Home / Romansa / Rasa / Chapter 5

Share

Chapter 5

Author: Zahrazara
last update Last Updated: 2021-09-20 06:46:35

"Kyr, Kyr. Tugas yang ini udah selesai?" tanya seorang teman yang tiba tiba datang ke mejanya. Sebuah buku tulis terbuka di hadapan Kyra. Beberapa soal ditulis menurun dan masih kosong tanpa jawaban.

"E-eh, udah kok." Kyra yang tengah sibuk merapikan meja pun terkejut.

"Tuh ambil aja buku latihan Kyra. Jawaban Kyra bener tadi Alhamdulillah." dagunya sedikit ia angkat, mengarah pada buku tulis di pojok mejanya.

"Sip, makasih," jawab teman itu, kemudian membawa buku catatannya pergi. Itu bukan masalah yang besar bagi Kyra. Gadis kecil ini sangat suka jika bisa membantu teman teman sekelasnya.

/Tokk, tokkk

"Assalamualaikum, haii hai. Coba liat sini dulu." Kyra bangkit dari duduknya. Ia mengambil sebuah penghapus papan tulis dan sesekali mengetuknya ke atas meja guru, ia mencoba meraih perhatian teman temannya sebentar.

"Wa'alaikumussalam," jawab teman temannya serentak. Seketika, mereka menghentikan aktivitasnya, dan memfokuskan perhatian pada Kyra di depan.

"Nanti kalo ada ustadzah dateng, kita diem semua ya. Pokoknya harus rapi lipet tangan diatas meja. Jangan ribut. Oke?" ujarnya menyampaikan rencana yang ia buat.

"Hah? Ngapain?" tanya salah satu santriwati di kelas Kyra heran.

"Makan duren!!" tanya Kyra bercanda. Nada bicaranya cukup tinggi, beberapa mungkin mengira Kyra sedikit emosi saat itu.

"Oke, siap! Kalo makan duren, siap sekali saya." saut teman yang tadi bertanya.

"Yeuuu, makannya nih dengerin dulu. Itu siapa tuh yang dibelakang, coba liat kesini bentar. Kyra mau nyamapein sesuatu." Telunjuknya menunjuk lurus posisi teman yang duduk di bagian paling belakang. 

"Jadi, nanti pas ada ustadzah masuk buat ngisi jam pelajaran kita berikutnya, kita harus cepet cepet duduk rapi ya, pokoknya kelas harus tenang. Biar ustadzah tuh seneng masuk kelas kita." 

"Satu lagi, nanti kalo ustadzah lagi jelasin, jangan ada yang ngobrol sendiri kayak kemarin. Pokoknya, harus dengerin," tegas Kyra. Jabatan Kyra memang sebagai ketua kelas, jabatan ini yang selalu ia dapatkan dari tahun ke tahun semenjak duduk di bangku SMP. 

"Kyra kenapa deh? Mau cari pujian dari guru gitu? Jatohnya nyuruh nyuruh tau." bisik salah seorang teman di kursi paling belakang kepada teman yang lainnya. 

"Gak tau, gak tau. Nurut aja," saut teman yang ia bisiki. 

Tak lama pun, ustadzah mulai memasuki kelas. Dengan gamis indah dan hijab yang menutupi tubuh, ustadzah Kirana memasuki kelas. Seketika kondisi kelas hening, seluruh santriwati diam di kursinya masing masing. Para santriwati memenuhi perintah Kyra sebelumnya. Ustadzah Kirana terlihat senang, melihat santriwatinya siap untuk memulai pelajaran hari itu. Pelajaran pun dimulai, sepanjang pelajaran Kyra cukup aktif bertanya dan menjawab, anak itu memang cukup banyak bicara. Tak sedikit ustadzah disana yang dekat dengan Kyra. Ditambah Kyra banyak aktif di berbagai kegiatan pondok. 

***************************

"Aya, aya," panggil seseorang menghampiri Ataya yang tengah fokus membersihkan kelas. Hari itu jadwalnya Ataya piket. 

"Ah, iya?" Ataya menghentikan sapu yang ia ayunkan sebelumnya. 

"Shtt, sini sini." teman itu mendekat, matanya berkeliaran ke sisi sisi ruangan memastikan tak ada orang lain yang mendengar. Ataya pun mendekatkan telinganya, dengan perasaan heran dan penasaran. 

