Melirik arloji nya sesaat. Sebelum akhirnya menekan remote agar pintunya terbuka. Orang yang sadari tadi mengetuk, menghampirinya.
“Makan siang bareng 'yuk?” ajak Safira, satu-satunya pegawai yang berhasil ‘sedikit’ akrab dengan Agina.
Jari telunjuk Agina terarah. Mencoba memberi isyarat pada Safira untuk berbalik. Dan gadis itu langsung membalikkan badannya, mengerti. Di sana salah satu anak buah Agina mengenteng kantong kresek di kedua tangannya dan melangkah menuju Nona-nya.
“Saya bawakan pesanan anda, Nona.” Agina mengangguk dan menyuruh meletakkannya di atas meja. Kemudian pengawal itu melenggang pergi setelah Agina mengibas tangannya.
Safira mendesah kecewa. Lagi-lagi dirinya di tolak. Tapi tidak bisa menyalahkan Agina, karena dari awal memang dirinya yang ingin dekat dengan atasannya itu.
“Makan sianglah bersama teman sesama pegawai.” Kalimat untuk ke-sekian kalinya. Terdengar merendahkan memang, seolah-olah pegawai tidak cocok makan siang dengan atasannya. Tapi mau bagaimana lagi, Agina tidak ingin memberi harapan palsu pada gadis di hadapannya ini.
“Baik, Nona.” Safira sedikit membungkuk dan pamit undur diri dari ruangan Agina.
Menatap punggung itu sampai menghilang. Menekan tombol remote untuk menutup pintunya kembali. Setelahnya, menghembuskan napasnya kasar dan memijit pelipisnya. “Aku menyakiti perasaannya lagi.”
Agina menghela napas, “Kau membuatku frustasi, Safira. Aku tidak bisa menerima uluran pertemanan yang kau ulurkan. Rasa ketertarikan mu terhadap Agra-lah yang membuatku melakukannya, yang menjadi motivasimu mendekatiku.”
Memang, perasaan Agina sangat sensitif sehingga tanggung dibenci orang.
Agina memejamkan matanya sebentar. Tangannya bergerak mengambil makanan yang dibawakan anak buahnya. Rautnya antusias saat memakan makanan kesukaannya. Warna putih dengan isian coklat di dalamnya, lembut berbentuk bulat mengembang seperti pipinya. Ah, makanan ini selalu bisa mengembalikan moodnya.
Suara notifikasi menghentikannya sejenak. Mengeceknya, kemudian tersenyum miring. Ia berkata, “Nonton pertunjukan sambil makan. Heem... boleh juga.”
Tatapan malas ia tunjukan pada pendeteksi wajah itu. Kenapa setiap kali mau masuk harus melakukan pengecekan identitas, padahal dirinya kekasih dari sang pemilik ruangan.
Pintu pun terbuka setelah alat itu selesai dengan tugasnya. Berjalan masuk dengan elegan sehingga membentuk lekukan tubuhnya lebih jelas di balutan baju ketat itu.
“Sayang.”
Agra mendongak mengalihkan perhatiannya dari tumpukan kertas, “Ada apa kau kemari?”
“Tentu saja untuk mengajakmu makan siang bersama. Aku bawa bekal lho,” ucapnya dengan senyuman. Tanpa disuruh, dirinya langsung duduk di kursi berhadapan dengan Agra. Meja kerja menjadi pembatas keduanya.
Seseorang kembali masuk tanpa mengetuk. “Maaf, tuan. Saya membawakan makanan Anda seperti biasa.” Pria bertubuh tegap itu meletakkan nampan di meja yang dikelilingi sofa. Pria itu langsung keluar setelah mendapat anggukan dari Agra.
Agra menghampiri sofa dan duduk di sana. Olivia melakukan hal yang sama, duduk di samping Agra.
“Ini aku masak sendiri khusus buatmu,” tutur Olivia hendak membuka penutup bekalnya.
“Kau tidak lihat makanan ini?” sarkasnya menunjuk makanan di nampan dengan segelas jus juga di sana.
Olivia berdecak, “Tidak bisakah kali ini kau menerima perhatian dariku? Setiap aku membawa bekal makanan untukmu, pasti ada pengawal yang membawakan makanan ke sini. Kau menyuruh mereka melakukannya agar kau tidak perlu memakan masakan buatan ku yang tidak enak ini ‘kan?”
