“Abi, nanti ke ruangan ustadz ya. Ada yang ingin ustadz sampaikan.” ujar ustadz yang selesai menyimak setoran hafalan Abi pagi itu. Abi hanya diam mengangguk dan pergi kembali ke tempat duduknya di halaqah. Kali ini Abi duduk menyendiri di pojok sambil bersandar ke pagar. Tak heran jika itu menjadi bahan perbincangan santriwan lain, Abi memang sependiam itu. Memang tak sedikit yang mencoba mengajaknya mengobrol, tapi hasiulnya sama saja.
“Eh, ajak ngobrol sana. Kasian sendirian si Abi,” ujar salah seorang teman memperhatikan Abi duduk sendiri menggenggam mushafnya.
“Lah, biarin aja udah. Dari kemarin juga udah diajak ngobrol sama aja. Emang gitu kali anaknya.“ balas temannya. Sepertinya, banyak santri lain yang malas menanggapi Abi. Sikapnya sangat dingin.
“Ho oh, biarin aja udah. Emang dia nyamannya sendiri gitu kali. Ustadz juga ngebiarin. Udah, biarin aja.” Saut teman lainnya yang mendengar.
Abi sebenarnya mendengar perbincangan teman teman lainnya, namun ia sudah biasa mendapat hal yang sama sebelumnya. Abi hanya diam memilih mengabaikan.
******************
Seusai pelajaran tahfidz, Abi meniggalkan halaqah dan mengunjungi ruangan ustadz sebelum pelajaran berikutnya kembali dimulai. Namun sayangnya, ia tak tahu dimana ruangan itu berada. Abi juga terlalu malas jika harus bertanya dengan santriwan lain. Ia akhirnya memutuskan untuk menemukannya sendiri. Mengelilingi pondok pesantren sendiri, memperhatikan setiap ruangan yang ia lewati. Hingga ia akhirnya tiba disebuah ruangan bertuliskan 'ruangan guru'. Sebenarnya ia sedikit ragu, karena dari luar, ruangannya seperti tak berpenghuni. Namun, tak ada salahnya juga jika ia mencooba mengetuknya.
/Tok, tok
Ketuk Abi pelan, genggaman tangannya mendarat di pintu itu,kemudia menghasilkan suara.
“Silahkan masuk,” suara seseorang terdengar dari dalam ruangan menjawab ketukan Abi.
Abi sedikit gugup jika harus berhadapan dengan orang, perlahan ia membuang tarikan napasnya, sembari membuka kenop pintu ruangan itu diiringi salam.
“Assalamuallaikum,” ucap Abi pelan dan sopan. Pandangannya belum sempurna keatas.
“Wa’allaikumussallam,” jawa beberapa ustaz di dalam. Para ustadz masih sibuk dengan tugasnya masing masing.
“Eh, Abi ya?” tanya seorang ustadz mengalihkan pandangannya dari laptop yang terbuka di atas meja.
“I-iya, “ jawab Abi singkat. Ia masih mencoba mengontrol dirinya supaya jauh lebih tenang. Inilah yang Abi rasakan setiap kali bersosialisasi dengan orang lain, jantungnya berdetak jauh lebih cepat, napasnya pun menjadi tak teratur. Abi mengepalkan tangannya untuk memaksa dirinya tenang.
“Nah, sini nak. Ada yang ingin ustadz bicarakan.” panggil ustadz menyuruh Abi menghampiri mejanya.
Tanpa berlama, Abi melangkahkan kakinya mendekati sang ustadz. Aliran keringat di dahinya mulai turun menyusuri wajah Abi. Hal yang aneh. Ruangan itu padahal di fasilitasi pendingin ruangan. Setibanya Abi di hadapan ustadz, ia masih diam tak berbicara. Anak itu tak akan bicara sebelum diajak bicara.
“Nah, ustadz mau tanya, Abi kenapa kok akhir akhir ini ustadz perhatikan sering menyendiri. Sejak awal disini, Abi sepertinya belum terbiasa ya sama teman teman dikelas?” tanya ustadz memulai perbincangannya dengan Abi. Abi hanya mengangguk tak bersuara.