"Besok besok bilangin Kyra, kalo ada ustadzah kasih kesempatan buat nanya atau jawab sesuatu, kasih izin temen temennya buat jawab atau tanya. Yang mau dapet poin plus, bukan dia doang," ujaranya sedikit diberi taburan emosi. 

"O-oh, oke oke. Nanti Ataya coba sampein ke Kyra." Ataya cukup terkejut, rupaya yang dibicarakan itu tentang Kyra. Ataya mengangguk paham. 

"Makasih ya, kalo gitu aku tinggal. Semangat piketnya." Gadis itu dengan ramah meninggalkan Ataya. Terlihat Ataya masih diam bingung, sebetulnya keluhan soal Kyra mulai banyak di dengar akhir akhir ini. Ataya tak merasa ada yang aneh pada Kyra, mungkin karena dia sudah terbiasa. Ataya pun bergegas menyelesaikan piketnya dan pergi ke kamar untuk menghampiri sahabatnya Kyra. 

/Klekk

"Assalamualaikum." Ataya membuka kenop pintu kamar. Kebetulan sekali, disana hanya ada Kyra yang merapikan buku bukunya di lemari. Sebenarnya, sekarang sudah waktunya makan siang. 

"Wa'alaikumussalam," jawab Kyra spontan, ia melanjutkan kesibukan nya saat itu. 

"Kyr, lagi ngapain sih?" tanya Ataya mendekat

"Beresin buku, kenapa? Udah selesai kah piketnya?" 

"Owalah, udah kok. Aku mau ngomong sesuatu Kyr," 

"Ya Allah, tinggal ngomong aja kali. Kenapa, kenapa?" Kyra duduk tenang diatas ranjangnya, tempatnya di sebelah Ataya.

"Besok besok kalo ada pelajaran apapun itu, kamu boleh aktif, kamu boleh tanya dan jawab pertanyaan ustadzah, tapi kasih kesempatan temen temen lain buat jawab. Yang mau nanya dan jawab bukan kamu doang, Kyr. Bukan Aya, tapi temen temen yang lain," ujar Ataya jujur. Kini matanya menatap serius Kyra. 

"L-lho em-emangnya Kyra berlebihan banget ya?" tanya Kyra mengangkat kedua alisnya. 

"Ya gak gitu, maksudnya kasih giliran juga gitu buat temen temen yang lain." 

"Hmm, oke deh. Makasih lho udah diingetin, emang kayaknya Kyra nya terlalu semangat sih tadi." 

"Gak papa, gak papa. Udah yuk lah, makan."

"Yuk!" Kyra dengan semangat bangkit dari duduknya, dan bergegas keluar kamar bersama Ataya. 

Menu makan siang hari itu, cukup berbeda dari biasanya. Itu menu makan siang favorit Kyra dan Ataya. Nasi kebuli buatan omah. Seketika ruangan makan itu, dipenuhi dengan harumnya nasi kebuli. 

"Eh, Maa Sya Allah tau aja lagi kepengen nasi kebuli. Gas, gass." Kyra memasuki ruang makan dan menghampiri kelompok makannya. 

"Mantep nih, mantep. Yuk yukk, dah pada cuci tangan belum?" lanjut Ataya duduk melengkapi lingkaran yang belum sempurna. 

"Eh iya, ini berarti para santriwan juga makan ini?" tanya Ataya dengan raut bingungnya. 

"Ciee mikirin anak santriwan," ledek teman lain menyenggolnya pelan. 

"Gak gitu, astagfirullah. Abang Aya gak suka nasi kebuli, jangan jangan dia gak makan lagi," terangnya mulai menggenggam sebuah sendok. 

"Oya??" Kyra terkejut. 

"Ho oh, abang gak bisa makan nasi kebuli. Gak suka lebih tepatnya sih," lanjut Ataya. 

"Owalah, mungkin tetep dimakan sama abang mu. Atau paling gak ya nyuap dikit. Cie khawatir cie...." Kyra menggerakan sikutnya menyentuh tubuh Ataya. 

"Gak, gak. Cuma kayak kasian aja masa gak makan." geleng Ataya menolak setuju. 

"Mana dia anaknya gak berani ngomong, diem diem bae." 

"Iya juga, abang mu pendiem kan ya?" 

