Shania duduk di kursi taman belakang, menatap langit malam. Raut wajahnya begitu muram dan membendung kesedihan mendalam. Sudah berkali-kali, dia menghubungi nomor Oliver, namun sayangnya tak ada jawaban sama sekali dari sang kekasih. Entah ada apa dengan Oliver yang mulai berubah. Benak Shania mengingat ucapan Oliver yang meminta menunda pernikahan. Sampai kapan pun, dia tidak akan pernah mau menunda impiannya. Menikah dengan Oliver adalah mimpinya. Oliver adalah sosok pria sempurna bagi Shania.“Shania? Kenapa kau di sini?” Mayir melangkah mendekat pada Shania yang duduk di kursi taman belakang. Seketika kening Mayir mengerut dalam, melihat putrinya nampak sangat sedih.“Dad?” Shania tersenyum melihat sang ayah kini duduk di sampingnya.“Kau kenapa, Sayang? Wajahmu muram sekali.” Mayir membelai pipi Shania lembut, menatap putrinya penuh khawatir. Tidak biasanya, putrinya itu bersedih.Shania menghela napas dalam. “Aku menghubungi Oliver, tapi dia tidak menjawab teleponku, Dad.”Ma
Suasana di lobby hotel mencekam seakan detik-detik menuju perang. Dua pria tampan saling melemparkan tatapan tajam satu sama lain. Seharusnya, tatapan itu adalah tatapan hangat. Mengingat keduanya adalah saudara. Namun, sayangnya alih-alih tatapan hangat malah yang ada tatapan tajam yang tersirat penuh amarah di sana.Oliver dan Shawn masih bergeming di tempat mereka. Pertanyaan Shawn terakhir belum dijawab oleh Oliver. Hanya tatapan tajam yang sedari tadi kedua pria tampan itu layangkan. Mereka seakan menunjukan rasa tak suka di pertemuan kali ini.“Aku mengantar Nicole pulang. Dia menginap bersama denganku,” jawab Oliver yang seolah sengaja memanas-manasi Shawn. Nada bicaranya tenang, dingin, dan penuh wibawa. Oliver mengatakan itu seakan apa yang dikatakannya, bukanlah kesalahan. “Kau—” Shawn maju, dan langsung mencengkram kuat kerah baju Oliver. Kilat mata Shawn kian menajam di kala mendengar jawaban dari Oliver. Aura kemarahan begitu terlihat jelas di wajah Shawn. Layaknya bara
Samuel duduk di kursi kebesarannya seraya menatap laporan yang baru saja diantar oleh sang asisten. Sorot mata Samuel menatap penuh ketelitian dan ketegasan. Yang ada di hadapan pria itu adalah laporan kasus-kasus yang ditangani oleh Oliver. Meski sekarang Oliver telah memegang kendali utama firma hukumnya, tetap saja Samuel memeriksa apa saja yang diurus oleh putra sulungnya itu. Bukan tak percaya, tapi Samuel tak mau putranya mendapatkan masalah. Berkecimpung dalam hukum, membutuhkan ketelitian yang sangat tinggi.Suara dering interkom terdengar. Samuel mengalihkan pandangannya ke arah telepon, dan menekan tombol hijau untuk menjawab panggilan telepon tersebut. “Ada apa?” tanyanya dingin kala panggilan terhubung.“Maaf mengganggu, Tuan. Saya hanya ingin memberi tahu, di depan ada Tuan Mayir Tristan ingin bertemu dengan Anda,” ujar sang sekretaris dari seberang sana. Kening Samuel mengerut dalam. “Mayir Tristan?” ulangnya memastikan.“Benar, Tuan. Tuan Mayir Tristan ingin bertemu d
