Mendengar suara tapak sepatu yang beradu dengan lantai. Agina yang setengah jalan menaiki tangga, langsung turun ke bawah.
“Oh, kau rupanya,” tukasnya. Agina menghampiri dan ikut duduk di sofa. “Stok akal kehabisan lagi?”
Erwin itu mendengus. Wajar sih Agina berkata begitu, dirinya pulang langsung duduk di sofa ruang tamu dan memeluk bantal dengan senyum-senyum gak jelas di wajah tampannya. Tapi gak perlu bilang stok akal kehabisan segala, itu secara tidak langsung menyindirnya sudah gila.
“Kau, sudah makan?” tanya Agina dan itu malah menambah binar di raut sahabatnya.
“Sudah tadi, dengan wanitaku” Agina tidak terkejut atau terlonjak mendengarnya. Hal itu biasa baginya. Memangnya siapa lagi yang bisa membuat temannya ini menjadi tidak waras. “Oh, ya. Ku dengar Agra mengajakmu menikah.
Agina memijit pelipisnya, “Dia benar-benar benci pada wanita setelah kejadian itu. Dan menganggap aku wanita tamak.”
Erwin mengangguk, mengerti, “Agra, memang payah dalam urusan cinta. Kepintarannya selalu hilang jika menyangkut wanita yang dicintainya.”
Agina menunjuk benda yang dapat melihat pantulan diri, “Ngaca! Aku gak beli cermin sebesar itu buat hiasan doang,” ucapnya galak.
Erwin nyengir. Namun sedetik kemudian menatap serius Agina. “Apa maksudmu?”
Agina berdiri, “Aku tau kau tidak bodoh, Erwin. Tapi ku peringatkan padamu sekali lagi, jangan memberitahukan identitas kita pada wanitamu.” Melangkah meninggalkan laki-laki yang termenung di sofa, memikirkan ucapannya.
Matanya menatap sendu tangga yang dinaiki sahabatnya, ‘Maafkan aku, Agina. Aku tidak bisa memberitahumu kalau Tamaki sering menanyakan tentang kita, terlebih lagi dirimu.’
~~~
Helaan napas lagi-lagi keluar dari bibirnya. Ingatannya kembali menerawang, mengingat kata-kata Ceo C.A yang membuatnya stres sampai sekarang.
Namun beberapa pertanyaan yang di pertanyakannya selama ini, terjawab setelah wanita itu mengatakan kalimatnya.
‘Ternyata, Ceo C.A lah yang menyuruh pengawal membawakan ku makan siang selama ini.’ Memejamkan mata sambil meminum secangkir kopi di tangannya.
Hembusan angin malam menusuk tubuh yang bertelanjang dada itu. Agra berdiri di balkon dengan lilitan handuk di pinggangnya. Rambutnya yang masih menitikkan air sudah dapat diduga kalau dia habis menyelesaikan ritual membersihkan tubuhnya.
“Keringkan rambut Anda dulu, Tuan.”
Suara yang mengintrupsi dari belakang, membuatnya berbalik. Matanya langsung menatap tajam yang di balas datar oleh sang lawan.
“Katakan padaku. Perintah siapa yang kau turuti?”
“Perintah Anda, tuan,” berucap tenang.
Agra mengacak rambutnya frustasi, membuat rintihan air ke mana-mana. Ia jadi tidak percaya pada orang di sekitarnya hanya karena beberapa kata dari wanita itu. Bahkan orang di hadapan yang sudah menemaninya selama delapan tahun pun di pertanyakan kesetiaannya.
“Pak Wil, keluarlah. Aku sedang tidak ingin diganggu.”
“Baik, tuan.” Orang tua itu membungkuk hormat dan keluar dari kamar majikannya.
Setelah pak Wil menghilang dari pandangannya. Agra kembali mengerang. Merasa aneh pada dirinya yang bereaksi berlebihan terhadap wanita yang ditemuinya tadi siang.
Padahal mereka baru bertemu dua kali, tapi Agra uring-uringan sendiri. Seolah tidak mengenali dirinya lagi yang selalu bersikap tenang dan bijak saat menghadapi masalah.
Meraih handuk kecil di penyangkut. Agra mengusap kepalanya sambil memejamkan mata. Mungkin dengan begitu ia akan tenang.
