Nicole duduk di ranjang dengan tatapan menatap Oliver yang tengah minum obat. Waktu menunjukkan pukul sebelas malam—Nicole yang baru saja selesai mandi dan mengganti pakaian, duduk di ranjang, bersiap untuk tidur.Akan tetapi, tatapan Nicole menatap Oliver yang baru saja selesai minum obat. Hatinya bergemuruh. Seperti sesuatu memberikan tamparan padanya. Dia ingin bersikap acuh dan tak peduli, namun sayangnya tidak bisa. Oliver meletakan botol obatnya ke atas nakas, dan melangkah menghampiri Nicole yang duduk di ranjang. Pria itu duduk di samping Nicole, menatap dalam wanita itu sambil menyeka anak rambutnya yang berantakan.“Kenapa kau minum obat itu lagi?” Nicole bertanya dengan sorot mata begitu lekat pada Oliver penuh tuntutan. Sorot mata yang mengisyaratkan, meminta Oliver untuk menjawab pertanyaannya.“Aku tidak ingin meluapkan kemarahanku di depanmu. Amarahku masih belum stabil. Aku tidak mau menanggung risiko. Meminum obat itu membuatku jauh lebih tenang,” jawab Oliver seraya
London, UK. Nicole menatap kosong ke luar jendela mobil, langit di kota London begitu cerah. Hatinya sedikit lega karena akhirnya dia bisa kembali ke London. Bukan tanpa alasan, Nicole tak mau sampai ada pemberitaan miring tentang dirinya dan Oliver.Nicole mulai mengalihkan pandangannya pada Oliver yang berkutat pada iPad di tangan pria itu. Nicole sempat berpikir kenapa tadi malam Oliver menolak panggilan telepon dari Shania. Mungkin, Oliver tak ingin Shania curiga. Itu yang ada di dalam pikiran Nicole.“Oliver, kau turunkan aku saja di halte. Nanti aku akan naik taksi ke hotelku,” ucap Nicole dingin, meminta Oliver menurunkannya di halte.“Jangan berpikiran konyol. Aku bukan sedang berkencan dengan seorang pelacur yang aku turunkan di pinggir jalan. Aku akan mengantarmu ke hotelmu,” jawab Oliver tegas.Nicole menghela napas dalam sambil berdecak. “Aku tidak mau terlalu sering bersama denganmu. Nanti kalau sampai ada paparazzi yang memotret kita, aku akan menjadi bahan gossip merek
Ketegangan menyelimuti ruangan megah. Raut wajah serius serta tatapan penuh tuntutan terhunus pada Oliver, yang telah membuat semua orang di pesta itu terkejut akan apa yang telah diucapkan oleh pria itu. Belum ada yang bersuara. Hanya mata yang tak lepas menatap Oliver. Ya, tampak Nicole mematung terkejut mendengar ucapan Oliver. Tubuh Nicole membeku. Kakinya terasa bagaikan jelly. Bahkan tangan Nicole terasa begitu dingin digenggaman tangan Oliver. Aliran darah Nicole seakan terhenti di atas kepala wanita itu, membuat rasa pusing mulai datang. Dia sama sekali tak pernah mengira jika Oliver akan mengatakan hal seperti itu di hadapan banyak orang. Sungguh, Nicole tak tahu harus berbuat apa. Perasaan yang dirasakan Nicole begitu campur aduk.“Apa maksudmu, Oliver!” seru Sean dengan nada tinggi dan keras. Oliver menatap Nicole sekilas yang masih dengan wajah terkejut. “Aku minta maaf atas semua kekacauan yang aku buat, Paman. Sejak awal, yang Nicole cintai hanya diriku, bukan pr
Nicole menatap jalanan yang gelap dengan air mata yang tak henti berlinang. Hatinya sesak luar biasa mengingat kejadian tadi. Kejadian di mana dirinya merasa berada di ambang jurang. Sungguh, dia tak pernah mengira jika Oliver akan sampai berani melakukan tindakan itu.Tatapan ayah, ibu tirinya, sekaligus Shania, begitu menyudutkannya, hingga membuat Nicole seperti tersangka yang telah melakukan sebuah kejahatan besar. Nicole tak pernah menginginkan ini terjadi. Karena dirinya tahu akan berada di posisi yang seolah bersalah. Tak akan ada yang mau mengerti tentang posisinya.“Nona, maaf, ke mana tujuan Anda?” tanya sang sopir taksi pda Nicole, seraya lihat ke kaca spion mobil. Ya, sudah sejak tadi sang sopir taksi berkeliling kota London, namun Nicole tak kunjung memberikan tujuan pasti ke mana ingin pergi.“Green Park. Bawa aku ke Green Park,” jawab Nicole pelan dengan raut wajah yang tampak sangat muram.Sang sopir mengangguk patuh. “Baik, Nona.” Lalu, sang sopir kembali fokus melaju