PranggggMayir membanting pajangan yang ada di atas mejanya, ke lantai. Pecahan beling memenuhi lantai marmer ruang kerjanya. Tampak raut wajah Mayir menunjukkan kemarahan yang nyaris meledak dalam dirinya.Napas Mayir memburu. Tangannya mengepal begitu kuat. Ingatan Mayir tergali akan apa yang dikatakan oleh Samuel. Pria paruh baya itu tak terima putrinya dihina dengan kata-kata kejam. Tujuan Mayir bertemu dengan Samuel, untuk membahas rencana pernikahan Shania dan Oliver, tapi malah dirinya disudutkan oleh Samuel.“Sialan!” seru Mayir dengan penuh amarah. “Ya, Tuhan, Sayang. Kenapa ini?” Erica menatap ruang kerja sang suami, begitu kacau balau. Dia segera mendekat pada sang suami, menatap wajah sang suami tercinta yang dilingkupi amarah. “Ada apa, Sayang?” tanyanya pada suaminya itu.Mayir memejamkan mata singkat. “Aku bertengkar dengan Samuel Maxton.”“Apa? Kau bertengkar dengan Samuel? Kenapa?” Mata Erica melebar terkejut, mendengar apa yang dikatakan oleh sang suami.Mayir menge
Nicole mengusap wajahnya kasar seraya mengumpati kebodohannya. Beberapa kali, dia memejamkan mata singkat di kala kepalanya merasa pusing luar biasa. Pusing akibat ulahnya sendiri. Sungguh, Nicole benar-benar tak mengira akan tindakan yang dilakukan.Satu jam lalu, Mayir baru saja pulang dari kamar hotel Nicole. Selama Mayir ada, Nicole stress luar biasa. Bagaimana tidak? Nicole terus dicerca pertanyaan tentang Shawn. Entah sudah berapa ribu kata yang dia ucap dalam dusta. Wanita itu tak memiliki pilihan lain. Dia terdesak, sampai harus berbohong. Kala itu, benak Nicole hanya muncul satu nama—yaitu nama Shawn. Nicole tidak tahu siapa lagi pria yang harus dia sebut sebagai kekasihnya. Memang, selama ini wanita itu enggan dekat dengan pria manapun.Nicole hanya fokus pada pekerjaannya, tanpa sama sekali menghiraukan tentang percintaan. Karena bagi Nicole, tidak ada cinta yang abadi. Ayahnya telah memberikan contoh padanya, di mana bahwa cinta akan pudar seiring berjalannya waktu. Seper
“Shawn, terima kasih sudah mengajakku jalan-jalan dan makan bersama.” Nicole berucap seraya melukiskan senyumannya, pada Shawn yang mengantarnya pulang. Hari ini, Nicole memang menghabiskan waktu berjalan-jalan dengan Shawn. Mereka begitu menikmati waktu bersama mereka sampai pulang di sore hari.Shawn tersenyum tipis. “Tidak usah berterima kasih. Bukankah, kau sekarang kekasihku?” jawabnya sedikit menggoda.Nicole mengulum senyuman malu di kala Shawn menggodanya. “Ya sudah, hati-hati di jalan, Shawn. Kabari aku kalau kau sudah di rumah.”Shawn membelai pipi Nicole lembut. “Aku pulang dulu. Kau jaga dirimu baik-baik. Hubungi aku jika kau membutuhkan apa pun. Aku akan berusaha membantumu.”Nicole menganggukkan kepalanya. “Terima kasih, Shawn.”Shawn masuk ke dalam mobil, dan mulai melajukan meninggalkan lobby hotel. Nicole melambaikan tangannuya di kala mobil Shawn pergi. Lantas, ketika mobil Shawn sudah tak lagi terlihat—Nicole memutuskan untuk segera masuk ke dalam lobby hotel, menuj
Nicole diam seribu bahasa. Tak ada kata lagi yang mampu Nicole ucap. Semua benaknya penuh terbayang akan kata-kata yang Oliver ucapkan padanya. Seperti alkohol yang tersiram di luka yang terbuka—Nicole merasakan perih luar biasa. Nicole terduduk di tepi ranjang. Baru saja, pria itu pergi. Akan tetapi, meski pria itu pergi tetap saja hati Nicole masih terasa perih. Dia sama sekali tidak takut pada ancaman Oliver. Sekalipun, Oliver ingin mempermalukannya seperti dulu—Nicole sama sekali tidak peduli.Namun, di sini yang terus menjadi pikiran Nicole adalah ucapan Oliver yang mengatakan dirinya, adalah milik pria itu. Sungguh, Nicole tak mengerti dengan cara jalan berpikir Oliver. Pria itu sebentar lagi akan menikah dengan Shania, tapi malah masih saja mengganggunya. Nicole mengembuskan napas panjang, dan memilih untuk membaringkan tubuh di ranjang. Wanita itu berusaha keras untuk melupakan semua perkataan Oliver, namun sayang sama sekali tidak mudah. Semua perkataan Oliver seakan tert