“Oh, gak papa sebenernya kalo Abi amsih menyesuaikan diri. Pasti gak mudah buat Abi bisa beradaptasi di lingkungan yang baru. Kalo ustadz boleh tau, Abi emang suka sendiri ya? Atau karena masih malu sama teman teman disini?” lanjut ustadz.
“I-iya, ustadz. Saya lebih suka sendiri,” jawa Abi yang akhirnya memberanikan diri untuk melepasakan suaranya.
“Nah, gitu dong. Ustadz jadi bisa denger suara Abi.” Ujar ustadz sembari tersenyum senang melihat Abi akhirnya berani bersuara.
“Yaudah, itu aja yang mau ustadz tanyain. Kalo ada masalah atau keluhan selama disini, baik itu saat dikelas, dikamar, atau yang lainnya, bisa lapor ke ustadz ya. Gak perlu takut, banyak santriwan lain juga yang suka mengeluhkan masalahnya ke ustadz. Karena Abi udah besar, udah kelas 12, ustadz percaya Abi bisa bersikap dewasa, dan pelan pelan bisa mulai bergabung dengan teman teman yang lain.”
“Iya, ustadz.” Jawab Abi sembari mengangguk. Ia ingin sekali bisa segera meninggalkan ruangan itu.
“Baik, sekarang boleh masuk ke kelas lagi, melanjutkan pelajarannya.”
“Baik, saya permisi. Assalamuallaikum,”Abi melangkahkan kaki sediit cepat menuju pintu keluar.
“Wa'alalikumussallam,” jawab beberapa ustadz yang tengah sibuk dengan pekerjaannya masing masing di ruangan itu.
Abi menghela napas lega. Akhirnya, ia bisa meninggalkan ruangan itu. Abi merasa jauh lebih tenang sekarang, setelah berada diluar. Para santriwan lain sudah mulai memasuki kelasnya masing masing. Ia malas sekali jika harus melanjutkan pekajaran bersama teman teman yang lain dikelas.
“Apa saya gak usah hadir dulu ya di pelajaran ini?” tanya Abi dalam pikirannya. Posisinya sudah hampir tiba dikelas, tapi pada akhirnya Abi memutar arah pulang. Ia berjalan ke arah kamar. Rasanya, energi Abi terkuras hais setelah berhadapan dengan orang 4 mata. Ia anya membutuhkan ketenangan.
Di sunyinya kamar, Abi berdiam diri disana. Mencoba memompa kembali energi yang sebelumnya habis. Hanya Abi seorang diri yang berada di kamar itu. Mushaf dan buku pelajarannya tertinggal dikelas. Entah apa yang akan dilakukan Abi dikamar itu.
Pelajaran akan selesai 45 meniut lagi. Sekarang, sudah saatnya Abi kembali ke kelas sebelu tertinggal materi pelajaran hari itu. Abi merasa jauh lebih bersemangat setelah memompa energi di kanmar tadi. Ia berjalan dengan langkah kecil namun cepat. Menyiapkan diri sebelum nantinya harus bertemu banyak orang di kelas.
“Assallamuallaikum,” Abi membuka pintu kelas, rupanya di dalam ruangan sangat hening. Di hadapan meja teman temannya, Abi melihat selembar kertas disana.
“Wa’allaikumussallam,” jawba ustadz dan teman teman dikelas melihat Abi datang.
“Eh, Abi. Tadi abis dari ruangan ustadz ya?” tanya ustadz yag duduk di kursi paling depoan menghadap para santriwan yang fokus mengerjakan soal.
“Iya, ustadz.” Jawab Abi mengangguk.
“Nah, hari ini ulangan ya. Masih ada sekitar 40 menit lagi. Ini lembar soal buat Abi.” Ucap ustadz mneyerahkan lembar soal untuk Abi. Abi menerimanya pasrah. Ia benar benar tak ingat hari itu ada ulangan. Abi sama sekali belum menyiapkan apa apa. Ia kembali ke tempat duduknya. Mencoba membuka dan membaca soal per soal, helaan napas cukup panjang terdengar. Abi mulai mengerjakan soal dihadapannya. Tak lama, suara ramai dalam kelas kembali terdengar. Banyak teman lain yang sudah menyelesaikan ulangan hari itu. Abi mencoba fokus sembari mengingat ingat materi yang diujikan.