Nicole duduk di sofa dengan raut wajah yang nampak sangatlah muram. Pandangan wanita itu kosong menatap lurus ke depan. Belum ada kata yang Nicole ucapkan. Semuanya seolah tertahan dalam hatinya, dan tak bisa diungkapkan.Hati Nicole merasakan sebuah rasa campur aduk yang tak bisa dihindari. Marah, emosi, rindu—dan rasa terpendam. Semuanya melebur menjadi satu, membuat perasaan Nicole tak menentu. Dia telah menghindar, menjauh dari semua kesesakan, namun tetap dirinya menyadari bahwa dirinya tak pernah bisa benar-benar lari dari kenyataan yang ada.Sejauh Nicole pergi, dia akan tetap berada di lingkaran yang sama, karena otaknya mendorongnya untuk lari menjauh, namun tidak dengan hatinya yang seakan memintanya untuk tetap tinggal tak pergi ke mana pun.Nicole bagaikan berada di ambang jurang, yang nyaris menjerumuskannya. Tidak pernah dia sangka bahwa dirinya seakan terjebak di dalam lingkaran api. Nicole tak berdaya. Semua orang akan tetap menganggap dirinya yang telah melakukan dosa
“Selena, kenapa kau mondar-mandir seperti itu? Duduklah. Kau membuatku pusing.” Samuel menegur sang istri yang sejak tadi mondar-mandir tidak jelas. Pria paruh baya itu kini tengah berada di kamar bersama dengan sang istri tercinta. Samuel tenang menikmati whisky, sedangkan sang istri malah nampak stress memikirkan masalah.“Astaga, Samuel. Apa kau sama sekali tidak memikirkan tentang masalah putra kita? Putra kita merebut Nicole dari Shawn. Shawn itu sepupunya. Kita berada di pihak salah, Samuel. Kenapa malah kau tenang seperti ini?” Selena menatap dingin sang suami. Sepulang dari acara yang kacau—dia pun kacau memikirkan masalah Shawn dan Oliver yang sama-sama mencintai Nicole. Itu membuat Selena tak bisa tenang.“Sayang, sejak awal aku sudah curiga kalau Oliver menaruh perasaan pada Nicole. Cara Oliver melihat Nicole berbeda. Tidak seperti Oliver menatap Shania.” Samuel meletakan whisky ke atas meja. “Sudahlah, kau jangan seperti kakakmu yang stress memikirkan ini. Jika Nicole menc
Erica membelai pipi Shania lembut, berusaha menenangkan putrinya itu. Tampak raut wajah Shania membendung kesedihan mendalam. Mata Shania sembab akibat tangis yang tak kunjung reda. Semalaman Shania menangisi hidupnya. Dia tak pernah mengira Nicole merebut Oliver darinya.“Sayang, ayo makan dulu. Kau belum makan, Nak.” Erica membujuk Shania untuk makan. Sejak tadi, Erica telah berusaha membujuk putrinya, tapi hasilnya nihil. Putrinya tidak bisa sama sekali dibujuk.“Mom, aku ingin Oliver kembali padaku. Oliver hanya milikku, Mom. Hanya milikku.” Shania memeluk Erica, meneteskan air matanya untuk kesekian kali.“Sayang, tenangkan dirimu. Oliver pasti akan kembali padamu.” Erica mengusap-usap punggung Shania, dan mengecup pipi putrinya itu.Shania menggelengkan kepalanya lemah. “Kenapa Nicole jahat padaku, Mom? Kenapa? Selama ini meski hubunganku tidak baik dengannya, tapi aku tidak pernah merebut apa yang menjadi miliknya.” “Shania, Mommy mohon, jangan terus menerus larut dalam masal
*Nona Nicole, ayah Anda kemarin memanggil saya untuk menanyakan tentang hubungan Anda dengan Tuan Oliver. Saya hanya menjawab jujur bahwa saya tidak tahu apa pun, tapi saya bilang pada ayah Anda bahwa Anda bukanlah wanita yang suka merebut milik orang lain. Nona di mana pun Anda berada; saya percaya Anda berada di pihak yang benar.* Nicole terdiam melihat pesan masuk dari Sadie. Sebenarnya, dia tak ingin menghidupkan ponselnya, tapi kebetulan dirinya ingin melihat email masuk. Dan sekarang Nicole pun kembali muram. Dia sama sekali tak mengira ayahnya sampai menginterogasi Sadie.Selama ini, Nicole memang sangat tertutup. Sekalipun Sadie sudah lama menjadi asistennya, tapi dia tak pernah menceritakan tentang Oliver pada asistennya itu. Nicole menutup rapat masa lalunya yang menyakitkan. Memang sedikit hal tentang kehidupan Nicole telah diketahui Sadie seperti perselingkuhan ayahnya, serta tentang dirinya yang pernah menjadi korban penculikan. Namun tentang Oliver sama sekali tak diket