“Sayang.” Erica melangkah menghampiri Mayir yang tengah duduk di sofa kamar mereka. Dia membawakan secangkir kopi susu yang masih panas untuk sang suami. Sebelum masuk ke kamar, Erica memang menuju dapur membuatkan kopi susu hangat untuk sang suami.“Minumlah. Aku sudah membuatkan kopi susu hangat untukmu.” Erica duduk di samping Mayir, sambil memberikan cangkir yang berisikan kopi hangat pada Mayir. Pun Mayir menerima kopi susu itu, menyesap perlahan.“Sayang, kau belum cerita padaku tentang pertemuanmu dengan Nicole. Kau jadi kan menjodohkan Nicole dengan anak dari teman dekatmu?” ujar Erica tak sabar. Dia sudah menunggu-nunggu tentang kabar perjodohan Nicole.Mayir meletakan cangkir kopi ke atas meja. “Aku tidak perlu repot menjodohkan putriku dengan anak temanku. Putriku sudah memiliki kekasih yang hebat. Bahkan perusahaan milikku tidak sebanding dengan perusahaan milik kekasihnya.”Seketika raut wajah Erica terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Mayir. Mata Erica menatap leka
Beberapa bulan berlalu … Wengen, Switzerland. Tiga pengasuh dibuat pusing luar biasa oleh Olivia yang begitu aktif. Balita kecil itu terus berlari-lari sambil bermain bola kecil yang sejak tadi dia lempar-lempar. Tiga pengawal sudah siap siaga melihat setiap gerak Olivia yang sangat cepat. Entah dulu Nicole mengidam apa sampai membuat Olivia selincah ini. Baik pengasuh dan pengawal tidak bisa santai dalam menjaga balita kecil itu. Sedikit saja terabaikan, pasti Olivia sudah berulah.Tindakan Olivia memang kerap membuat Nicole sakit kepala. Apalagi waktu ketika Nicole masih hamil besar. Dia dibuat pusing luar biasa dengan tindakan putri kecilnya yang sangat aktif. Olivia sering susah diberi tahu Nicole. Balita kecil itu paling tunduk pada ayahnya. Hal tersebut yang membuat Nicole terkadang jengkel.“Olivia, pelan-pelan, Nak. Jangan berlari seperti itu,” ucap Nicole berseru dengan nada sedikit keras, tapi sayangnya tak menghentikan balita kecil yang sangat aktif itu. Nicole sampai men
Oliver berlari menelusuri koridor rumah sakit. Raut wajah pria itu tampak sangat panik dan penuh khawatir. Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, dia tak henti mengumpati kebodohannya. Harusnya hari ini dia tak pergi ke mana-mana. Jika sampai ada hal buruk yang menimpa istri dan anaknya, maka dia tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri. Saat Oliver sudah dekat dengan ruang persalinan, langkah kakinya terhenti melihat Joice mondar-mandir di depan ruangan persalinan. Raut wajah Oliver berubah, menatap lekat dan tegas sepupunya itu.“Joice?” tegur Oliver.Joice yang sejak tadi mondar-mandir tak jelas, terkejut melihat Oliver ada di hadapannya. “Oliver? Astaga, akhirnya kau muncul,” serunya bahagia melihat Oliver sudah datang. Sejak tadi dia sudah panik karena Oliver tak kunjung datang.“Di mana Nicole?” tanya Oliver cepat.Joice menyentuh lengan Oliver sambil berkata cemas, “Nicole ada di dalam. Segera kau masuk. Dari tadi dia terus menjerit kesakitan.” Oliver mengangguk, dan
