Share

Rasa Yang Hilang
Rasa Yang Hilang
Author: Girl_Rain

1. Bertemu

Author: Girl_Rain
last update Last Updated: 2021-08-23 17:48:13

Gadis itu melangkah mundur saat hampir menabrak laki-laki di depannya. Salahkan laki-laki itu yang berbalik secara tiba-tiba, membuatnya yang berjalan ke samping hampir tertubruk.

Deg!

Matanya terbelalak melihat wajah di depannya. Dadanya bergemuruh dengan jantung yang berdetak kencang. Tidak pernah terbayangkan olehnya akan bertemu setelah delapan tahun menghindar. Namun raut datar yang di tunjukkan laki-laki itu membuat kekecewaan yang mendalam terhadap hatinya.

'Dia tidak mengenaliku?' batinnya miris.

"Agina."

Gadis bernama Agina itu memandang datar orang yang menyerukan namanya. "Ezwar?"

Orang itu tampak kikuk, "Kalian bertemu?" Mengusap tekuknya yang terasa dingin akibat tatapan intimidasi yang di berikan Agina.

"Kau kenal dia?" Orang yang sadari tadi memperhatikan kini mulai membuka mulut. Tentu, pertanyaan itu di tujukan kepada sekretarisnya.

"Eum, itu..." Ezwar tampak ragu untuk menjawab. Ia melirik Agina yang tidak mempermasalahkan soalan itu.

Suara dering ponsel mengalihkan perhatian ketiganya. Agina menggeser tombol hijau dan meletakkan benda pipih itu di telinganya.

"Ada apa?"

"Maafkan saya, Nona. Saya kecolongan mengenai kepulangan tuan Agra ke Negara Flowering. Pengawal yang mengawasi tuan Agra tidak tau kalau beliau mempercepat kepulangannya." Suara gemetar dari arah sebrang sudah tampak jelas bahwa sang pemberitahu itu gugup.

Agina menghela napas. Ingin marah, namun kepada siapa? Tidak mungkinkan kepada pengawalnya yang gagal yang lalai dalam melaksanakan tugasnya. Itu bukan sifatnya.

"Baiklah, aku memaafkanmu kali ini. Tapi tidak lain kali. Dan aku ingin penggantian pengawal yang lebih se-ri-us dalam menjalankan tugasnya," ucapnya penuh penekanan. Orang yang di sebrang sana menelan ludah mendengarnya.

"Baik, Nona." Panggilan berakhir.

Agina memasukkan ponselnya ke dalam celana panjangnya. Wajahnya menengah menatap laki-laki yang lebih tinggi darinya. Ingin tersenyum namun begitu sulit rasanya walau sekedar menarik sudut bibir ke atas.

Agra Pratama. Nama itu selalu ada di setiap langkah hidupnya. Hari demi hari di lewatinya demi melindungi laki-laki yang menatap datar dirinya sekarang. Rasa sakit di deranya dari fisik maupun mental agar keamanannya tidak berkurang sedikitpun.

Seketika Agra berbalik, tidak sanggup menatap mata itu lama-lama. Ada perasaan aneh yang tidak bisa di jabarkan oleh dirinya sendiri. ‘Aku kenapa?’ Tatapan itu seolah menariknya untuk masuk dan memahami segalanya. Namun Agra lebih memilih menghindarinya. Dia berjalan memasuki perusahaan miliknya.

Agina menghela napas dengan Agra yang mengabaikannya. Ini jauh lebih sakit dari kejadian delapan tahun lalu.

“Apa yang akan kau lakukan sekarang? Menghindar lagi seolah-olah kejadian ini hanya hal biasa yang bisa terjadi pada setiap orang.” Ezwar berucap dengan nada sendu. Bagaimanapun juga dia tau apa yang terjadi di antara keduanya, meskipun tidak semua.

“Entahlah.” Agina melakukan hal yang sama dengan Agra. Memasuki perusahaan besar di hadapannya yang dirinya juga mempunyai hak 50% untuk melakukan apapun terhadapnya.