‘’Ku mohon... jangan berdetak terlalu cepat.’
Keesokan harinya.
“Kau, terlambat bangun lagi.” Wanita dengan celemek di tubuhnya serta spatula itu, menghela napas melihat sahabat wanita yang baru turun dari tangga lengkap dengan baju model turtleneck dan celana panjangnya.
“Tidak ada panggilan pagi ini.” Agina menguap. Menghampiri meja makan dan duduk di sana.
“Selalu seperti itu, mengandalkan dering ponsel sebagai alarm.”
“Mau bagaimana lagi.” Agina menghembuskan napasnya kasar.
Diantara mereka, Agina-lah yang paling sering terlambat bangun. Bisa dibilang ia kebo. Namun setelah berjanji melindungi Agra, Agina mulai mengandalkan panggilan yang selalu ada tiap pagi sebagai alarm. Itu pun dirinya yang menyuruh orang menelponnya di pagi hari.
“Erwin, ke mana? Terus si kembar FTN gak ke sini?” tanya Agina seraya memakan roti yang sudah diberi selai olehnya.
“Erwin, udah berangkat dari tadi. Kalau Fathan dan Nathan, mereka katanya ada urusan dan tidak akan pulang hari ini.”
‘Pasti ke kebun binatang lagi.’ Agina membatin.
“Aku pergi, kak Lidya!” teriaknya.
“Hati-hati ‘ya!”
Agina mengambil motornya yang berada dalam bagasi. Motornya melaju keluar dari hutan. Melakukannya di jalan raya dengan kecepatan sedang.
Agina melirik kaca spion merasa gelagat aneh di belakangnya. Tersenyum miring di balik helmnya, melihat beberapa orang bermotor berpakaian serba hitam sedang bersembunyi di sebuah mobil.
Tangannya kanannya menepuk saku roknya. Sesuatu yang menggembung sangat terasa. “Baiklah. Mari bermain sebentar,” gumamnya seraya menambahkan kecepatan.
“Bos, sepertinya dia menyadari keberadaan kita,” ujar salah satu di antara mereka, melihat yang diincar menambah kecepatan motornya.
“Kejar dia, jangan sampai kehilangan jejak.”
“Baik.”
Senyumnya semakin lebar dengan gambar yang memantul dari kaca spion. Kelajuannya bertambah bersamaan dengan beberapa orang di belakangnya. Menyalip kendaraan membuat orang-orang marah dan mengumpati mereka.
“Cih, hanya enam orang.”
Agina membelok secara tiba-tiba di persimpangan. Membuat dua pengendara motor melaju ke depan karena tidak tau kalau incaran akan berbelok.
Ternyata Agina mengarah ke jalan yang jarang dilalui kendaraan. Itu dikarenakan jalan ini menuju daerah pegunungan.
Mengeluarkan pistol dari sakunya dan mengarahkannya ke belakang. Mengandalkan kaca spion sebagai mata kedua.
Dor!
Tepat mengenai ban motor pengendara paling depan, membuatnya hilang kendali sampai akhirnya motor beserta pengendara terseret dengan aspal.
Hendak menembak kembali, namun fokusnya hilang saat sebiji peluru melewati samping kepala kanannya.
‘Sial, mereka membawa pistol juga.’
Merasa peluru yang mengarah padanya terlalu beruntun. Agina melompat dan sempat menendang motornya ke tepi jalan sampai mengenai salah satu diantara mereka dan ikut terhempas bersama motornya. Tubuhnya berguling menghantuk pembatas jalanan.
“Aww,” ringisnya. Matanya melotot melihat cairan merah di tangannya. Tapi ini bukan waktunya istirahat, karena dua orang yang masih tersisa sekarang berbalik menuju ke arahnya.
Agina langsung berdiri dan berlari menuju salah satu pohon, bersembunyi di sana. Tidak salah membawa mereka ke jalan ini karena begitu banyak pohon.
Dua orang itu berjalan beriringan memasuki hutan. Matanya berkeliaran mencari sosok yang disuruh dibunuhnya.
Agina mengatur napasnya pelan untuk membuatnya lebih rileks. Bibirnya langsung menyeringai mendengar langkah kaki yang semakin mendekat.