*Nicole, aku pergi sebentar ingin bertemu ayahku. Ada kasus rumit yang sedang aku tangani dan aku membutuhkan pendapat ayahku. Aku tidak akan lama. Aku akan segera pulang. Kau jangan ke mana-mana. Your husband—Oliver.* Nicole mengembuskan napas panjang membaca note dari suaminya itu. Raut wajahnya nampak kesal. Pagi ini, Nicole bangun terlambat sedangkan Oliver bangun lebih awal. Dia yakin Oliver tak membangunkannya, karena tidak mau mengganggunya. Sungguh, itu sangat menyebalkan. Nicole mengikat rambut asal, dan meminum susu hangat yang baru saja diantarkan. Hari ini, Nicole terbebas dari menjaga Olivia, karena putri kecilnya itu sedang diculik keluarganya. Well, Olivia memang kerap menjadi rebutan. Wajar saja, karena Olivia adalah cucu pertama di keluarga Nicole dan juga cucu pertama di keluarga Oliver. Hal tersebut yang menjadikan Olivia kerap sekali diculik sana sini.“Lebih baik aku mandi,” gumam Nicole yang memutuskan ingin mandi. Meskipun kesal masih ada, tapi dia tidak mau k
“Nicole, pakailah gaun ini.” Oliver menunjuk sebuah kotak yang berisikan sebuah gaun indah yang ada di hadapannya. Pria itu sengaja menyiapkan gaun cantik untuk sang istri tercinta.Nicole mengalihkan pandangannya, menatap gaun yang ditunjuk Oliver. “Sayang, kau ingin mengajakku ke mana sampai aku harus memakai gaun seindah itu?” tanyanya lembut. Jika hanya pergi ke tempat-tempat terdekat saja, mana mungkin Oliver memintanya memakai gaun secantik yang ada di hadapannya itu.Oliver mendekat dan memberikan kecupan di kening sang istri. “Aku akan mengajakmu dan Olivia makan malam di luar. Gantilah segera pakaianmu.” “Kau akan mengajakku dan Olivia makan malam di luar?” ulang Nicole begitu antusias bahagia.“Ya, kita akan makan malam di luar. Bersiaplah.” Oliver membelai lembut pipi Nicole.Nicole tersenyum bahagia. Detik selanjutnya, Nicole menggenggam tangan Olivia—mengajak putrinya untuk mengganti pakaian. Gaun yang dibelikan Oliver sangatlah cantik. Bahkan gaun Nicole itu kembaran d
Oliver meminta Nicole untuk tak lagi mengingat tentang masalah Joice dan Marcel. Pria itu tak ingin istrinya sampai terlalu kepikiran dan berdampak pada tumbuh kembang anak mereka. Usia kandungan Nicole sudah besar. Sebentar lagi anak kedua mereka akan lahir ke dunia. Yang Oliver inginkan adalah Nicole hanya fokus pada anak-anak mereka saja. Pun berita tentang Marcel sudah Oliver bungkam. Media dilarang lagi untuk memberitakan tentang salah satu anggota keluarganya.Pagi menyapa Nicole sudah bersiap-siap. Hari ini dia dan Oliver akan periksa kandungan. Wanita itu tampil sangat cantik dengan balutan dress khusus ibu hamil berwarna navy. Rambut panjang Nicole tergerai sempurna. Riasan tipis membuatnya semakin cantik. Meski hanya memakai lip balm tapi bibir penuh Nicole tampak sangat seksi.Nicole dianugerahi paras yang luar biasa cantik. Dia tak perlu memakai riasan tebal, karena wanita itu sudah sangat cantik. Hamil membuatnya bahkan bertambah cantik meskipun bentuk tubuhnya sudah mela
Nicole merasakan kebebasan di kala Selena dan Samuel menculik Olivia. Well, Olivia menjadi cucu pertama di keluarga Maxton—membuat Olivia benar-benar seperti anak emas. Selena dan Samuel kerap sekali membawa Olivia ke rumah mereka untuk menginap. Mengingat tiga adik kandung Oliver yang lain berada di luar negeri—membuat kehadiran Olivia menjadi warna yang baru di keluarga Maxton.“Ah, perutku kenyang sekali.” Nicole mengusap-usap perut buncitnya di kala baru saja selesai menikmati tiramisu cake yang diantarkan oleh sang pelayan.Waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi. Tak banyak aktivitas Nicole selain bersantai. Pekerjaannya sudah ditangani oleh asistennya. Sejak di mana dia hamil lagi, Oliver meminta Nicole menyerahkan pekerjaannya pada sang asisten.Jarak kehamilan pertama dan kehamilan kedua tidak jauh. Bisa dikatakan kehamilan kedua ini memang tak Nicole sangka. Nicole pikir dia tidak akan langsung hamil, karena baru saja melahirkan. Jadi setiap berhubungan badan dengan sang suami—