*******************
/Kring, kring, kringg
Bel kembali berbunyi menandakan selesainya jam pelajaran.
“Nah, alhamdulillah bel sudah berbunyi. Yuk, kumpulin disini.” Ustadz menepuk halus mejanya. Seluruh santri berdiri menghampiri meja ustadz membawa lembar soalnya masing masing. Sementara Abi masih mencoba mempercepat gerakannya, ia berusaha menyelesaikan soal dengan maksimal.
“Ayo, Abi. Udah?” tanya ustadz melihat Abi masih diam di tempat duduknya.
“U-udah ustadz,” Abi bergegas berdiri dari tempat duduknya, dan mempercepat langkah membawa lembara soal yang sedikit kusut. Akhirnya, Abi bisa menyelesaikan ulangan hari itu, perhatian teman sekelasnya kini benar benar tertuju pada dirinya. Tak sedikit yang mulai suka membicarakan Abi akhir akhir ini. Ah sudahlah, Abi tak memperdulikan itu.
“Kyr, nanti temenin ya ke gedung santriwan,” cetus Ataya saat sedang fokus menyelesaikan tugas prakarya. “Mau ngapain ke gedung santriwan?” tanya Kyra terkejut. “Biasa, uang saku Ataya abis. Kemarin Umma titipin ke abang. Ya, jadi mau ngambil uangnya ke abang.” “Owalah, jadi kamu gak megang uang saku sekarang?” “Sekarang masih, tapi tinggal dikit. Ya mungkin besok atau nanti sore. Ataya juga lupa uang yang sisa ada berapa.” “Oke, oke. Nanti Kyra temenin. Bilang aja kalo mau ambil ke gedung santriwan.” “Oke, thanks. Tapi eh tapi, Ataya gak tau kamar Abang sebelah mana. Haish, males sebenernya harus ngambil uang ke sana. Kudu nyari nyari kamar atau paling gak tanya sama ustadz.” Keluh Ataya. “Ya nanti ku temenin. Sanss, kita keliling gedung santriwan nanti.” “Jiakh, cuci mata ya kamu. Wuuuhh, iyooo makasih sebelumnya.” “Gak, astaghfirullah. Yooo, masama.” Selesai sudah obrolan
“Abangmu pendiem banget yaa, dingin dingin gimanaa gitu. Ngerii!!” ujar Kyra saat perjalanan kembali ke gedung santriwati.“Ho oh, emang gitu anaknya. Ngeselin kadang kadang, diajak ngomong kayak gak punya mulut. Diem aja,” balas Ataya merapikan kerdungnya yang sedikit berantakan.Keduanya pergi menuju kantin untuk membeli basreng favorit mereka. Anehnya, Kyra kini menjadi penasaran dengan sosok Abian yang sebenarnya, setelah tadi bertemu. Dia sebelumnya tak pernah melihat laki laki seperti Abian, sosok laki laki yang sangat menjaga pandangannya, dan sedikit berbicara. Benih benih kagum mulai tumbuh dalam benak gadis yang bernama Kyra itu.“Eh, iya abang mu kelas berapa? Lupa Kyra,” tany Kyra penasaran. Sebelumnya, Ataya sudah memberi trahu ia sepertinya, tapi sayangnya Kyra sangat pelupa.“Kelas 12, dia disini cuma setahun doang, habis itu lulus.”“Owalah, dah kela