‘Nah, itu tau’ batin serempak Agra dengan penonton dari ruangan lain melalui cctv dari ponselnya.
“Aku tidak menyuruhmu melakukannya. Perhatianmu saat aku masih dalam keadaan koma itu sudah lebih dari cukup.” Agra berucap tulus. Benar-benar berterima kasih pada Olivia karena sudah merawatnya. Meski Rautnya datar saat mengucapkannya.
Olivia terdiam. Mulutnya bungkam, tidak bisa berkata-kata. Pikirannya tiba-tiba sunyi dengan mata menatap kosong. ‘Masih dengan alasan sama yang menjadi penyebab kau menghargai ku. Lalu apa yang akan kau lakukan jika mengetahui semuanya?’ Olivia tersenyum miris.
“Baiklah.” Olivia menyusun kembali kotak makan. Dan tanpa berucap satu patah kata pun, dia langsung keluar dari ruangan.
Agra menghendikkan bahunya tidak peduli. Fokusnya hanya pada makanan di depannya. Dahinya mengernyit, terlihat jelas kalau dia sedang memikirkan sesuatu. “Sebenarnya aku juga tidak tau siapa yang menyuruh para mengawal menyiapkan semua ini. Setiap hari makanan yang di bawakan selalu berbeda-beda, namun semuanya makanan kesukaanku dan tentunya bergizi.”
~~~
Agina mencap jempolnya pada alat keamanan. Otomatis pintunya terbuka dan dirinya langsung masuk. Tidak lupa memakai sandal rumahan di kakinya. Langkahnya menuju kamarnya.
Seperti biasa, langsung membersihkan badannya setelah pulang bekerja. Duduk di balkon dengan secangkir teh hangat dan beberapa makanan yang sudah disiapkannya terlebih dahulu sebelum duduk di sini. Sambil melihat pemandangan bintang yang kebetulan sangat banyak malam ini.
Sudut bibirnya tertarik. Suara jangkrik dan arus angin memenuhi gendang telinga yang memerisikkan tempat sunyi nan gelap ini.
Adalah sesuatu yang menyenangkan baginya tinggal di hutan, sangat cocok dengan dirinya yang suka ketenangan. Namun bukan berarti tidak menyukai kebisingan, apalagi kebisingan itu di sebabkan kebahagiaan dan suara... tembakan.
Agina sedikit tertawa dengan kata terakhir.
Rumahnya berukuran sedang dengan tingkat dua ini memang terletak di hutan ah bukan-bukan, rumah kami maksudnya. Lebih tepatnya jauh dari keberadaan manusia dan terpelosok. Kendaraan seperti mobil tidak akan bisa masuk ke sini, sebab itu Agina selalu menggunakan motor ke mana pun ia pergi.
Alasannya? Agar keberadaannya tidak dilacak musuh.
Agina menatap dalam foto yang dipegangnya. Dimana terlihat delapan orang sedang berpose aneh. Dia terkikik melihat gaya dirinya sendiri yang masih kecil waktu itu. Tubuh dibungkukkan dan kedua pipi dikembungkan dengan tangan melingkar dari belakang ke leher sang laki-laki yang sedang berjongkok serta dagunya yang nangkring di bahu si laki-laki.
Agina meringis dengan lingkaran hati yang di buat oleh temannya di area wajahnya. Yang lainnya membuat raut aneh dan memeluk Agina secara teratur dari belakang dengan kepala di sampingkan. Agina geleng-geleng kepala untuk hal itu. Memang teman-temannya itu asbruk semua, jarang sekali bersikap normal.
Tapi, ‘Aku bahagia’ Mengelus foto itu.
“Sekarang semuanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Apalagi si Alfin, anak cengeng itu harus mengurus perusahaan ayahnya yang diambang kehancuran.”
Agina mengetuk-ngetuk dahinya pelan, pusing dengan teman laki-lakinya yang satu itu. Pernah Agina sama teman-teman lainnya menawarkan bantuan, tapi dengan tegas Alfina mengucap kata; tidak!