"Pendiem sih mending, ini mah lebih ke gak mau bersosialisasi. Dia tuh gak betah kalo ada orang di sekitar dia. Kan kayak, ah dahlah. Capek mikirin." 

"Uww, sampe gitu ya? Itu aman kah? Maksudnya, normal gak? Takutnya, ada gangguan apa gitu?" Kyra merespon penasaran. 

"Gak tau juga, jangankan orang lain, lah ini adeknya sendiri aja jarang banget diajak ngobrol." 

"Berarti kamu jarang gitu ya curhat curhat atau cerita sama abang mu?" 

"Ih, boro boro. Kyra baru ngedeket doang mau ngomong sesuatu misalnya, dia udah pindah tempat. Kayak ada firasat nih adeknya mau ngomong, gitu. Makannya, agak kaget pas tau umma masukin abang kesini juga. Ternyata, maksud umma biar abang itu terbiasa sama irang orang dan gak jadi anak yang anti sosial. " 

"Gak salah sih, umma masukin ke pesantren. Ya semoga aja membaik ya kondisi abangmu. Bisa lebih terbuka lagi sama orang," 

"Aamiin aamiin, entar kapan kapan temenin Aya ke gedung abang ya." 

"Wushh, siap laksanakan!" jawab Kyra antusias.

Obrolan mereka siang itu, soal abang Ataya yang belum lama ini masuk pondok pesantren Darul Haq. Ataya cukup banyak bercerita soal abangnya, dan sebagai sahabat yang baik, Kyra tak bosan mendengarnya.

Related chapters

  • Rasa   Chapter 6

    "Ini sampai kapan sih kayak gini?" tanya seorang santriwan dalam pikirannya sebelum menikmati tidur malam yang panjang. Ya, itu Abian. Abian memang jarang berbicara, namun sebenarnya seribu satu pertanyaan sedang berlalu lalang di pikirannya. Santriwan lain sudah mulai bermain dalam dunia mimpinya masing masing. Tapi tidak dengan Abian. Menatap langit langit kamar yang luas, ia berbaring diatas ranjangnya. Hari itu, Abian mendapat tempat tidur di bagian atas. Ia sebenarnya, sangat tidak nyaman tidur di kasur yang tinggi, ia juga tak bisa bebas bergerak, karena kayu yang menyangganya itu sering kali berbunyi, ia tak mau mengganggu teman di bawah yang sedang tidur. Perlahan Abian bangun, kamar sebenarnya sudah gelap, tapi Abian sangat menyukai suasananya. Suasana yang jarang sekali ia dapatkan semenjak menjadi santriwan di pesantren itu. Abian gunakan waktu malamnya untuk introspeksi diri, mencoba menyelesaikan pertanyaan pertanyaan seputar hidup yang sejak tadi berlari lari di pikira

    Last Updated : 2021-09-20
  • Rasa   Chapter 7

    “Abi, nanti ke ruangan ustadz ya. Ada yang ingin ustadz sampaikan.” ujar ustadz yang selesai menyimak setoran hafalan Abi pagi itu. Abi hanya diam mengangguk dan pergi kembali ke tempat duduknya di halaqah. Kali ini Abi duduk menyendiri di pojok sambil bersandar ke pagar. Tak heran jika itu menjadi bahan perbincangan santriwan lain, Abi memang sependiam itu. Memang tak sedikit yang mencoba mengajaknya mengobrol, tapi hasiulnya sama saja.“Eh, ajak ngobrol sana. Kasian sendirian si Abi,” ujar salah seorang teman memperhatikan Abi duduk sendiri menggenggam mushafnya.“Lah, biarin aja udah. Dari kemarin juga udah diajak ngobrol sama aja. Emang gitu kali anaknya.“ balas temannya. Sepertinya, banyak santri lain yang malas menanggapi Abi. Sikapnya sangat dingin.“Ho oh, biarin aja udah. Emang dia nyamannya sendiri gitu kali. Ustadz juga ngebiarin. Udah, biarin aja.” Saut teman lainnya yang mendengar.A

