Nicole bergeming di tempatnya tak mengatakan sepatah kata pun, di kala mendengar apa yang dikatakan oleh Oliver. Sepasang iris mata silver Nicole masih memerah, akibat tangisnya tadi. Seperti luka yang tersiram alkohol, begitu perih dan menyakitkan.Ruang kamar megah itu sunyi, tak ada suara apa pun di sana. Hanya tatapan yang saling menatap dalam satu sama lain. Tatapan yang memiliki jutaan arti yang sulit untuk diungkapkan oleh kata. Keheningan membentang di kala pengakuan Oliver begitu lantang dan keras. Sebuah kata ‘Cinta’ yang Oliver ucap, bagaikan pedang yang menusuk jantung Nicole. Sayangnya pengakuan itu tak membuat hati Nicole berbunga-bunga, melainkan kepedihan yang tak berujung. Air mata Nicole mulai kembali menetes jatuh. Dia melangkah mundur menjauh dari Oliver. Semua kata-kata Oliver yang terucap teramat membuatnya sakit. Kepingan memori masa lalu kembali muncul dalam ingatannya.“Berhenti membual, Oliver! Aku tidak mau mendengar ucapan dusta keluar dari mulutmu. Jang
Keheningan kembali membentang di kala Oliver mengungkapkan apa yang telah terjadi. Lagi dan lagi, Nicole terdiam tanpa mengatakan sepatah kata pun. Hati Nicole bergetar tersentuh akan ucapan Oliver, namun tidak dengan pikiran Nicole yang seolah memberikan penolakan keras. Bagi Nicole, semua tetap omong kosong.Nicole mengingat jelas bagaimana Oliver menghancurkan hidupnya sembilan tahun lalu. Dulu dia hanyalah gadis bodoh yang mudah diperdaya. Tapi sekarang, Nicole tidak mau lagi diperdaya. Dia tak sebodoh dan sepolos dulu.“Kau bohong. Kau pasti berbohong!” seru Nicole dengan nada tinggi.Oliver mengumpat kasar. “Untuk apa aku berbohong, Nicole! Apa untungnya aku berbohong padamu?! Aku dan Shania menjalin hubungan baru beberapa bulan. Aku memiliki kesepakatan dengannya untuk menikah. Saat itu, dokter memberikan saran padaku untuk membuka hatiku pada wanita lain! Sedangkan aku kesulitan membuka hatiku! Aku juga tidak mau dijodohkan! Alasan aku memilih Shania, karena aku yakin dia tida
Bibir Oliver mengisap bibir Nicole atas dan bawah bergantian. Pagutan itu tercipta begitu liar dan agresif. Tampak Nicole berusaha berontak sekuat tenaga, namun sayangnya tetap saja tidak menuaikan hasil apa pun. Dengan tangan yang terikat dan tubuh yang ditindih Oliver; dia tak memiliki tenaga yang kuat untuk lepas dari jerat Oliver.“Oliver, lepaskan aku!” Nicole mulai bersuara di sela-sela, pagutan itu. Meski susah payah, tapi tetap Nicole berjuang untuk lepas.Oliver tak mengindahkan penolakan Nicole. Pria itu kian melumat bibir Nicole dengan begitu liar. Oliver menggigit bibir bawah Nicole, hingga membuatnya merintih perih dan membuka mulutnya. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan—lidah Oliver mendesak masuk membelai langit-langit mulut Nicole.“Oliver—” Napas Nicole terengah-engah di kala Oliver menciumnya dengan hebat. Tubuh Nicole lemas, akibat kelelahan terlalu banyak berontak. Nicole tak berdaya. Akhirnya, dia pun tak lagi berontak.Oliver melepaskan pagutan itu, dan membelai
Nicole menggeliat terbangun dari tidurnya. Aroma makanan menyeruak ke indra penciumannya, membuatnya langsung terbangun. Detik di mana mata Nicole terbuka—dia mengendarkan pandangan ke sekitar—dan menyadari dirinya berada di apartemen milik Oliver yang ada di Boston.Ingatan Nicole telah tergali semuanya tentang dirinya diculik oleh Oliver. Bahkan, dia terbangun di pagi hari hanya memakai kemeja milik Oliver yang berukuran besar di tubuhnya. Tak mungkin Nicole memakai kembali dress-nya yang telah robek, akibat ulah Oliver.“Nona, silakan sarapan dulu,” ucap sang pelayan sopan pada Nicole.“Aku tidak lapar. Pergilah. Jangan ganggu aku,” tukas Nicole datar meminta pelayan untuk segera pergi.“Nona, tapi Tuan Oliver meminta Anda untuk sarapan. Beliau tidak ingin Anda terlambat srapan,” ujar sang pelayan sopan, berusaha membujuk Nicole agar mau sarapan.“Pergilah. Selesaikan pekerjaanmu yang lain.” Oliver masuk, menginterupsi percakapan antara pelayan dan Nicole.“Tuan.” Pelayan itu menun
