Pagutan yang tercipta begitu panas dan liar. Lidah Oliver mendesak masuk, menyapu rongga mulut Nicole. Beberapa kali Nicole berusaha melepaskan diri tapi tak bisa, karena Oliver semakin membuat tubuh wanita itu terkunci tak bisa berkutik.Tangan Oliver tak hanya diam. Pria itu menyelinap masuk ke dalam dress piyama yang dipakai Nicole. Dengan sengaja, Oliver melepas kancing dress bagian atas Nicole, agar lebih leluasa memijat payudara wanita itu. Nicole meringis menahan desahan yang lolos di bibirnya di kala Oliver menyentuh payudaranya. Rasa marah dalam diri Nicole menyulut, tetapi sialnya tubuhnya merespon sentuhan Oliver. Bahkan puting payudaranya berdiri tegak di kala jemari Oliver memberikan usapan lembut.Nicole berjuang untuk berontak, tapi malah tangan Oliver semakin menjelajah bergantian ke dua payudara Nicole. Bibir Oliver terus mengulum bibir Nicole atas dan bawah bergantian.Rasa manis di bibir Nicole membuat Oliver benar-benar seakan lupa diri. Kenyal, lembut, dan manis
Tubuh Nicole terpaku melihat Marsha ada di hadapan Nicole. Benak wanita itu memikirkan bagaimana bisa Marsha mengetahui di mana dirinya tinggal. Dia sangat ingat dirinya tak merasa telah memberikan alamat tinggalnya di London.Lalu kenapa sekarang malah nenek Oliver dan Shawn ini ada di hadapannya? Pun rasanya tak mungkin kalau Marsha bertanya pada adik tirinya. Tunggu! Apa mungkin dari Shawn? Benak Nicole kini penuh dengan terkaan-terkaan.“Apa kabar, Nicole? Apa aku mengganggumu?” Marsha mulai lebih dulu menegur, di kala Nicole nampak kebingungan.Nicole membuyarkan semua pikiran yang muncul di dalam otaknya, saat Marsha sudah menyapa dirinya. “A-aku baik, Grandma. S-silakan masuk, Grandma.” Buru-buru, Nicole mempersilakan Marsha untuk masuk ke dalam.Marsha tersenyum hangat, lalu masuk ke dalam kamar hotel Nicole. Meski tak lagi muda, tapi nenek Oliver dan Shawn itu masih teramat sehat. Marsha hanya memiliki keriput tipis di wajah. Rambutnya pun telah diwarnai menjadi warna cokelat
Nicole seperti berada di persimpangan jalan, yang memaksanya untuk ke arah kanan. Padahal dia ingin menuju ke arah kiri. Kali ini, Nicole tidak bisa mengikuti ego dalam dirinya. Hari ini adalah hari di mana, Nicole akan menghadiri undangan Marsha.Nicole sebenarnya tak ingin datang, tapi hati dia merasa tidak enak jika menolak Marsha. Terlebih nenek Oliver dan Shawn itu sangatlah baik. Sebenarnya, alasan Nicole ragu hadir diundangan Marsha, karena Nicole malas akan Shania berpikiran buruk padanya.Terakhir, Shania menuduhnya mencari muka di depan kakek dan nenek Oliver. Tuduhan yang memang sudah gila, dan tak masuk akal sehatnya lagi. Nicole bukan takut pada Shania, tapi Nicole malas berdebat dengan orang gila. Selain itu, ayahnya pun kerap membela Shania.Nicole mengatur napasnya, dan berusaha menepis pikiran yang muncul. Nicole hanya menuruti keinginan Marsha. Tidak lebih dari itu. Dia kini menatap cermin dan memoles wajahnya dengan riasan tipis. Dia tak mau berias berlebihan.Saat
