Embusan angin menerpa membuat dedaunan terjatuh. Cuaca menyejukan dan begitu indah membuat tatapan Nicole sedikit melembut di tengah-tengah rasa kesal tertahan. Ya, Nicole kini berada di Boston Charles River bersama dengan Oliver.Nicole tak mengira kalau Oliver membawanya ke Boston Charles River. Entah apa tujuan pria itu membawanya ke sungai indah yang ada di Massachusetts. Dia ingin sekali kembali ke London, namun semua itu tidak mungkin karena Oliver selalu mencegahnya.“Kenapa kau membawaku ke sini, Oliver?” tanya Nicole dengan tatapan lurus ke depan, menatap hamparan sungai luas. Sebentar lagi, matahari akan tenggelam.“Tempat ini menjadi tempat favorite-ku setiap aku pulang kuliah. Dulu, aku sempat berpikir kau akan mengambil kuliah di Harvard. Tapi ternyata, apa yang aku pikirkan salah. Kau benar-benar menjauh dariku.” Oliver mengalihkan pandangannya, menatap Nicole dengan tatapan bermakna dalam.“Harvard bukanlah pilihanku. Aku ingat kau ingin meneruskan perusahaan firma huku
“Gantilah pakaianmu, nanti kau sakit, Nicole.” Oliver membawa Nicole masuk kembali ke dalam apartemennya. Baju keduanya sudah basah kuyub, akibat terkena guyuran air hujan. Sore itu di kota Boston, hujan turun begitu deras. Bra berwarna hitam berenda yang dipakai Nicole sampai begitu terlihat di mata Oliver. Itu kenapa Oliver meminta Nicole untuk segera mengganti pakaian.Nicole masih bergeming di tempatnya, menatap Oliver dengan tatapan yang terisat penuh makna yang dalam. Mata Nicole masih memerah akibat tangis yang tak kunjung henti. Mengungkapkan luka masa lalu yang dideritanya, bukanlah hal yang mudah untuk dirinya.Luka yang sudah ditutup rapat kembali terbuka, bagaikan tersiram alkohol. Begitu perih dan menyakitkan. Nicole harus menata kembali luka ini—seolah tengah dia balut agar tak menyakitkan.“Aku mohon, biarkan aku pergi, Oliver.” Nicole meminta Oliver untuk melepaskannya. Dia ingin bebas, dengan kehidupan yang akan dia tata kembali. Bagiinya dia dan Oliver tetap tidak ak
Nicole duduk di ranjang dengan tatapan menatap Oliver yang tengah minum obat. Waktu menunjukkan pukul sebelas malam—Nicole yang baru saja selesai mandi dan mengganti pakaian, duduk di ranjang, bersiap untuk tidur.Akan tetapi, tatapan Nicole menatap Oliver yang baru saja selesai minum obat. Hatinya bergemuruh. Seperti sesuatu memberikan tamparan padanya. Dia ingin bersikap acuh dan tak peduli, namun sayangnya tidak bisa. Oliver meletakan botol obatnya ke atas nakas, dan melangkah menghampiri Nicole yang duduk di ranjang. Pria itu duduk di samping Nicole, menatap dalam wanita itu sambil menyeka anak rambutnya yang berantakan.“Kenapa kau minum obat itu lagi?” Nicole bertanya dengan sorot mata begitu lekat pada Oliver penuh tuntutan. Sorot mata yang mengisyaratkan, meminta Oliver untuk menjawab pertanyaannya.“Aku tidak ingin meluapkan kemarahanku di depanmu. Amarahku masih belum stabil. Aku tidak mau menanggung risiko. Meminum obat itu membuatku jauh lebih tenang,” jawab Oliver seraya
