20 TAHUN SILAM
Hujan turun deras malam itu, membasahi jalanan yang gelap dan licin di daerah perbukitan. Sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi, membelah malam dengan cahaya lampunya yang menerangi kabut tebal. Di dalamnya, seorang pria berusia awal 30-an mengemudi dengan gelisah. Di sampingnya, seorang wanita muda memeluk erat seorang bayi kecil yang tertidur pulas di gendongannya. “Mas, kamu yakin tidak ada yang mengikuti kita?” Suara istrinya, Lestari, terdengar penuh kecemasan. Hastanta, pria bertubuh tegap dengan rahang tegas, menggenggam kemudi lebih erat. “Aku tidak tahu, Tari. Tapi aku merasa ada yang tidak beres.” Jantungnya berdebar. Sejak beberapa bulan terakhir, ia dan keluarganya merasa seperti diawasi. Ada banyak kejadian aneh yang membuatnya curiga, tapi ia tidak pernah menyangka bahwa malam ini, firasat buruknya akan menjadi kenyataan. Sagara, adiknya, tidak pernah benar-benar menyayanginDi ruang ICU, Mita terbaring tanpa nyawa. Monitor jantung yang sebelumnya berbunyi kini hanya menampilkan garis lurus.Sagara berdiri di ujung tempat tidur, menatap wajah istrinya yang kini telah pergi. Tangannya mengepal di sisi tubuh, matanya merah, tapi tak ada air mata yang jatuh.Ia tidak bisa menangis.Sagara tahu, ini semua salahnya.Keputusannya. Keserakahannya.Dulu, ia menganggap dirinya pria yang tak terkalahkan. Seorang pengusaha sukses dengan segalanya—harta, kuasa, dan keluarga yang harmonis di mata publik. Tapi sekarang?Ia kehilangan semuanya.Istri yang ia cintai telah tiada.Anaknya, Gala, kini membencinya.Dan bisnisnya?Hancur.Ponselnya bergetar di dalam sakunya, tapi ia mengabaikannya. Ia tak peduli lagi dengan semua panggilan itu.Namun, tiba-tiba suara gaduh terdengar dari luar ruangan ICU. Beberapa perawat dan dokter terlihat saling berbisik, sementara
Kalingga duduk di sudut ruangan dengan tatapan kosong. Tangannya mencengkeram perutnya yang mulai terasa nyeri, namun bukan rasa sakit itu yang menguasai pikirannya.Hatinya bergejolak, pikirannya penuh dengan ketakutan.Dia tahu hukum dan syariat Islam. Dia tahu bahwa pernikahan harus sah di hadapan Allah, dengan wali yang benar.Dan sekarang?Kasno bukan ayah kandungnya.Hastanta—pria yang bahkan tidak pernah ia kenal seumur hidupnya—adalah ayahnya yang sebenarnya.Lalu bagaimana dengan pernikahannya dengan Gala?Apakah selama ini dia telah hidup dalam dosa?Pikirannya berputar-putar. Ia ingin meyakinkan dirinya bahwa semua baik-baik saja, tapi setiap kali ia mencoba berpikir jernih, hatinya justru semakin hancur.Jika pernikahannya tidak sah, itu berarti …Anak dalam kandungannya adalah anak yang lahir di luar nikah?"Astaghfirullah …." Kalingga meremas kepalanya, dadanya terasa ses
Kalingga duduk di tepi tempat tidur, memandangi jendela yang terbuka. Angin sore menyentuh wajahnya, tetapi pikirannya melayang pada semua kekacauan yang baru saja terjadi. Ini semua salahku. Aku yang menyeret Ilman, Pak Cakra, dan Ibu Rinjani ke dalam masalah ini. Aku yang menyebabkan luka pada Ilman. Apa yang sebenarnya kupikirkan?Pintu kamar terbuka perlahan, Gala masuk dengan langkah berat. Matanya sembab, dan wajahnya terlihat lebih lelah dari sebelumnya. Ia berhenti di depan Kalingga, menatapnya dalam diam sebelum akhirnya duduk di kursi di dekatnya.“Kalingga ....” Gala memanggil namanya dengan suara berat. Ia meraih tangan Kalingga, menggenggamnya erat. “Maafkan aku,” ucapnya, dan untuk pertama kalinya, air mata mengalir di pipinya.Kalingga terpaku. Ia menatap Gala, tak pernah menyangka pria itu bisa menangis. Selama ini, Gala adalah sosok yang keras, tak tersentuh oleh emosi. Tetapi di hadapannya sekarang, Gala terlihat rapuh.“Apa yang