    Last Updated : 2021-09-20
  • Rasa   Chapter 8

    “Kyr, nanti temenin ya ke gedung santriwan,” cetus Ataya saat sedang fokus menyelesaikan tugas prakarya. “Mau ngapain ke gedung santriwan?” tanya Kyra terkejut. “Biasa, uang saku Ataya abis. Kemarin Umma titipin ke abang. Ya, jadi mau ngambil uangnya ke abang.” “Owalah, jadi kamu gak megang uang saku sekarang?” “Sekarang masih, tapi tinggal dikit. Ya mungkin besok atau nanti sore. Ataya juga lupa uang yang sisa ada berapa.” “Oke, oke. Nanti Kyra temenin. Bilang aja kalo mau ambil ke gedung santriwan.” “Oke, thanks. Tapi eh tapi, Ataya gak tau kamar Abang sebelah mana. Haish, males sebenernya harus ngambil uang ke sana. Kudu nyari nyari kamar atau paling gak tanya sama ustadz.” Keluh Ataya. “Ya nanti ku temenin. Sanss, kita keliling gedung santriwan nanti.” “Jiakh, cuci mata ya kamu. Wuuuhh, iyooo makasih sebelumnya.” “Gak, astaghfirullah. Yooo, masama.” Selesai sudah obrolan

    Last Updated : 2021-09-20
  • Rasa   Chapter 9

    “Abangmu pendiem banget yaa, dingin dingin gimanaa gitu. Ngerii!!” ujar Kyra saat perjalanan kembali ke gedung santriwati.“Ho oh, emang gitu anaknya. Ngeselin kadang kadang, diajak ngomong kayak gak punya mulut. Diem aja,” balas Ataya merapikan kerdungnya yang sedikit berantakan.Keduanya pergi menuju kantin untuk membeli basreng favorit mereka. Anehnya, Kyra kini menjadi penasaran dengan sosok Abian yang sebenarnya, setelah tadi bertemu. Dia sebelumnya tak pernah melihat laki laki seperti Abian, sosok laki laki yang sangat menjaga pandangannya, dan sedikit berbicara. Benih benih kagum mulai tumbuh dalam benak gadis yang bernama Kyra itu.“Eh, iya abang mu kelas berapa? Lupa Kyra,” tany Kyra penasaran. Sebelumnya, Ataya sudah memberi trahu ia sepertinya, tapi sayangnya Kyra sangat pelupa.“Kelas 12, dia disini cuma setahun doang, habis itu lulus.”“Owalah, dah kela

    Last Updated : 2021-09-21
  • Rasa   Chapter 10

    Sementara itu,Abian dengan kaus polosnya masih sibuk membaca Al – Qur’an di Masjid. Abian memaksakan dirinya untuk keluar kamar sendiri dan menghabiskan waktu di Masjid. Besok sudah masuk pekan ujian tahfidz, Abian ingin mempersiapkan hafalannya semaksimal mungkin. Ia sangat menyukai suasana yang tenang disana. Jarang sekali Abian bisa menghabiskan waktunya untuk bisa napas tenang dan lega seperti ini. Seseram itu orang lain di mata Abian.Di pertengahan Abian membaca A- Qur’an, ia teringat adik perempuan yang menghampirinya sore tadi. Adik perempuan dengan seorang temannya,“Tadi siapa ya yang ngucap salam ke saya?” tanya Abi memutus fokusnya dengan mushaf yang ia genggam.“Kok saya risih kalo inget,”“Kayaknya, temen deket Aya,”Ucapnya dalam hati, sikap teman Ataya yang berjumpa dengannya tadi sore, cukup mengganggu Abian. Mungkin, karena lawan jenis. Sebelumnya, Abi belum

    Last Updated : 2021-09-21
  • Rasa   Chapter 11

    Abian berjalan menuju kamarnya. Seperti biasa, Abian merasa kelelahan setiap kali selesai berinteraksi dengan orang lain. Dirinya pun memasuki kamarnya yang hening dan sepi. Tak ada siapapun selain dirinya sendiri di kamar itu. Sembari mengistirahatkan tubuhnya, pikirannya memaksa Abi untuk memikirkan pertanyaan yang ustadz ajukan padanya di kantor guru tadi. Bukan hal yang mudah bagi Abian untuk memutuskan sesuatu. Pasalnya, anak ini biasa di bantu oleh orangtuanya dalam membuat suatu keputusan, hingga saatnya tiba Abi harus mampu membuat keputusan sendiri. Memang tawaran yang menarik, jarang sekali rasanya Abian mendapat tawaran untuk menjadi perwakilan kelasnya di suatu lomba. Ditambah, Abian adalah sosok yang sangat risih dengan keramaian. Ia tak mungkin sanggup tampil di depan umum, rasanya sangat mustahil. “Tapi, kalo saya tolak tawaran ustadz tadi juga sayang,” ujar Abian dalam hati. Dalam lamunannya, pikiran Abian sebenarnya sangatlah berisik, banyak topik yang