London, UK. Nicole menatap kosong ke luar jendela mobil, langit di kota London begitu cerah. Hatinya sedikit lega karena akhirnya dia bisa kembali ke London. Bukan tanpa alasan, Nicole tak mau sampai ada pemberitaan miring tentang dirinya dan Oliver.Nicole mulai mengalihkan pandangannya pada Oliver yang berkutat pada iPad di tangan pria itu. Nicole sempat berpikir kenapa tadi malam Oliver menolak panggilan telepon dari Shania. Mungkin, Oliver tak ingin Shania curiga. Itu yang ada di dalam pikiran Nicole.“Oliver, kau turunkan aku saja di halte. Nanti aku akan naik taksi ke hotelku,” ucap Nicole dingin, meminta Oliver menurunkannya di halte.“Jangan berpikiran konyol. Aku bukan sedang berkencan dengan seorang pelacur yang aku turunkan di pinggir jalan. Aku akan mengantarmu ke hotelmu,” jawab Oliver tegas.Nicole menghela napas dalam sambil berdecak. “Aku tidak mau terlalu sering bersama denganmu. Nanti kalau sampai ada paparazzi yang memotret kita, aku akan menjadi bahan gossip merek
Ketegangan menyelimuti ruangan megah. Raut wajah serius serta tatapan penuh tuntutan terhunus pada Oliver, yang telah membuat semua orang di pesta itu terkejut akan apa yang telah diucapkan oleh pria itu. Belum ada yang bersuara. Hanya mata yang tak lepas menatap Oliver. Ya, tampak Nicole mematung terkejut mendengar ucapan Oliver. Tubuh Nicole membeku. Kakinya terasa bagaikan jelly. Bahkan tangan Nicole terasa begitu dingin digenggaman tangan Oliver. Aliran darah Nicole seakan terhenti di atas kepala wanita itu, membuat rasa pusing mulai datang. Dia sama sekali tak pernah mengira jika Oliver akan mengatakan hal seperti itu di hadapan banyak orang. Sungguh, Nicole tak tahu harus berbuat apa. Perasaan yang dirasakan Nicole begitu campur aduk.“Apa maksudmu, Oliver!” seru Sean dengan nada tinggi dan keras. Oliver menatap Nicole sekilas yang masih dengan wajah terkejut. “Aku minta maaf atas semua kekacauan yang aku buat, Paman. Sejak awal, yang Nicole cintai hanya diriku, bukan pr
Nicole menatap jalanan yang gelap dengan air mata yang tak henti berlinang. Hatinya sesak luar biasa mengingat kejadian tadi. Kejadian di mana dirinya merasa berada di ambang jurang. Sungguh, dia tak pernah mengira jika Oliver akan sampai berani melakukan tindakan itu.Tatapan ayah, ibu tirinya, sekaligus Shania, begitu menyudutkannya, hingga membuat Nicole seperti tersangka yang telah melakukan sebuah kejahatan besar. Nicole tak pernah menginginkan ini terjadi. Karena dirinya tahu akan berada di posisi yang seolah bersalah. Tak akan ada yang mau mengerti tentang posisinya.“Nona, maaf, ke mana tujuan Anda?” tanya sang sopir taksi pda Nicole, seraya lihat ke kaca spion mobil. Ya, sudah sejak tadi sang sopir taksi berkeliling kota London, namun Nicole tak kunjung memberikan tujuan pasti ke mana ingin pergi.“Green Park. Bawa aku ke Green Park,” jawab Nicole pelan dengan raut wajah yang tampak sangat muram.Sang sopir mengangguk patuh. “Baik, Nona.” Lalu, sang sopir kembali fokus melaju
Nicole duduk di sofa dengan raut wajah yang nampak sangatlah muram. Pandangan wanita itu kosong menatap lurus ke depan. Belum ada kata yang Nicole ucapkan. Semuanya seolah tertahan dalam hatinya, dan tak bisa diungkapkan.Hati Nicole merasakan sebuah rasa campur aduk yang tak bisa dihindari. Marah, emosi, rindu—dan rasa terpendam. Semuanya melebur menjadi satu, membuat perasaan Nicole tak menentu. Dia telah menghindar, menjauh dari semua kesesakan, namun tetap dirinya menyadari bahwa dirinya tak pernah bisa benar-benar lari dari kenyataan yang ada.Sejauh Nicole pergi, dia akan tetap berada di lingkaran yang sama, karena otaknya mendorongnya untuk lari menjauh, namun tidak dengan hatinya yang seakan memintanya untuk tetap tinggal tak pergi ke mana pun.Nicole bagaikan berada di ambang jurang, yang nyaris menjerumuskannya. Tidak pernah dia sangka bahwa dirinya seakan terjebak di dalam lingkaran api. Nicole tak berdaya. Semua orang akan tetap menganggap dirinya yang telah melakukan dosa