Sementara itu,Abian dengan kaus polosnya masih sibuk membaca Al – Qur’an di Masjid. Abian memaksakan dirinya untuk keluar kamar sendiri dan menghabiskan waktu di Masjid. Besok sudah masuk pekan ujian tahfidz, Abian ingin mempersiapkan hafalannya semaksimal mungkin. Ia sangat menyukai suasana yang tenang disana. Jarang sekali Abian bisa menghabiskan waktunya untuk bisa napas tenang dan lega seperti ini. Seseram itu orang lain di mata Abian.Di pertengahan Abian membaca A- Qur’an, ia teringat adik perempuan yang menghampirinya sore tadi. Adik perempuan dengan seorang temannya,“Tadi siapa ya yang ngucap salam ke saya?” tanya Abi memutus fokusnya dengan mushaf yang ia genggam.“Kok saya risih kalo inget,”“Kayaknya, temen deket Aya,”Ucapnya dalam hati, sikap teman Ataya yang berjumpa dengannya tadi sore, cukup mengganggu Abian. Mungkin, karena lawan jenis. Sebelumnya, Abi belum
Abian berjalan menuju kamarnya. Seperti biasa, Abian merasa kelelahan setiap kali selesai berinteraksi dengan orang lain. Dirinya pun memasuki kamarnya yang hening dan sepi. Tak ada siapapun selain dirinya sendiri di kamar itu. Sembari mengistirahatkan tubuhnya, pikirannya memaksa Abi untuk memikirkan pertanyaan yang ustadz ajukan padanya di kantor guru tadi. Bukan hal yang mudah bagi Abian untuk memutuskan sesuatu. Pasalnya, anak ini biasa di bantu oleh orangtuanya dalam membuat suatu keputusan, hingga saatnya tiba Abi harus mampu membuat keputusan sendiri. Memang tawaran yang menarik, jarang sekali rasanya Abian mendapat tawaran untuk menjadi perwakilan kelasnya di suatu lomba. Ditambah, Abian adalah sosok yang sangat risih dengan keramaian. Ia tak mungkin sanggup tampil di depan umum, rasanya sangat mustahil. “Tapi, kalo saya tolak tawaran ustadz tadi juga sayang,” ujar Abian dalam hati. Dalam lamunannya, pikiran Abian sebenarnya sangatlah berisik, banyak topik yang
Hari itu adalah hari dimana para santriwan dan santriwati tidak ada jadwal belajar. Ini hari yang ditunggu-tunggu oleh sebagian murid, pondok pesantren Darul Haq mengadakan lomba MHQ yang lombanya tersebut, bisa disaksikan oleh warga penduduk sekitar. Para santri yang mendaftar lomba, terlihat sudah siap bersaing antar kelas. Lomba ini di ikuti dari berbagai jenjang. Mulai jenjang SD – SMA. Namun, tempat dan waktunya yang berbeda.“Ayo, kumpul semua di Aula ya. Kelas 10,11,12 silahkan duduk yang rapi dan tidak ribut disana,” ujar ustadz memeberi arahan untuk seluruh santriwan. Abian benar benar gugup saat itu. Ia mencoba tenang, namun sayangnya pikirannya membuat Abian kehilangan rasa percaya diri. Tubuhnya berkeringat, ia merasa sedikit sesak, dan perutnya pun sedikit sakit.“Baik ustadz,” jawab para santriwan yang tengah bergerombol secara bersamaan. Abian menyendiri berada di barisan paling belakang. Napasnya tak beraturan.
