"Ini sampai kapan sih kayak gini?" tanya seorang santriwan dalam pikirannya sebelum menikmati tidur malam yang panjang. Ya, itu Abian. Abian memang jarang berbicara, namun sebenarnya seribu satu pertanyaan sedang berlalu lalang di pikirannya. Santriwan lain sudah mulai bermain dalam dunia mimpinya masing masing. Tapi tidak dengan Abian. Menatap langit langit kamar yang luas, ia berbaring diatas ranjangnya. Hari itu, Abian mendapat tempat tidur di bagian atas. Ia sebenarnya, sangat tidak nyaman tidur di kasur yang tinggi, ia juga tak bisa bebas bergerak, karena kayu yang menyangganya itu sering kali berbunyi, ia tak mau mengganggu teman di bawah yang sedang tidur. Perlahan Abian bangun, kamar sebenarnya sudah gelap, tapi Abian sangat menyukai suasananya. Suasana yang jarang sekali ia dapatkan semenjak menjadi santriwan di pesantren itu. Abian gunakan waktu malamnya untuk introspeksi diri, mencoba menyelesaikan pertanyaan pertanyaan seputar hidup yang sejak tadi berlari lari di pikirannya. Mengambil kacamata di samping bantal dan memakainya. Matanya belum mengantuk, ia harap tak ada ustadz yang mengganggu ketenangannya malam itu. Abian ingin gunakan waktu itu, untuk berbicara dengan dirinya sendiri tanpa bersuara. Hal aneh namun fakta. Abian berpendapat, bahwa satu satunya makhluk hidup yang perlu di ajak bicara adalah diri sendiri.
*********
"Allahu akbar allahu akbar," suara adzan berkumandang merdu dari masjid Darul Haq. Masjid yang cukup besar yang berdiri tepat di depan pondok pesantren Darul Haq. Seluruh santri bergegas berebut kamar mandi. Suasananya sudah mulai riuh, masih banyak yang mengantri untuk mandi, dan beberapa mengantri untuk mengambil wudhu.
"Eh, Abian. Antum udah wudhu?" seorang teman menyapa sembari menepuk punggung belakang Abian. Abian berjalan diam mengarahkan pandangannya ke lantai per lantai yang ia injak. Dirinya sedikit mempercepat langkahnya, tanpa menjawab sepatah katapun.
“Lah, salahkah? Perasaan nanya baik baik tadi.” gumam temannya membiarkan Abian berjalan lebih dulu.
Abian kini benar benar tak mau bersosialisasi dengan siapapun. Dirinya jauh merasa tidak nyaman berada ditengah teman temannya yang lain. Wajar saja banyak santri terheran heran melihat sikapnya akhir akhir ini. Banyak ustadz pun mempertanyakan ada apa sebenarnya dengan Abi? Sejak awal masuk, bahkan kini Abian sudah lebih dari satu minggu tinggal disana, sikapnya tak berubah.
“Abiann,”
“Assallamualaikum Bi,”
“kak Abian,”
Sapa beberapa teman dan adik kelas yang melihatnya. Ia memang tak terlalu terkenal disana, namun berhubung Abian santri baru, beberapa teman dan adik kelas yang melihat, pasti menyapa. Abian hanya membalas pelan dan melanjutkan langkahnya, ia benar benar tak peduli dengan kondisi disekitarnya. Pagi itu para santri melaksanakn shalat shubuh berjama’ah di masjid. Setibanya di masjid, rupanya imam disana belum datang, tapi alarm sudah berbunyi menandakan shalat harus dimulai.
“Shtt, shttt...udah waktunya shalat. Ayo, ada yang mau ngimamin?” tanya ustadz mendongakkan kepalanya mengecek dan memastikan para santri sudah rapi di barisan shalatnya masing masing.
"Ayo, kakak kakak kelas 12 yuk. Udah pada besar lho, masa masih belum berani ngimamin?” lanjut ustadz setelah suasana jauh lebih tenang dan hening.