Pratama Group. Perusahaan yang di wariskan oleh Rangga Pratama yaitu ayahnya Agra kepada putranya sendiri. Perusahaan yang sangat berpengaruh bagi dunia karena menempati posisi pertama sebagai yang terbesar. Meski sempat mengalami penurunan akibat masalah yang di lakukan oleh sang pangeran, menyebabkan kerenggangan perdamaian antara negara Flowering dan negara Green Leaf. Namun semua itu berhasil di hentikan oleh beberapa orang yang sekarang keberadaannya telah di sembunyikan, demi ketenangan hidup sang pahlawan.

Agina tersenyum miring mengingatnya. Dia menekan tombol untuk mendeteksi jarinya. Pintu pun terbuka setelahnya. “Ezwar,” serunya.

“Heem, kenapa?” Ezwar menatap punggung di depannya.

“Aku sudah memutuskan untuk tidak menghindar lagi,” jawabnya.

Ezwar terkejut mendengarnya. Rasanya matanya ingin keluar dari tempat. “Agina, kau...”

“Meskipun kami tidak bisa memiliki hubungan lebih, tapi menjadi teman tidak buruk juga.” Agina berucap lirih. Kakinya melangkah masuk.

Atensi Ezwar langsung kembali saat pintu itu tertutup. Dia tersenyum, “Ku rasa hal itu tidak akan terjadi. Ikatan batin kalian lebih kuat meskipun Agra tidak mengenalimu Agina.” Setelahnya melenggang pergi menuju ruangan sang Presdir.

Agina langsung menghubungi seseorang setelah bokongnya mendarat di kursi.

“Aku dengar pengawal salah memberi informasi tentang kepulangan Agra,” ujar di seberang sana.

Agina memijit pangkal hidungnya, “Ya, tapi ada yang lebih parah. Aku bertemu Agra tadi depan perusahaan.”

“Apa!” Agina sedikit menjauhkan ponselnya. Dia juga tidak tau mengapa. Padahal dia pergi ke sini hanya untuk mengambil berkas penting saja lalu pergi, tidak berencana bertemu Agra yang akan pulang besok. Namun takdir berkata lain dan dirinya tidak bisa mengelak. Salahkan dirinya sendiri yang tidak mau merepotkan anak buahnya untuk mengurus hal seperti ini.

“Tapi dia tidak mengenaliku,” tutur Agina dengan helaan napas.

“Tentu saja. Penampilanmu jauh berbeda dari delapan tahun lalu dan pipimu bertambah bulat.”

“Kak! Ini tidak ada hubungannya dengan pipiku,” dengus Agina jengkel dengan kejahilan kakaknya.

Terdengar tawa jenaka dari sana. “Kau kecewa?” Serius.

Agina mengerti maksud pertanyaan itu, “Iya, sedikit.”

“Delapan tahun tidak bertemu, jadi wajar kalau Agra tidak mengenalimu. Kau juga banyak berubah, jangan sedih ya,” ucapnya menenangkan.

Agina tertawa pedih menanggapi, “Sudahlah kak, aku sudah terbiasa di lupakan. Kakak tidak perlu terlalu memikirkan perasaanku.”

"Kok jadi sad 'ya?"

"Kak!" dengusnya merasa di permainkan, tapi dia tersenyum. "Sudahlah kak, aku mau lanjut kerja dulu. Bye."

"Bye." Panggilan berakhir.

