Dasar Jurang Kematian
Zening merasa seluruh tubuhnya seolah hancur berkeping-keping setelah jatuh dari bibir jurang. Perlahan, ia beringsut bangkit karena tidak nyaman dengan posisi tubuhnya yang berada tepat di atas tubuh Wang Yang. Segera diperiksanya pergelangan tangan Wang Yang.
“Syukurlah, dia tidak mati,” gumamnya lega.
“Bagaimana aku bisa mati meninggalkan kenikmatan yang kau tawarkan, hmm?” Mata Wang Yang terbuka perlahan.
Mendengar kalimat pertama yang keluar dari mulut pria itu setelah lolos dari maut, sontak membuat Zening melayangkan sebuah pukulan ke dada Wang Yang.
“Uhuk ... uhuk! Kau hendak membunuhku?!” pekik Wang Yang segera duduk.
“Jangan asal bicara! Harusnya kau bersyukur karena masih diberi kesempatan hidup,” omel Zening seraya berdiri dan membereskan pakaiannya yang lusuh dan kotor.
“Apa kau terluka?” tanya Zening akhirnya.
Alih-alih menjawab, Wan
“Tidak! Aku tidak akan izinkan kalian keluar! Terutama kau!” tegas Zihao sambil mengibaskan kipas di tangannya ke arah Zening. “Lancang!” hardik Wang Yang. “Apa kau tahu siapa kami?!” Sret. Buru-buru Zening menarik pakaian Wang Yang di area pinggang dan mengerjap memberi tanda. Gelengan kepalanya menegaskan bahwa ia tidak setuju dengan rencana Wang Yang menunjukkan identitas mereka. “Maaf, Tuan. Kalau boleh tahu, apa yang membuat Anda melarang kami pergi? Apa karena masalah tadi?” tanya Zening setelah Wang Yang menurunkan lengannya yang menunjuk lurus ke arah Zihao. “Kalau ingin tahu alasannya, ikutlah aku turun ke bawah.” Zihao mengibaskan pakaiannya dan berbalik menuruni tangga dengan cepat. Seketika, Wang Yang merentangkan lengannya menghadang Zening yang hendak menyusul pria berwajah cacat yang entah kenapa membuatnya tidak nyaman. “Aku melarangmu turun!” “Aku harus turun agar kita bisa segera pergi dari sini, Kak.
“Apa benar, Deyun yang membuat mata pria itu cacat?” ragu Zening pada dirinya.“Apa maksudmu?”Tanpa sadar, Wang Yang melambatkan laju kudanya, membuat Xu Jin melakukan hal yang sama.“Ada apa, Yang Mulia?” tanya Xu Jin dari belakang.Teriakan lantang Xu Jin menarik perhatian Zihao. Pria itu ikut menoleh ke belakang dan memperhatikan yang terjadi. Namun, tak lama kemudian, dia tersenyum miring dan melanjutkan perjalanannya.“Apa yang terjadi, Hao’er?” tanya Ye Rong seraya berpaling ke belakang.“Biarkan saja mereka kebingungan. Aku akan mulai membalas dendam begitu kakiku menginjak tanah Yongjin,” geram Zihao tertahan giginya.“Anakku, kita lupakan saja semuanya. Setelah mengantar mereka dengan selamat kembali ke istana, kita pulang.” Ye Rong meremas pergelangan Zihao penuh harap. “Nyawa kita ini adalah pemberian Li Daehan. Kalau seperti yang kau katak
Kediaman Tamu, Paviliun Wuyi“Hao’er, sebaiknya kita tinggal di penginapan saja. Untuk apa kita tinggal di sini?” Ye Rong menghampiri Zihao yang sedang duduk di meja makan sambil menikmati buah segar yang baru saja dihidangkan.“Hmm … buah istana rasanya lebih segar, Bu. Cobalah,” sahut Zihao mengabaikan ucapan ibunya seraya menyodorkan sebuah jeruk yang baru selesai dikupasnya.“Hao’er! Ini bukan tempat kita!” tegas Ye Rong sedikit kesal dengan sikap putranya yang mengabaikan kecemasannya.Zihao bangkit dari kursinya, berdiri menghadap Ye Rong dan merangkum pipi tirus wanita yang kadang kala membuatnya begitu marah sekaligus dicintainya.“Apa yang harus aku katakan padamu agar kau mengerti, Bu?” Zihao merendahkan kepalanya dan mendekatkan wajahnya. “Kau mungkin berkata tidak menginginkan ini semua karena kau sudah pernah mengecapnya. Aku? Apa kau pernah berpikir tentangku, Bu
