Seakan terobsesi untuk segera menghancurkan Yuan, serangan Yuichi semakin gencar. Pedang es abadi yang sebelumnya bersinar di tangan Yuan terlepas, melayang sejenak di udara sebelum jatuh ke tanah dengan suara bergetar, seolah mengisyaratkan akhir dari sebuah harapan.“Tamat riwayatmu!” Seringai licik penuh kepuasan tergambar jelas di wajah Yuichi. Sepasang mata zamrudnya terlihat lebih gelap dari biasanya, seolah menyimpan badai kemarahan yang siap meledak.Nacht, entitas gelap yang menguasai diri Yuichi, tidak menghentikan serangannya meskipun Yuan sudah tidak bisa melawan lagi. Pedang kehijauan di tangan Yuichi perlahan berubah menjadi pedang hitam, pedang Raja Kegelapan yang dipenuhi dengan aura kegelapan pekat. Pedang itu berayun dengan kecepatan yang mengerikan, tepat menuju ke arah Yuan yang sudah tak memiliki senjata lagi, seolah-olah waktu berhenti sejenak untuk menyaksikan momen menegangkan ini.“Trang!” Suara dentingan logam yang tajam menggema di udara ketika pedang hitam
“Kau mau memusnahkanku? Ingat, tubuh ini milik ayahmu!” ancam Nacht, menggunakan tubuh Yuichi yang saat ini menjadi raganya, suaranya menggema seperti guntur di langit.Tanpa kata, Yui menggerakkan tangan kirinya hingga lingkaran sihir di tangan kanannya kini berada di tengah-tengah antara tangan kanan dan kiri. Lingkaran itu semakin membesar, hingga sebesar tubuh Yuichi yang ada di depan Yui, seolah-olah dia sedang menciptakan sebuah bintang baru di langit malam.Yui mendorong lingkaran sihir keperakan tersebut ke arah Yuichi. Sebuah kekuatan besar seakan menariknya dengan kuat, namun Nacht sama sekali tidak terpental atau berseser hingga lingkaran sihir perak tersebut menghilang, seolah dia adalah bayangan yang tak terpengaruh oleh cahaya.“Lihat! Tidak ada gunanya!” seru Nacht, tertawa puas karena kekuatan lingkaran sihir tersebut tidak mempengaruhinya, seolah dia adalah raja kegelapan yang tak tertandingi.“Lihat baik-baik, Nacht!” balas Yui, menunjuk ke arah Yuan yang berada di l
“Paman, bawa Ayah ke tempat aman,” pinta Yuan. Lingkaran sihir perak di tangan Yuan telah menghilang. Tubuhnya terlihat sudah begitu lelah hingga dia memuntahkan seteguh darah dari mulutnya.“Yuan!” seru Rafael melihat kondisi Yuan yang tidak baik-baik saja. “Kubawa ke tempat Yuasa, biar dia mengobati lukamu,” ajak Rafael lembut berusaha membujuk Yuan.“Lalu bagaimana dengan ayah? Bawa ayah dulu ke tempat yang aman. Aku masih bisa menunggu,” balas Yuan dengan senyum yang dipaksakan untuk meyakinkan Rafael jika dia baik-baik saja.“Baik, tunggulah!” Rafael mengangkat Yuichi dan membawanya ke tempat aman. Langkah kakinya semakin cepat karena memikirkan Yuan. Rasanya jarak antara dirinya dan tempat Yuasa berada begitu jauh. Kakinya tidak bergerak secepat yang diharapkan.“Kalian pikir bisa pergi!” seru Nacht melihat Rafael berusaha membawa Yuichi. Sebuah barrier tak kasat mata menutup jalan Rafael sehingga dia berjalan di tempat, tidak pergi ke mana pun.Alunan suara harpa terdengar sama