    Last Updated : 2021-10-28
  • Rasa   Chapter 12

    Hari itu adalah hari dimana para santriwan dan santriwati tidak ada jadwal belajar. Ini hari yang ditunggu-tunggu oleh sebagian murid, pondok pesantren Darul Haq mengadakan lomba MHQ yang lombanya tersebut, bisa disaksikan oleh warga penduduk sekitar. Para santri yang mendaftar lomba, terlihat sudah siap bersaing antar kelas. Lomba ini di ikuti dari berbagai jenjang. Mulai jenjang SD – SMA. Namun, tempat dan waktunya yang berbeda.“Ayo, kumpul semua di Aula ya. Kelas 10,11,12 silahkan duduk yang rapi dan tidak ribut disana,” ujar ustadz memeberi arahan untuk seluruh santriwan. Abian benar benar gugup saat itu. Ia mencoba tenang, namun sayangnya pikirannya membuat Abian kehilangan rasa percaya diri. Tubuhnya berkeringat, ia merasa sedikit sesak, dan perutnya pun sedikit sakit.“Baik ustadz,” jawab para santriwan yang tengah bergerombol secara bersamaan. Abian menyendiri berada di barisan paling belakang. Napasnya tak beraturan.

    Last Updated : 2021-10-28
  • Rasa   Chapter 13

    “Mumtaz, Maa Sya Allah hafalannya lancar, pelafalannya juga udah tepat dan bagus. Silahkan, boleh menuruni panggung,” ujar salah satu juri memuji Abian. Sungguh luar biasa, Abian berhasil menaiki panggung dan turun tanpa komentar dari sang juri.“Maa Sya Allah,”“Wah, Maa Sya Allah Abian!”“Keren Abian! Barakallahu fiik” timpal teman temannya yang lain ikut memuji Abian. Meski terlihat sebagai anak yang dingin dan sulit sekali untuk berkomunikasi dan bersosialisasi dengan orang lain, namun nyatanya Abian memiliki kemampuan di bidang lain yang belum tentu dimiliki semua anak.Abian menuruni tangganya dan kembali ke tempat duduknya semula. Napasnya sangat lega. Memang dirinya belum cukup tenang, tapi setidaknya dadanya sudah tak sesak seperti sebelumnya. Tubuhnya sangatlah bergemetar ia tak peduli bagaiman akondisi wajahnya, namun terlihat memang sangat pucat.“Wih abangmu

    Last Updated : 2021-10-31

Latest chapter

  • Rasa   Chapter 32

    Sosok laki-laki dengan kemeja lengan pendek berwarna biru muda, membuka pintu tersebut. Jam tangan hitam, dengan pulpen yang sedang di genggam yang pertama kali dilihat Kyra dan Ataya. Keduanya sedikit mengangkat dagu ke arah atas. Kemudian belum genap 5 detik, Kyra dengan cepat menurunkan kembali wajahnya."Abang?" ujar Ataya terkejut."Hm?" jawab Abian sangat singkat."A-anu, K-Kyra mau kasih ini, apa tuh namanya, Kyr?" Ataya mendadak gugup tak karuan, entah apa yang membuatnya seperti itu."Hm?" Abian mengulangi hal yang sama dengan sebelumnya. Kedua tangannya kini ia sembunyikan dalam saku celana, pandangannya hanya menatap sang adik, Ataya."E-emm, i-ini, kak ada amanah dari ustadzah, untuk serahin laporan harian dan absen kelas 11b. I-ini semua lembarannya ada disini, kak," ujar Kyra mengambil alih kecanggungan diantara keduanya. Gadis itu menyerahkan benda yang ia pegang sejak tadi. Sebuah map berbentuk persegi panjang