“Selena, kenapa kau mondar-mandir seperti itu? Duduklah. Kau membuatku pusing.” Samuel menegur sang istri yang sejak tadi mondar-mandir tidak jelas. Pria paruh baya itu kini tengah berada di kamar bersama dengan sang istri tercinta. Samuel tenang menikmati whisky, sedangkan sang istri malah nampak stress memikirkan masalah.“Astaga, Samuel. Apa kau sama sekali tidak memikirkan tentang masalah putra kita? Putra kita merebut Nicole dari Shawn. Shawn itu sepupunya. Kita berada di pihak salah, Samuel. Kenapa malah kau tenang seperti ini?” Selena menatap dingin sang suami. Sepulang dari acara yang kacau—dia pun kacau memikirkan masalah Shawn dan Oliver yang sama-sama mencintai Nicole. Itu membuat Selena tak bisa tenang.“Sayang, sejak awal aku sudah curiga kalau Oliver menaruh perasaan pada Nicole. Cara Oliver melihat Nicole berbeda. Tidak seperti Oliver menatap Shania.” Samuel meletakan whisky ke atas meja. “Sudahlah, kau jangan seperti kakakmu yang stress memikirkan ini. Jika Nicole menc
Beberapa bulan berlalu … Wengen, Switzerland. Tiga pengasuh dibuat pusing luar biasa oleh Olivia yang begitu aktif. Balita kecil itu terus berlari-lari sambil bermain bola kecil yang sejak tadi dia lempar-lempar. Tiga pengawal sudah siap siaga melihat setiap gerak Olivia yang sangat cepat. Entah dulu Nicole mengidam apa sampai membuat Olivia selincah ini. Baik pengasuh dan pengawal tidak bisa santai dalam menjaga balita kecil itu. Sedikit saja terabaikan, pasti Olivia sudah berulah.Tindakan Olivia memang kerap membuat Nicole sakit kepala. Apalagi waktu ketika Nicole masih hamil besar. Dia dibuat pusing luar biasa dengan tindakan putri kecilnya yang sangat aktif. Olivia sering susah diberi tahu Nicole. Balita kecil itu paling tunduk pada ayahnya. Hal tersebut yang membuat Nicole terkadang jengkel.“Olivia, pelan-pelan, Nak. Jangan berlari seperti itu,” ucap Nicole berseru dengan nada sedikit keras, tapi sayangnya tak menghentikan balita kecil yang sangat aktif itu. Nicole sampai men
Oliver berlari menelusuri koridor rumah sakit. Raut wajah pria itu tampak sangat panik dan penuh khawatir. Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, dia tak henti mengumpati kebodohannya. Harusnya hari ini dia tak pergi ke mana-mana. Jika sampai ada hal buruk yang menimpa istri dan anaknya, maka dia tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri. Saat Oliver sudah dekat dengan ruang persalinan, langkah kakinya terhenti melihat Joice mondar-mandir di depan ruangan persalinan. Raut wajah Oliver berubah, menatap lekat dan tegas sepupunya itu.“Joice?” tegur Oliver.Joice yang sejak tadi mondar-mandir tak jelas, terkejut melihat Oliver ada di hadapannya. “Oliver? Astaga, akhirnya kau muncul,” serunya bahagia melihat Oliver sudah datang. Sejak tadi dia sudah panik karena Oliver tak kunjung datang.“Di mana Nicole?” tanya Oliver cepat.Joice menyentuh lengan Oliver sambil berkata cemas, “Nicole ada di dalam. Segera kau masuk. Dari tadi dia terus menjerit kesakitan.” Oliver mengangguk, dan