Kehancuran itu datang seperti gelombang pasang yang menelan segalanya. Selena duduk di dalam apartemen kecil yang dulu penuh dengan kemewahan. Sekarang, semua yang tersisa hanya sisa-sisa kehidupan yang berantakan. Dulu, dia adalah model ternama. Wajahnya terpampang di billboard, majalah mode, dan layar kaca. Sekarang? Semua tawaran pekerjaan hilang begitu saja. Nama baiknya hancur setelah video pengakuannya tersebar ke seluruh negeri. Keterangan kesehatan jiwa palsu. Kebohongan besar. Ya, segala harta yang dimilikinya sekaligus kuasa seorang koleganya, Selena berhasil menipu semua orang. Termasuk status orang dalam gangguan jiwa-nya pun palsu. Orang melihatnya dia terpuruk dan gila, tapi sesungguhnya dia .... tak gila. Hanya lari dari hinaan. Dia menjadi bahan cemoohan, dijuluki sebagai wanita haus ketenaran yang rela melakukan apa pun demi mendapatkan perhatian. Tapi yang paling menyakitkan bukanlah itu. Yang paling menyakitkan adalah … Gala benar-benar meninggalkannya. Sele
18 tahun kemudian ....Matahari Jakarta menyengat saat Galen melangkah keluar dari terminal kedatangan internasional. Udara panas dan lembap langsung menyergapnya, kontras dengan udara dingin Eropa yang biasa ia hirup. Dengan hoodie hitam dan earphone di telinga, dia melangkah malas mendorong ibunya yang duduk di kursi roda. Selena, atau yang telah mengubah namanya menjadi Hellen tampak lebih segar daripada terakhir kali.Selena tersenyum puas. Setelah bertahun-tahun bersembunyi di luar negeri, akhirnya ia bisa kembali ke tanah kelahirannya. Dan kali ini, ia tidak datang dengan tangan kosong.Galen sudah berusia 18 tahun. Dan dengan wajah tampannya yang diwarisi dari Gala, dia bisa menjadi kartu as dalam permainan yang sudah Selena rancang sejak lama."Lama sekali kita nggak pulang, ya?" Selena melirik putranya yang berjalan santai di sampingnya."Terserah," jawab Galen cuek. Dia tidak pernah benar-benar peduli dengan keputusan ibunya. Pe
Galen menyadari sesuatu sejak pertemuan pertama itu."Menarik! Gue harus dapetin dia, apapun caranya!" Senyuman misterius Galen muncul di balik pohon besar yang menutupinya mengawasi Maiza di tempat parkir khusus dosen dan rektor.Biasanya, saat ia masuk ke dalam ruangan, semua mata langsung tertuju padanya. Wanita-wanita tersenyum, para pria diam-diam merasa tersaingi. Bahkan dosen-dosen yang lebih tua pun biasanya memperlakukannya dengan cara yang berbeda—entah itu lebih lunak karena pesonanya atau lebih keras karena merasa terusik.Tapi Maiza berbeda."Ini kelas saya, Galen. Jangan coba untuk tebar pesona dan merayu saya untuk tidak bersikap tegas padamu!" Maiza sudah mendengar dari para dosen senior tentang Galen sebelum ia masuk kelas hari ini.Galen hanya bisa melongo dan mengerlingkan mata, meski telah diberi peringatan."Oke, siap!" katanya dengan memberi sikap hormat sebelum duduk di kursinya. Pandangannya tak lepas dari wajah Maiza yang datar tanpa ekspresi.Sejak hari itu,
Suara erangan seorang perempuan menggema dari dalam ruangan Direktur Pemasaran. Langkah Maiza yang membawa paper bag di tangannya terhenti di depan pintu setengah terbuka. Jantungnya berdegup kencang, sementara tubuhnya bergidik ngeri."Diamlah! Aku sudah tak sabar meski satu jam lagi. Siapa suruh sangat menggoda di depanku, hm?"Suara itu.Suara yang sangat ia kenali milik suaminya dan ... suara wanita yang dipercaya Maiza untuk menjadi sekretaris Catra.Maiza menahan napas, air mata jatuh tanpa bisa ia cegah. Berbagai ucapan menyakitkan dari mertuanya mendengung di kepala.'Kamu memang tak becus jadi istri, Mai! Laki-laki itu butuh perempuan nakal di ranjang, bukan sekadar pintar otaknya! Buat apa prestasi jika suamimu lebih tertarik pada perempuan lain?''Aku capek, Mai. Ada lembur sampai malam, jangan tunggu aku pulang!'Ternyata, ini yang dimaksud lembur?'Sa—yaaang, aarrrgh! I–ni ... di kan–tor, ssshhhh!'