Tangannya merogoh saku satunya lagi, mengambil senapan. Merasa langkah kaki di belakangnya, Agina mengitari pohon dan sekarang berada tepat di belakang keduanya.
Keduanya berbalik, mendengar suara dari arah belakang.
“Hai.” Tersenyum.
Dor!
Telat mengenai bagian letaknya ginjal kiri. Langsung ambruk dengan mata melotot.
Agina memandang puas dua orang telentang di rumput. Memasukkan kembali senapan ke dalam saku.
Tangannya menekan speaker yang terletak di telinga kirinya. “Sean, bereskan karya seniku di jalan rose blok D. Dan cari tau siapa pesuruhnya.”
Seketika wajahnya kembali datar nan dingin, “Terima kasih untuk latihan hari ini.” Setelahnya Agina pergi menggunakan salah satu motor mereka.
Agina melepaskan helm dari kepalanya dan menggusar rambutnya sampai teruntai bergelombang di pinggangnya. Kemudian turun dari motor baru yang langsung tersedia dengan hanya mengucapkan beberapa kata. Bahkan pakaian kini yang tadinya kotor kini berganti.“Apa ini sikap yang harus diikuti oleh para bawahan, yaitu datang ke perusahaan saat sudah waktunya makan siang.”Agina memutar bola matanya jengah dan berbalik, menatap orang yang sedang menaikkan sebelah alisnya dengan senyum kemenangan yang terukir. “Sejak kapan Anda peduli dengan waktu saya, tuan Agra Pratama.”Agra menghendikkan bahunya dan tersenyum miring.Alis Agina menukik, entah dari mana firasat aneh muncul dalam dirinya. Dia bersidikap dan memandang lelaki itu curiga. “Apa Anda merencanakan sesuatu?”“Apa maksudmu?” Agra tertawa pelan menutupi kegugupannya. Sial, kenapa reaksinya seperti telah tertangkap basah. Kalau begini, rencananya tida
“Kau sudah menyelidiki identitas orang yang mengirim mereka.” Agina menatap serius lelaki yang sedang mengotak-atik laptopnya. Menyandarkan tubuhnya di sofa serta mengambil bantal sofa yang langsung didekapnya. “Pengendara motor yang tadi pagi ‘kan?” Agina mengangguk. “Johan pelakunya. Dia menyewa orang untuk membunuhmu,” ucapnya seraya memasukkan cemilan ke mulutnya. Agina menghela napas. Dia ikut mengemil dengan raut serius. “Nathan. Apa sudah waktunya memberi pelajaran pada orang itu?” tanyanya pada lelaki yang memerhatikannya. Nathan menghendikkan bahunya. “Seharusnya dari dulu kau melakukannya agar si tua bangka itu sadar, tapi ya... Aku tau kau takut Johan mempergunakan jasa tubuh Olivia seperti boneka ‘kan?” Lagi-lagi gadis berumur 23 tahun itu menghela napas kasar. “Dia sudah cukup menderita selama ini. Jika aku menarik semua aset keluarga Dreandara, maka tidak akan kata cahaya lagi di hidupnya.” Agina tersenyum pedih. Maafkan ak
“Begitu ‘ya. Baiklah, aku keluar. Di mana kau sekarang?” Agina mengangguk setelah mendapat jawaban dan mematikan ponsel. Meletakkan ponselnya di meja dan bangkit dari kursi kebesarannya. Ia menyampirkan blazer berwarna mocca di kedua pundaknya dan memasukkan ponselnya ke dalam saku blazer. Melangkahkan kakinya menuju pintu keluar ruangan. Namun belum sempat menekan sandi, pintu itu lebih dulu terbuka. “Sean,” ucapnya. “Ah, Nona. Saya ingin memberitahukan kalau orang itu mengorupsi lagi, namun kali ini dengan jumlah lebih besar yaitu sekian. Apa yang harus saya lakukan?” Menyampaikan dengan intonasi cepat. Lelaki bersurai pirang itu menghembuskan napasnya agar kembali tenang. Agina mendekap dadanya dengan lengan kiri, sedangkan siku lengan kanan bertopang serta jari telunjuk yang berada di dagu. Khas gaya berpikirnya. “Kalau begitu, aku ingin kau melakukan sesuatu untukku.” “Pasti akan saya lakukan, Nona,” tegas Sean. Agina balas tersenyum.