Yuan tersentak bangun oleh seruan Rafael. Kegelisahan menjalari ulu hatinya. Barrier yang menyempit, mengurung Yui dan Nacht, bagai jerat yang semakin erat. Jantungnya berdebar kencang, iramanya seirama genderang perang yang menggelegar di telinganya. Kepanikan mencengkeramnya, dingin dan menyesakkan.Tanpa pikir panjang, Yuan berlari. Namun, baru selangkah, kakinya terjerat tanaman rambat yang menjalar licik seperti ular lapar. Aroma tanah lembap menyeruak di hidungnya.“Nacht!” seru Yuan, menuduh. Namun, saat tanaman itu mengikatnya semakin erat, ia menyadari bahwa sentuhannya berbeda. Bukan duri tajam Nacht, melainkan lilitan lembut seperti sutra. Warna hijau mudanya, sewarna tunas muda di musim semi, mengingatkannya pada Yui.Berjuang melepaskan diri, keputusasaan menggema dalam suaranya. “Hentikan, Yui! Kita harus melakukannya bersama-sama! Kau sudah berjanji denganku!” teriaknya, suaranya parau, dipenuhi harapan yang mulai redup bagai bara api yang ditiup angin.Yui, terkurung d
“Yui!” teriak Yuan, putus asa mengiris suaranya. Ia tahu kembarannya takkan mendengar. Namun, dengan segenap sisa tenaga, ia menyeret tubuhnya, tak peduli luka di kulitnya akibat lilitan tanaman rambat yang semakin mengetat.Xavier, melihat perjuangan Yuan, ia segera bertindak. Tombaknya melesat, menebas tanaman rambat hingga hancur berkeping-keping. Bersamaan dengan itu, Yuasa dan Yuichi tiba di sisi Yuan.“Yuan, apa kau bisa menghentikan Yui?” tanya Yuasa, suaranya diliputi kecemasan, sembari menyalurkan energi penyembuh yang hangat ke luka-luka Yuan. Rasa perih perlahan mereda, digantikan sensasi yang menenangkan.Yuan mengangguk lemah. “Terobos barrier Genbu. Setelah itu, aku bisa bergabung dengan Yui. Dengan kekuatanku, pengorbanan akan ditanggung berdua. Kita masih bisa memusnahkan Nacht tanpa membahayakan nyawa Yui.”Harapan kembali menyala di hati mereka. Yui masih bisa diselamatkan. Yuichi, yang telah pulih berkat kekuatan Yuasa, berdiri di samping Rafael. Pedang hijau zamrud
Api Suzaku membesar, lidah-lidah api merah menyala menjilat-jilat penghalang Genbu hingga terasa seperti kulit terbakar. Yuan, Yuasa, dan Rafael tersentak mundur, panas yang menyengat menusuk pori-pori mereka seperti ribuan jarum. Rasanya seperti berada di jantung gunung berapi yang sedang meletus.“Yui!” pekik Yuan, panik. Kehadiran Yui, seperti embun pagi yang menghilang ditelan mentari, lenyap tanpa jejak. Hanya kesunyian yang tersisa, dingin dan mencekam. Pedang es abadi, dinginnya menusuk tulang, kini berada di tangannya. Barrier Genbu membeku seketika, namun api Suzaku, seperti naga yang haus, menelan es itu dalam sekejap mata. Es yang mencair itu menciptakan uap yang membasahi wajah mereka, terasa dingin di kulit yang sebelumnya terbakar panas.Jantung Rafael berdebar-debar seperti genderang perang yang dipukul bertubi-tubi. Dia mengamuk, mencoba menghancurkan penghalang itu. Api Suzaku yang mengamuk di dalam sana bagaikan raksasa yang terbangun dari tidurnya, matanya yang meny
Raja Arlen terhuyung, terjerembab di tanah dingin, napasnya tertahan saat mata pedang Yuichi berkilat di hadapannya. Tak pernah terlintas dalam benaknya bahwa Yuichi akan diliputi amarah yang begitu membara.“Kau sudah tahu akibatnya, namun tetap memaksa putriku untuk berkorban!” teriak Yuichi, suaranya menggema, penuh kemarahan yang menggetarkan udara. Pedangnya tetap teracung, meski Ratu Esmeralda berusaha menghalangi dengan tangan gemetar.“Bukan hanya Raja Arlen yang mengetahui hal ini, Putri Yui sendiri yang bersedia melakukannya,” ujar Ratu Esmeralda, suaranya lembut namun tegas, berusaha meredakan badai amarah Yuichi. Namun, kata-katanya seolah terhempas angin, tak berdaya.Daun kecoklatan di tangan Raja Arlen bergetar, seakan ada sesuatu yang memicunya. Dia menatap daun itu dan berusaha menguncinya.“Ayahanda! Tenanglah!” seru Yuan, memeluk ayahnya erat, perlahan menurunkan pedang yang digenggam Yuichi. Yuan menyadari bahwa daun di tangan Raja Arlen bereaksi terhadap kemarahan