“Nah, coba Abian! Yuk, nak imamin,” panggil ustadz melihat Abian yang diam di barisan pojok belakang, tangannya berisyarat menyuruh Abian maju mengimami jama’ah shalat shubuh masjid Darul Haq. Perhatian para santriwan pun teralihkan, pandangannya tertuju lurus pada Abi.
Abian yang terkejut mendengarnya, mencoba tetap tenang mengetahui tatapan orang orang pada dirinya, beberapa percik air wudhu masih tersisa di wajah Abian. Ia melangkah maju memenuhi panggilan ustadz.
“Nah, Abi yang ngimamin ya. Ustadz mau denger suaranya. Silahkan, nak.” tangan ustadz mengarah pada tempat imam di bagian depan. Abian yang masih mencoba mengendalikan diri pun reflek mengangguk menyetujui. Hembusan napas panjang lepas, Abian melangkah maju ke tempat imam di bagian depan.
Shalat shubuh pun dimulai, Abian mulai bertakbir sambil mengangkat kedua tangannya dan diikuti dengan para makmum di belakang. Abian mulai mengeluarkan suara emasnya, suara yang selama ini sedikit sekali ia bebaskan, suara yang belum banyak terdengar di kalangan santri santri pondok pesantren Darul Haq. Lantunan ayat suci Al - Qur’an yang merdu terdengar hingga pemukiman warga sekitar. Tak sedikit jama’ah yang kagum dan tersentuh dengan suara Abian, bahkan Ataya adik kandungnya sendiri pun tak menyangka itu suara sang kakak, saking jarangnya ia mendengar Abian membaca Qur’an.
“Assallamualaikum warahmatullah,” selesai sudah shalat shubuh pagi itu. Abian membuang napas lega menyelesaikan shalatnya. Ia memutar tubuhnya menghadap para makmum yang jumlahnya tak sedikit. Terkejut Abi melihat beberapa lansia yang mengelap matanya, mata yang jelas terlihat basah seperti usai menangis. Ia kebingungan, bibit bibit pertanyaan mulai tumbuh dalam pikirannya, namun ia hanya ingin menjawabnya sendiri.
“Saya ada salah ayat kah tadi?” batin Abian kebingungan.
“Atau-“ pertanyaannya yang mengusik pikiran itu terputus.
“Maa Sya Allah Abian, suaranya merdu sekali, nak. Ustadz dengarnya merinding.” ujar ustadz setelah menyelesaikan dzikir setelah shalat.
“Betul, ustadz. Maa Sya Allah,”
“Saya sendiri juga terharu pak ustadz,” lanjut jama’ah lain ikut menyetujuinya.
“Maa Sya Allah, Baarakallahu Fiik nak Abian. Besok besok sering ngimamin shalat ya, nak.” Puji abah pemilik dan pendiri pondok pesantren serta masjid Darul Haq. Abian benar benar tak menyangka, suaranya tadi disukai jama’ah bahkan abah pun ikut terharu mendengarnya. Abian mengangguk dengan senyum tipisnya yang manis. Mustahil, sangat mustahil bagi Abian untuk memberikan itu pada banyak orang. Senyum yang selama ini selalu menjadi tanda tanya bagi santiwan lain pun akhirnya terjawab. Itu Abian berikan untuk menghormati para jama’ah yang memujinya, apalagi disana ada abah.
“AGHH, MERASA TERSAINGI. SENYUMNYA, BRO!!” bisik salah seorang teman yang melihat senyum tipis Abi. Memang sangat manis.
“Subhanallah, Maa Sya Allah, senyumnya bikin lupa gender,”
“Pantes itrit senyum, mahal bos senyumnya.” saut beberapa teman lain yang juga terpesona melihat senyum seorang Abian.
*******************
“Atayaa, Maa Sya Allah ih abang kamu, suaranya bikin geterr.”
“Iya ih, suka aaaa!!!!”
“Subhanallah ah suaranya.”
“Ih, itu tadi suara abangnya Ataya? katanya pendiem aish, suaranya suka!”