“Seberapa banyak yang kau dapatkan?” tanya Agra. Ia menegapkan tubuhnya pada sofa saat sekretarisnya menyerahkan berkas padanya. “Informasinya tetap sama seperti sebelumnya,” jawab Ezwar. “Sama? Berarti sebelumnya kau sudah pernah menyelidiki tentang Agina ya.” Agra membacanya. Hembusan napas panjang menandakan ketidakpuasan dari apa yang dibacanya. “Sesedikit ini. Bahkan foto masa kecil serta nama panti asuhannya pun tidak ada.” Nama: Agina Pratama Umur: 23 tahun Pekerjaan: Ceo Makanan kesukaannya pun tidak ada, batinnya. “Pertama kali bertemu Agina, aura kepemimpinan begitu kentara menguar dari dirinya. Agina bahkan mampu mengerjakan tugas dengan sempurna. Jadi tidak ada alasan bagi saya membantah saat Ayah mengatakan dia sebagai Ceo Pratama Group,” terang Ezwar. Sedikit menunjukkan reaksi mendengar orang itu juga dibawa-bawa sekretarisnya. “Paman Ilham juga termasuk rupanya. Entah kenapa aku merasa kita berdua dikhia
Ezwar menyalip diantara kendaraan lainnya dengan hati-hati serta menjaga jarak aman dari Agina agar dia tidak curiga. Sial. Apa Agina seorang pembalap profesional juga? Bagaimana bisa dia menyalip kendaraan semulus itu padahal membawa motor dengan cepat. Merepotkan, gerutu Ezwar dalam hati. Begitulah, Ezwar. Selain mengikuti Agina, dia juga tidak berhenti ngedumel dalam hati. Bertanya-tanya anak siapa sampai bisa sehebat ini. Tempat yang didatangi Agina langsung menghasilkan kenyitan di dahinya. Ezwar memarkirkan motornya tidak jauh dari sana dan berjalan mengendap-endap. Melihat rumah besar yang dimasuki Agina. “Anggara Material Art” nama itu yang tertulis di papan atas. “Anggara? Marga itu terdengar gak asing.” Mengetuk-ngetuk kepalanya dengan telunjuk, mencoba mengingat-ingat kata itu kembali namun nihil. “Bagus, Agina tidak menutup pintunya,” ucapnya, melihat Agina yang membuka pintu lebar-lebar tapi lupa menutupnya. Dengan berjinjit-jinji
Suara ketukan pintu menghentikan kegiatan Agina yang sedang mengecek dokumen. Ia menekan tombol remote untuk membuka pintu. Memperlihatkan seorang pria gagap yang berjalan ke arahnya dengan sebuah kardus besar di tangannya. “Apa itu?” tanya Agina. Ia menyingkirkan beberapa berkas ke pinggiran meja, membiarkan kardus besar itu diletakkan di sana. “Kiriman dari orang yang tak diketahui, Nona,” ucapnya. Agina menelisik wajah pria itu yang disangka bawahannya. “Orang baru?” Pria itu membungkuk sedikit. “Ya, Nona. Saya baru diterima dua hari yang lalu.” Tubuhnya ia tegakkan kembali. Sontak matanya melotot melihat pistol yang ditodongkan padanya. Agina langsung menembak tepat mengenai perut. Pria itu terduduk sesaat sebelum akhirnya badannya jatuh tengkurap. Bibirnya tersenyum miring. “Maaf ya, tapi anggota Seven Devil’s punya sesuatu simbol yang tidak dimiliki anggota organisasi lain.” Memasukkan kembali pistol ke dalam saku celana lainnya.