Ah, sudahlah. Mungkin temannya yang dulunya sering nangis sambil guling-guling di rumput itu, ingin menyelesaikan masalah ini dengan kemampuannya sendiri.
Lalu bagaimana dengan dirinya? Kesibukannya selalu berurusan dengan nyawanya dan beberapa kali berada diambang kematian.
Melindungi orang yang bahkan sampai sekarang mungkin masih membencinya. Tidak mengapa... semua orang pasti akan berefek sama dengan Agra setelah apa yang terjadi.
“Hais...”keluhnya. Matanya kini terfokus pada bintang yang paling bersinar menurutnya. “Paman Rangga. Kau mengikatku terlalu kuat.”
Menekan tombol di telepon agar terhubung dengan orang yang berada di resepsionis. “Suruh nona Safira ke ruangan saya.” Kemudian memindahkan tangannya kembali pada laptop dan mengotak-atik di sana. Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya orang di suruh datang pun berada di hadapannya. “Ada yang bisa saya bantu, Nona?” ucap Safira setelah membungkuk sesaat. Agina menyerahkan beberapa berkas setebal se-inci yang langsung diambil oleh Safira. “Minta tanda tangan tuan Agra pada berkas ini. To-long,” berucap datar. Mata Safira berbinar seperti biasa, kalau Agina menyuruhnya mengantar berkas pada tuan Agra. Itu artinya dia bisa menatap langsung wajah Presdir Pratama Group. Kepalanya bahkan antusias mengangguk, “Baik, Nona.” Melenggang keluar. “Seperti biasa, kau disuruh ceo C.A untuk dimintai tanda tangan dariku,” tukas Agra terkesan sinis. Safira menjadi gugup, mendengarnya. “I-iya, Tuan.” Menyerahkan dengan tangan gemetar.
Bunyi notifikasi tiba-tiba terdengar. Ezwar membuka aplikasi bergambar telepon dengan warna hijau dan mengecek pesan suara yang ternyata dari tuan Agra.‘Wakilkan aku di meeting hari ini, atau minta bantuan Ceo C.A untuk memimpin meeting. Suaraku sedang tidak bagus hari ini.’ Begitulah isi klip suara yang terdengar.Ezwar mengerutkan kening. Suara tuan Agra memang terdengar serak dan berat lebih dari biasanya. “Mungkin lagi batuk,” gumamnya.Ezwar memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku. Langkahnya terhenti dengan mata langsung melotot melihat beberapa tumpukan kertas setinggi 1 meter. Ah, ia ingat sekarang. Kemarin tuan seenak jidatnya itu mengatakan akan menyerahkan beberapa berkas padanya.“Sepertinya aku tidak punya pilihan lain selain menyerahkan masalah rapat pada Agina.” Menghela napas seolah itu adalah solusi terbaik, padahal dalam hatinya bersorak gembira.Segera saja Ezwar menuju ruang Agina.
Mendengar suara tapak sepatu yang beradu dengan lantai. Agina yang setengah jalan menaiki tangga, langsung turun ke bawah.“Oh, kau rupanya,” tukasnya. Agina menghampiri dan ikut duduk di sofa. “Stok akal kehabisan lagi?”Erwin itu mendengus. Wajar sih Agina berkata begitu, dirinya pulang langsung duduk di sofa ruang tamu dan memeluk bantal dengan senyum-senyum gak jelas di wajah tampannya. Tapi gak perlu bilang stok akal kehabisan segala, itu secara tidak langsung menyindirnya sudah gila.“Kau, sudah makan?” tanya Agina dan itu malah menambah binar di raut sahabatnya.“Sudah tadi, dengan wanitaku” Agina tidak terkejut atau terlonjak mendengarnya. Hal itu biasa baginya. Memangnya siapa lagi yang bisa membuat temannya ini menjadi tidak waras. “Oh, ya. Ku dengar Agra mengajakmu menikah.Agina memijit pelipisnya, “Dia benar-benar benci pada wanita setelah kejadian itu. Dan menganggap aku wani