Agina meletakkan ponselnya di atas meja. Tangannya membuka laptop dan mulai menari-nari di sana.

~~~

"Kau habis berbincang dengan gadis tadi?" tanya Agra begitu melihat sekretarisnya masuk ruangan.

"Iya, tuan," jawab Ezwar berdiri di hadapan Agra yang duduk di kursi kebesarannya.

"Tumben kau mau melakukannya, biasanya kau menghindari makhluk yang bernama wanita. Apa dia spesial bagimu, atau kah pacarmu?"

Ezwar meringis mendapat pertanyaan seperti itu. "Dia milik orang lain." 'Dan anda-lah pemiliknya.' Menyambung dalam hati.

"Rebut saja kalau kau sangat mencintainya." Agra tidak sadar ucapannya akan menjadi boomerang baginya. Matanya hanya fokus pada berkas di tangannya.

Ezwar menyeringai. Bagus juga kalau memancing emosi tuannya. "Anda yakin menyarankan saya melakukan itu?"

"Tentu saja, kau sangat mencintainya 'bukan?"

"Ya, saya sangat mencintainya sampai-sampai ingin tertawa." Ezwar tergelak di tempat.

Agra menatap dengan kening mengkerut. Sahabatnya sepertinya harus di bawa ke priskiater. "Kenapa memangnya?" decak.

"Anda yakin?"

"Iya."

"Tidak akan menyesal nanti?"

"Tidak akan."

"Yakin?"

"Iya."

"Yang benar?"

"Iya!" Agra kesal hingga suaranya naik satu oktaf.

Ezwar nyengir, "Gak deh. Saya takut ama pawangnya."

"Emangnya seberapa bahaya pacarnya?" Agra mulai penasaran.

"Woah... sangat bahaya, bahkan ia memiliki kuasa di seluruh dunia." 

"Seorang mafia?"

"Bukan mafia, tapi Presdir di perusahaan besar."

"Seberapa besar dengan perusahaan milikku?"

"Setara."

Agra mengeryit. Ia mulai berpikir siapa orang yang setara dengannya. Tidak sadar dengan Ezwar yang sekarang sedang menahan tawanya karena telah berhasil menipu dirinya.

'Selamat menikmati acara berpikirnya.' Ezwar keluar dan masuk ke ruangan miliknya. Tawanya langsung menggelegar di sana.

Related chapters

  • Rasa Yang Hilang   2. Perihal Makanan

    Melirik arloji nya sesaat. Sebelum akhirnya menekan remote agar pintunya terbuka. Orang yang sadari tadi mengetuk, menghampirinya. “Makan siang bareng 'yuk?” ajak Safira, satu-satunya pegawai yang berhasil ‘sedikit’ akrab dengan Agina. Jari telunjuk Agina terarah. Mencoba memberi isyarat pada Safira untuk berbalik. Dan gadis itu langsung membalikkan badannya, mengerti. Di sana salah satu anak buah Agina mengenteng kantong kresek di kedua tangannya dan melangkah menuju Nona-nya. “Saya bawakan pesanan anda, Nona.” Agina mengangguk dan menyuruh meletakkannya di atas meja. Kemudian pengawal itu melenggang pergi setelah Agina mengibas tangannya. Safira mendesah kecewa. Lagi-lagi dirinya di tolak. Tapi tidak bisa menyalahkan Agina, karena dari awal memang dirinya yang ingin dekat dengan atasannya itu. “Makan sianglah bersama teman sesama pegawai.” Kalimat untuk ke-sekian kalinya. Terdengar merendahkan memang, seolah-olah pegawai tidak cocok makan si

    Last Updated : 2021-08-31
  • Rasa Yang Hilang   3. Ceo C.A