“Kenapa membawaku ke tempat seperti ini?” tanya gadis yang sedang menumpu kaki dengan jus ungu di tangannya. “Tempat ini berbeda dengan tempat biasanya kita kunjungi yang pasti selalu mewah, di sini suasananya hangat dan penuh kegembiraan. Aku ingin merasakan itu denganmu, Tamaki,” kata Erwin dengan senyum. Gadis itu memalingkan mukanya, tanpa tahu kalau perbuatan itu malah semakin memperlihatkan kemerahan di pipinya. “T-tapi ini ‘kan tempatnya kencan pasangan remaja,” tuturnya. “Kita juga belum tua. Lagi pula dengan pakaian seperti ini, tidak akan ada yang tau kalau sebenarnya kita bukan remaja lagi.” Benar. Dengan Erwin yang memakai kaos oblong hitam ditutupi oleh Jaket kulit hijau dipadukan dengan celana jins biru serta sepatu sneakers navy-putih dan Tamaki memakai crop hoodie tosca dengan rok krim selutut juga sepatu sneakers Putih membuat mereka terlihat seperti remaja. “Pantas saja kau menyuruhku memakai pakaian seperti ini tadi,” ucap T
Air tampak oranye dikarenakan pantulan sinar matahari tepat mengarah pada tengah-tengah air, menciptakan suasana damai bagi siapa pun yang melihatnya. Agina memandang sendu danau di hadapannya. “Kita pasti ke danau ini saat sedih tidak berubah ya.” Agina tersenyum menanggapi suara dengan langkah kaki yang semakin mendekat yang kini berdiri di sampingnya. “Tempat ini penuh kenangan.” “Maaf ya,” ujar Alfin. Menoleh pada Agina yang saat ini matanya menjurus ke air. Agina menggeleng. “Aku yang harusnya minta maaf pada kalian, terutama pada Erwin. Demi keselamatan satu orang, aku sampai mengorbankan nyawa banyak orang,” ucapnya. Alfin bergumam hingga tersenyum simpul. “Soal pikiranmu itu, aku gak tau harus mengatakan apa. Karena hanya kau sendiri yang bisa menghilangkannya. Tapi ingat ‘kan ‘Satu diantara kita yang bermasalah, maka kita akan menanggungnya bersama-sama’. Dari dulu kita telah menghadapi banyak hal bersama, jadi jangan merasa b
Gadis kecil itu mengulurkan tangan seraya berucap, “Perkenalkan, namaku Claudya Agina. Salam kenal, kak Oli.” Tersenyum polos. Perlahan bayangan wajah itu menghilang seiring mata itu terbuka yang memperlihatkan tatapan berkaca-kaca sampai akhirnya runtuhlah air mata yang sadari tadi ditahannya. Olivia menutup matanya dengan lengan. “Benar-benar....” ....... Setelah menyelesaikan proses pembukaan pintu, barulah Agina bisa masuk dengan wajah datar melihat Agra yang senyum-senyum. “Kenapa, kau, lagi iklan pasta gigi?” Agra menopang dagu. “Aku senang kau mau jauh-jauh datang ke sini.” Hidung Agina mengembang, hal yang biasa terjadi ketika tak habis pikir dengan kelakuan seseorang. “Jadi, menurutmu perjalanan lima belas menit dari rumah Olivia Dreandara ke sini itu jauh?” “Ya, jauh. Sampai-sampai membutuhkan waktu delapan tahun bagi kau untuk menginjakkan kaki di ruanganku.” Itu sindiran, dan Agina yang mengerti hanya memutar bola mata. “Ini tidak adil. Kau bisa sesuka hati keluar-m
Manik sewarna colanya berkeliaran menatap seluruh isi restoran. Semua sudah tertata dari kursi dan meja dan beberapa hiasan dinding lainnya. Kakinya melangkah ke tempat pembuatan makanan, dapur. Melihat berbagai perlengkapan serta bahan-bahan memasak sudah diatur pada tempatnya. Agina berbalik dan memandang orang yang sadari tadi mengikutinya dan sedang menunduk hormat. “Sempurna.” Hanya satu kata, tapi cukup membuat orang tersebut mendongak dan menunjukkan raut wajah bahagia. “Kerja bagus.” Agina melewatinya, membiarkan bawahannya menikmati kesenangannya. Merogoh jas dan mengambil benda persegi panjang di sana, lalu meletakkannya di telinga. “Bagaimana?” Mendapat jawaban, Agina mengakhiri dan langsung mengalihkan panggilannya ke nomor lain. “Siapkan mobil, kita ke kediaman Dreandara sekarang.” Setelahnya memasukkan kembali ponselnya dalam jas. Menghela napas. “Lebih cepat, lebih baik-” Agina menjawil hidungnya dan tersenyum. “Tapi kata-kata itu sudah tidak pantas dikatakan sekar