Agina melepaskan helm dari kepalanya dan menggusar rambutnya sampai teruntai bergelombang di pinggangnya. Kemudian turun dari motor baru yang langsung tersedia dengan hanya mengucapkan beberapa kata. Bahkan pakaian kini yang tadinya kotor kini berganti.“Apa ini sikap yang harus diikuti oleh para bawahan, yaitu datang ke perusahaan saat sudah waktunya makan siang.”Agina memutar bola matanya jengah dan berbalik, menatap orang yang sedang menaikkan sebelah alisnya dengan senyum kemenangan yang terukir. “Sejak kapan Anda peduli dengan waktu saya, tuan Agra Pratama.”Agra menghendikkan bahunya dan tersenyum miring.Alis Agina menukik, entah dari mana firasat aneh muncul dalam dirinya. Dia bersidikap dan memandang lelaki itu curiga. “Apa Anda merencanakan sesuatu?”“Apa maksudmu?” Agra tertawa pelan menutupi kegugupannya. Sial, kenapa reaksinya seperti telah tertangkap basah. Kalau begini, rencananya tida
“Kau sudah menyelidiki identitas orang yang mengirim mereka.” Agina menatap serius lelaki yang sedang mengotak-atik laptopnya. Menyandarkan tubuhnya di sofa serta mengambil bantal sofa yang langsung didekapnya. “Pengendara motor yang tadi pagi ‘kan?” Agina mengangguk. “Johan pelakunya. Dia menyewa orang untuk membunuhmu,” ucapnya seraya memasukkan cemilan ke mulutnya. Agina menghela napas. Dia ikut mengemil dengan raut serius. “Nathan. Apa sudah waktunya memberi pelajaran pada orang itu?” tanyanya pada lelaki yang memerhatikannya. Nathan menghendikkan bahunya. “Seharusnya dari dulu kau melakukannya agar si tua bangka itu sadar, tapi ya... Aku tau kau takut Johan mempergunakan jasa tubuh Olivia seperti boneka ‘kan?” Lagi-lagi gadis berumur 23 tahun itu menghela napas kasar. “Dia sudah cukup menderita selama ini. Jika aku menarik semua aset keluarga Dreandara, maka tidak akan kata cahaya lagi di hidupnya.” Agina tersenyum pedih. Maafkan ak
“Begitu ‘ya. Baiklah, aku keluar. Di mana kau sekarang?” Agina mengangguk setelah mendapat jawaban dan mematikan ponsel. Meletakkan ponselnya di meja dan bangkit dari kursi kebesarannya. Ia menyampirkan blazer berwarna mocca di kedua pundaknya dan memasukkan ponselnya ke dalam saku blazer. Melangkahkan kakinya menuju pintu keluar ruangan. Namun belum sempat menekan sandi, pintu itu lebih dulu terbuka. “Sean,” ucapnya. “Ah, Nona. Saya ingin memberitahukan kalau orang itu mengorupsi lagi, namun kali ini dengan jumlah lebih besar yaitu sekian. Apa yang harus saya lakukan?” Menyampaikan dengan intonasi cepat. Lelaki bersurai pirang itu menghembuskan napasnya agar kembali tenang. Agina mendekap dadanya dengan lengan kiri, sedangkan siku lengan kanan bertopang serta jari telunjuk yang berada di dagu. Khas gaya berpikirnya. “Kalau begitu, aku ingin kau melakukan sesuatu untukku.” “Pasti akan saya lakukan, Nona,” tegas Sean. Agina balas tersenyum.