Nicole menatap dalam sang pemilik manik mata cokelat gelap di hadapannya. Dia masih belum mengatakan sepatah kata pun. Hanya saja tatapannya tersirat memiliki jutaan arti yang begitu dalam. Tatapan yang tersirat memiliki percikan-percikan api yang membakar. Di ruangan itu, tak hanya Nicole dengan Oliver saja, namun mereka sepertinya lupa. Tatapan mereka sangat teramat dalam, sampai membuat mereka lupa diri. Oliver tetap bergeming di tempatnya, dengan tangan yang masih menahan pajangan besar agar tak terkena Nicole.Hingga kemudian, Nicole dan Oliver sama-sama menyadari bahwa mereka terlalu lama saling bertatapan. Oliver segera menarik tubuh Nicole dan Marsha menjauh dari pajangan itu. Tepat di kala Nicole dan Marsha sudah menjauh—pria itu segera membenarkan posisi pajangan besar tersebut bersama dua penjaga.“Tuan Oliver, maafkan kami.” Dua penjaga itu menundulkan kepala, di hadapan Oliver. Terlihat jelas, dua penjaga tersebut sangat ketakutan di hadapan Oliver.Kilat mata Oliver m
“Oliver, tolong kau temani Nicole dulu. Grandma ingin menghubungi Grandpa. Sampai jam segini Grandpa-mu belum pulang. Jangan-jangan dia tergoda wanita muda. Awas saja macam-macam—Grandma akan mengusirnya dari rumah. Harta dia akan Grandma ambil semuanya,” tukas Marsha mengomel kala sang suami belum juga pulang. Padahal sebelumnya, suaminya itu bilang, tidak akan pulang lama, tapi sudah sampai jam lima sore seperti ini—suaminya tak kunjung pulang. Oliver mengembuskan napas pelan mendengar omelan neneknya. “Grandma, Grandpa hanya mencintaimu. Dia tidak mungkin mengkhianatimu. Jangan berpikiran konyol.”“Iya-iya. Ya sudah, kau temani Nicole. Grandma tidak tenang, kalau belum menghubungi Grandpa-mu,” ucap Marsha pelan tapi tetap tersirat kesal.Oliver mengangguk, dan memberikan kecupan di kening Marsha.Marsha menatap hangat dan lembut Nicole. “Nicole, kau jangan pulang dulu, yaa. Kau harus makan malam bersama denganku dan Grandpa.”Nicole tersenyum dan memberikan anggukan sopan. Sebenar
Jam makan malam tiba. Nicole dan Oliver duduk di kursi meja makan bersama dengan Marsha dan William. Mereka menikmati makan malam yang terhidang di hadapan mereka. Suasana ruang makan malam megah itu sunyi, namun penuh kehangatan.Ya, Nicole tentu berada di sana, atas permintaan Marsha. Sebenarnya, dia tidak enak ikut makan malam di sini, apalagi ada Oliver. Tetapi dia tidak mungkin menolak permintaan Marsha. Dia yakin jika Shania tahu, pasti dirinya akan bertengkar dengan Shania. Adik tirinya yang bodoh itu akan menuduhnya tidak-tidak. Seperti kejadian tempo hari—Shania menuduhnya mencari muka pada kakek dan nenek Oliver.“Oliver, bagaimana dengan pekerjaanmu? Semuanya baik-baik saja, kan?” William bertanya pada cucunya, sambil menikmati makan malam.“Semua baik. Kau tidak perlu mencemaskan apa pun, Grandpa. Aku mampu mengurus pekerjaanku dengan baik,” jawab Oliver datar, namun tersirat sopan.William mengangguk-anggukan kepalanya. Lantas, tatapannya menatap Nicole yang duduk di samp
“Oliver!” Nicole menghentakan kakinya, berlari mengejar Oliver. Raut wajah Nicole menunjukkan jelas rasa kesal dalam dirinya. Sungguh, Nicole tak mengerti cara jalan pikiran Oliver. Kenapa sampai pria itu malah menahan ponselnya.“Oliver! Kembalikan ponselku, aw—” Nicole menubruk dada bidang Oliver, di kala pria itu menghentikan langkahnya. Dia mengusap-usap keningnya. Dada Oliver terlalu bidang dan keras membuat keningnya kesakitan.Oliver menghentikan langkahnya. Tatapannya menatap dingin dan datar Nicole. “Masuklah ke kamarmu. Ini sudah malam. Kau harus istirahat.”Nicole berdecak tak suka. “Kau ini seperti penjagaku saja! Kembalikan ponselku, Oliver!” tukasnya, meminta memaksa pria itu untuk mengembalikan ponselnya.Oliver tak mengindahkan apa yang Nicole katakan. Dia menarik tangan Nicole, membawa paksa wanita itu masuk ke dalam kamar tamu yang telah Oliver tunjuk. Nicole sempat berontak di kala tangan Oliver mencengkram pergelangan tangannya, namun tentu tenaga Nicole hanya baga