Agina menguap sambil menyentuh bahu dan membuat gerakan memutar, dilanjutkan dengan sisi lainnya. “Sulit juga tanpa, Sean.” Ponselnya berdering menampilkan nama kontak '256’. Agina meletakkannya di telinga. “Ada apa?” “Oh, kalian menyelesaikan lebih cepat dari perkiraanku. Kerja bagus. Besok pagi aku ke sana untuk melihatnya.” Agina menaruh ponselnya kembali di sudut atas meja. Memutar kursi menghadap kaca yang memantulkan cahaya oranye. “Sudah sore. Lembur di sini atau kerjakan di rumah ya?” Monolognya. Di tengah kebingungannya, ketukan pintu membuat Agina memutar haluan ke tempat semula. Menekan tombol yang terhubung dengan perbatasan luar dan ruangan. Bibirnya menyungging seringaian melihat sang tamu langsung duduk di sofa yang belum disembunyikan. “Oh, sekretaris Ezwar. Kebetulan sekali.” Yang diseru menaikkan satu keningnya. “Kau juga membutuhkanku?” tanyanya pada gadis yang ikut duduk di depannya. “Iya, tapi katakan dulu keperluanmu mendatangiku.” “Begini....” Ezwa
Agina menghela napas. Kejadian beberapa jam lalu di gedung kejaksaan sangat membebaninya. Para tokoh politik terus menyudut mereka dengan perkataan negara Flowering bukanlah tempat pertarungan pribadi mereka. Memang tidak ada korban jiwa atas tragedi kemarin, tapi tetap saja kejadian itu bisa terulang dan tidak ada yang tahu masa depan di detik selanjutnya. Pemimpin Seven Devil’s sebagai Agen Keamanan Negara dipertanyakan perbuatannya. Steven dengan tangkas menjawab bahwa ini di luar praduga. Untuk penyerangan mendadak ini adalah keputusan pihak lawan dan tugas mereka hanya mencegah. Perdebatan tadi cukup memakan waktu dua jam. Saling menyudutkan dan melempar pertanyaan balik sebagai pemojokan, semua orang mengeluarkan keluhannya di sana. Hingga Jaksa memutuskan mengakhiri pengadilan dengan kedua tokoh keamanan negara yaitu kepolisian dan SSA untuk menjalankan tugas dengan semestinya. SSA juga disarankan untuk memastikan pertarungan Seven Devil’s tidak dilakukan di tempat umum yang
“Kau,” desisnya, memundurkan wajah menjauh lantaran syok. Mata Claudya menyipit. “Kakak teman kak Oli yang sering mampir ke rumah ‘kan?” tebaknya. “Iya, kau siapa Olivia?” Mendorong kening itu menjauh karena itu tidak baik untuk jantungnya. Claudya memberungut, lantas menarik kursi dan duduk. Satu tangannya menopang dagu menatap laki-laki itu. “Masa kakak gak tau? Padahal aku sering loh lihat kakak merhatiin aku pas lagi ngerjain pr sama kak Oli.” Laki-laki itu terbatuk ludahnya sendiri. “Eum ya, itu aku heran aja setiap pergi ke rumah Olivia kau ada, padahal seingatku Olivia anak tunggal. Tapi setelah tau kau adik angkatnya, aku paham.” Berdehem, kemudian barulah membalas tatapan polos gadis kecil di sampingnya. Claudya mengangguk-angguk. “Oh ya, nama kakak siapa?” “Heh, kau tidak tau namaku? Ku pikir karena aku sering memperhatikanmu, kau jadi penasaran dan bertanya pada Olivia!” pekiknya. “Nggak juga.” Menghendikkan bahu seenteng jawabannya. Berdecak kesal, meski begitu teta