“Seberapa banyak yang kau dapatkan?” tanya Agra. Ia menegapkan tubuhnya pada sofa saat sekretarisnya menyerahkan berkas padanya. “Informasinya tetap sama seperti sebelumnya,” jawab Ezwar. “Sama? Berarti sebelumnya kau sudah pernah menyelidiki tentang Agina ya.” Agra membacanya. Hembusan napas panjang menandakan ketidakpuasan dari apa yang dibacanya. “Sesedikit ini. Bahkan foto masa kecil serta nama panti asuhannya pun tidak ada.” Nama: Agina Pratama Umur: 23 tahun Pekerjaan: Ceo Makanan kesukaannya pun tidak ada, batinnya. “Pertama kali bertemu Agina, aura kepemimpinan begitu kentara menguar dari dirinya. Agina bahkan mampu mengerjakan tugas dengan sempurna. Jadi tidak ada alasan bagi saya membantah saat Ayah mengatakan dia sebagai Ceo Pratama Group,” terang Ezwar. Sedikit menunjukkan reaksi mendengar orang itu juga dibawa-bawa sekretarisnya. “Paman Ilham juga termasuk rupanya. Entah kenapa aku merasa kita berdua dikhia
Ezwar menyalip diantara kendaraan lainnya dengan hati-hati serta menjaga jarak aman dari Agina agar dia tidak curiga. Sial. Apa Agina seorang pembalap profesional juga? Bagaimana bisa dia menyalip kendaraan semulus itu padahal membawa motor dengan cepat. Merepotkan, gerutu Ezwar dalam hati. Begitulah, Ezwar. Selain mengikuti Agina, dia juga tidak berhenti ngedumel dalam hati. Bertanya-tanya anak siapa sampai bisa sehebat ini. Tempat yang didatangi Agina langsung menghasilkan kenyitan di dahinya. Ezwar memarkirkan motornya tidak jauh dari sana dan berjalan mengendap-endap. Melihat rumah besar yang dimasuki Agina. “Anggara Material Art” nama itu yang tertulis di papan atas. “Anggara? Marga itu terdengar gak asing.” Mengetuk-ngetuk kepalanya dengan telunjuk, mencoba mengingat-ingat kata itu kembali namun nihil. “Bagus, Agina tidak menutup pintunya,” ucapnya, melihat Agina yang membuka pintu lebar-lebar tapi lupa menutupnya. Dengan berjinjit-jinji
Gadis kecil itu mengulurkan tangan seraya berucap, “Perkenalkan, namaku Claudya Agina. Salam kenal, kak Oli.” Tersenyum polos. Perlahan bayangan wajah itu menghilang seiring mata itu terbuka yang memperlihatkan tatapan berkaca-kaca sampai akhirnya runtuhlah air mata yang sadari tadi ditahannya. Olivia menutup matanya dengan lengan. “Benar-benar....” ....... Setelah menyelesaikan proses pembukaan pintu, barulah Agina bisa masuk dengan wajah datar melihat Agra yang senyum-senyum. “Kenapa, kau, lagi iklan pasta gigi?” Agra menopang dagu. “Aku senang kau mau jauh-jauh datang ke sini.” Hidung Agina mengembang, hal yang biasa terjadi ketika tak habis pikir dengan kelakuan seseorang. “Jadi, menurutmu perjalanan lima belas menit dari rumah Olivia Dreandara ke sini itu jauh?” “Ya, jauh. Sampai-sampai membutuhkan waktu delapan tahun bagi kau untuk menginjakkan kaki di ruanganku.” Itu sindiran, dan Agina yang mengerti hanya memutar bola mata. “Ini tidak adil. Kau bisa sesuka hati keluar-m
Manik sewarna colanya berkeliaran menatap seluruh isi restoran. Semua sudah tertata dari kursi dan meja dan beberapa hiasan dinding lainnya. Kakinya melangkah ke tempat pembuatan makanan, dapur. Melihat berbagai perlengkapan serta bahan-bahan memasak sudah diatur pada tempatnya. Agina berbalik dan memandang orang yang sadari tadi mengikutinya dan sedang menunduk hormat. “Sempurna.” Hanya satu kata, tapi cukup membuat orang tersebut mendongak dan menunjukkan raut wajah bahagia. “Kerja bagus.” Agina melewatinya, membiarkan bawahannya menikmati kesenangannya. Merogoh jas dan mengambil benda persegi panjang di sana, lalu meletakkannya di telinga. “Bagaimana?” Mendapat jawaban, Agina mengakhiri dan langsung mengalihkan panggilannya ke nomor lain. “Siapkan mobil, kita ke kediaman Dreandara sekarang.” Setelahnya memasukkan kembali ponselnya dalam jas. Menghela napas. “Lebih cepat, lebih baik-” Agina menjawil hidungnya dan tersenyum. “Tapi kata-kata itu sudah tidak pantas dikatakan sekar