Satu tahun berlalu … “Olivia, jangan naik-naik ke atas meja, Nak.”Nicole mendesah panjang dengan raut wajah yang begitu kelelahan. Olivia—putri pertamanya yang baru bisa berjalan itu amat sangat aktif. Baru saja Oliva berusia satu tahun—dan harapan Nicole adalah Olivia menjadi anak yang tenang dan lembut seperti anak-anak perempuan lain.Sayangnya harapan Nicole tinggal harapan. Semakin hari Olivia semakin aktif. Dua pengasuh saja harus menjaga Olivia dengan baik. Pasalnya, jika tak diawasi, Olivia selalu saja berusaha memanjat posisi tempat yang tinggi. Hal itu yang membuat Nicole khawatir luar biasa. Ucapan Nicole tak didengar oleh Olivia. Balita kecil itu terus memanjat meja. Dengan penuh waspada, dua pengasuh sudah siaga merentangkan tangan—berjaga jika sampai Olivia terjatuh, maka dua pengasuh itu berhasil menangkap tubuh Olivia.Nicole memijat keningnya di kala rasa pusing menyerangnya. Menjaga Olivia harus extra hati-hati. Beberapa minggu lalu saja, Olivia hampir tercebur ke
Oliver mondar-mandir panik di dalam ruang bersalin. Suara jeritan menggema membuat Oliver tidak bisa tenang. Dua jam lalu, dokter mengatakan masih belum waktunya, karena kepala bayi belum terlihat. Teriakan sakit Nicole disebabkan oleh kontraksi. Masih butuh beberapa waktu sampai waktunya siap untuk Nicole melahirkan.Oliver nyaris gila akibat kepanikan dan ketakutannya. Berkali-kali dia meminta dokter untuk memberikan obat agar istrinya tidak kesakitan, tapi sang dokter mengatakan bahwa kontraksi adalah hal normal dirasakan ibu hamil.Otak Oliver seakan blank tidak mampu berpikir jernih. Pria itu tidak tahu harus melakukan apa selain mondar-mandir tidak jelas. Setiap kali sang istri menjerit kesakitan, membuat seluruh tubuh Oliver seakan mati rasa.Dulu, di kala ibunya melahirkan adiknya, dia tidak ikut di dalam ruang bersalin. Hal itu menyebabkan Oliver tak tahu perjuangan seorang wanita hamil. Yang Oliver lihat sekarang—sang istri seperti berada di ambang kematian.“Ahg!” jerit Nic
“Iya, Mom. Aku sudah meminta pelayan menyiapkan makan malam untuk kita. Kau tidak usah membawa makanan apa pun. Makanan yang sudah disiapkan sangat banyak.”“Hm, tadinya Mommy ingin membuat cake.” “Tidak usah, Mom. Dessert juga sudah disiapkan. Kau tidak usah repot-repot. Kau dan Dad cukup datang saja. Semua menu makanan sudah disiapkan.”“Baiklah, Sayang. Sampai nanti malam.” “Iya, Mom. Sampai nanti malam.”Panggilan tertutup. Nicole meletakan ponselnya ke tempat semula. Tampak senyuman di wajah wanita itu terlukis begitu hangat. Hari ini adalah hari di mana Nicole akan makan malam bersama dengan keluarganya. Pun tentu ibu tiri dan saudara tirinya juga akan datang.Nicole sekarang sudah tidak lagi memanggil Esther dengan sebutan ‘Bibi’. Sekarang, dia sudah memanggil Esther dengan sebutan ‘Mommy’. Jika dulu, Nicole tidak pernah dekat dengan ibu tirinya, kali ini dia sangat dekat dengan ibu tirinya yang baru.Sosok Esther bukanlah sosok ibu tiri yang kejam. Malah yang ada Esther sela