Shania duduk di kursi taman belakang, menatap langit malam. Raut wajahnya begitu muram dan membendung kesedihan mendalam. Sudah berkali-kali, dia menghubungi nomor Oliver, namun sayangnya tak ada jawaban sama sekali dari sang kekasih. Entah ada apa dengan Oliver yang mulai berubah. Benak Shania mengingat ucapan Oliver yang meminta menunda pernikahan. Sampai kapan pun, dia tidak akan pernah mau menunda impiannya. Menikah dengan Oliver adalah mimpinya. Oliver adalah sosok pria sempurna bagi Shania.“Shania? Kenapa kau di sini?” Mayir melangkah mendekat pada Shania yang duduk di kursi taman belakang. Seketika kening Mayir mengerut dalam, melihat putrinya nampak sangat sedih.“Dad?” Shania tersenyum melihat sang ayah kini duduk di sampingnya.“Kau kenapa, Sayang? Wajahmu muram sekali.” Mayir membelai pipi Shania lembut, menatap putrinya penuh khawatir. Tidak biasanya, putrinya itu bersedih.Shania menghela napas dalam. “Aku menghubungi Oliver, tapi dia tidak menjawab teleponku, Dad.”Ma
Beberapa bulan berlalu … Wengen, Switzerland. Tiga pengasuh dibuat pusing luar biasa oleh Olivia yang begitu aktif. Balita kecil itu terus berlari-lari sambil bermain bola kecil yang sejak tadi dia lempar-lempar. Tiga pengawal sudah siap siaga melihat setiap gerak Olivia yang sangat cepat. Entah dulu Nicole mengidam apa sampai membuat Olivia selincah ini. Baik pengasuh dan pengawal tidak bisa santai dalam menjaga balita kecil itu. Sedikit saja terabaikan, pasti Olivia sudah berulah.Tindakan Olivia memang kerap membuat Nicole sakit kepala. Apalagi waktu ketika Nicole masih hamil besar. Dia dibuat pusing luar biasa dengan tindakan putri kecilnya yang sangat aktif. Olivia sering susah diberi tahu Nicole. Balita kecil itu paling tunduk pada ayahnya. Hal tersebut yang membuat Nicole terkadang jengkel.“Olivia, pelan-pelan, Nak. Jangan berlari seperti itu,” ucap Nicole berseru dengan nada sedikit keras, tapi sayangnya tak menghentikan balita kecil yang sangat aktif itu. Nicole sampai men
Oliver berlari menelusuri koridor rumah sakit. Raut wajah pria itu tampak sangat panik dan penuh khawatir. Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, dia tak henti mengumpati kebodohannya. Harusnya hari ini dia tak pergi ke mana-mana. Jika sampai ada hal buruk yang menimpa istri dan anaknya, maka dia tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri. Saat Oliver sudah dekat dengan ruang persalinan, langkah kakinya terhenti melihat Joice mondar-mandir di depan ruangan persalinan. Raut wajah Oliver berubah, menatap lekat dan tegas sepupunya itu.“Joice?” tegur Oliver.Joice yang sejak tadi mondar-mandir tak jelas, terkejut melihat Oliver ada di hadapannya. “Oliver? Astaga, akhirnya kau muncul,” serunya bahagia melihat Oliver sudah datang. Sejak tadi dia sudah panik karena Oliver tak kunjung datang.“Di mana Nicole?” tanya Oliver cepat.Joice menyentuh lengan Oliver sambil berkata cemas, “Nicole ada di dalam. Segera kau masuk. Dari tadi dia terus menjerit kesakitan.” Oliver mengangguk, dan