    Menekan tombol di telepon agar terhubung dengan orang yang berada di resepsionis. “Suruh nona Safira ke ruangan saya.” Kemudian memindahkan tangannya kembali pada laptop dan mengotak-atik di sana. Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya orang di suruh datang pun berada di hadapannya. “Ada yang bisa saya bantu, Nona?” ucap Safira setelah membungkuk sesaat. Agina menyerahkan beberapa berkas setebal se-inci yang langsung diambil oleh Safira. “Minta tanda tangan tuan Agra pada berkas ini. To-long,” berucap datar. Mata Safira berbinar seperti biasa, kalau Agina menyuruhnya mengantar berkas pada tuan Agra. Itu artinya dia bisa menatap langsung wajah Presdir Pratama Group. Kepalanya bahkan antusias mengangguk, “Baik, Nona.” Melenggang keluar. “Seperti biasa, kau disuruh ceo C.A untuk dimintai tanda tangan dariku,” tukas Agra terkesan sinis. Safira menjadi gugup, mendengarnya. “I-iya, Tuan.” Menyerahkan dengan tangan gemetar.

    Last Updated : 2021-09-06
  • Rasa Yang Hilang   4. Terjebak

    Bunyi notifikasi tiba-tiba terdengar. Ezwar membuka aplikasi bergambar telepon dengan warna hijau dan mengecek pesan suara yang ternyata dari tuan Agra.‘Wakilkan aku di meeting hari ini, atau minta bantuan Ceo C.A untuk memimpin meeting. Suaraku sedang tidak bagus hari ini.’ Begitulah isi klip suara yang terdengar.Ezwar mengerutkan kening. Suara tuan Agra memang terdengar serak dan berat lebih dari biasanya. “Mungkin lagi batuk,” gumamnya.Ezwar memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku. Langkahnya terhenti dengan mata langsung melotot melihat beberapa tumpukan kertas setinggi 1 meter. Ah, ia ingat sekarang. Kemarin tuan seenak jidatnya itu mengatakan akan menyerahkan beberapa berkas padanya.“Sepertinya aku tidak punya pilihan lain selain menyerahkan masalah rapat pada Agina.” Menghela napas seolah itu adalah solusi terbaik, padahal dalam hatinya bersorak gembira.Segera saja Ezwar menuju ruang Agina.

    Last Updated : 2021-09-08
  • Rasa Yang Hilang   5. Tentang Agina

    Mendengar suara tapak sepatu yang beradu dengan lantai. Agina yang setengah jalan menaiki tangga, langsung turun ke bawah.“Oh, kau rupanya,” tukasnya. Agina menghampiri dan ikut duduk di sofa. “Stok akal kehabisan lagi?”Erwin itu mendengus. Wajar sih Agina berkata begitu, dirinya pulang langsung duduk di sofa ruang tamu dan memeluk bantal dengan senyum-senyum gak jelas di wajah tampannya. Tapi gak perlu bilang stok akal kehabisan segala, itu secara tidak langsung menyindirnya sudah gila.“Kau, sudah makan?” tanya Agina dan itu malah menambah binar di raut sahabatnya.“Sudah tadi, dengan wanitaku” Agina tidak terkejut atau terlonjak mendengarnya. Hal itu biasa baginya. Memangnya siapa lagi yang bisa membuat temannya ini menjadi tidak waras. “Oh, ya. Ku dengar Agra mengajakmu menikah.Agina memijit pelipisnya, “Dia benar-benar benci pada wanita setelah kejadian itu. Dan menganggap aku wani

    Last Updated : 2021-09-09
  • Rasa Yang Hilang   6. Steven William

    Agina melepaskan helm dari kepalanya dan menggusar rambutnya sampai teruntai bergelombang di pinggangnya. Kemudian turun dari motor baru yang langsung tersedia dengan hanya mengucapkan beberapa kata. Bahkan pakaian kini yang tadinya kotor kini berganti.“Apa ini sikap yang harus diikuti oleh para bawahan, yaitu datang ke perusahaan saat sudah waktunya makan siang.”Agina memutar bola matanya jengah dan berbalik, menatap orang yang sedang menaikkan sebelah alisnya dengan senyum kemenangan yang terukir. “Sejak kapan Anda peduli dengan waktu saya, tuan Agra Pratama.”Agra menghendikkan bahunya dan tersenyum miring.Alis Agina menukik, entah dari mana firasat aneh muncul dalam dirinya. Dia bersidikap dan memandang lelaki itu curiga. “Apa Anda merencanakan sesuatu?”“Apa maksudmu?” Agra tertawa pelan menutupi kegugupannya. Sial, kenapa reaksinya seperti telah tertangkap basah. Kalau begini, rencananya tida

