambut Heri yang datang bersama banyak pengawal di belakang. “Akhirnya ….” Amira menghela lega.Senjata yang sebelum ini selalu dia pegang erat, akhirnya terlepas. Amira terhuyung ke belakang. “Amira!” Raga menangkap Amira tepat sebelum pacarnya itu terjatuh. “Sorry, gue lemes banget,” ucap Amira penuh penyesalan. Dia mencoba berdiri, tapi kakinya terasa lembek layaknya jelly.“Udah jangan dipaksa.” Raga membawa Amira ke dalam pangkuan. “Pegangan.” Raga berdiri dengan Amira di kedua tangannya. Amira menurut. Dia melingkarkan kedua tangannya di leher Raga, membiarkan sang pacar menggendongnya. Heri tidak bisa menegur Raga saat itu. Dia sedang sibuk menatap Vivian yang menangis sambil memohon. Suara sirine memecah keheningan. Mobil polisi, juga ambulans datang berturut-turut. Lalu, satu mobil mewah menyusul di belakang.“Evan!” Se
“Tuan Raga! Awas!” Alex berusaha untuk mencegah Raga yang ikut campur dalam pertarungannya. Namun, tuan mudanya itu begitu keras kepala ingin membantu.Buk!Raga menendang Charly sekeras yang dia bisa. Tendangannya tepat mengenai perut pria itu. Namun, Charly tidak bergerak sama sekali.“Gelinya,” sindir Charly pada Raga. Dia meledek tendangan Raga yang menurutnya lembut seperti bantal bulu angsa. “Biar aku ajari cara menendang yang baik.” Charly menggerakkan kakinya. Raga melompat mundur, tapi dia tetap tidak bisa menghindar.“Argh!” Raga terpental. Dia berguling kesakitan di atas tanah yang keras.Alex langsung berdiri. Dia berlari menghampiri Raga. “Tuan!” Alex panik memeriksa keadaan Raga. Dia membantu Raga bangkit. “Gue enggak apa-apa,” ucap Raga, berusaha menenangkan Alex. Raga menunjuk ke arah Charly kemudian. “Fokus aja kalahin dia. Secepatnya.”Alex mengangguk patuh. Dia menunggu sampai Raga berdiri tegak sebelum memasang kuda-kuda untuk menyerang. Buk!Alex mencoba m
“Raga!” Amira tidak bisa menghentikan langkah Raga. Pacarnya itu langsung pergi berlalu. Memang, hanya tinggal Charly yang tersisa. Seluruh anak buahnya sudah tumbang. Meski begitu, seorang Charly mungkin saja mampu melenyapkan mereka semua. Alex dan Evan terluka, tersisa Raga. Amira dan Michelle mungkin tidak masuk hitungan jika harus menghadapi lelaki dengan tubuh raksasa, lengkap dengan kemampuan profesional dalam menggunakan senjata.Charly, memang bukan lawan yang mudah. Bahkan untuk seorang Alex. “Enggak. Gue harus cari cara lain.” Amira menggumam pelan. Saat itulah, dia mendengar suara grasak-grusuk dari kegelapan. Sosok Vivian tertangkap dalam penglihatannya. “Benar juga.” Amira mengangguk puas. “Gue bisa pakai dia, kayak dia pakai gue!”Vivian menculik Amira untuk menarik Raga keluar. Jadi tidak salah jika Amira menyandera Vivian untuk membuat Charly tidak berdaya.“Itu rencana bagus,” ucap Amira pada dirinya sendiri. Dengan senjata di tangan, Amira mendekat. Dia haru