Agina menguap sambil menyentuh bahu dan membuat gerakan memutar, dilanjutkan dengan sisi lainnya. “Sulit juga tanpa, Sean.” Ponselnya berdering menampilkan nama kontak '256’. Agina meletakkannya di telinga. “Ada apa?” “Oh, kalian menyelesaikan lebih cepat dari perkiraanku. Kerja bagus. Besok pagi aku ke sana untuk melihatnya.” Agina menaruh ponselnya kembali di sudut atas meja. Memutar kursi menghadap kaca yang memantulkan cahaya oranye. “Sudah sore. Lembur di sini atau kerjakan di rumah ya?” Monolognya. Di tengah kebingungannya, ketukan pintu membuat Agina memutar haluan ke tempat semula. Menekan tombol yang terhubung dengan perbatasan luar dan ruangan. Bibirnya menyungging seringaian melihat sang tamu langsung duduk di sofa yang belum disembunyikan. “Oh, sekretaris Ezwar. Kebetulan sekali.” Yang diseru menaikkan satu keningnya. “Kau juga membutuhkanku?” tanyanya pada gadis yang ikut duduk di depannya. “Iya, tapi katakan dulu keperluanmu mendatangiku.” “Begini....” Ezwa
Agina menghela napas. Kejadian beberapa jam lalu di gedung kejaksaan sangat membebaninya. Para tokoh politik terus menyudut mereka dengan perkataan negara Flowering bukanlah tempat pertarungan pribadi mereka. Memang tidak ada korban jiwa atas tragedi kemarin, tapi tetap saja kejadian itu bisa terulang dan tidak ada yang tahu masa depan di detik selanjutnya. Pemimpin Seven Devil’s sebagai Agen Keamanan Negara dipertanyakan perbuatannya. Steven dengan tangkas menjawab bahwa ini di luar praduga. Untuk penyerangan mendadak ini adalah keputusan pihak lawan dan tugas mereka hanya mencegah. Perdebatan tadi cukup memakan waktu dua jam. Saling menyudutkan dan melempar pertanyaan balik sebagai pemojokan, semua orang mengeluarkan keluhannya di sana. Hingga Jaksa memutuskan mengakhiri pengadilan dengan kedua tokoh keamanan negara yaitu kepolisian dan SSA untuk menjalankan tugas dengan semestinya. SSA juga disarankan untuk memastikan pertarungan Seven Devil’s tidak dilakukan di tempat umum yang
“Kau,” desisnya, memundurkan wajah menjauh lantaran syok. Mata Claudya menyipit. “Kakak teman kak Oli yang sering mampir ke rumah ‘kan?” tebaknya. “Iya, kau siapa Olivia?” Mendorong kening itu menjauh karena itu tidak baik untuk jantungnya. Claudya memberungut, lantas menarik kursi dan duduk. Satu tangannya menopang dagu menatap laki-laki itu. “Masa kakak gak tau? Padahal aku sering loh lihat kakak merhatiin aku pas lagi ngerjain pr sama kak Oli.” Laki-laki itu terbatuk ludahnya sendiri. “Eum ya, itu aku heran aja setiap pergi ke rumah Olivia kau ada, padahal seingatku Olivia anak tunggal. Tapi setelah tau kau adik angkatnya, aku paham.” Berdehem, kemudian barulah membalas tatapan polos gadis kecil di sampingnya. Claudya mengangguk-angguk. “Oh ya, nama kakak siapa?” “Heh, kau tidak tau namaku? Ku pikir karena aku sering memperhatikanmu, kau jadi penasaran dan bertanya pada Olivia!” pekiknya. “Nggak juga.” Menghendikkan bahu seenteng jawabannya. Berdecak kesal, meski begitu teta