    Last Updated : 2021-10-12
  • Rasa Yang Hilang   7. Kelakuan

    “Kau sudah menyelidiki identitas orang yang mengirim mereka.” Agina menatap serius lelaki yang sedang mengotak-atik laptopnya. Menyandarkan tubuhnya di sofa serta mengambil bantal sofa yang langsung didekapnya. “Pengendara motor yang tadi pagi ‘kan?” Agina mengangguk. “Johan pelakunya. Dia menyewa orang untuk membunuhmu,” ucapnya seraya memasukkan cemilan ke mulutnya. Agina menghela napas. Dia ikut mengemil dengan raut serius. “Nathan. Apa sudah waktunya memberi pelajaran pada orang itu?” tanyanya pada lelaki yang memerhatikannya. Nathan menghendikkan bahunya. “Seharusnya dari dulu kau melakukannya agar si tua bangka itu sadar, tapi ya... Aku tau kau takut Johan mempergunakan jasa tubuh Olivia seperti boneka ‘kan?” Lagi-lagi gadis berumur 23 tahun itu menghela napas kasar. “Dia sudah cukup menderita selama ini. Jika aku menarik semua aset keluarga Dreandara, maka tidak akan kata cahaya lagi di hidupnya.” Agina tersenyum pedih. Maafkan ak

    Last Updated : 2021-10-15
  • Rasa Yang Hilang   8. Serangan

    “Begitu ‘ya. Baiklah, aku keluar. Di mana kau sekarang?” Agina mengangguk setelah mendapat jawaban dan mematikan ponsel. Meletakkan ponselnya di meja dan bangkit dari kursi kebesarannya. Ia menyampirkan blazer berwarna mocca di kedua pundaknya dan memasukkan ponselnya ke dalam saku blazer. Melangkahkan kakinya menuju pintu keluar ruangan. Namun belum sempat menekan sandi, pintu itu lebih dulu terbuka. “Sean,” ucapnya. “Ah, Nona. Saya ingin memberitahukan kalau orang itu mengorupsi lagi, namun kali ini dengan jumlah lebih besar yaitu sekian. Apa yang harus saya lakukan?” Menyampaikan dengan intonasi cepat. Lelaki bersurai pirang itu menghembuskan napasnya agar kembali tenang. Agina mendekap dadanya dengan lengan kiri, sedangkan siku lengan kanan bertopang serta jari telunjuk yang berada di dagu. Khas gaya berpikirnya. “Kalau begitu, aku ingin kau melakukan sesuatu untukku.” “Pasti akan saya lakukan, Nona,” tegas Sean. Agina balas tersenyum.

    Last Updated : 2021-11-07
  • Rasa Yang Hilang   9. Mencoba atau membalikkan keadaan

    “Seberapa banyak yang kau dapatkan?” tanya Agra. Ia menegapkan tubuhnya pada sofa saat sekretarisnya menyerahkan berkas padanya. “Informasinya tetap sama seperti sebelumnya,” jawab Ezwar. “Sama? Berarti sebelumnya kau sudah pernah menyelidiki tentang Agina ya.” Agra membacanya. Hembusan napas panjang menandakan ketidakpuasan dari apa yang dibacanya. “Sesedikit ini. Bahkan foto masa kecil serta nama panti asuhannya pun tidak ada.” Nama: Agina Pratama Umur: 23 tahun Pekerjaan: Ceo Makanan kesukaannya pun tidak ada, batinnya. “Pertama kali bertemu Agina, aura kepemimpinan begitu kentara menguar dari dirinya. Agina bahkan mampu mengerjakan tugas dengan sempurna. Jadi tidak ada alasan bagi saya membantah saat Ayah mengatakan dia sebagai Ceo Pratama Group,” terang Ezwar. Sedikit menunjukkan reaksi mendengar orang itu juga dibawa-bawa sekretarisnya. “Paman Ilham juga termasuk rupanya. Entah kenapa aku merasa kita berdua dikhia

