Api Suzaku membesar, lidah-lidah api merah menyala menjilat-jilat penghalang Genbu hingga terasa seperti kulit terbakar. Yuan, Yuasa, dan Rafael tersentak mundur, panas yang menyengat menusuk pori-pori mereka seperti ribuan jarum. Rasanya seperti berada di jantung gunung berapi yang sedang meletus.“Yui!” pekik Yuan, panik. Kehadiran Yui, seperti embun pagi yang menghilang ditelan mentari, lenyap tanpa jejak. Hanya kesunyian yang tersisa, dingin dan mencekam. Pedang es abadi, dinginnya menusuk tulang, kini berada di tangannya. Barrier Genbu membeku seketika, namun api Suzaku, seperti naga yang haus, menelan es itu dalam sekejap mata. Es yang mencair itu menciptakan uap yang membasahi wajah mereka, terasa dingin di kulit yang sebelumnya terbakar panas.Jantung Rafael berdebar-debar seperti genderang perang yang dipukul bertubi-tubi. Dia mengamuk, mencoba menghancurkan penghalang itu. Api Suzaku yang mengamuk di dalam sana bagaikan raksasa yang terbangun dari tidurnya, matanya yang meny
Raja Arlen terhuyung, terjerembab di tanah dingin, napasnya tertahan saat mata pedang Yuichi berkilat di hadapannya. Tak pernah terlintas dalam benaknya bahwa Yuichi akan diliputi amarah yang begitu membara.“Kau sudah tahu akibatnya, namun tetap memaksa putriku untuk berkorban!” teriak Yuichi, suaranya menggema, penuh kemarahan yang menggetarkan udara. Pedangnya tetap teracung, meski Ratu Esmeralda berusaha menghalangi dengan tangan gemetar.“Bukan hanya Raja Arlen yang mengetahui hal ini, Putri Yui sendiri yang bersedia melakukannya,” ujar Ratu Esmeralda, suaranya lembut namun tegas, berusaha meredakan badai amarah Yuichi. Namun, kata-katanya seolah terhempas angin, tak berdaya.Daun kecoklatan di tangan Raja Arlen bergetar, seakan ada sesuatu yang memicunya. Dia menatap daun itu dan berusaha menguncinya.“Ayahanda! Tenanglah!” seru Yuan, memeluk ayahnya erat, perlahan menurunkan pedang yang digenggam Yuichi. Yuan menyadari bahwa daun di tangan Raja Arlen bereaksi terhadap kemarahan
Rafael duduk diam, memandangi abu di depannya dengan tatapan kosong. Tangannya bergetar saat menyentuh abu tersebut, seolah merasakan sisa-sisa kehangatan yang pernah ada. “Yui,” gumamnya samar, suaranya lembut seperti desiran angin yang menyusup di antara dedaunan.Di sebelahnya, Yuan melepaskan pelukan dari Yuichi. Setelah memastikan ayahnya tenang, dia melangkah mendekati Rafael, duduk di samping pria itu, merasakan dinginnya tanah yang menyerap ke dalam kulit.“Ini salahku,” gumam Yuan, suaranya timbul tenggelam seperti ombak yang menghantam karang. Ada beban berat yang menggantung di setiap kata yang diucapkannya.“Katakan padaku, sebenarnya apa yang kalian rencanakan?” tanya Rafael, suaranya serak, penuh dengan rasa ingin tahu yang bercampur dengan kepedihan. Dia tahu semua itu tidak akan mengubah kenyataan bahwa Yui telah pergi, tetapi setidaknya dia ingin mengerti.“Yui,” ucap Yuan, masih terlihat ragu, seolah kata-kata itu adalah duri yang harus ditelan. “Yui menerima daun te