Malam itu, hujan gerimis membasahi jalanan kota. Lampu-lampu jalan memantulkan cahaya di atas aspal basah, menciptakan bayangan-bayangan samar di antara lorong gelap. Maiza berjalan gontai tanpa arah. Hidupnya semakin tak berarti, suami yang harusnya menjadi tempatnya bersandar tak lagi ada. Pupus semua harapan untuk hidup lagi.Galen baru saja keluar dari minimarket, membawa sekaleng kopi dingin ketika matanya menangkap sosok familiar di seberang jalan. Setelah sebelumnya dia sempat kehilangan di jalanan padat saat mengikuti langkah sang dosen. Maiza?Jantungnya berdegup lebih cepat. Ia baru saja ingin berteriak memanggil, tetapi langkahnya terhenti ketika melihat sesuatu yang membuat darahnya mendidih.Tiga pria berjaket kulit mengelilingi Maiza, yang tampak terduduk di trotoar dengan wajah penuh ketakutan. Bajunya sedikit kusut, rambutnya berantakan karena hujan, dan matanya membengkak karena tangisan.Salah satu dari mereka jongkok,
Mentari pagi belum sepenuhnya naik ketika Galen perlahan membuka matanya. Tubuh Maiza masih tertelungkup di dadanya, napasnya tenang, wajahnya damai. Malam panjang yang mereka ulang berkali-kali itu telah menguras seluruh tenaga dan emosi. Tapi Galen tersenyum kecil. Semua itu nyata. Dia kembali ke tempat yang seharusnya: pelukan Maiza. Perlahan ia bangkit dari tempat tidur, menarik selimut menutupi tubuh kekasihnya. Ia mengenakan kembali celananya, melangkah ringan ke dapur. Tangannya mulai bekerja: mengiris bawang, mengocok telur, menyalakan kompor, dan menyiapkan kopi. Sambil memasak, benaknya melayang ke masa lalu. Ingatannya menguar, sejelas aroma tumisan yang memenuhi udara. Di penjara, Kalingga—ibunya—datang bersama Gala dan Sagara. Pertemuan itu seperti lembaran hidup yang dicabik paksa. Sagara tak lagi segarang dulu, kini hanya pria tua penuh penyesalan. Ia bicara lirih, mengaku semuanya. Bahwa semua ini bermula da
"Lakukan saja perintahku, NOAH!" bentak Maiza, suaranya meledak dalam kemarahan.Tak ada sepatah kata pun keluar dari Noah—sang asisten yang juga sahabat Galen. Ia hanya mengangguk singkat, lalu memutar balik kemudinya, melaju menuju tempat yang disebutkan Maiza.Perempuan itu terdiam, pikirannya sibuk menenun kegelisahan. Tatapannya kosong, mengarah lurus ke depan. Wajahnya datar dan dingin—tanpa jejak kesedihan, apalagi kebahagiaan. Namun perlahan, raut itu berubah. Menegang. Menyiratkan kemurkaan yang membakar.‘Kalau ini bukan halusinasi, aku harus tahu apa yang sebenarnya Galen sembunyikan dariku! Mungkin aku lemah di matanya, tapi aku akan buktikan kalau aku bisa hidup tanpa dia!’‘Sudahlah, Za ... ikhlaskan. Buka lembaran baru. Kamu Direktur Utama perusahaan multinasional sekarang—itu kesempatan langka! Gunakan baik-baik, Iza! Kamu bisa!’Suara-suara itu berisik di kepalanya. Saling tindih, saling beradu, seperti dua sisi dirinya t