    Last Updated : 2021-11-17

Latest chapter

  • Rasa Yang Hilang   25. Isi Hati Agra

    Gadis kecil itu mengulurkan tangan seraya berucap, “Perkenalkan, namaku Claudya Agina. Salam kenal, kak Oli.” Tersenyum polos. Perlahan bayangan wajah itu menghilang seiring mata itu terbuka yang memperlihatkan tatapan berkaca-kaca sampai akhirnya runtuhlah air mata yang sadari tadi ditahannya. Olivia menutup matanya dengan lengan. “Benar-benar....” ....... Setelah menyelesaikan proses pembukaan pintu, barulah Agina bisa masuk dengan wajah datar melihat Agra yang senyum-senyum. “Kenapa, kau, lagi iklan pasta gigi?” Agra menopang dagu. “Aku senang kau mau jauh-jauh datang ke sini.” Hidung Agina mengembang, hal yang biasa terjadi ketika tak habis pikir dengan kelakuan seseorang. “Jadi, menurutmu perjalanan lima belas menit dari rumah Olivia Dreandara ke sini itu jauh?” “Ya, jauh. Sampai-sampai membutuhkan waktu delapan tahun bagi kau untuk menginjakkan kaki di ruanganku.” Itu sindiran, dan Agina yang mengerti hanya memutar bola mata. “Ini tidak adil. Kau bisa sesuka hati keluar-m

  • Rasa Yang Hilang   24. Ketegasan Agina

    Manik sewarna colanya berkeliaran menatap seluruh isi restoran. Semua sudah tertata dari kursi dan meja dan beberapa hiasan dinding lainnya. Kakinya melangkah ke tempat pembuatan makanan, dapur. Melihat berbagai perlengkapan serta bahan-bahan memasak sudah diatur pada tempatnya. Agina berbalik dan memandang orang yang sadari tadi mengikutinya dan sedang menunduk hormat. “Sempurna.” Hanya satu kata, tapi cukup membuat orang tersebut mendongak dan menunjukkan raut wajah bahagia. “Kerja bagus.” Agina melewatinya, membiarkan bawahannya menikmati kesenangannya. Merogoh jas dan mengambil benda persegi panjang di sana, lalu meletakkannya di telinga. “Bagaimana?” Mendapat jawaban, Agina mengakhiri dan langsung mengalihkan panggilannya ke nomor lain. “Siapkan mobil, kita ke kediaman Dreandara sekarang.” Setelahnya memasukkan kembali ponselnya dalam jas. Menghela napas. “Lebih cepat, lebih baik-” Agina menjawil hidungnya dan tersenyum. “Tapi kata-kata itu sudah tidak pantas dikatakan sekar

  • Rasa Yang Hilang   23. Bantuan yang Dibalas

    Agina menguap sambil menyentuh bahu dan membuat gerakan memutar, dilanjutkan dengan sisi lainnya. “Sulit juga tanpa, Sean.” Ponselnya berdering menampilkan nama kontak '256’. Agina meletakkannya di telinga. “Ada apa?” “Oh, kalian menyelesaikan lebih cepat dari perkiraanku. Kerja bagus. Besok pagi aku ke sana untuk melihatnya.” Agina menaruh ponselnya kembali di sudut atas meja. Memutar kursi menghadap kaca yang memantulkan cahaya oranye. “Sudah sore. Lembur di sini atau kerjakan di rumah ya?” Monolognya. Di tengah kebingungannya, ketukan pintu membuat Agina memutar haluan ke tempat semula. Menekan tombol yang terhubung dengan perbatasan luar dan ruangan. Bibirnya menyungging seringaian melihat sang tamu langsung duduk di sofa yang belum disembunyikan. “Oh, sekretaris Ezwar. Kebetulan sekali.” Yang diseru menaikkan satu keningnya. “Kau juga membutuhkanku?” tanyanya pada gadis yang ikut duduk di depannya. “Iya, tapi katakan dulu keperluanmu mendatangiku.” “Begini....” Ezwa