Puji teman teman Ataya saat perjalanan pulang seusai shalat shubuh di Masjid. Hanya beberapa teman yang mengetahui itu suara Abian, kakak laki laki Ataya. Mereka yang duduk satu baris dengan Ataya saat shalat tadi lah yang ia beri tahu. Sayangnya, Kyra sedang tak shalat hari itu. Kyra hanya mendengar suara merdu sang imam, tapi sosoknya masih misterius.
“Iya, abang Ataya tadi. Ataya aja gak tau dia punya suara sebagus itu. Dah dibilang, anaknya jarang banget ngomong, kalo hafalan juga biasanya di kamarnya sendiri, tadi pas ustadz manggil, agak kaget juga. Untungnya dia berani.”
“Maa Sya Allah, gak adeknya gak abangnya bagus semua. Keren, Ya.”
“Ih, gak. Ataya biasa aja ah tapi makasih banyak lho, hehe.’
Berhenti sudah perbincangan para santriwati itu selama perjalanan pulang menuju pondok. Tak jauh berbeda dengan para santriwan, santriwati pun banyak yang kagum mendengar suara merdu Abian tadi.
“Abi, nanti ke ruangan ustadz ya. Ada yang ingin ustadz sampaikan.” ujar ustadz yang selesai menyimak setoran hafalan Abi pagi itu. Abi hanya diam mengangguk dan pergi kembali ke tempat duduknya di halaqah. Kali ini Abi duduk menyendiri di pojok sambil bersandar ke pagar. Tak heran jika itu menjadi bahan perbincangan santriwan lain, Abi memang sependiam itu. Memang tak sedikit yang mencoba mengajaknya mengobrol, tapi hasiulnya sama saja.“Eh, ajak ngobrol sana. Kasian sendirian si Abi,” ujar salah seorang teman memperhatikan Abi duduk sendiri menggenggam mushafnya.“Lah, biarin aja udah. Dari kemarin juga udah diajak ngobrol sama aja. Emang gitu kali anaknya.“ balas temannya. Sepertinya, banyak santri lain yang malas menanggapi Abi. Sikapnya sangat dingin.“Ho oh, biarin aja udah. Emang dia nyamannya sendiri gitu kali. Ustadz juga ngebiarin. Udah, biarin aja.” Saut teman lainnya yang mendengar.A
“Kyr, nanti temenin ya ke gedung santriwan,” cetus Ataya saat sedang fokus menyelesaikan tugas prakarya. “Mau ngapain ke gedung santriwan?” tanya Kyra terkejut. “Biasa, uang saku Ataya abis. Kemarin Umma titipin ke abang. Ya, jadi mau ngambil uangnya ke abang.” “Owalah, jadi kamu gak megang uang saku sekarang?” “Sekarang masih, tapi tinggal dikit. Ya mungkin besok atau nanti sore. Ataya juga lupa uang yang sisa ada berapa.” “Oke, oke. Nanti Kyra temenin. Bilang aja kalo mau ambil ke gedung santriwan.” “Oke, thanks. Tapi eh tapi, Ataya gak tau kamar Abang sebelah mana. Haish, males sebenernya harus ngambil uang ke sana. Kudu nyari nyari kamar atau paling gak tanya sama ustadz.” Keluh Ataya. “Ya nanti ku temenin. Sanss, kita keliling gedung santriwan nanti.” “Jiakh, cuci mata ya kamu. Wuuuhh, iyooo makasih sebelumnya.” “Gak, astaghfirullah. Yooo, masama.” Selesai sudah obrolan
“Abangmu pendiem banget yaa, dingin dingin gimanaa gitu. Ngerii!!” ujar Kyra saat perjalanan kembali ke gedung santriwati.“Ho oh, emang gitu anaknya. Ngeselin kadang kadang, diajak ngomong kayak gak punya mulut. Diem aja,” balas Ataya merapikan kerdungnya yang sedikit berantakan.Keduanya pergi menuju kantin untuk membeli basreng favorit mereka. Anehnya, Kyra kini menjadi penasaran dengan sosok Abian yang sebenarnya, setelah tadi bertemu. Dia sebelumnya tak pernah melihat laki laki seperti Abian, sosok laki laki yang sangat menjaga pandangannya, dan sedikit berbicara. Benih benih kagum mulai tumbuh dalam benak gadis yang bernama Kyra itu.“Eh, iya abang mu kelas berapa? Lupa Kyra,” tany Kyra penasaran. Sebelumnya, Ataya sudah memberi trahu ia sepertinya, tapi sayangnya Kyra sangat pelupa.“Kelas 12, dia disini cuma setahun doang, habis itu lulus.”“Owalah, dah kela