“Aku pernah nonton film. Gurunya bilang pada protagonisnya ‘Tempat di mana seseorang memikirkanmu adalah tempat yang bisa kau sebut rumah’. Apa aku memiliki tempat seperti itu?” Gadis itu memiringkan kepalanya sambil tersenyum. Senyuman yang menurut anak laki-laki menyimpan sejuta luka. “Mau mencarinya?” tanya anak laki-laki tersenyum. Kedua tangan saling menggosok cepat kemudian menempelkannya pada pipi gadis itu, mencoba menyalurkan rasa hangat meski dirinya sendiri kedinginan karena kaosnya basah. Gadis itu memberikan tatapan bingung. “Mamaku bilang perempuan adalah rumah bagi laki-laki yang mencintainya, begitu pun sebaliknya. Memang benar tempat di mana seseorang memikirkan kita bisa disebut rumah, tapi kita tidak harus menunggu seseorang memikirkan kita ‘kan? Kita bisa mencarinya atau memberikan rumah ternyaman bagi orang lain dan orang itu akan memikirkan kita saat mengingat rumah, jadilah kita memiliki tempat itu juga.” Gadis itu membeku dengan mulut terbuka, namun s
“Hais... Gara-gara aku sakit, pertemuannya jadi tertunda,” keluh Agina. “Beruntung kali ini hanya pertemuan dua orang, terlebih orangnya adalah tuan Aprello.” Sean membuka pintu mobil dan mempersiapkan majikannya masuk. Lalu dirinya ikut masuk di jok depan tepatnya kursi pengemudi. Melakukan mobilnya membelah jalan raya. “Ke tempat Anggara,” ucap Agina memosisikan dirinya nyaman di kursi. “Anda harus istirahat, Nona. Saya mengantar anda pulang,” jawab Sean melirik kaca kecil di atas dan melihat Agina memejamkan mata. “Jarak dari Pratama Group ke tempat Anggara cukup jauh, waktunya akan aku gunakan untuk istirahat di mobil. Aku benar-benar harus ke sana, Sean.” “Baik, Nona.” Mobil berhenti di persimpangan jalan. Lampunya lalu lintasnya merah. Terlihat petugas polisi di tengah-tengah sambil menggerakkan tangan serta meniup peluit untuk mengarahkan kendaraan. Sean melihat ke belakang dan tersenyum memandang Agina tertidur dengan kepala pada jendela. Ia melepas sat belt dan
Pintu terbuka kasar dan orang yang membukanya segera berdiri di samping ranjang diikuti beberapa orang di belakangnya. “kalian?” kejut Agra. “Bagaimana keadaan Agina, Andrew?” tanya Steven. “Sudah agak mendingan. Panasnya tidak separah tadi.” Andrew mengelap keringat yang terus mengalir dari dahi sampai leher Agina. Semuanya menghela napas. Lidya lantas memukul kepala Steven hingga pria itu mengaduh. “Tadi aja larang-larang, sekarang siapa coba yang bergegas ke sini,” sindirnya. “Maaf, maaf.” Namun Steven tak menunjukkan raut bersalah. “Woi... Apa keberadaanku tersamarkan di sini?” ujar Agra kesal. Seluruhnya menoleh pada laki-laki yang ingin diberi atensi. Alfin bersedekap. “Woah, apa ini tuan Agra Pratama? Dari raut mukamu kelihatan kau tidak senang bertemu teman rasa pesaing ini,” balas Alfin. Memang diantara lainnya, Alfinlah yang paling sering adu mulut dengan Agra. “Diam kau Raka versi dua!” sentak Agra membuat Alfin diam dengan wajah cemberut. Agra melirik teman-teman
Sean melepas safbelt. Kemudian menjulur raganya ke belakang, berniat membangunkan majikannya. Namun kelopak mata lebih dulu menampakkan retina coklatnya, sedikit mengejutkannya. “Anda tidak tidur?” tanya Sean. Agina mendengus. “Jika aku tidur, aku tidak akan mendengar aduanmu pada kak Steven.” “Maaf, tapi...” “Aku tau.” Sean menatap Agina. “Terima kasih telah mengkhawatirkanku. Aku menghargainya.” Membuka pintu dan pergi meninggalkan Sean yang membeku. Agina menekan liontin kalungnya, lantas teriakan penuh kekhawatiran itu mengejutkan orang-orang di sekitar. “BOCAH NAKAL! BERANINYA KAU KE KANTOR SAAT SEDANG SAKIT!” Agina menepuk telinganya yang berguncang. “Kakak jangan berteriak. Meski sudah lama, sensor suara kalung ini masih bagus lho.” “Agina.” Spontan bulu kuduk Agina meremang. Nah, yang tadi itu lebih menyeramkan dari sebelumnya. Seruan penuh ancaman dari kakak perempuan tercinta. Perlahan Agina lari ke lift khusus miliknya yang letaknya tak diketahui orang bahkan Agra s