  • Rasa   Chapter 31

    Malam itu, usai berkegiatan satu hari penuh, Abian masuk beristirahat di kamar pribadinya yang berada di asrama. Ia sekilas menatap jam kecil yang berada di meja tempat di samping tempat tidurnya. Jam menunjukkan pukul 21.42. Beranjak dari kursi yang ia duduki setelah kurang lebih setengah jam untuk belajar, membaca buku, dan tilawah Al - Qur'an."Alhamdulillah," ujarnya sambil menarik selimut yang sejak pagi tadi masih berdiam rapi di tempatnya. Sebelum punggung belakang laki-laki tersebut sempurna menyentuh kasur yang sangat nyaman, Abian melepas kacamata yang ia kenakan, dan meletakkannya tepat di meja yang berada di sebelah kirinya. Terlihat sebuah benda kecil nan tipis sudah sedari tadi berbaring di atas taplak meja.Abian meraih handphonenya, sejenak memainkan nya, dan sebuah rasa berkunjung tanpa diundang. Sebuah pesan yang tiba-tiba masuk, membuat Abian terkejut. Umma menghubunginya di tengah larutnya malam saat itu. 

  • Rasa   Chapter 30

    Setelah pembagian hadiah secara simbolis kepada para santri yang menduduki juara umum lomba cerdas cermat Pondok Pesantren Darul Haq, Kyra, Ataya, dan juga Sarah kembali duduk dan bergabung bersama teman-teman lainnya di tempat semula, dengan diiringi sorak ramai bukti bangganya seisi kelas dengan 3 perwakilan mereka.Selain itu, bukan hanya mereka yang mendapat juara umum, yang akan memperoleh penghargaan, tapi penghargaan diberikan merata untuk seluruh peserta yang sudah turut berkontribusi dalam lomba tersebut hingga akhirnya tiba di babak final. Hanya saja, kuantitas dan jenis penghargaannya beragam menyeimbangkan poin hasil akhir yang mereka dapat."Maa Syaa Allah, luar biasa, Selamat untuk para pemenang lomba! Untuk seluruh peserta yang sudah mengikuti dan turut serta meramaikan, ustadzah ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, dan semoga melalui kegiatan ini, terdapat karakter, serta pola pikir baru yang tumbuh dalam d

  • Rasa   Chapter 29

    "Allahu akbar allahu akbar." Merdunya adzan yang berkumandang di masjid.Fajar telah tiba. Para santri bergegas mempersiapkan diri untuk shalat shubuh di masjid Darul Haq dekat asrama mereka. Beberapa ada yang masih mengantri, untuk berwudhu dan mandi. Suasananya sudah mulai ramai kembali seperti biasa.Pagi itu, suasana pagi diselimuti embun. Udara sejuk diiringi kicauan burung yang indah. Santri bersiap untuk melaksanakan agenda hari itu. Acara yang cukup dinantikan. Yaitu, babak final yang merupakan puncak lomba cerdas cermat.Kyra, Ataya, dan Sarah sudah sibuk mempersiapkan diri satu malam penuh, berlatih soal, dan tak lupa juga mereka meminta dukungan dari para teman dan ustadzah disana. Tegang, gugup, cemas. Semuanya bercampur menjadi satu. Tak lupa dilengkapi dengan taburan bubuk yang berupa pikiran-pikiran negatif penghambat kepercayaan diri."Semangat, Kyra, Ataya, Sarah!"

  • Rasa   Chapter 28

    Hari pun kini berganti. Cuaca pagi itu, kurang mendukung. Awan yang gelap, disertai angin yang sejuk. Matahari bersembunyi dan tak menampakkan diri. Jalanan kering sedikit basah, akibat hujan semalam.Hari itu, sebuah kegiatan yang sudah direncanakan, akan berlangsung. Kegiatan cerdas cermat. Seluruh santri, akan bersaing dalam kegiatan ini. Mereka sudah menyiapkan diri semaksimal mungkin sejak semalam. Pagi itu, masih banyak diantara mereka, yang tengah sibuk berlatih soal, mencari buku-buku, mengunjungi ruang guru untuk bertanya pada ustadz dan ustadzah disana, serta banyak lagi."Kyr, gimana? Udah siap?" tanya Ataya yang masih menggenggam pulpen biru di tangannya."Belum, kurang banget ini persiapannya. Masa cuma semalem doang," ujar Kyra mengeluh kesal. Pasalnya, ia belum mempersiapkan diri secara maksimal hingga pagi itu."Iya banget, kurang tau. Gapapa, Kyr, acaranya masih jam sembilan, bisalah kit