“Salam, Bibi Suying. Hamba Wang Hao, putra Selir Su. Bagaimana kabar Anda?” Suying mengeratkan rahangnya menahan diri untuk tidak berteriak kaget. Kedua lututnya mendadak kehilangan kekuatan menopang beban tubuhnya. ‘Siapa dia bilang? Selir Su? Bagaimana mungkin?’ sanggah Suying dalam hati. ‘Tidak, tidak mungkin. Dia hanya orang asing yang kebetulan mengetahui tentang kematian Ye Rong. Aku harus mengendalikan diriku,’ imbuhnya menguatkan diri. “Apa Anda baik-baik saja, Bibi Suying?” “Lancang!” bentak Suying dengan suara sedikit bergetar. “Kau pikir siapa kau, berani masuk kemari dan berbibi padaku, hah?!” “Pengawal! Bawa pria ini keluar!” teriak Suying ke arah pintu kediamannya. Zihao terkekeh melihat tingkah gugup Suying. “Tidak perlu repot-repot memanggil pengawal untukku, Bi. Aku akan tinggal cukup lama di sini, akan banyak waktu dan kesempatan kita untuk bertemu.” Zihao berniat menyudahi salam pembukanya dan pergi, tapi nal
“Hanya saja?” sambung Wang Yang penasaran.“Ibu Suri menahan orang tua kami, Yang Mulia!” tukas Zhaolin cepat. “Ampun, Yang mulia. Hamba tidak bermaksud mengadu, tapi itu yang terjadi sebenarnya.”“Maksudmu, selama ini Suying menahan orang tua kalian, menggunakannya untuk mengancam kalian? Begitu, Paman?” Nada bicara Wang Yang mulai serius.Zhaolin mengangguk.“Sudah berapa lama? Kenapa kau tidak pernah mengadu pada mendiang ayahanda? Bukankah kau kasim kepercayaannya?!” desak Wang Yang tidak sabar.“Ampuni hamba, Yang Mulia. Itu sudah lama terjadi, sekitar dua puluh tahun lalu.” Zhaolin terus tertunduk, tidak berani menatap mata bulat yang bersiap menelannya hidup-hidup.“Dan kau berencana terus diam dan menjadi kaki tangan kejatahan Lan Suying, Paman?!”Wang Yang bangkit dari ranjang dan menendang meja kecil di dekat kakinya hingga air dalam baskom p
Zihao tidak benar-benar pergi seperti dugaan Han Xiu. Pria itu hanya menjauh dan bersembunyi mengamati interaksi antara Han Xiu dan Zening. Dalam sekali pandang, Zihao dapat menyimpulkan bahwa pernah ada hubungan dekat antara Zening dan pria dengan ekspresi kaku itu. “Ada apa rupanya dengan pria yang sedang jatuh cinta?” tanya Zihao dari ambang pintu. Zening berbalik dan mengernyit melihat Zihao sudah berjalan masuk tanpa menunggu izin darinya. Secepat kilat, Xu Jin menghadang jalan pria bertopeng itu. “Maaf, Tuan. Anda tidak diperbolehkan masuk tanpa izin. Ini adalah kediaman calon istri raja!” tegas Xu Jin. “Wohoho … sudah hebat rupanya kau sekarang, Ning-Ning.” Zihao menelengkan kepalanya ke kiri melewati lengan Xu Jin agar dapat menatap Zening. “Jangan panggil aku dengan sebutan itu!” hardik Zening kesal. “Seingatku, kau begitu senang saat aku memanggilmu dengan sebutan itu pertama kali.” Zening tahu betul, Zihao sedang men
Kantor Pengadilan IstanaBeberapa orang sudah berkumpul di ruang interogasi sesuai dengan instruksi Deyun pada kepala penjara. Mereka sedang menunggu giliran untuk mengakui kesalahan dan mendapatkan pengampunan raja.Ketika Lan Luotian—Hakim Agung—melewati ruang interogasi hendak menuju ruang kerjanya, pria berwajah sinis dengan bekas luka di atas alis kanan itu mengernyit heran melihat kondisi ruang interogasi yang penuh oleh tahanan istana.“Ada apa ini?”Salah seorang penjaga mendekat dan menjelaskan keadaannya dengan berbisik.“APA?! Mengakui kesalahan di depan raja? Siapa yang memerintahkan hal konyol seperti ini tanpa persetujuanku?!” ujar Luotian berang.“Saya yang perintahkan!” sahut Deyun lantang dari belakang punggung Luotian.Luotian berbalik dengan murka. “Lancang sekali kau, Jenderal! Kalau aku laporkan ini pada Ibu Suri, kau akan kehilangan lehermu!”Deyu
Sekejap mata, tubuh Mu Lan sudah meninggalkan tanah kering, berpindah ke dalam pelukan Weqing.“Dengan begini, Anda tidak perlu khawatir basah, Putri,” cengir Weqing penuh binar.Tubuh Mu Lan membeku. Dengan tangan penuh lampion, Mu Lan hanya bisa diam manakala Weqing membawanya masuk lebih jauh ke badan sungai.Pluk.Mu Lan melempar dua lampion di tangannya, bahkan satu di antaranya terguling dan mati terendam air.“Astaga! Kau melemparnya?!” pekik Weqing kaget.“Apa kau baru saja membentakku?!” balas Mu Lan tak kalah kaget.Lan Weqing mengerjap panik. “M-maafkan s-saya, Putri.”Mu Lan mukul dada Weqing berulang-ulang. “Turunkan aku! Cepat!”“T-tapi Anda akan kebasahan.”Mu Lan terus berontak dalam pelukan Weqing, membuat pria itu kewalahan dan kakinya limbung.Byurr!Seluruh pasang mata yang ada di bantaran sungai tertuju pada