Sementara itu,Abian dengan kaus polosnya masih sibuk membaca Al – Qur’an di Masjid. Abian memaksakan dirinya untuk keluar kamar sendiri dan menghabiskan waktu di Masjid. Besok sudah masuk pekan ujian tahfidz, Abian ingin mempersiapkan hafalannya semaksimal mungkin. Ia sangat menyukai suasana yang tenang disana. Jarang sekali Abian bisa menghabiskan waktunya untuk bisa napas tenang dan lega seperti ini. Seseram itu orang lain di mata Abian.Di pertengahan Abian membaca A- Qur’an, ia teringat adik perempuan yang menghampirinya sore tadi. Adik perempuan dengan seorang temannya,“Tadi siapa ya yang ngucap salam ke saya?” tanya Abi memutus fokusnya dengan mushaf yang ia genggam.“Kok saya risih kalo inget,”“Kayaknya, temen deket Aya,”Ucapnya dalam hati, sikap teman Ataya yang berjumpa dengannya tadi sore, cukup mengganggu Abian. Mungkin, karena lawan jenis. Sebelumnya, Abi belum
Abian berjalan menuju kamarnya. Seperti biasa, Abian merasa kelelahan setiap kali selesai berinteraksi dengan orang lain. Dirinya pun memasuki kamarnya yang hening dan sepi. Tak ada siapapun selain dirinya sendiri di kamar itu. Sembari mengistirahatkan tubuhnya, pikirannya memaksa Abi untuk memikirkan pertanyaan yang ustadz ajukan padanya di kantor guru tadi. Bukan hal yang mudah bagi Abian untuk memutuskan sesuatu. Pasalnya, anak ini biasa di bantu oleh orangtuanya dalam membuat suatu keputusan, hingga saatnya tiba Abi harus mampu membuat keputusan sendiri. Memang tawaran yang menarik, jarang sekali rasanya Abian mendapat tawaran untuk menjadi perwakilan kelasnya di suatu lomba. Ditambah, Abian adalah sosok yang sangat risih dengan keramaian. Ia tak mungkin sanggup tampil di depan umum, rasanya sangat mustahil. “Tapi, kalo saya tolak tawaran ustadz tadi juga sayang,” ujar Abian dalam hati. Dalam lamunannya, pikiran Abian sebenarnya sangatlah berisik, banyak topik yang
Hari itu adalah hari dimana para santriwan dan santriwati tidak ada jadwal belajar. Ini hari yang ditunggu-tunggu oleh sebagian murid, pondok pesantren Darul Haq mengadakan lomba MHQ yang lombanya tersebut, bisa disaksikan oleh warga penduduk sekitar. Para santri yang mendaftar lomba, terlihat sudah siap bersaing antar kelas. Lomba ini di ikuti dari berbagai jenjang. Mulai jenjang SD – SMA. Namun, tempat dan waktunya yang berbeda.“Ayo, kumpul semua di Aula ya. Kelas 10,11,12 silahkan duduk yang rapi dan tidak ribut disana,” ujar ustadz memeberi arahan untuk seluruh santriwan. Abian benar benar gugup saat itu. Ia mencoba tenang, namun sayangnya pikirannya membuat Abian kehilangan rasa percaya diri. Tubuhnya berkeringat, ia merasa sedikit sesak, dan perutnya pun sedikit sakit.“Baik ustadz,” jawab para santriwan yang tengah bergerombol secara bersamaan. Abian menyendiri berada di barisan paling belakang. Napasnya tak beraturan.