  • Rasa   Chapter 27

    "Kyra, Kyra.""Kyra…, udah sembuh?""Apa kabar, Kyr?"Tanya teman-teman Kyra begitu melihat gadis itu kembali hadir dan bergabung bersama mereka di kelas."Iya, Kyra udah sembuh Alhamdulillah," jawabnya kemudian menghampiri tempat duduknya. Kebetulan, Ataya duduk berdekatan dengan Kyra hari itu. Kyra duduk tepat di sebelah Ataya."Pagi, Kyr," sapa Ataya melihat Kyra yang menarik kursi untuk duduk di sampingnya."Pagi," jawab Kyra sangat singkat. Gadis itu kemudian mengeluarkan beberapa tugasnya yang belum sempat ia kumpulkan karena sakit kemarin."Mau ditemenin ke ruang ustadzah buat ngumpulin tugas-tugas itu?" Ataya menawarkan diri untuk menemani Kyra mengumpulkan tugas ke ruang ustadzah."Gak usah, gak papa." Kyra kemudian beranjak dari kursi duduknya, dan pergi ke arah luar menuju ruang ustadzah seorang diri."Ekhem, Kyra masih marah, A

  • Rasa   Chapter 26

    Pagi yang cerah itu, matahari menerangi kota itu. Seluruh orang sibuk beraktivitas. Ada yang bersiap untuk kerja, beberapa juga ada yang sedang dalam perjalanan menuju sekolah dengan sebuah seragam, ada juga para ibu-ibu hebat yang berkumpul di pasar sejak udara masih sejuk, untuk menyiapkan masakan bagi keluarganya.Kyra sudah sehat. Kondisi tubuhnya sudah membaik. Tapi, dirinya masih harus beristirahat di rumah, karena masih berada dalam masa pemulihan. Setelah kurang lebih 5 hari, gadis itu berdiam diri di kamarnya, hari itu, Kyra kembali bisa berjalan dan menghirup udara segar diluar.Sayang saja, hari itu, Kyra harus mengikuti kelas sendiri di rumah. Mengejar pelajaran yang tertinggal, serta berusaha untuk menyelesaikan tugas-tugas yang menumpuk akibat penyelesaiannya ia tunda kemarin."Kyra jangan capek-capek dulu, ya. Tetep istirahat yang cukup, dan gak lupa jaga pola makan juga, supaya bisa kemb

  • Rasa   Chapter 25

    Hari itu, adalah hari Ahad. Hari dimana para santri libur dan tak ada kelas. Namun, mereka tetap memiliki jadwal dan rangkaian kegiatan meski libur. Semalam, kondisi Kyra masih dalam kondisi yang lemah dan belum bisa hadir di pondok seperti teman-teman yang lainnya. Dua hari lamanya, gadis itu terbaring diatas ranjang di kamarnya. Gadis itu enggan meminum obat dan mengisi perut. Tenggorokannya yang belum bisa bekerja dengan baik, membuat dirinya kesulitan untuk menelan makanan. Bahkan, untuk sekedar minum air putih, tenggorokan Kyra terasa seperti terdapat luka disana, perih dan sakit. Namun, setelah dipaksakan oleh sang nenek, hari itu, Kyra merasa tubuhnya sedikit membaik setelah meminum satu tablet obat pagi tadi. Walaupun, masih lemas dan tak bertenaga."Kyra, mau makan apa untuk nanti siang? Biar omah masakin," ujar omah sesekali mengelus pelan kepala gadis itu.Kyra hanya menjawab dengan gelengan kepala, sama sekali tak ada

  • Rasa   Chapter 24

    "Cepet sehat, Kyra.""Istirahat yang cukup, Kyr.""Semoga cepat membaik ya, Kyr,"Ujar teman-temannya sebelum meninggalkan Kyra dan memasuki kelas untuk memulai pembelajaran."Kyra istirahat yang cukup ya disini, jangan lupa obatnya diminum ya, sayang. Banyakin minum air putih juga," ujar ustadzah asma yang kemudian meninggalkan Kyra seorang diri di kamar.Hari itu, kabar Kyra sedang tidak baik. Tubuhnya demam dan disertai sakit tenggorokan. Gadis itu tidak bisa mengikuti pelajaran, dan hanya berdiam diri di kamar. Dengan benda kecil yang dikenal dengan sapu tangan di atas dahinya.Beberapa hari sebelumnya, Kyra memang sudah merasakan tubuhnya yang kurang fit dalam beraktivitas. Namun,

DMCA.com Protection Status