Embusan angin menerpa membuat dedaunan terjatuh. Cuaca menyejukan dan begitu indah membuat tatapan Nicole sedikit melembut di tengah-tengah rasa kesal tertahan. Ya, Nicole kini berada di Boston Charles River bersama dengan Oliver.Nicole tak mengira kalau Oliver membawanya ke Boston Charles River. Entah apa tujuan pria itu membawanya ke sungai indah yang ada di Massachusetts. Dia ingin sekali kembali ke London, namun semua itu tidak mungkin karena Oliver selalu mencegahnya.“Kenapa kau membawaku ke sini, Oliver?” tanya Nicole dengan tatapan lurus ke depan, menatap hamparan sungai luas. Sebentar lagi, matahari akan tenggelam.“Tempat ini menjadi tempat favorite-ku setiap aku pulang kuliah. Dulu, aku sempat berpikir kau akan mengambil kuliah di Harvard. Tapi ternyata, apa yang aku pikirkan salah. Kau benar-benar menjauh dariku.” Oliver mengalihkan pandangannya, menatap Nicole dengan tatapan bermakna dalam.“Harvard bukanlah pilihanku. Aku ingat kau ingin meneruskan perusahaan firma huku
“Gantilah pakaianmu, nanti kau sakit, Nicole.” Oliver membawa Nicole masuk kembali ke dalam apartemennya. Baju keduanya sudah basah kuyub, akibat terkena guyuran air hujan. Sore itu di kota Boston, hujan turun begitu deras. Bra berwarna hitam berenda yang dipakai Nicole sampai begitu terlihat di mata Oliver. Itu kenapa Oliver meminta Nicole untuk segera mengganti pakaian.Nicole masih bergeming di tempatnya, menatap Oliver dengan tatapan yang terisat penuh makna yang dalam. Mata Nicole masih memerah akibat tangis yang tak kunjung henti. Mengungkapkan luka masa lalu yang dideritanya, bukanlah hal yang mudah untuk dirinya.Luka yang sudah ditutup rapat kembali terbuka, bagaikan tersiram alkohol. Begitu perih dan menyakitkan. Nicole harus menata kembali luka ini—seolah tengah dia balut agar tak menyakitkan.“Aku mohon, biarkan aku pergi, Oliver.” Nicole meminta Oliver untuk melepaskannya. Dia ingin bebas, dengan kehidupan yang akan dia tata kembali. Bagiinya dia dan Oliver tetap tidak ak
Nicole duduk di ranjang dengan tatapan menatap Oliver yang tengah minum obat. Waktu menunjukkan pukul sebelas malam—Nicole yang baru saja selesai mandi dan mengganti pakaian, duduk di ranjang, bersiap untuk tidur.Akan tetapi, tatapan Nicole menatap Oliver yang baru saja selesai minum obat. Hatinya bergemuruh. Seperti sesuatu memberikan tamparan padanya. Dia ingin bersikap acuh dan tak peduli, namun sayangnya tidak bisa. Oliver meletakan botol obatnya ke atas nakas, dan melangkah menghampiri Nicole yang duduk di ranjang. Pria itu duduk di samping Nicole, menatap dalam wanita itu sambil menyeka anak rambutnya yang berantakan.“Kenapa kau minum obat itu lagi?” Nicole bertanya dengan sorot mata begitu lekat pada Oliver penuh tuntutan. Sorot mata yang mengisyaratkan, meminta Oliver untuk menjawab pertanyaannya.“Aku tidak ingin meluapkan kemarahanku di depanmu. Amarahku masih belum stabil. Aku tidak mau menanggung risiko. Meminum obat itu membuatku jauh lebih tenang,” jawab Oliver seraya
London, UK. Nicole menatap kosong ke luar jendela mobil, langit di kota London begitu cerah. Hatinya sedikit lega karena akhirnya dia bisa kembali ke London. Bukan tanpa alasan, Nicole tak mau sampai ada pemberitaan miring tentang dirinya dan Oliver.Nicole mulai mengalihkan pandangannya pada Oliver yang berkutat pada iPad di tangan pria itu. Nicole sempat berpikir kenapa tadi malam Oliver menolak panggilan telepon dari Shania. Mungkin, Oliver tak ingin Shania curiga. Itu yang ada di dalam pikiran Nicole.“Oliver, kau turunkan aku saja di halte. Nanti aku akan naik taksi ke hotelku,” ucap Nicole dingin, meminta Oliver menurunkannya di halte.“Jangan berpikiran konyol. Aku bukan sedang berkencan dengan seorang pelacur yang aku turunkan di pinggir jalan. Aku akan mengantarmu ke hotelmu,” jawab Oliver tegas.Nicole menghela napas dalam sambil berdecak. “Aku tidak mau terlalu sering bersama denganmu. Nanti kalau sampai ada paparazzi yang memotret kita, aku akan menjadi bahan gossip merek