Rafael duduk diam, memandangi abu di depannya dengan tatapan kosong. Tangannya bergetar saat menyentuh abu tersebut, seolah merasakan sisa-sisa kehangatan yang pernah ada. “Yui,” gumamnya samar, suaranya lembut seperti desiran angin yang menyusup di antara dedaunan.Di sebelahnya, Yuan melepaskan pelukan dari Yuichi. Setelah memastikan ayahnya tenang, dia melangkah mendekati Rafael, duduk di samping pria itu, merasakan dinginnya tanah yang menyerap ke dalam kulit.“Ini salahku,” gumam Yuan, suaranya timbul tenggelam seperti ombak yang menghantam karang. Ada beban berat yang menggantung di setiap kata yang diucapkannya.“Katakan padaku, sebenarnya apa yang kalian rencanakan?” tanya Rafael, suaranya serak, penuh dengan rasa ingin tahu yang bercampur dengan kepedihan. Dia tahu semua itu tidak akan mengubah kenyataan bahwa Yui telah pergi, tetapi setidaknya dia ingin mengerti.“Yui,” ucap Yuan, masih terlihat ragu, seolah kata-kata itu adalah duri yang harus ditelan. “Yui menerima daun te
Tanah bergetar dengan kuat, bagaikan gempa yang kembali terjadi. Dari tempat mereka berpijak mulai terbentuk jalan yang membentang hingga ke depan gerbang istana. Jalan yang terbuat dari tanah, tetapi bukan tanah biasa. Tanah itu sudah lebih keras seakan terbuat dari batuan mengkilap seperti marmer. Jalan itu terus terbentuk hingga gerbang kota seakan mereka berdua sedang membuat jalan utama ibukota menuju ke istana.“Mereka memperbaiki ibukota?!” Antara percaya dan tidak, mereka yang ada di sana tercengang dengan apa yang dilakukan kedua anak kembar tersebut. Yui memiliki gerakan berbeda dan diikuti oleh Yuan. Mereka seperti menari di udara, para spirit masih mengikuti Yuan kemana pun dia melangkah. Memberikan energi yang besar kepada sang pangeran.Kali ini tunas-tunas muncul di pinggir jalan membentuk sebuah garis yang ditumbuhi rerumputan dan setiap dua meter terdapat pohon yang kini mulai menggeliat di atas tanah, menjulang dan mengembangkan daun-daunnya yang rimbun.Mereka berd
Mata itu masih menatap lurus ke arah gerbang dimensi, seakan tidak berkedip ke arah itu. Hingga dia dikegetkan dengan tepukan lembut di pundaknya.“Yuan, Ayahanda tidak akan datang,” bisik Yui memeluk Yuan dengan lembut. “Kenapa?” gumam Yuan yang samar-samar terdengar di telinga Yui.“Jubah yang kau berikan saat ini dipakai Kak Yuasa, kurasa itu alasannya. Kau harus membuat dunia ini bebas kontaminasi lalu ajak Ayahanda ke sini,” saran Yui. Dia menepuk lembut punggung Yuan sebelum melepaskannya.“Kau benar, Yui. Ayo kita selesaikan masalah dunia bawah.” Yuan kembali bersemangat, untuk terakhir kalinya dia menoleh ke arah gerbang dimensi.“Eirlys dan yang lain sudah menunggu,” lanjut Yui menarik tangan Yuan. Mereka berlari menuju ke arah kereta kuda yang sudah dilengkapi dengan semua persiapan. Yui melihat Rafael juga ada di sana. “Paman ikut?” tanya Yui dengan manja menarik tangan Rafael dan bergelayut manja di sana. Yuan yang melihat Yui seperti itu mulai berpikir apakah benar Raf