“Aku pernah nonton film. Gurunya bilang pada protagonisnya ‘Tempat di mana seseorang memikirkanmu adalah tempat yang bisa kau sebut rumah’. Apa aku memiliki tempat seperti itu?” Gadis itu memiringkan kepalanya sambil tersenyum. Senyuman yang menurut anak laki-laki menyimpan sejuta luka. “Mau mencarinya?” tanya anak laki-laki tersenyum. Kedua tangan saling menggosok cepat kemudian menempelkannya pada pipi gadis itu, mencoba menyalurkan rasa hangat meski dirinya sendiri kedinginan karena kaosnya basah. Gadis itu memberikan tatapan bingung. “Mamaku bilang perempuan adalah rumah bagi laki-laki yang mencintainya, begitu pun sebaliknya. Memang benar tempat di mana seseorang memikirkan kita bisa disebut rumah, tapi kita tidak harus menunggu seseorang memikirkan kita ‘kan? Kita bisa mencarinya atau memberikan rumah ternyaman bagi orang lain dan orang itu akan memikirkan kita saat mengingat rumah, jadilah kita memiliki tempat itu juga.” Gadis itu membeku dengan mulut terbuka, namun s
“Hais... Gara-gara aku sakit, pertemuannya jadi tertunda,” keluh Agina. “Beruntung kali ini hanya pertemuan dua orang, terlebih orangnya adalah tuan Aprello.” Sean membuka pintu mobil dan mempersiapkan majikannya masuk. Lalu dirinya ikut masuk di jok depan tepatnya kursi pengemudi. Melakukan mobilnya membelah jalan raya. “Ke tempat Anggara,” ucap Agina memosisikan dirinya nyaman di kursi. “Anda harus istirahat, Nona. Saya mengantar anda pulang,” jawab Sean melirik kaca kecil di atas dan melihat Agina memejamkan mata. “Jarak dari Pratama Group ke tempat Anggara cukup jauh, waktunya akan aku gunakan untuk istirahat di mobil. Aku benar-benar harus ke sana, Sean.” “Baik, Nona.” Mobil berhenti di persimpangan jalan. Lampunya lalu lintasnya merah. Terlihat petugas polisi di tengah-tengah sambil menggerakkan tangan serta meniup peluit untuk mengarahkan kendaraan. Sean melihat ke belakang dan tersenyum memandang Agina tertidur dengan kepala pada jendela. Ia melepas sat belt dan
Pintu terbuka kasar dan orang yang membukanya segera berdiri di samping ranjang diikuti beberapa orang di belakangnya. “kalian?” kejut Agra. “Bagaimana keadaan Agina, Andrew?” tanya Steven. “Sudah agak mendingan. Panasnya tidak separah tadi.” Andrew mengelap keringat yang terus mengalir dari dahi sampai leher Agina. Semuanya menghela napas. Lidya lantas memukul kepala Steven hingga pria itu mengaduh. “Tadi aja larang-larang, sekarang siapa coba yang bergegas ke sini,” sindirnya. “Maaf, maaf.” Namun Steven tak menunjukkan raut bersalah. “Woi... Apa keberadaanku tersamarkan di sini?” ujar Agra kesal. Seluruhnya menoleh pada laki-laki yang ingin diberi atensi. Alfin bersedekap. “Woah, apa ini tuan Agra Pratama? Dari raut mukamu kelihatan kau tidak senang bertemu teman rasa pesaing ini,” balas Alfin. Memang diantara lainnya, Alfinlah yang paling sering adu mulut dengan Agra. “Diam kau Raka versi dua!” sentak Agra membuat Alfin diam dengan wajah cemberut. Agra melirik teman-teman
Sean melepas safbelt. Kemudian menjulur raganya ke belakang, berniat membangunkan majikannya. Namun kelopak mata lebih dulu menampakkan retina coklatnya, sedikit mengejutkannya. “Anda tidak tidur?” tanya Sean. Agina mendengus. “Jika aku tidur, aku tidak akan mendengar aduanmu pada kak Steven.” “Maaf, tapi...” “Aku tau.” Sean menatap Agina. “Terima kasih telah mengkhawatirkanku. Aku menghargainya.” Membuka pintu dan pergi meninggalkan Sean yang membeku. Agina menekan liontin kalungnya, lantas teriakan penuh kekhawatiran itu mengejutkan orang-orang di sekitar. “BOCAH NAKAL! BERANINYA KAU KE KANTOR SAAT SEDANG SAKIT!” Agina menepuk telinganya yang berguncang. “Kakak jangan berteriak. Meski sudah lama, sensor suara kalung ini masih bagus lho.” “Agina.” Spontan bulu kuduk Agina meremang. Nah, yang tadi itu lebih menyeramkan dari sebelumnya. Seruan penuh ancaman dari kakak perempuan tercinta. Perlahan Agina lari ke lift khusus miliknya yang letaknya tak diketahui orang bahkan Agra s