“Rafael,” bisik Xavier.Tanpa ada kata lain yang terucap, Rafael tanpa menoleh menjawab, “Bawa Yuan, aku masih ingin di sini, masih ingin menemani Yui.”Melihat sahabat kecilnya masih terpaku pada abu Putri Yui, Xavier mengangkat tubuh Yuan dan mulai membawanya ke Blackdragon. Dia juga meminta seseorang untuk memanggilkan Ernesh. Selain Yuasa hanya dia yang bisa membantu mengobati Yuan. Yuasa sudah kembali bersama Yuichi dan pasukannya ke dunia atas, mereka mungkin tidak akan kembali lagi.Sementara itu, Rafael masih terdiam tanpa kata. Tempat pertempuran itu kini sepi, lebih sepi dari kuburan. Dia seorang diri di antara reruntuhan ibukota. Langit seakan melihat dirinya bersedih dan ikut menangis, tetesan butir-butir bening dari langit membuat Rafael menutup kotak abu Yui, tak ingin abu gadis cantik di hatinya basah. Dia juga memeluk kotak itu erat-erat melindunginya dari hujan.“Yui,” gumam Rafael. Seakan air dari langit mengerti keinginnnya, bayangan Yui terlihat begitu jelas di mat
Sosok Yui terbentuk sempurna, seakan tidak terjadi apapun padanya. Dia terdiam sejenak, mengamati situasi baru yang mengelilinginya saat baru saja membuka matanya.“Paman?” gumam Yui, suaranya lembut seperti bisikan angin. Dia sendiri masih tidak percaya, semua ingatannya masih sangat jelas, seolah terukir dalam benaknya. Yui sadar saat tubuhnya perlahan terbakar menjadi serpihan, seperti daun kering yang terhempas oleh api.“Apa aku hidup lagi?” batin Yui, mencerna keadaannya saat ini. Di balik punggung Rafael, dia menatap tangannya, menggerakkan perlahan, dan merasakan kehangatan yang mengalir di sepuluh jarinya. Dia juga merasakan kuatnya pelukan Rafael, seolah pria itu adalah pelindung yang tak tergoyahkan.“Paman,” bisik Yui perlahan, suaranya hampir tak terdengar di telinga Rafael.Pria itu melonggarkan pelukannya, perlahan menurunkan Yui hingga kakinya menyentuh tanah gersang nan tandus. Dia menatap lekat-lekat wajah cantik yang sempat menghilang dalam hidupnya, seolah ingin mem
Kediaman Blackdragon.Ernesh sedang berada di dapur kediaman Blackdragon menyiapkan ramuan untuk Pangeran Yuan. Aroma ginseng dan juga daun-daun yang lain menyeruak saat tutup dari ramuan itu dibuka. Api mulai dikecilkan dan dengan sabar dia menunggu hingga ramuan tersebut siap untuk diminum.“Kau yakin obatmu itu bisa membuat Pangeran Yuan sembuh,” ucap Xavier yang sedari tadi berjalan mondar-mandir. Langkahnya cepat dan tidak teratur menencerminkan dirinya sedang gelisah dan tidak tenang.“Kita hanya bisa mencoba, Xavier, tenangkan dirimu,” jawab Ernesh. Setelah mendengar kondisi Pangeran Yuan lalu memeriksanya, dia mengambil kesimpulan bahwa Pangeran Yuan tidak benar-benar terluka. Dia hanya kelelahan setelah menggunakan kekuatannya dalam jangka waktu lama dan tanpa jeda.“Ini sudah ramuan kedua yang kau buat dan dia belum juga siuman,” balas Xavier semakin merasa frustasi, dia takut, takut terjadi sesuatu pada Pangeran Yuan.Ernesh menatap iba ke arah Xavier. Temannya itu benar-be
Ibukota Kerajaan Cahaya.Gerbang dimensi yang masih menghubungkan dunia bawah dengan dunia menjadi jalan tercepat pasukan bangsa kristal untuk kembali. Tidak ada satu pun pasukan yang terluka karena Raja Yuasa yang telah menyembuhkan semua luka pasukannya. Mereka keluar dari gerbang dimensi dengan senang hati tanpa ada lagi rasa duka maupun kebencian.“Akhirnya kembali, udara di dunia atas memang yang terbaik,” ucap Yuasa menghirup dalam-dalam udara yang ada dan menghembuskannya perlahan.“Ya, sekarang cepatlah kembali, Yuan memerlukanmu dan juga jubah ini!” perintah Yuichi mendesak Yuasa. Dia juga menyerahkan jubah hitam perak kepada Yuasa.Yuasa mengangguk, “Ayahanda tidak apa-apa? Mungkin lebih baik tinggal di istana saja dulu baru ke Kota Naga besok atau lusa,” saran Yuasa.Baru beberapa langkah Yuasa berpisah dengan Yuichi dia merasa kepalanya berdenyut dengan rasa sakit luar biasa. Dia memijit pelipisnya dengan satu tangan.“Yang Mulia? Anda baik-baik saja?” tanya Rosaline yang