*Nicole, aku pergi sebentar ingin bertemu ayahku. Ada kasus rumit yang sedang aku tangani dan aku membutuhkan pendapat ayahku. Aku tidak akan lama. Aku akan segera pulang. Kau jangan ke mana-mana. Your husband—Oliver.* Nicole mengembuskan napas panjang membaca note dari suaminya itu. Raut wajahnya nampak kesal. Pagi ini, Nicole bangun terlambat sedangkan Oliver bangun lebih awal. Dia yakin Oliver tak membangunkannya, karena tidak mau mengganggunya. Sungguh, itu sangat menyebalkan. Nicole mengikat rambut asal, dan meminum susu hangat yang baru saja diantarkan. Hari ini, Nicole terbebas dari menjaga Olivia, karena putri kecilnya itu sedang diculik keluarganya. Well, Olivia memang kerap menjadi rebutan. Wajar saja, karena Olivia adalah cucu pertama di keluarga Nicole dan juga cucu pertama di keluarga Oliver. Hal tersebut yang menjadikan Olivia kerap sekali diculik sana sini.“Lebih baik aku mandi,” gumam Nicole yang memutuskan ingin mandi. Meskipun kesal masih ada, tapi dia tidak mau k
“Nicole, pakailah gaun ini.” Oliver menunjuk sebuah kotak yang berisikan sebuah gaun indah yang ada di hadapannya. Pria itu sengaja menyiapkan gaun cantik untuk sang istri tercinta.Nicole mengalihkan pandangannya, menatap gaun yang ditunjuk Oliver. “Sayang, kau ingin mengajakku ke mana sampai aku harus memakai gaun seindah itu?” tanyanya lembut. Jika hanya pergi ke tempat-tempat terdekat saja, mana mungkin Oliver memintanya memakai gaun secantik yang ada di hadapannya itu.Oliver mendekat dan memberikan kecupan di kening sang istri. “Aku akan mengajakmu dan Olivia makan malam di luar. Gantilah segera pakaianmu.” “Kau akan mengajakku dan Olivia makan malam di luar?” ulang Nicole begitu antusias bahagia.“Ya, kita akan makan malam di luar. Bersiaplah.” Oliver membelai lembut pipi Nicole.Nicole tersenyum bahagia. Detik selanjutnya, Nicole menggenggam tangan Olivia—mengajak putrinya untuk mengganti pakaian. Gaun yang dibelikan Oliver sangatlah cantik. Bahkan gaun Nicole itu kembaran d
Oliver meminta Nicole untuk tak lagi mengingat tentang masalah Joice dan Marcel. Pria itu tak ingin istrinya sampai terlalu kepikiran dan berdampak pada tumbuh kembang anak mereka. Usia kandungan Nicole sudah besar. Sebentar lagi anak kedua mereka akan lahir ke dunia. Yang Oliver inginkan adalah Nicole hanya fokus pada anak-anak mereka saja. Pun berita tentang Marcel sudah Oliver bungkam. Media dilarang lagi untuk memberitakan tentang salah satu anggota keluarganya.Pagi menyapa Nicole sudah bersiap-siap. Hari ini dia dan Oliver akan periksa kandungan. Wanita itu tampil sangat cantik dengan balutan dress khusus ibu hamil berwarna navy. Rambut panjang Nicole tergerai sempurna. Riasan tipis membuatnya semakin cantik. Meski hanya memakai lip balm tapi bibir penuh Nicole tampak sangat seksi.Nicole dianugerahi paras yang luar biasa cantik. Dia tak perlu memakai riasan tebal, karena wanita itu sudah sangat cantik. Hamil membuatnya bahkan bertambah cantik meskipun bentuk tubuhnya sudah mela
Nicole merasakan kebebasan di kala Selena dan Samuel menculik Olivia. Well, Olivia menjadi cucu pertama di keluarga Maxton—membuat Olivia benar-benar seperti anak emas. Selena dan Samuel kerap sekali membawa Olivia ke rumah mereka untuk menginap. Mengingat tiga adik kandung Oliver yang lain berada di luar negeri—membuat kehadiran Olivia menjadi warna yang baru di keluarga Maxton.“Ah, perutku kenyang sekali.” Nicole mengusap-usap perut buncitnya di kala baru saja selesai menikmati tiramisu cake yang diantarkan oleh sang pelayan.Waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi. Tak banyak aktivitas Nicole selain bersantai. Pekerjaannya sudah ditangani oleh asistennya. Sejak di mana dia hamil lagi, Oliver meminta Nicole menyerahkan pekerjaannya pada sang asisten.Jarak kehamilan pertama dan kehamilan kedua tidak jauh. Bisa dikatakan kehamilan kedua ini memang tak Nicole sangka. Nicole pikir dia tidak akan langsung hamil, karena baru saja melahirkan. Jadi setiap berhubungan badan dengan sang suami—