  • Rasa Yang Hilang   22. Pertanyaan dan Sanggahan

    Agina menghela napas. Kejadian beberapa jam lalu di gedung kejaksaan sangat membebaninya. Para tokoh politik terus menyudut mereka dengan perkataan negara Flowering bukanlah tempat pertarungan pribadi mereka. Memang tidak ada korban jiwa atas tragedi kemarin, tapi tetap saja kejadian itu bisa terulang dan tidak ada yang tahu masa depan di detik selanjutnya. Pemimpin Seven Devil’s sebagai Agen Keamanan Negara dipertanyakan perbuatannya. Steven dengan tangkas menjawab bahwa ini di luar praduga. Untuk penyerangan mendadak ini adalah keputusan pihak lawan dan tugas mereka hanya mencegah. Perdebatan tadi cukup memakan waktu dua jam. Saling menyudutkan dan melempar pertanyaan balik sebagai pemojokan, semua orang mengeluarkan keluhannya di sana. Hingga Jaksa memutuskan mengakhiri pengadilan dengan kedua tokoh keamanan negara yaitu kepolisian dan SSA untuk menjalankan tugas dengan semestinya. SSA juga disarankan untuk memastikan pertarungan Seven Devil’s tidak dilakukan di tempat umum yang

  • Rasa Yang Hilang   21. Kejutan Istimewa

    “Kau,” desisnya, memundurkan wajah menjauh lantaran syok. Mata Claudya menyipit. “Kakak teman kak Oli yang sering mampir ke rumah ‘kan?” tebaknya. “Iya, kau siapa Olivia?” Mendorong kening itu menjauh karena itu tidak baik untuk jantungnya. Claudya memberungut, lantas menarik kursi dan duduk. Satu tangannya menopang dagu menatap laki-laki itu. “Masa kakak gak tau? Padahal aku sering loh lihat kakak merhatiin aku pas lagi ngerjain pr sama kak Oli.” Laki-laki itu terbatuk ludahnya sendiri. “Eum ya, itu aku heran aja setiap pergi ke rumah Olivia kau ada, padahal seingatku Olivia anak tunggal. Tapi setelah tau kau adik angkatnya, aku paham.” Berdehem, kemudian barulah membalas tatapan polos gadis kecil di sampingnya. Claudya mengangguk-angguk. “Oh ya, nama kakak siapa?” “Heh, kau tidak tau namaku? Ku pikir karena aku sering memperhatikanmu, kau jadi penasaran dan bertanya pada Olivia!” pekiknya. “Nggak juga.” Menghendikkan bahu seenteng jawabannya. Berdecak kesal, meski begitu teta

  • Rasa Yang Hilang   20. Pertemuan Pertama (Spesial)

    “Aku pernah nonton film. Gurunya bilang pada protagonisnya ‘Tempat di mana seseorang memikirkanmu adalah tempat yang bisa kau sebut rumah’. Apa aku memiliki tempat seperti itu?” Gadis itu memiringkan kepalanya sambil tersenyum. Senyuman yang menurut anak laki-laki menyimpan sejuta luka. “Mau mencarinya?” tanya anak laki-laki tersenyum. Kedua tangan saling menggosok cepat kemudian menempelkannya pada pipi gadis itu, mencoba menyalurkan rasa hangat meski dirinya sendiri kedinginan karena kaosnya basah. Gadis itu memberikan tatapan bingung. “Mamaku bilang perempuan adalah rumah bagi laki-laki yang mencintainya, begitu pun sebaliknya. Memang benar tempat di mana seseorang memikirkan kita bisa disebut rumah, tapi kita tidak harus menunggu seseorang memikirkan kita ‘kan? Kita bisa mencarinya atau memberikan rumah ternyaman bagi orang lain dan orang itu akan memikirkan kita saat mengingat rumah, jadilah kita memiliki tempat itu juga.” Gadis itu membeku dengan mulut terbuka, namun s