"Apa ini bagian dari prank, Noah?" Maiza menggeleng dengan senyum kaku yang dipaksakan, meski air matanya telah jatuh tanpa disadari. Suaranya bergetar saat teriakannya pecah, “Ini nggak lucu!?” Ia menggeleng lebih kuat, mata terpejam rapat menahan denyut luka yang begitu dalam.Tubuhnya perlahan kehilangan tenaga. Lututnya lemas, jatuh meluruh ke lantai dingin. Ia terus menggeleng, tangisnya meledak bersamaan dengan wajah yang telah basah kuyup oleh air mata yang tak terbendung.“Galeeen,” panggilnya lirih, suara itu hampir tak terdengar. Tangannya mengusap dada, mengepal erat di sana. “Permainan apa lagi yang harus aku jalani, Tuhan ....” isaknya pecah, mengguncang bahunya dalam tangisan tersedu-sedu.———‘Ingatlah satu hal dariku, Mai ... kamu harus lebih tangguh dari masa lalu kamu. Semua yang kamu lalui adalah obat, meski pahit itu akan membuatmu lebih kuat. Lupakan yang telah ada di belakangmu, syukuri apa yang kamu jalani dan yakinlah bahwa
Maiza masih terduduk di lantai, memeluk foto dan secarik kertas yang telah mengubah segalanya. Dada sesak, tangis mengalir tanpa bisa ditahan. Entah berapa menit berlalu dalam diam dan guncangan.Hingga suara ponsel berdering memecah keheningan. Dengan tangan gemetar, ia mengangkat tanpa sempat melihat nama di layar."Halo?" Suaranya parau."Bu Maiza?" Suara dari seberang terdengar ragu. "Saya dari kepolisian. Kami ... kami ingin menyampaikan kabar duka."Maiza membeku."Apa maksud Anda?""Tahanan atas nama Galen, suami Anda ... ditemukan meninggal dunia pagi ini di ruang isolasi. Beliau diduga mengalami serangan jantung mendadak."Ponsel nyaris terlepas dari genggamannya. Maiza menatap kosong ke depan, seperti tak percaya pada apa yang baru saja didengarnya."T-tidak ... tidak mungkin. Baru saja aku masih ... masih bertemu dengannya! Dia baik-baik saja!"Suara dari seberang terdengar berat, seolah terb
"Aku sudah tak mengenalimu lagi, Hubby ...." suara Maiza pecah saat akhirnya ia berdiri dan berbalik, meninggalkan ruang tahanan dengan linangan air mata.Ia melangkah cepat keluar, seolah tak ingin siapa pun melihat rapuhnya. Kedua tangannya menutup mulut dan mengusap wajah yang kini telah basah. Dalam benaknya, kenangan bersama Galen berkelebat seperti kolase yang tersusun acak—tak utuh, tapi penuh warna.Ia mengingat saat pertama kali bertemu Galen, di taman itu, ketika hidupnya terasa seperti reruntuhan. Saat dia menangis dalam diam, dan pria muda itu menghampiri dengan kalimat sederhana yang mampu menyentuh hatinya.Sejak itu, Maiza percaya bahwa masih ada lelaki baik di dunia ini. Tapi mengapa sekarang, sosok yang dulu penuh perhatian itu menghilang? Ke mana mahasiswa polos itu pergi?Galen yang dulu melindunginya dari preman cabul—pria yang begitu sabar dan menjaga batas, yang tak pernah sekalipun memaksakan hasrat. Ia masih ingat jelas mal
Flashback – Sebelum Maiza Sadar di Apartemen Galen"Bereskan ma–yatnya," titah Galen sambil menekan earpiece-nya.Tubuhnya tegak, tatapan dinginnya mengarah pada sosok yang tergeletak lemah di sofa. Wajah Maiza tampak damai dalam ketidaksadaran, namun bayangan kemesraan antara mantan pasangan suami istri itu terus mengganggunya. Wajah Galen kembali mengetat, rona merah amarah naik ke pipi. Ia mengalihkan pandang, melangkah cepat keluar ruangan tanpa menoleh sedikit pun.Namun baru beberapa langkah, ia berhenti mendadak. Tangannya meremas rambut sendiri, kepalanya tertunduk, dan matanya terpejam kuat—seperti sedang berusaha menghapus senyuman Maiza di pagi hari dari pikirannya."Aaarrrgh!" teriaknya tertahan, membalikkan badan dengan gerakan penuh gejolak. Ia berjalan cepat kembali, melepas jaket dan merobek gorden hingga terlepas dari gantungannya.Dengan gerakan kasar, ia membungkus tubuh tak berbusana Maiza yang terkulai di sofa. Tidak ada