“Tunggu Lenora!” Yoru mulai ragu dengan penawaran Lenora, meskipun dia tidak mengganggu hubungan Rafael dan Yui masa depan yang dia lihat tetap tidak berakhir bahagia. “Ada apa? Bukankah kau sudah setuju.” Lenora menyeringai seakan dia sudah tahu gambaran masa depan yang baru saja dilihat Yoru. “Yui dan Rafael tidak berakhir bahagia, itu tidak sebanding dengan pengorbanan apapun yang akan kuberikan, jika dia tidak pasti bahagia, aku tidak akan tinggal diam.” Yoru menarik kembali persetujuannya, dia tidak akan menuruti apapun keinginan Lenora jika Yui tidak bahagia. “Jadi, apa maumu? Putri Yui memang bukan berasal dari dunia bawah, itu tidak bisa diubah. Kenyataan yang sama dengan identitas Pangeran Yuan.” Lenora memainkan tangannya, dia terlihat sedang berpikir. Wajah anggunnya terlihat berubah seperti seorang yang sedang mempermainkan takdir. “Kalau kau mau memberinya identitas lain, dia bisa menjadi pemilik kristal hitam.” Mendengar hal itu, mata Yoru menyipit menatap lurus ke
Yoru melihat dirinya sendiri, dirinya saat masih anak-anak, lebih tepatnya sosok Nacht saat masih anak-anak. Dia masih begitu polos dengan dunia ini. Ada keinginan kecil dalam hatinya untuk memeluk Nacht kecil saat ini. Belum sempat tangannya menggapai anak itu tubuhnya berpindah. Saat itu adalah pertemuan pertamanya dengan Yui, gadis yang begitu menarik perhatiannya. “Putri Yui,” gumam Yoru. Di saat yang sama, dari sudut pandangnya saat ini dia bisa melihat yang tidak pernah dia lihat selama ini. “Jadi selama ini Nacht juga melihat Yui,” batin Yoru. Selama ini hanya dia saja yang mengira tertarik dengan Yui. Yoru baru menyadari Nacht tertarik karena dia adalah pemilik kristal tanpa warna. “Kau sudah melihatnya?” Yoru terkejut dengan kemunculan Lenora yang tiba-tiba. “Apa maksudmu?” tanya Yoru dan wanita dengan gaun dan jubah bulu binatang itu hanya menyeringai. Yoru kembali berpindah tempat, tempat itu begitu sunyi. Hanya ada kegelapan tak berujung. Lalu suara-suara terdengar.
Suasana di bawah Pohon Kehidupan terasa mencekam. Dua makhluk yang tidak pernah berada di dunia atas muncul. Naga hitam yang terlihat bengis dengan sisik kemilau berwarna hitam pekat. Matanya merah seakan bisa menelan semua elf yang ada dihadapannya. Satu lagi seekor harimau hitam besar dengan loreng putih dan mata merah menyala. Keduanya berada di belakang pria itu, pria yang baru saja bangkit kembali setelah terbakar dan berubah menjadi abu.“Aku? Kau bertanya siapa aku?” ucap pria itu mengulangi pertanyaan Raja Arlen seakan memastikan dirinya tidak salah.“Ya, siapa Anda?” Raja Arlen mundur satu langkah setelah kemunculan dua makhluk yang begitu menakutkan itu, Sangat jelas jika keduanya merupakan makhluk milih anak pembawa petaka atau Raja kegelapan yang pernah mengamuk waktu itu.Pria itu mengamati kedua tangannya, alisnya berkerut, dia kemudian meletakkan tangan di wajahnya seakan memeriksa wajahnya. “Apa kalian memiliki cermin?” tanyanya.Raja Arlen memberikan cermin yang terbua
Di Ergions, Raja Arlen meletakkan Penjara Daun di Pohon Kehidupan. Udara berembus dingin, membawa aroma tanah dan getah pohon yang khas.“Moura, kau harus memastikan daun ini tidak pernah gugur,” pesan Raja Arlen, suaranya berat, diiringi desiran angin yang berbisik di antara dedaunan Pohon Kehidupan yang menjulang tinggi.Moura, dengan kekuatan jiwa pohon yang mengalir dalam dirinya, mengangkat daun itu hingga ke ranting tertinggi. Namun, saat daun itu menyentuh ranting, seolah-olah disentuh api neraka, daun tersebut terbakar dengan cepat. Api itu menari-nari seperti ular ganas, melahap daun tersebut dalam sekejap mata.Raja Arlen dan Moura tersentak kaget. Mereka berusaha memadamkan api, namun sia-sia. Hanya abu yang tersisa di tangan Moura, abu yang dingin dan terasa seperti debu waktu.“Yang Mulia, bagaimana ini?” tanya Moura, suaranya bergetar, seperti dedaunan yang diterpa angin ribut.“Aku tidak tahu, Moura,” balas Raja Arlen, matanya menyipit, gelap seperti langit sebelum bada