  • Rasa Yang Hilang   19. Penyerangan di Jalan

    “Hais... Gara-gara aku sakit, pertemuannya jadi tertunda,” keluh Agina. “Beruntung kali ini hanya pertemuan dua orang, terlebih orangnya adalah tuan Aprello.” Sean membuka pintu mobil dan mempersiapkan majikannya masuk. Lalu dirinya ikut masuk di jok depan tepatnya kursi pengemudi. Melakukan mobilnya membelah jalan raya. “Ke tempat Anggara,” ucap Agina memosisikan dirinya nyaman di kursi. “Anda harus istirahat, Nona. Saya mengantar anda pulang,” jawab Sean melirik kaca kecil di atas dan melihat Agina memejamkan mata. “Jarak dari Pratama Group ke tempat Anggara cukup jauh, waktunya akan aku gunakan untuk istirahat di mobil. Aku benar-benar harus ke sana, Sean.” “Baik, Nona.” Mobil berhenti di persimpangan jalan. Lampunya lalu lintasnya merah. Terlihat petugas polisi di tengah-tengah sambil menggerakkan tangan serta meniup peluit untuk mengarahkan kendaraan. Sean melihat ke belakang dan tersenyum memandang Agina tertidur dengan kepala pada jendela. Ia melepas sat belt dan

  • Rasa Yang Hilang   18. Berbagai Pertanyaan

    Pintu terbuka kasar dan orang yang membukanya segera berdiri di samping ranjang diikuti beberapa orang di belakangnya. “kalian?” kejut Agra. “Bagaimana keadaan Agina, Andrew?” tanya Steven. “Sudah agak mendingan. Panasnya tidak separah tadi.” Andrew mengelap keringat yang terus mengalir dari dahi sampai leher Agina. Semuanya menghela napas. Lidya lantas memukul kepala Steven hingga pria itu mengaduh. “Tadi aja larang-larang, sekarang siapa coba yang bergegas ke sini,” sindirnya. “Maaf, maaf.” Namun Steven tak menunjukkan raut bersalah. “Woi... Apa keberadaanku tersamarkan di sini?” ujar Agra kesal. Seluruhnya menoleh pada laki-laki yang ingin diberi atensi. Alfin bersedekap. “Woah, apa ini tuan Agra Pratama? Dari raut mukamu kelihatan kau tidak senang bertemu teman rasa pesaing ini,” balas Alfin. Memang diantara lainnya, Alfinlah yang paling sering adu mulut dengan Agra. “Diam kau Raka versi dua!” sentak Agra membuat Alfin diam dengan wajah cemberut. Agra melirik teman-teman

  • Rasa Yang Hilang   17. Demam yang Diributkan

    Sean melepas safbelt. Kemudian menjulur raganya ke belakang, berniat membangunkan majikannya. Namun kelopak mata lebih dulu menampakkan retina coklatnya, sedikit mengejutkannya. “Anda tidak tidur?” tanya Sean. Agina mendengus. “Jika aku tidur, aku tidak akan mendengar aduanmu pada kak Steven.” “Maaf, tapi...” “Aku tau.” Sean menatap Agina. “Terima kasih telah mengkhawatirkanku. Aku menghargainya.” Membuka pintu dan pergi meninggalkan Sean yang membeku. Agina menekan liontin kalungnya, lantas teriakan penuh kekhawatiran itu mengejutkan orang-orang di sekitar. “BOCAH NAKAL! BERANINYA KAU KE KANTOR SAAT SEDANG SAKIT!” Agina menepuk telinganya yang berguncang. “Kakak jangan berteriak. Meski sudah lama, sensor suara kalung ini masih bagus lho.” “Agina.” Spontan bulu kuduk Agina meremang. Nah, yang tadi itu lebih menyeramkan dari sebelumnya. Seruan penuh ancaman dari kakak perempuan tercinta. Perlahan Agina lari ke lift khusus miliknya yang letaknya tak diketahui orang bahkan Agra s

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status