“Mumtaz, Maa Sya Allah hafalannya lancar, pelafalannya juga udah tepat dan bagus. Silahkan, boleh menuruni panggung,” ujar salah satu juri memuji Abian. Sungguh luar biasa, Abian berhasil menaiki panggung dan turun tanpa komentar dari sang juri.“Maa Sya Allah,”“Wah, Maa Sya Allah Abian!”“Keren Abian! Barakallahu fiik” timpal teman temannya yang lain ikut memuji Abian. Meski terlihat sebagai anak yang dingin dan sulit sekali untuk berkomunikasi dan bersosialisasi dengan orang lain, namun nyatanya Abian memiliki kemampuan di bidang lain yang belum tentu dimiliki semua anak.Abian menuruni tangganya dan kembali ke tempat duduknya semula. Napasnya sangat lega. Memang dirinya belum cukup tenang, tapi setidaknya dadanya sudah tak sesak seperti sebelumnya. Tubuhnya sangatlah bergemetar ia tak peduli bagaiman akondisi wajahnya, namun terlihat memang sangat pucat.“Wih abangmu
“Suara Abi kok masih terngiang - ngiang smapai sekarang ya, Kyra gak biasanya kayak gini,” ucap Kyra dalam lamunannya. Gadis itu sangat menyukai suara Abian, bahkan suara Abian sampai saat itu masih terngiang – ngiang dalam pikirannya.“Kyra!!’ panggil seseprang membuat Kyra terkejut. Kyra menolehkan kepalnya mengecek siapakah yang datang menghampiri.“Eh, iya kenapa Aya? Ngagetin aja ih.” fokus Kyra terbuyarkan. Gadis itu bangun dari duduknya yang nyaman.“Cieee, lagi mikirin siapa sampe ngelamun ngelamun gitu?”Ataya mendeketadi Kyra dan sedikit meledeknya. Ataya melihat Kyra yang sejak kemarin seringkali berdiam diri dan melamun. Tentunya aneh, Kyra sosok yang dikenal sangat ceria justru kini diam seribu bahasa. ““Ah, ng-nggga papa kok. Kenapa emang Aya? Kayaknya muka muka seneng banget tuh kamu. Kenapa hayo?” Kyra memperhatikan raut wajah Ataya yang terlihat gira
Sosok laki-laki dengan kemeja lengan pendek berwarna biru muda, membuka pintu tersebut. Jam tangan hitam, dengan pulpen yang sedang di genggam yang pertama kali dilihat Kyra dan Ataya. Keduanya sedikit mengangkat dagu ke arah atas. Kemudian belum genap 5 detik, Kyra dengan cepat menurunkan kembali wajahnya."Abang?" ujar Ataya terkejut."Hm?" jawab Abian sangat singkat."A-anu, K-Kyra mau kasih ini, apa tuh namanya, Kyr?" Ataya mendadak gugup tak karuan, entah apa yang membuatnya seperti itu."Hm?" Abian mengulangi hal yang sama dengan sebelumnya. Kedua tangannya kini ia sembunyikan dalam saku celana, pandangannya hanya menatap sang adik, Ataya."E-emm, i-ini, kak ada amanah dari ustadzah, untuk serahin laporan harian dan absen kelas 11b. I-ini semua lembarannya ada disini, kak," ujar Kyra mengambil alih kecanggungan diantara keduanya. Gadis itu menyerahkan benda yang ia pegang sejak tadi. Sebuah map berbentuk persegi panjang
Malam itu, usai berkegiatan satu hari penuh, Abian masuk beristirahat di kamar pribadinya yang berada di asrama. Ia sekilas menatap jam kecil yang berada di meja tempat di samping tempat tidurnya. Jam menunjukkan pukul 21.42. Beranjak dari kursi yang ia duduki setelah kurang lebih setengah jam untuk belajar, membaca buku, dan tilawah Al - Qur'an."Alhamdulillah," ujarnya sambil menarik selimut yang sejak pagi tadi masih berdiam rapi di tempatnya. Sebelum punggung belakang laki-laki tersebut sempurna menyentuh kasur yang sangat nyaman, Abian melepas kacamata yang ia kenakan, dan meletakkannya tepat di meja yang berada di sebelah kirinya. Terlihat sebuah benda kecil nan tipis sudah sedari tadi berbaring di atas taplak meja.Abian meraih handphonenya, sejenak memainkan nya, dan sebuah rasa berkunjung tanpa diundang. Sebuah pesan yang tiba-tiba masuk, membuat Abian terkejut. Umma menghubunginya di tengah larutnya malam saat itu. 