Rafael, Xavier, dan Razen meninggalkan kamar Yuan, langkah kaki mereka senyap di lorong. Mereka tak ingin mengganggu Yuasa yang sedang fokus memulihkan Yuan. Lixue dan Eirlys turut serta begitu pula dengan Yui yang memilih mengikuti Eirlys. Di dalam kamar, hanya Yuasa yang tersisa di sisi Yuan, sementara Rosaline menunggu dengan sabar di luar, sesekali melirik ke dalam.“Bukankah aneh jika Paman jatuh cinta pada Yui? Apa dia terkena mantra?” bisik Yuan, suaranya lemah, namun penuh kecurigaan.Yuasa menatap Yuan, alisnya terangkat sebelah. Tangannya yang lembut dan terampil masih bekerja, mengatur aliran energi untuk menstabilkan peredaran darah Yuan dan meredakan rasa sakitnya. Dia berdecak pelan mendengar ucapan Yuan. Adiknya yang satu ini memang sedikit kurang peka soal cinta. “Menurutmu, bagaimana dengan Eirlys?” tanya Yuasa, menguji Yuan.“Dia cantik, aku suka,” jawab Yuan polos, senyum merekah di wajahnya, tak mampu menyembunyikan perasaannya. Rona merah muda menghiasi pipinya, s
“Tenang, Paman, itu tidak melukai Yui,” ucap Yuasa. Dia tahu dari raut wajah Rafael yang terlihat cemas.Angin itu seakan menarik elemen air, bukan hanya angin, kini Yui berada di dalam pusaran angin dan air secara bersamaan dan dalam waktu singkat keduanya seakan menguap menjadi kabut tebal. Mereka tidak bisa melihat dengan jelas, seluruh ruangan dipenuhi kabut. Lalu cahaya mulai terlihat, api yang begitu besar menyala. Sepasang sayap api berada di punggung Yui, mata hitam Yui berubah menjadi jingga, kilatannya terlihat menyala bagai api. Di saat yang bersamaan tubuh Yuan terangkat oleh kekuatan yang begitu besar.Rafael tiba-tiba merasakan dorongan luar biasa hingga aliran kekuatan yang dihisap Yuan terputus dengan sendirinya. Mereka bertiga terdorong hingga jatuh ke lantai.Yuan membuka matanya perlahan, mata itu tidak terlihat memiliki kesadaran. Mata perak Yuan kini berkilat seperti Yui, dalam lingkaran api yang sangat kuat tubuh Yuan terbakar.“Yuan!” teriak mereka semua.Yuasa p
“Yui!” teriak Rafael, dia terlihat menarik tangannya, “Panggil Xavier atau Razen, siapa pun yang bisa menolong. Yuan menyerap kekuatanku!” Rafael berusaha menahan dirinya, menarik aliran kekuatan yang dia berikan. Namun, semakin dia menarik diri, dia seperti terus terhisap dalam lumpur yang semakin dalam.“Paman!” seru Yui, dia mencoba sekali lagi menggunakan kekuatannya. Nihil, tidak ada lingkaran sihir yang keluar. “Kenapa? Kenapa begini?”Eirlys yang juga panik berusaha mengendalikan diri, dia harus berpikir jernih dengan kondisi saat ini. “Biar aku yang memanggil bantuan,” usul Eirlys segera keluar dari kamar tersebut, berlari ke kamar kakaknya, Lixue.Rafael semakin melemah, dia tidak mengerti kenapa Yuan justru berbalik menyerap kekuatannya. Tubuhnya mulai kehilangan setengah dari energinya dan masih belum bisa memutuskan aliran energi tersebut.“Serangan balik, seharusnya aku dan Yuan yang melakukan mengorbanan, karena hanya aku sendiri, kekuatanku tidak kembali dan Yuan mengala