Satu tahun berlalu … “Olivia, jangan naik-naik ke atas meja, Nak.”Nicole mendesah panjang dengan raut wajah yang begitu kelelahan. Olivia—putri pertamanya yang baru bisa berjalan itu amat sangat aktif. Baru saja Oliva berusia satu tahun—dan harapan Nicole adalah Olivia menjadi anak yang tenang dan lembut seperti anak-anak perempuan lain.Sayangnya harapan Nicole tinggal harapan. Semakin hari Olivia semakin aktif. Dua pengasuh saja harus menjaga Olivia dengan baik. Pasalnya, jika tak diawasi, Olivia selalu saja berusaha memanjat posisi tempat yang tinggi. Hal itu yang membuat Nicole khawatir luar biasa. Ucapan Nicole tak didengar oleh Olivia. Balita kecil itu terus memanjat meja. Dengan penuh waspada, dua pengasuh sudah siaga merentangkan tangan—berjaga jika sampai Olivia terjatuh, maka dua pengasuh itu berhasil menangkap tubuh Olivia.Nicole memijat keningnya di kala rasa pusing menyerangnya. Menjaga Olivia harus extra hati-hati. Beberapa minggu lalu saja, Olivia hampir tercebur ke
Oliver mondar-mandir panik di dalam ruang bersalin. Suara jeritan menggema membuat Oliver tidak bisa tenang. Dua jam lalu, dokter mengatakan masih belum waktunya, karena kepala bayi belum terlihat. Teriakan sakit Nicole disebabkan oleh kontraksi. Masih butuh beberapa waktu sampai waktunya siap untuk Nicole melahirkan.Oliver nyaris gila akibat kepanikan dan ketakutannya. Berkali-kali dia meminta dokter untuk memberikan obat agar istrinya tidak kesakitan, tapi sang dokter mengatakan bahwa kontraksi adalah hal normal dirasakan ibu hamil.Otak Oliver seakan blank tidak mampu berpikir jernih. Pria itu tidak tahu harus melakukan apa selain mondar-mandir tidak jelas. Setiap kali sang istri menjerit kesakitan, membuat seluruh tubuh Oliver seakan mati rasa.Dulu, di kala ibunya melahirkan adiknya, dia tidak ikut di dalam ruang bersalin. Hal itu menyebabkan Oliver tak tahu perjuangan seorang wanita hamil. Yang Oliver lihat sekarang—sang istri seperti berada di ambang kematian.“Ahg!” jerit Nic
“Iya, Mom. Aku sudah meminta pelayan menyiapkan makan malam untuk kita. Kau tidak usah membawa makanan apa pun. Makanan yang sudah disiapkan sangat banyak.”“Hm, tadinya Mommy ingin membuat cake.” “Tidak usah, Mom. Dessert juga sudah disiapkan. Kau tidak usah repot-repot. Kau dan Dad cukup datang saja. Semua menu makanan sudah disiapkan.”“Baiklah, Sayang. Sampai nanti malam.” “Iya, Mom. Sampai nanti malam.”Panggilan tertutup. Nicole meletakan ponselnya ke tempat semula. Tampak senyuman di wajah wanita itu terlukis begitu hangat. Hari ini adalah hari di mana Nicole akan makan malam bersama dengan keluarganya. Pun tentu ibu tiri dan saudara tirinya juga akan datang.Nicole sekarang sudah tidak lagi memanggil Esther dengan sebutan ‘Bibi’. Sekarang, dia sudah memanggil Esther dengan sebutan ‘Mommy’. Jika dulu, Nicole tidak pernah dekat dengan ibu tirinya, kali ini dia sangat dekat dengan ibu tirinya yang baru.Sosok Esther bukanlah sosok ibu tiri yang kejam. Malah yang ada Esther sela