Setelah pembagian hadiah secara simbolis kepada para santri yang menduduki juara umum lomba cerdas cermat Pondok Pesantren Darul Haq, Kyra, Ataya, dan juga Sarah kembali duduk dan bergabung bersama teman-teman lainnya di tempat semula, dengan diiringi sorak ramai bukti bangganya seisi kelas dengan 3 perwakilan mereka.Selain itu, bukan hanya mereka yang mendapat juara umum, yang akan memperoleh penghargaan, tapi penghargaan diberikan merata untuk seluruh peserta yang sudah turut berkontribusi dalam lomba tersebut hingga akhirnya tiba di babak final. Hanya saja, kuantitas dan jenis penghargaannya beragam menyeimbangkan poin hasil akhir yang mereka dapat."Maa Syaa Allah, luar biasa, Selamat untuk para pemenang lomba! Untuk seluruh peserta yang sudah mengikuti dan turut serta meramaikan, ustadzah ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, dan semoga melalui kegiatan ini, terdapat karakter, serta pola pikir baru yang tumbuh dalam d
"Allahu akbar allahu akbar." Merdunya adzan yang berkumandang di masjid.Fajar telah tiba. Para santri bergegas mempersiapkan diri untuk shalat shubuh di masjid Darul Haq dekat asrama mereka. Beberapa ada yang masih mengantri, untuk berwudhu dan mandi. Suasananya sudah mulai ramai kembali seperti biasa.Pagi itu, suasana pagi diselimuti embun. Udara sejuk diiringi kicauan burung yang indah. Santri bersiap untuk melaksanakan agenda hari itu. Acara yang cukup dinantikan. Yaitu, babak final yang merupakan puncak lomba cerdas cermat.Kyra, Ataya, dan Sarah sudah sibuk mempersiapkan diri satu malam penuh, berlatih soal, dan tak lupa juga mereka meminta dukungan dari para teman dan ustadzah disana. Tegang, gugup, cemas. Semuanya bercampur menjadi satu. Tak lupa dilengkapi dengan taburan bubuk yang berupa pikiran-pikiran negatif penghambat kepercayaan diri."Semangat, Kyra, Ataya, Sarah!"
Hari pun kini berganti. Cuaca pagi itu, kurang mendukung. Awan yang gelap, disertai angin yang sejuk. Matahari bersembunyi dan tak menampakkan diri. Jalanan kering sedikit basah, akibat hujan semalam.Hari itu, sebuah kegiatan yang sudah direncanakan, akan berlangsung. Kegiatan cerdas cermat. Seluruh santri, akan bersaing dalam kegiatan ini. Mereka sudah menyiapkan diri semaksimal mungkin sejak semalam. Pagi itu, masih banyak diantara mereka, yang tengah sibuk berlatih soal, mencari buku-buku, mengunjungi ruang guru untuk bertanya pada ustadz dan ustadzah disana, serta banyak lagi."Kyr, gimana? Udah siap?" tanya Ataya yang masih menggenggam pulpen biru di tangannya."Belum, kurang banget ini persiapannya. Masa cuma semalem doang," ujar Kyra mengeluh kesal. Pasalnya, ia belum mempersiapkan diri secara maksimal hingga pagi itu."Iya banget, kurang tau. Gapapa, Kyr, acaranya masih jam sembilan, bisalah kit