“Mumtaz, Maa Sya Allah hafalannya lancar, pelafalannya juga udah tepat dan bagus. Silahkan, boleh menuruni panggung,” ujar salah satu juri memuji Abian. Sungguh luar biasa, Abian berhasil menaiki panggung dan turun tanpa komentar dari sang juri.“Maa Sya Allah,”“Wah, Maa Sya Allah Abian!”“Keren Abian! Barakallahu fiik” timpal teman temannya yang lain ikut memuji Abian. Meski terlihat sebagai anak yang dingin dan sulit sekali untuk berkomunikasi dan bersosialisasi dengan orang lain, namun nyatanya Abian memiliki kemampuan di bidang lain yang belum tentu dimiliki semua anak.Abian menuruni tangganya dan kembali ke tempat duduknya semula. Napasnya sangat lega. Memang dirinya belum cukup tenang, tapi setidaknya dadanya sudah tak sesak seperti sebelumnya. Tubuhnya sangatlah bergemetar ia tak peduli bagaiman akondisi wajahnya, namun terlihat memang sangat pucat.“Wih abangmu
“Suara Abi kok masih terngiang - ngiang smapai sekarang ya, Kyra gak biasanya kayak gini,” ucap Kyra dalam lamunannya. Gadis itu sangat menyukai suara Abian, bahkan suara Abian sampai saat itu masih terngiang – ngiang dalam pikirannya.“Kyra!!’ panggil seseprang membuat Kyra terkejut. Kyra menolehkan kepalnya mengecek siapakah yang datang menghampiri.“Eh, iya kenapa Aya? Ngagetin aja ih.” fokus Kyra terbuyarkan. Gadis itu bangun dari duduknya yang nyaman.“Cieee, lagi mikirin siapa sampe ngelamun ngelamun gitu?”Ataya mendeketadi Kyra dan sedikit meledeknya. Ataya melihat Kyra yang sejak kemarin seringkali berdiam diri dan melamun. Tentunya aneh, Kyra sosok yang dikenal sangat ceria justru kini diam seribu bahasa. ““Ah, ng-nggga papa kok. Kenapa emang Aya? Kayaknya muka muka seneng banget tuh kamu. Kenapa hayo?” Kyra memperhatikan raut wajah Ataya yang terlihat gira
“Kyra, Kyra!” panggil Aya dari arah belakang. Aya meihat Kyra yang tengah mengobrol dari kejauhan.“Kyr, mau temenin Aya gak?” Aya menghampiri tempat Kyra. Ia berniat meminta Kyra menemaninya ke suatu tempat. Entah kemana.“Apa? Mau kemana?” Kyra terkejut sambil menolehkan kepalanya. Dari raut wajahnya, sepertinya Kyra mood Kyra masih kurang baik.“E-eh, gak papa. Kita ke taman yuk, udah lama tau gak ke taman. Mumpung hari ini free, kita main main aja di taman.” Ataya sedikit menggaruk lengan tangannya, ia ragu mengajak Kyra untuk bermain. Sepertinya, memang Kyra sedang tak baik baik saja. Ia tak taerlihat ceria seperti biasa.“Ayo, tapi bentar, Kyra mau bawa ini ke kelas dulu,” jawab Kyra menyetujui ajakan Aya. Dirinya membawa tumpukan buku catatan yang harus segera di bagikan ke teman temannya.“Oh, oke. Sini, biar Aya bantuin,” Ataya mengambil sebagia
Sosok laki-laki dengan kemeja lengan pendek berwarna biru muda, membuka pintu tersebut. Jam tangan hitam, dengan pulpen yang sedang di genggam yang pertama kali dilihat Kyra dan Ataya. Keduanya sedikit mengangkat dagu ke arah atas. Kemudian belum genap 5 detik, Kyra dengan cepat menurunkan kembali wajahnya."Abang?" ujar Ataya terkejut."Hm?" jawab Abian sangat singkat."A-anu, K-Kyra mau kasih ini, apa tuh namanya, Kyr?" Ataya mendadak gugup tak karuan, entah apa yang membuatnya seperti itu."Hm?" Abian mengulangi hal yang sama dengan sebelumnya. Kedua tangannya kini ia sembunyikan dalam saku celana, pandangannya hanya menatap sang adik, Ataya."E-emm, i-ini, kak ada amanah dari ustadzah, untuk serahin laporan harian dan absen kelas 11b. I-ini semua lembarannya ada disini, kak," ujar Kyra mengambil alih kecanggungan diantara keduanya. Gadis itu menyerahkan benda yang ia pegang sejak tadi. Sebuah map berbentuk persegi panjang
Malam itu, usai berkegiatan satu hari penuh, Abian masuk beristirahat di kamar pribadinya yang berada di asrama. Ia sekilas menatap jam kecil yang berada di meja tempat di samping tempat tidurnya. Jam menunjukkan pukul 21.42. Beranjak dari kursi yang ia duduki setelah kurang lebih setengah jam untuk belajar, membaca buku, dan tilawah Al - Qur'an."Alhamdulillah," ujarnya sambil menarik selimut yang sejak pagi tadi masih berdiam rapi di tempatnya. Sebelum punggung belakang laki-laki tersebut sempurna menyentuh kasur yang sangat nyaman, Abian melepas kacamata yang ia kenakan, dan meletakkannya tepat di meja yang berada di sebelah kirinya. Terlihat sebuah benda kecil nan tipis sudah sedari tadi berbaring di atas taplak meja.Abian meraih handphonenya, sejenak memainkan nya, dan sebuah rasa berkunjung tanpa diundang. Sebuah pesan yang tiba-tiba masuk, membuat Abian terkejut. Umma menghubunginya di tengah larutnya malam saat itu. 