Mata gadis itu berkaca-kaca, seolah lautan emosi bergelora di dalamnya. Tangannya terkepal erat, menggigit bibir bawahnya hingga terasa pahit. Dia menahan diri untuk tidak berteriak, suara hatinya terperangkap setelah mendengar ucapan dari ayahnya, Reymond Rubyheart.“Tenangkan dirimu, Rosaline,” bisik Damian lembut di telinga adik perempuannya. Ia menahan bahu Rosaline, berdiri kokoh di depan gadis itu, seolah menjadi perisai dari badai yang mengamuk di dalam hatinya.“Ayah, apa tidak bisa diteruskan saja?” sambung Damian, suaranya penuh harap. “Bagaimana pun juga, Yuasa sudah pernah melakukan ujian untuk meminang Rosaline, dan semua itu telah disetujui.”Pria dengan mata dan rambut merah yang senada itu menoleh ke arah Damian. Wajahnya terlihat kaku, seperti batu yang tak bisa digoyahkan. “Saat itu aku bisa mentolerir karena dia memiliki kekuatan naga, tapi semua sudah hilang. Kristalnya tidak cocok untuk kristal merah kita,” balas Reymond, bersikukuh menolak Yuasa sebagai calon pas
Tanah bergetar dengan kuat, bagaikan gempa yang kembali terjadi. Dari tempat mereka berpijak mulai terbentuk jalan yang membentang hingga ke depan gerbang istana. Jalan yang terbuat dari tanah, tetapi bukan tanah biasa. Tanah itu sudah lebih keras seakan terbuat dari batuan mengkilap seperti marmer. Jalan itu terus terbentuk hingga gerbang kota seakan mereka berdua sedang membuat jalan utama ibukota menuju ke istana.“Mereka memperbaiki ibukota?!” Antara percaya dan tidak, mereka yang ada di sana tercengang dengan apa yang dilakukan kedua anak kembar tersebut. Yui memiliki gerakan berbeda dan diikuti oleh Yuan. Mereka seperti menari di udara, para spirit masih mengikuti Yuan kemana pun dia melangkah. Memberikan energi yang besar kepada sang pangeran.Kali ini tunas-tunas muncul di pinggir jalan membentuk sebuah garis yang ditumbuhi rerumputan dan setiap dua meter terdapat pohon yang kini mulai menggeliat di atas tanah, menjulang dan mengembangkan daun-daunnya yang rimbun.Mereka berd
Mata itu masih menatap lurus ke arah gerbang dimensi, seakan tidak berkedip ke arah itu. Hingga dia dikegetkan dengan tepukan lembut di pundaknya.“Yuan, Ayahanda tidak akan datang,” bisik Yui memeluk Yuan dengan lembut. “Kenapa?” gumam Yuan yang samar-samar terdengar di telinga Yui.“Jubah yang kau berikan saat ini dipakai Kak Yuasa, kurasa itu alasannya. Kau harus membuat dunia ini bebas kontaminasi lalu ajak Ayahanda ke sini,” saran Yui. Dia menepuk lembut punggung Yuan sebelum melepaskannya.“Kau benar, Yui. Ayo kita selesaikan masalah dunia bawah.” Yuan kembali bersemangat, untuk terakhir kalinya dia menoleh ke arah gerbang dimensi.“Eirlys dan yang lain sudah menunggu,” lanjut Yui menarik tangan Yuan. Mereka berlari menuju ke arah kereta kuda yang sudah dilengkapi dengan semua persiapan. Yui melihat Rafael juga ada di sana. “Paman ikut?” tanya Yui dengan manja menarik tangan Rafael dan bergelayut manja di sana. Yuan yang melihat Yui seperti itu mulai berpikir apakah benar Raf