“By… aku berangkat dulu. Ada meeting penting hari ini. Mungkin pulang agak mal—”“Makanya sini dulu!”Tangan perempuan yang sudah rapi dalam setelan formal kantoran itu ditarik paksa hingga jatuh menimpa tubuh polos suaminya di ranjang.“Aku sudah mandi, By! Lima belas men—”Kalimatnya terpotong. Mulutnya dibungkam tanpa ampun oleh Galen yang langsung membalikkan posisi, menindih dengan gairah yang meletup.Satu minggu telah berlalu sejak insiden mengerikan itu. Tak satu pun jejak kasus tersisa.Pergerakan Secret Umbrella begitu senyap dan bersih. Big Boss mereka, seorang hacker jenius, mampu melumpuhkan sistem pemerintahan, menanamkan tersangka palsu, dan membebaskan seluruh anggota terlibat. Termasuk G4 dan Maiza—keduanya benar-benar lenyap dari radar publik.Hidup Galen dan Maiza kembali seperti biasa. Sepasang pengantin baru beda usia dan profesi itu melanjutkan rutinitas: Galen menyusun skripsi, Maiza sibuk mengelol
"Jangan takut lagi, aku akan menjaga dan melindungimu. I love you .…" Kecupan yang lama dan dalam dia jatuhkan di kening Maiza yang mengangguk perlahan.Pelukan itu terasa seperti rumah, dan Maiza memejamkan mata, membiarkan dirinya larut dalam hangatnya perlindungan Galen—lelaki yang hampir saja dia lupakan, tapi hatinya tetap mengenalinya, selalu."Maafkan aku. Aku pikir tak akan pernah bertemu denganmu, dan aku tak pernah termaafkan atas keegoisanku sendiri.""Tidak ada yang bersalah dan tak ada yang perlu dimaafkan, Sayang." Galen merenggangkan pelukan, menatap manik mata sembab milik cinta pertamanya. Mata yang penuh arti, menunjukkan cinta yang begitu dalam. Memancarkan harapan dan semangat dalam sorot tajamnya."Hub–by...."Mantan anak didiknya itu menarik napasnya, lalu menekan tengkuk Maiza, membuat kepalanya mendongak. Gerakan lembut dan penuh candu itu berkembang cepat—menjadi balasan tak tertahankan antara dua insan yang telah
“Aaarrrgh!?” Suara letusan memecah malam, bersamaan dengan jeritan Galen yang menyayat. Namun, tubuhnya tetap meluncur masuk ke dalam pipa pembuangan yang sudah dirusaknya lebih dulu—pelarian terakhir yang ia punya.Pintu kamar mandi didobrak paksa. Tiga pria berpakaian serba hitam menyerbu masuk dan langsung menghujani ruangan dengan tembakan brutal. Cipratan darah membekas di dinding dan lantai, menyisakan jejak yang mengerikan.“Dia nggak akan bertahan lama dengan peluru beracun kita! Cari barangnya di setiap sudut!” bentak pemimpin mereka dengan suara dingin dan menakutkan.Sementara itu, di dalam mobil yang melaju tak tentu arah, Maiza menatap pria yang duduk di balik kemudi dengan pandangan terpaku. Ketakutan makin menyesakkan dadanya.“Ka–kamu bukan Galen?” suaranya nyaris tak terdengar, tercekat oleh rasa ngeri.Dia mencuri pandang, berharap sang penolong hanyalah Galen yang menyamar—tapi tidak. Sosok itu menoleh sekilas, wajahnya