*Nicole, aku pergi sebentar ingin bertemu ayahku. Ada kasus rumit yang sedang aku tangani dan aku membutuhkan pendapat ayahku. Aku tidak akan lama. Aku akan segera pulang. Kau jangan ke mana-mana. Your husband—Oliver.* Nicole mengembuskan napas panjang membaca note dari suaminya itu. Raut wajahnya nampak kesal. Pagi ini, Nicole bangun terlambat sedangkan Oliver bangun lebih awal. Dia yakin Oliver tak membangunkannya, karena tidak mau mengganggunya. Sungguh, itu sangat menyebalkan. Nicole mengikat rambut asal, dan meminum susu hangat yang baru saja diantarkan. Hari ini, Nicole terbebas dari menjaga Olivia, karena putri kecilnya itu sedang diculik keluarganya. Well, Olivia memang kerap menjadi rebutan. Wajar saja, karena Olivia adalah cucu pertama di keluarga Nicole dan juga cucu pertama di keluarga Oliver. Hal tersebut yang menjadikan Olivia kerap sekali diculik sana sini.“Lebih baik aku mandi,” gumam Nicole yang memutuskan ingin mandi. Meskipun kesal masih ada, tapi dia tidak mau k
“Nicole, pakailah gaun ini.” Oliver menunjuk sebuah kotak yang berisikan sebuah gaun indah yang ada di hadapannya. Pria itu sengaja menyiapkan gaun cantik untuk sang istri tercinta.Nicole mengalihkan pandangannya, menatap gaun yang ditunjuk Oliver. “Sayang, kau ingin mengajakku ke mana sampai aku harus memakai gaun seindah itu?” tanyanya lembut. Jika hanya pergi ke tempat-tempat terdekat saja, mana mungkin Oliver memintanya memakai gaun secantik yang ada di hadapannya itu.Oliver mendekat dan memberikan kecupan di kening sang istri. “Aku akan mengajakmu dan Olivia makan malam di luar. Gantilah segera pakaianmu.” “Kau akan mengajakku dan Olivia makan malam di luar?” ulang Nicole begitu antusias bahagia.“Ya, kita akan makan malam di luar. Bersiaplah.” Oliver membelai lembut pipi Nicole.Nicole tersenyum bahagia. Detik selanjutnya, Nicole menggenggam tangan Olivia—mengajak putrinya untuk mengganti pakaian. Gaun yang dibelikan Oliver sangatlah cantik. Bahkan gaun Nicole itu kembaran d
Oliver meminta Nicole untuk tak lagi mengingat tentang masalah Joice dan Marcel. Pria itu tak ingin istrinya sampai terlalu kepikiran dan berdampak pada tumbuh kembang anak mereka. Usia kandungan Nicole sudah besar. Sebentar lagi anak kedua mereka akan lahir ke dunia. Yang Oliver inginkan adalah Nicole hanya fokus pada anak-anak mereka saja. Pun berita tentang Marcel sudah Oliver bungkam. Media dilarang lagi untuk memberitakan tentang salah satu anggota keluarganya.Pagi menyapa Nicole sudah bersiap-siap. Hari ini dia dan Oliver akan periksa kandungan. Wanita itu tampil sangat cantik dengan balutan dress khusus ibu hamil berwarna navy. Rambut panjang Nicole tergerai sempurna. Riasan tipis membuatnya semakin cantik. Meski hanya memakai lip balm tapi bibir penuh Nicole tampak sangat seksi.Nicole dianugerahi paras yang luar biasa cantik. Dia tak perlu memakai riasan tebal, karena wanita itu sudah sangat cantik. Hamil membuatnya bahkan bertambah cantik meskipun bentuk tubuhnya sudah mela
Nicole merasakan kebebasan di kala Selena dan Samuel menculik Olivia. Well, Olivia menjadi cucu pertama di keluarga Maxton—membuat Olivia benar-benar seperti anak emas. Selena dan Samuel kerap sekali membawa Olivia ke rumah mereka untuk menginap. Mengingat tiga adik kandung Oliver yang lain berada di luar negeri—membuat kehadiran Olivia menjadi warna yang baru di keluarga Maxton.“Ah, perutku kenyang sekali.” Nicole mengusap-usap perut buncitnya di kala baru saja selesai menikmati tiramisu cake yang diantarkan oleh sang pelayan.Waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi. Tak banyak aktivitas Nicole selain bersantai. Pekerjaannya sudah ditangani oleh asistennya. Sejak di mana dia hamil lagi, Oliver meminta Nicole menyerahkan pekerjaannya pada sang asisten.Jarak kehamilan pertama dan kehamilan kedua tidak jauh. Bisa dikatakan kehamilan kedua ini memang tak Nicole sangka. Nicole pikir dia tidak akan langsung hamil, karena baru saja melahirkan. Jadi setiap berhubungan badan dengan sang suami—
