“Lihat saja nanti,” jawab Wang Yoo singkat.
Sret.
Mu Lan menarik lengan Wang Yoo agar pria itu duduk di sisinya. “Jawab dengan benar pertanyaanku atau aku tidak akan mau membantumu lagi!” ancam Mu Lan sungguh-sungguh.
Dilepaskannya cengkeraman Mu Lan yang terlalu keras di lengannya dan bangkit. Wang Yoo merasa, belum saatnya Mu Lan tahu banyak tentang rencananya.
“Kau boleh berhenti membantuku. Aku tidak pernah memaksamu untuk ikut serta dalam rencanaku, bukan?”
Mu Lan sadar, Wang Yoo tidak ingin rencananya diketahui orang lain. “Baiklah, kalau kau tidak ingin menjawab.” Mu Lan berdiri, menghadap Wang Yoo yang sibuk menghindari tatapan matanya.
“Aku hanya berharap, otak cerdasmu bisa menyudahi intrik yang sedang terjadi tanpa jatuh korban lebih banyak lagi,” celetuk Mu Lan sok bijak.
Rupanya, ucapan Mu Lan menyinggung Wang Yoo. Pria muda itu mendelik tajam sebelum berbalik pe
“Tangkap dia!”Dua pengawal itu kompak menangkap Zening, melepas keranjang berisi jerami dan melemparnya ke sembarang tempat.“Tuan, tuan! Apa salah saya?!” pekik Zening panik.“Cih! Kau pikir bisa membodohi kami?!”Zening berusaha memberontak saat dua pengawal itu menyeretnya masuk ke dalam gubuk bambu, sesuai yang direncanakannya bersama Wang Yang.“Tuan, apa salah saya?!” teriak Zening lagi, membuat dua pengawal menariknya makin keras. “Saya hanya pelayan kecil, Tuan.”“Diam!” bentak dua pengawal itu bersamaan.Satu pengawal membuka pintu gubuk menggunakan ujung sepatunya sambil terus menyeret Zening mengikuti langkahnya. Di dalam gubuk, pemandangan yang tidak biasa mengejutkan netra Zening.Puluhan keranjang seperti yang dipikulnya tadi, berjajar rapi bersisian dengan beberapa karung di salah satu sisi gubuk. Ada juga beberapa peti kayu ukuran besar yan
Melihat Wang Yang hanya diam, Zening semakin penasaran.“Benar begitu? Gao Ping sedang merencanakan pemberontakan?” desak Zening.“Aku belum bisa memastikannya. Sebaiknya kita segera kembali ke istana.” Wang Yang mengelus bahu Zening sekilas sebelum berdiri dan membersihkan jarinya dari krim obat. “Bersiaplah, kita akan berangkat setelah aku menyelesaikan urusanku dengan Paman Gao.”Wang Yang menatap Xu Jin dengan tajam. “Kau, tetap di sini dan menjaga Zening. Aku akan bicara dengan Gao Ping sekaligus berpamitan.”Setelah berkata demikian, Wang Yang bergegas keluar. Otaknya sibuk merancang strategi untuk membawa tiga orang lainnya keluar dari Kota Wu dengan selamat.“Kalau mimpi itu memang pertanda darimu, aku mohon, kali ini, bantu aku menjaga orangku,” gumam Wang Yang sambil terus melangkah pasti menemui Gao Ping.Di ruang kerjanya, Gao Ping sedang menata bidak catur di atas papan
“Gao Ping tidak sungguh-sungguh mencintaiku!” teriak Ming Lan putus asa.Xiao You melambaikan kedua tangannya tanda penolakan berulang kali sambil memeriksa pintu kamar, memastikannya masih tertutup rapat. “Nyonya, rendahkan suaramu. Saya khawatir Raja Gao akan mendengar dan marah seperti sebelum-sebelumnya.”“Aku tidak peduli lagi. Biar saja dia dengar. Aku sudah lelah,” sahut Ming Lan mengabaikan peringatan pelayannya. “Aku kira, datang kemari dan menikahinya adalah keputusan tepat. Nyatanya, aku merasa semakin hina.”Ming Lan kembali menangis. Bahunya naik turun seirama dengan isakannya.“Nyonya, siapa yang mengatakan berita palsu ini pada Anda?” tanya Xiao You iba.“Aku mendengarnya sendiri dengan kedua telingaku!” bentak Ming Lan kesal. “Aku mendengarnya berbincang dengan Kakak Yang. Aku benci mereka!” teriaknya lagi.“Nyonya, kalau Anda begini, An
Zening menoleh ke belakang. Benar, kereta bagian belakangnya terbakar hampir setengah. Zening segera duduk dan membuka ikatan tali kekangnya. Entah karena terlalu erat mengikat atau karena gugup, ikatan yang berusaha dilepasnya menjadi semakin erat. “Aku tidak bisa membuka ikatannya!” teriak Zening tanpa mengalihkan mata dan tangannya dari ikatan. Wang Yang memacu kudanya cepat menghampiri kereta yang terbakar. Tanpa pikir panjang, pria tampan itu melompat ke dalam kereta yang tersisa setengah dan membantu Zening melepaskan ikatan. “Kak, cepatlah! Kita akan hangus terbakar!” teriak Zening lagi. Di tengah kepanikan Zening, sepasang mata mengawasi dari balik pohon besar dengan senyum puas. Ia harus segera melaporkan hasil kerja hari ini pada tuannya. Pemilik mata itu segera berbalik, memacu kudanya dengan cepat, melewatkan tontonan terakhir yang menentukan nasib Zening. “Pinjamkan pedangmu, Kak!” teriak Zening. Wang Yang segera melempar