“Tunggu Lenora!” Yoru mulai ragu dengan penawaran Lenora, meskipun dia tidak mengganggu hubungan Rafael dan Yui masa depan yang dia lihat tetap tidak berakhir bahagia. “Ada apa? Bukankah kau sudah setuju.” Lenora menyeringai seakan dia sudah tahu gambaran masa depan yang baru saja dilihat Yoru. “Yui dan Rafael tidak berakhir bahagia, itu tidak sebanding dengan pengorbanan apapun yang akan kuberikan, jika dia tidak pasti bahagia, aku tidak akan tinggal diam.” Yoru menarik kembali persetujuannya, dia tidak akan menuruti apapun keinginan Lenora jika Yui tidak bahagia. “Jadi, apa maumu? Putri Yui memang bukan berasal dari dunia bawah, itu tidak bisa diubah. Kenyataan yang sama dengan identitas Pangeran Yuan.” Lenora memainkan tangannya, dia terlihat sedang berpikir. Wajah anggunnya terlihat berubah seperti seorang yang sedang mempermainkan takdir. “Kalau kau mau memberinya identitas lain, dia bisa menjadi pemilik kristal hitam.” Mendengar hal itu, mata Yoru menyipit menatap lurus ke
Yoru melihat dirinya sendiri, dirinya saat masih anak-anak, lebih tepatnya sosok Nacht saat masih anak-anak. Dia masih begitu polos dengan dunia ini. Ada keinginan kecil dalam hatinya untuk memeluk Nacht kecil saat ini. Belum sempat tangannya menggapai anak itu tubuhnya berpindah. Saat itu adalah pertemuan pertamanya dengan Yui, gadis yang begitu menarik perhatiannya. “Putri Yui,” gumam Yoru. Di saat yang sama, dari sudut pandangnya saat ini dia bisa melihat yang tidak pernah dia lihat selama ini. “Jadi selama ini Nacht juga melihat Yui,” batin Yoru. Selama ini hanya dia saja yang mengira tertarik dengan Yui. Yoru baru menyadari Nacht tertarik karena dia adalah pemilik kristal tanpa warna. “Kau sudah melihatnya?” Yoru terkejut dengan kemunculan Lenora yang tiba-tiba. “Apa maksudmu?” tanya Yoru dan wanita dengan gaun dan jubah bulu binatang itu hanya menyeringai. Yoru kembali berpindah tempat, tempat itu begitu sunyi. Hanya ada kegelapan tak berujung. Lalu suara-suara terdengar.
Suasana di bawah Pohon Kehidupan terasa mencekam. Dua makhluk yang tidak pernah berada di dunia atas muncul. Naga hitam yang terlihat bengis dengan sisik kemilau berwarna hitam pekat. Matanya merah seakan bisa menelan semua elf yang ada dihadapannya. Satu lagi seekor harimau hitam besar dengan loreng putih dan mata merah menyala. Keduanya berada di belakang pria itu, pria yang baru saja bangkit kembali setelah terbakar dan berubah menjadi abu.“Aku? Kau bertanya siapa aku?” ucap pria itu mengulangi pertanyaan Raja Arlen seakan memastikan dirinya tidak salah.“Ya, siapa Anda?” Raja Arlen mundur satu langkah setelah kemunculan dua makhluk yang begitu menakutkan itu, Sangat jelas jika keduanya merupakan makhluk milih anak pembawa petaka atau Raja kegelapan yang pernah mengamuk waktu itu.Pria itu mengamati kedua tangannya, alisnya berkerut, dia kemudian meletakkan tangan di wajahnya seakan memeriksa wajahnya. “Apa kalian memiliki cermin?” tanyanya.Raja Arlen memberikan cermin yang terbua
Di Ergions, Raja Arlen meletakkan Penjara Daun di Pohon Kehidupan. Udara berembus dingin, membawa aroma tanah dan getah pohon yang khas.“Moura, kau harus memastikan daun ini tidak pernah gugur,” pesan Raja Arlen, suaranya berat, diiringi desiran angin yang berbisik di antara dedaunan Pohon Kehidupan yang menjulang tinggi.Moura, dengan kekuatan jiwa pohon yang mengalir dalam dirinya, mengangkat daun itu hingga ke ranting tertinggi. Namun, saat daun itu menyentuh ranting, seolah-olah disentuh api neraka, daun tersebut terbakar dengan cepat. Api itu menari-nari seperti ular ganas, melahap daun tersebut dalam sekejap mata.Raja Arlen dan Moura tersentak kaget. Mereka berusaha memadamkan api, namun sia-sia. Hanya abu yang tersisa di tangan Moura, abu yang dingin dan terasa seperti debu waktu.“Yang Mulia, bagaimana ini?” tanya Moura, suaranya bergetar, seperti dedaunan yang diterpa angin ribut.“Aku tidak tahu, Moura,” balas Raja Arlen, matanya menyipit, gelap seperti langit sebelum bada