Setelah pembagian hadiah secara simbolis kepada para santri yang menduduki juara umum lomba cerdas cermat Pondok Pesantren Darul Haq, Kyra, Ataya, dan juga Sarah kembali duduk dan bergabung bersama teman-teman lainnya di tempat semula, dengan diiringi sorak ramai bukti bangganya seisi kelas dengan 3 perwakilan mereka.Selain itu, bukan hanya mereka yang mendapat juara umum, yang akan memperoleh penghargaan, tapi penghargaan diberikan merata untuk seluruh peserta yang sudah turut berkontribusi dalam lomba tersebut hingga akhirnya tiba di babak final. Hanya saja, kuantitas dan jenis penghargaannya beragam menyeimbangkan poin hasil akhir yang mereka dapat."Maa Syaa Allah, luar biasa, Selamat untuk para pemenang lomba! Untuk seluruh peserta yang sudah mengikuti dan turut serta meramaikan, ustadzah ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, dan semoga melalui kegiatan ini, terdapat karakter, serta pola pikir baru yang tumbuh dalam d
"Allahu akbar allahu akbar." Merdunya adzan yang berkumandang di masjid.Fajar telah tiba. Para santri bergegas mempersiapkan diri untuk shalat shubuh di masjid Darul Haq dekat asrama mereka. Beberapa ada yang masih mengantri, untuk berwudhu dan mandi. Suasananya sudah mulai ramai kembali seperti biasa.Pagi itu, suasana pagi diselimuti embun. Udara sejuk diiringi kicauan burung yang indah. Santri bersiap untuk melaksanakan agenda hari itu. Acara yang cukup dinantikan. Yaitu, babak final yang merupakan puncak lomba cerdas cermat.Kyra, Ataya, dan Sarah sudah sibuk mempersiapkan diri satu malam penuh, berlatih soal, dan tak lupa juga mereka meminta dukungan dari para teman dan ustadzah disana. Tegang, gugup, cemas. Semuanya bercampur menjadi satu. Tak lupa dilengkapi dengan taburan bubuk yang berupa pikiran-pikiran negatif penghambat kepercayaan diri."Semangat, Kyra, Ataya, Sarah!"
Hari pun kini berganti. Cuaca pagi itu, kurang mendukung. Awan yang gelap, disertai angin yang sejuk. Matahari bersembunyi dan tak menampakkan diri. Jalanan kering sedikit basah, akibat hujan semalam.Hari itu, sebuah kegiatan yang sudah direncanakan, akan berlangsung. Kegiatan cerdas cermat. Seluruh santri, akan bersaing dalam kegiatan ini. Mereka sudah menyiapkan diri semaksimal mungkin sejak semalam. Pagi itu, masih banyak diantara mereka, yang tengah sibuk berlatih soal, mencari buku-buku, mengunjungi ruang guru untuk bertanya pada ustadz dan ustadzah disana, serta banyak lagi."Kyr, gimana? Udah siap?" tanya Ataya yang masih menggenggam pulpen biru di tangannya."Belum, kurang banget ini persiapannya. Masa cuma semalem doang," ujar Kyra mengeluh kesal. Pasalnya, ia belum mempersiapkan diri secara maksimal hingga pagi itu."Iya banget, kurang tau. Gapapa, Kyr, acaranya masih jam sembilan, bisalah kit