Satu tahun berlalu … “Olivia, jangan naik-naik ke atas meja, Nak.”Nicole mendesah panjang dengan raut wajah yang begitu kelelahan. Olivia—putri pertamanya yang baru bisa berjalan itu amat sangat aktif. Baru saja Oliva berusia satu tahun—dan harapan Nicole adalah Olivia menjadi anak yang tenang dan lembut seperti anak-anak perempuan lain.Sayangnya harapan Nicole tinggal harapan. Semakin hari Olivia semakin aktif. Dua pengasuh saja harus menjaga Olivia dengan baik. Pasalnya, jika tak diawasi, Olivia selalu saja berusaha memanjat posisi tempat yang tinggi. Hal itu yang membuat Nicole khawatir luar biasa. Ucapan Nicole tak didengar oleh Olivia. Balita kecil itu terus memanjat meja. Dengan penuh waspada, dua pengasuh sudah siaga merentangkan tangan—berjaga jika sampai Olivia terjatuh, maka dua pengasuh itu berhasil menangkap tubuh Olivia.Nicole memijat keningnya di kala rasa pusing menyerangnya. Menjaga Olivia harus extra hati-hati. Beberapa minggu lalu saja, Olivia hampir tercebur ke
Oliver mondar-mandir panik di dalam ruang bersalin. Suara jeritan menggema membuat Oliver tidak bisa tenang. Dua jam lalu, dokter mengatakan masih belum waktunya, karena kepala bayi belum terlihat. Teriakan sakit Nicole disebabkan oleh kontraksi. Masih butuh beberapa waktu sampai waktunya siap untuk Nicole melahirkan.Oliver nyaris gila akibat kepanikan dan ketakutannya. Berkali-kali dia meminta dokter untuk memberikan obat agar istrinya tidak kesakitan, tapi sang dokter mengatakan bahwa kontraksi adalah hal normal dirasakan ibu hamil.Otak Oliver seakan blank tidak mampu berpikir jernih. Pria itu tidak tahu harus melakukan apa selain mondar-mandir tidak jelas. Setiap kali sang istri menjerit kesakitan, membuat seluruh tubuh Oliver seakan mati rasa.Dulu, di kala ibunya melahirkan adiknya, dia tidak ikut di dalam ruang bersalin. Hal itu menyebabkan Oliver tak tahu perjuangan seorang wanita hamil. Yang Oliver lihat sekarang—sang istri seperti berada di ambang kematian.“Ahg!” jerit Nic
“Iya, Mom. Aku sudah meminta pelayan menyiapkan makan malam untuk kita. Kau tidak usah membawa makanan apa pun. Makanan yang sudah disiapkan sangat banyak.”“Hm, tadinya Mommy ingin membuat cake.” “Tidak usah, Mom. Dessert juga sudah disiapkan. Kau tidak usah repot-repot. Kau dan Dad cukup datang saja. Semua menu makanan sudah disiapkan.”“Baiklah, Sayang. Sampai nanti malam.” “Iya, Mom. Sampai nanti malam.”Panggilan tertutup. Nicole meletakan ponselnya ke tempat semula. Tampak senyuman di wajah wanita itu terlukis begitu hangat. Hari ini adalah hari di mana Nicole akan makan malam bersama dengan keluarganya. Pun tentu ibu tiri dan saudara tirinya juga akan datang.Nicole sekarang sudah tidak lagi memanggil Esther dengan sebutan ‘Bibi’. Sekarang, dia sudah memanggil Esther dengan sebutan ‘Mommy’. Jika dulu, Nicole tidak pernah dekat dengan ibu tirinya, kali ini dia sangat dekat dengan ibu tirinya yang baru.Sosok Esther bukanlah sosok ibu tiri yang kejam. Malah yang ada Esther sela