Rafael, Xavier, dan Razen meninggalkan kamar Yuan, langkah kaki mereka senyap di lorong. Mereka tak ingin mengganggu Yuasa yang sedang fokus memulihkan Yuan. Lixue dan Eirlys turut serta begitu pula dengan Yui yang memilih mengikuti Eirlys. Di dalam kamar, hanya Yuasa yang tersisa di sisi Yuan, sementara Rosaline menunggu dengan sabar di luar, sesekali melirik ke dalam.“Bukankah aneh jika Paman jatuh cinta pada Yui? Apa dia terkena mantra?” bisik Yuan, suaranya lemah, namun penuh kecurigaan.Yuasa menatap Yuan, alisnya terangkat sebelah. Tangannya yang lembut dan terampil masih bekerja, mengatur aliran energi untuk menstabilkan peredaran darah Yuan dan meredakan rasa sakitnya. Dia berdecak pelan mendengar ucapan Yuan. Adiknya yang satu ini memang sedikit kurang peka soal cinta. “Menurutmu, bagaimana dengan Eirlys?” tanya Yuasa, menguji Yuan.“Dia cantik, aku suka,” jawab Yuan polos, senyum merekah di wajahnya, tak mampu menyembunyikan perasaannya. Rona merah muda menghiasi pipinya, s
“Tenang, Paman, itu tidak melukai Yui,” ucap Yuasa. Dia tahu dari raut wajah Rafael yang terlihat cemas.Angin itu seakan menarik elemen air, bukan hanya angin, kini Yui berada di dalam pusaran angin dan air secara bersamaan dan dalam waktu singkat keduanya seakan menguap menjadi kabut tebal. Mereka tidak bisa melihat dengan jelas, seluruh ruangan dipenuhi kabut. Lalu cahaya mulai terlihat, api yang begitu besar menyala. Sepasang sayap api berada di punggung Yui, mata hitam Yui berubah menjadi jingga, kilatannya terlihat menyala bagai api. Di saat yang bersamaan tubuh Yuan terangkat oleh kekuatan yang begitu besar.Rafael tiba-tiba merasakan dorongan luar biasa hingga aliran kekuatan yang dihisap Yuan terputus dengan sendirinya. Mereka bertiga terdorong hingga jatuh ke lantai.Yuan membuka matanya perlahan, mata itu tidak terlihat memiliki kesadaran. Mata perak Yuan kini berkilat seperti Yui, dalam lingkaran api yang sangat kuat tubuh Yuan terbakar.“Yuan!” teriak mereka semua.Yuasa p
“Yui!” teriak Rafael, dia terlihat menarik tangannya, “Panggil Xavier atau Razen, siapa pun yang bisa menolong. Yuan menyerap kekuatanku!” Rafael berusaha menahan dirinya, menarik aliran kekuatan yang dia berikan. Namun, semakin dia menarik diri, dia seperti terus terhisap dalam lumpur yang semakin dalam.“Paman!” seru Yui, dia mencoba sekali lagi menggunakan kekuatannya. Nihil, tidak ada lingkaran sihir yang keluar. “Kenapa? Kenapa begini?”Eirlys yang juga panik berusaha mengendalikan diri, dia harus berpikir jernih dengan kondisi saat ini. “Biar aku yang memanggil bantuan,” usul Eirlys segera keluar dari kamar tersebut, berlari ke kamar kakaknya, Lixue.Rafael semakin melemah, dia tidak mengerti kenapa Yuan justru berbalik menyerap kekuatannya. Tubuhnya mulai kehilangan setengah dari energinya dan masih belum bisa memutuskan aliran energi tersebut.“Serangan balik, seharusnya aku dan Yuan yang melakukan mengorbanan, karena hanya aku sendiri, kekuatanku tidak kembali dan Yuan mengala