Dasar Jurang KematianZening merasa seluruh tubuhnya seolah hancur berkeping-keping setelah jatuh dari bibir jurang. Perlahan, ia beringsut bangkit karena tidak nyaman dengan posisi tubuhnya yang berada tepat di atas tubuh Wang Yang. Segera diperiksanya pergelangan tangan Wang Yang.“Syukurlah, dia tidak mati,” gumamnya lega.“Bagaimana aku bisa mati meninggalkan kenikmatan yang kau tawarkan, hmm?” Mata Wang Yang terbuka perlahan.Mendengar kalimat pertama yang keluar dari mulut pria itu setelah lolos dari maut, sontak membuat Zening melayangkan sebuah pukulan ke dada Wang Yang.“Uhuk ... uhuk! Kau hendak membunuhku?!” pekik Wang Yang segera duduk.“Jangan asal bicara! Harusnya kau bersyukur karena masih diberi kesempatan hidup,” omel Zening seraya berdiri dan membereskan pakaiannya yang lusuh dan kotor.“Apa kau terluka?” tanya Zening akhirnya.Alih-alih menjawab, Wan
“Tidak! Aku tidak akan izinkan kalian keluar! Terutama kau!” tegas Zihao sambil mengibaskan kipas di tangannya ke arah Zening. “Lancang!” hardik Wang Yang. “Apa kau tahu siapa kami?!” Sret. Buru-buru Zening menarik pakaian Wang Yang di area pinggang dan mengerjap memberi tanda. Gelengan kepalanya menegaskan bahwa ia tidak setuju dengan rencana Wang Yang menunjukkan identitas mereka. “Maaf, Tuan. Kalau boleh tahu, apa yang membuat Anda melarang kami pergi? Apa karena masalah tadi?” tanya Zening setelah Wang Yang menurunkan lengannya yang menunjuk lurus ke arah Zihao. “Kalau ingin tahu alasannya, ikutlah aku turun ke bawah.” Zihao mengibaskan pakaiannya dan berbalik menuruni tangga dengan cepat. Seketika, Wang Yang merentangkan lengannya menghadang Zening yang hendak menyusul pria berwajah cacat yang entah kenapa membuatnya tidak nyaman. “Aku melarangmu turun!” “Aku harus turun agar kita bisa segera pergi dari sini, Kak.
“Apa benar, Deyun yang membuat mata pria itu cacat?” ragu Zening pada dirinya.“Apa maksudmu?”Tanpa sadar, Wang Yang melambatkan laju kudanya, membuat Xu Jin melakukan hal yang sama.“Ada apa, Yang Mulia?” tanya Xu Jin dari belakang.Teriakan lantang Xu Jin menarik perhatian Zihao. Pria itu ikut menoleh ke belakang dan memperhatikan yang terjadi. Namun, tak lama kemudian, dia tersenyum miring dan melanjutkan perjalanannya.“Apa yang terjadi, Hao’er?” tanya Ye Rong seraya berpaling ke belakang.“Biarkan saja mereka kebingungan. Aku akan mulai membalas dendam begitu kakiku menginjak tanah Yongjin,” geram Zihao tertahan giginya.“Anakku, kita lupakan saja semuanya. Setelah mengantar mereka dengan selamat kembali ke istana, kita pulang.” Ye Rong meremas pergelangan Zihao penuh harap. “Nyawa kita ini adalah pemberian Li Daehan. Kalau seperti yang kau katak
Kediaman Tamu, Paviliun Wuyi“Hao’er, sebaiknya kita tinggal di penginapan saja. Untuk apa kita tinggal di sini?” Ye Rong menghampiri Zihao yang sedang duduk di meja makan sambil menikmati buah segar yang baru saja dihidangkan.“Hmm … buah istana rasanya lebih segar, Bu. Cobalah,” sahut Zihao mengabaikan ucapan ibunya seraya menyodorkan sebuah jeruk yang baru selesai dikupasnya.“Hao’er! Ini bukan tempat kita!” tegas Ye Rong sedikit kesal dengan sikap putranya yang mengabaikan kecemasannya.Zihao bangkit dari kursinya, berdiri menghadap Ye Rong dan merangkum pipi tirus wanita yang kadang kala membuatnya begitu marah sekaligus dicintainya.“Apa yang harus aku katakan padamu agar kau mengerti, Bu?” Zihao merendahkan kepalanya dan mendekatkan wajahnya. “Kau mungkin berkata tidak menginginkan ini semua karena kau sudah pernah mengecapnya. Aku? Apa kau pernah berpikir tentangku, Bu