"Kyra, Kyra.""Kyra…, udah sembuh?""Apa kabar, Kyr?"Tanya teman-teman Kyra begitu melihat gadis itu kembali hadir dan bergabung bersama mereka di kelas."Iya, Kyra udah sembuh Alhamdulillah," jawabnya kemudian menghampiri tempat duduknya. Kebetulan, Ataya duduk berdekatan dengan Kyra hari itu. Kyra duduk tepat di sebelah Ataya."Pagi, Kyr," sapa Ataya melihat Kyra yang menarik kursi untuk duduk di sampingnya."Pagi," jawab Kyra sangat singkat. Gadis itu kemudian mengeluarkan beberapa tugasnya yang belum sempat ia kumpulkan karena sakit kemarin."Mau ditemenin ke ruang ustadzah buat ngumpulin tugas-tugas itu?" Ataya menawarkan diri untuk menemani Kyra mengumpulkan tugas ke ruang ustadzah."Gak usah, gak papa." Kyra kemudian beranjak dari kursi duduknya, dan pergi ke arah luar menuju ruang ustadzah seorang diri."Ekhem, Kyra masih marah, A
Pagi yang cerah itu, matahari menerangi kota itu. Seluruh orang sibuk beraktivitas. Ada yang bersiap untuk kerja, beberapa juga ada yang sedang dalam perjalanan menuju sekolah dengan sebuah seragam, ada juga para ibu-ibu hebat yang berkumpul di pasar sejak udara masih sejuk, untuk menyiapkan masakan bagi keluarganya.Kyra sudah sehat. Kondisi tubuhnya sudah membaik. Tapi, dirinya masih harus beristirahat di rumah, karena masih berada dalam masa pemulihan. Setelah kurang lebih 5 hari, gadis itu berdiam diri di kamarnya, hari itu, Kyra kembali bisa berjalan dan menghirup udara segar diluar.Sayang saja, hari itu, Kyra harus mengikuti kelas sendiri di rumah. Mengejar pelajaran yang tertinggal, serta berusaha untuk menyelesaikan tugas-tugas yang menumpuk akibat penyelesaiannya ia tunda kemarin."Kyra jangan capek-capek dulu, ya. Tetep istirahat yang cukup, dan gak lupa jaga pola makan juga, supaya bisa kemb
Hari itu, adalah hari Ahad. Hari dimana para santri libur dan tak ada kelas. Namun, mereka tetap memiliki jadwal dan rangkaian kegiatan meski libur. Semalam, kondisi Kyra masih dalam kondisi yang lemah dan belum bisa hadir di pondok seperti teman-teman yang lainnya. Dua hari lamanya, gadis itu terbaring diatas ranjang di kamarnya. Gadis itu enggan meminum obat dan mengisi perut. Tenggorokannya yang belum bisa bekerja dengan baik, membuat dirinya kesulitan untuk menelan makanan. Bahkan, untuk sekedar minum air putih, tenggorokan Kyra terasa seperti terdapat luka disana, perih dan sakit. Namun, setelah dipaksakan oleh sang nenek, hari itu, Kyra merasa tubuhnya sedikit membaik setelah meminum satu tablet obat pagi tadi. Walaupun, masih lemas dan tak bertenaga."Kyra, mau makan apa untuk nanti siang? Biar omah masakin," ujar omah sesekali mengelus pelan kepala gadis itu.Kyra hanya menjawab dengan gelengan kepala, sama sekali tak ada
"Cepet sehat, Kyra.""Istirahat yang cukup, Kyr.""Semoga cepat membaik ya, Kyr,"Ujar teman-temannya sebelum meninggalkan Kyra dan memasuki kelas untuk memulai pembelajaran."Kyra istirahat yang cukup ya disini, jangan lupa obatnya diminum ya, sayang. Banyakin minum air putih juga," ujar ustadzah asma yang kemudian meninggalkan Kyra seorang diri di kamar.Hari itu, kabar Kyra sedang tidak baik. Tubuhnya demam dan disertai sakit tenggorokan. Gadis itu tidak bisa mengikuti pelajaran, dan hanya berdiam diri di kamar. Dengan benda kecil yang dikenal dengan sapu tangan di atas dahinya.Beberapa hari sebelumnya, Kyra memang sudah merasakan tubuhnya yang kurang fit dalam beraktivitas. Namun,