"Kyra, Kyra.""Kyra…, udah sembuh?""Apa kabar, Kyr?"Tanya teman-teman Kyra begitu melihat gadis itu kembali hadir dan bergabung bersama mereka di kelas."Iya, Kyra udah sembuh Alhamdulillah," jawabnya kemudian menghampiri tempat duduknya. Kebetulan, Ataya duduk berdekatan dengan Kyra hari itu. Kyra duduk tepat di sebelah Ataya."Pagi, Kyr," sapa Ataya melihat Kyra yang menarik kursi untuk duduk di sampingnya."Pagi," jawab Kyra sangat singkat. Gadis itu kemudian mengeluarkan beberapa tugasnya yang belum sempat ia kumpulkan karena sakit kemarin."Mau ditemenin ke ruang ustadzah buat ngumpulin tugas-tugas itu?" Ataya menawarkan diri untuk menemani Kyra mengumpulkan tugas ke ruang ustadzah."Gak usah, gak papa." Kyra kemudian beranjak dari kursi duduknya, dan pergi ke arah luar menuju ruang ustadzah seorang diri."Ekhem, Kyra masih marah, A
Pagi yang cerah itu, matahari menerangi kota itu. Seluruh orang sibuk beraktivitas. Ada yang bersiap untuk kerja, beberapa juga ada yang sedang dalam perjalanan menuju sekolah dengan sebuah seragam, ada juga para ibu-ibu hebat yang berkumpul di pasar sejak udara masih sejuk, untuk menyiapkan masakan bagi keluarganya.Kyra sudah sehat. Kondisi tubuhnya sudah membaik. Tapi, dirinya masih harus beristirahat di rumah, karena masih berada dalam masa pemulihan. Setelah kurang lebih 5 hari, gadis itu berdiam diri di kamarnya, hari itu, Kyra kembali bisa berjalan dan menghirup udara segar diluar.Sayang saja, hari itu, Kyra harus mengikuti kelas sendiri di rumah. Mengejar pelajaran yang tertinggal, serta berusaha untuk menyelesaikan tugas-tugas yang menumpuk akibat penyelesaiannya ia tunda kemarin."Kyra jangan capek-capek dulu, ya. Tetep istirahat yang cukup, dan gak lupa jaga pola makan juga, supaya bisa kemb
Hari itu, adalah hari Ahad. Hari dimana para santri libur dan tak ada kelas. Namun, mereka tetap memiliki jadwal dan rangkaian kegiatan meski libur. Semalam, kondisi Kyra masih dalam kondisi yang lemah dan belum bisa hadir di pondok seperti teman-teman yang lainnya. Dua hari lamanya, gadis itu terbaring diatas ranjang di kamarnya. Gadis itu enggan meminum obat dan mengisi perut. Tenggorokannya yang belum bisa bekerja dengan baik, membuat dirinya kesulitan untuk menelan makanan. Bahkan, untuk sekedar minum air putih, tenggorokan Kyra terasa seperti terdapat luka disana, perih dan sakit. Namun, setelah dipaksakan oleh sang nenek, hari itu, Kyra merasa tubuhnya sedikit membaik setelah meminum satu tablet obat pagi tadi. Walaupun, masih lemas dan tak bertenaga."Kyra, mau makan apa untuk nanti siang? Biar omah masakin," ujar omah sesekali mengelus pelan kepala gadis itu.Kyra hanya menjawab dengan gelengan kepala, sama sekali tak ada
"Cepet sehat, Kyra.""Istirahat yang cukup, Kyr.""Semoga cepat membaik ya, Kyr,"Ujar teman-temannya sebelum meninggalkan Kyra dan memasuki kelas untuk memulai pembelajaran."Kyra istirahat yang cukup ya disini, jangan lupa obatnya diminum ya, sayang. Banyakin minum air putih juga," ujar ustadzah asma yang kemudian meninggalkan Kyra seorang diri di kamar.Hari itu, kabar Kyra sedang tidak baik. Tubuhnya demam dan disertai sakit tenggorokan. Gadis itu tidak bisa mengikuti pelajaran, dan hanya berdiam diri di kamar. Dengan benda kecil yang dikenal dengan sapu tangan di atas dahinya.Beberapa hari sebelumnya, Kyra memang sudah merasakan tubuhnya yang kurang fit dalam beraktivitas. Namun,