“Han,” panggil Emily. “Kenapa kau bersikap baik sekali padaku?”
Mendengar itu, Han berbalik badan untuk menatap Emily. Sejenak membuang napas lalu Han menjawab, “Tidak ada orang yang benar-benar ingin menemani mu tanpa maksud terselubung. Bagaimanapun, aku adalah manusia yang pasti akan berempati.” Tersenyum kelu, Emily merasa kecewa dengan jawaban itu. Tapi, ini juga bukan haknya untuk merasa tidak terima atas jawaban Han. “Baiklah...” ucap Emily pasrah, “aku berhutang padamu, Han. Sungguh, terimakasih...” Han tidak menjawab. Menurutnya, Emily juga tidak terlalu menyukai keberadaannya. Namun, mau dipikirkan terus menerus pun Han sendiri juga tidak bisa mengontrol perasaan khawatir yang menghantuinya. Emily sudah sadar, Han pikir akan berhenti datang ke rumah sakit. “Emily,” katanya pelan, “kalau kau memang tidak nyaman dengan keberadaan ku, kau bisa bilang. Tapi, sebelum itu kau beritahu saja apa yangMalam itu, Han masih duduk di apartemennya, berusaha menyelesaikan pekerjaan yang dibawanya dari kantor. Namun, pikirannya terus melayang ke Emily. Bayangan wanita itu dengan wajah lemah di ranjang rumah sakit menghantui pikirannya. Kemudian, sebuah pesan singkat masuk ke ponselnya. Pesan dari seorang perawat rumah sakit yang ia kenal, “Pria bernama Jarvis baru saja datang ke kamar Nona Emily.” Han terdiam, lalu merasakan detak jantungnya meningkat. Pikirannya penuh dengan kekhawatiran, ia tahu siapa Jarvis dan sejarahnya dengan Emily. “Ya ampun... sial!”Jika pria itu mencoba membuat masalah atau memaksa Emily, Han tidak akan memaafkan dirinya sendiri karena tidak ada di sana. Tanpa berpikir panjang, ia bangkit dari kursi. Beberapa dokumen yang ia pegang terjatuh di lantai, tapi Han tidak peduli. Dengan langkah tergesa, ia keluar dari apartemen dan masuk ke mobilnya. Mesin dinyalak
Han bangkit, meraih tengkuk Emily, dan mengecup bibirnya. Emily pun melotot kaget. Han melepaskan ciuman bibir itu, membuat tatapan mereka begitu dekat, dan lekat. “Han...” ucap Emily pelan, menunjukkan benar keterkejutannya. Han menelan ludah, itu dia lakukan secara reflek. “Aku tidak tahu apa yang aku lakukan, pikiranku memaksa untuk melakukan ini,” ungkap Han. **** Di kamar rumah sakit yang sunyi, Helena terbaring dengan wajah yang pucat namun tetap cantik. Sorot matanya sayu, memandangi Hendrick dan Helios yang duduk di samping tempat tidurnya. Dua kakak laki-lakinya itu bergantian menggenggam tangannya, memastikan ia tidak merasa kesepian. “Anak-anak... di mana mereka?” tanya Helena dengan suara lemah. Helios tersenyum lembut, mencoba menenangkan adiknya. “Rendy dan Angel baik-baik saja, Hecel. Mereka di rumah, bermain seperti biasa. Jangan khawatir.” Hel
Setelah melalui pemeriksaan menyeluruh, dokter akhirnya memberikan kabar yang melegakan. “Nyonya Helena, Anda sudah bisa pulang,” ujar dokter dengan nada tenang, tetapi tetap penuh kewaspadaan. “Namun, Anda harus tetap menjalani kontrol rutin untuk beberapa waktu ke depan. Luka benturan keras di kepala Anda perlu dipantau untuk memastikan tidak ada dampak jangka panjang yang berbahaya. Ini penting untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan sejak dini.” Helena mengangguk pelan. Meskipun kabar itu cukup melegakan, bayangan tentang apa yang telah terjadi beberapa waktu lalu masih menghantuinya. Alexander, yang berdiri di sampingnya, menggenggam tangannya erat. Tahu betul betapa rapuh Helena saat ini, meski perempuan itu berusaha terlihat kuat. Sebelum pulang ke rumah, Helena meminta satu hal. “Sayang, aku ingin menemui Emily,” ucapnya lirih. Alexander menatapnya ragu. “Apa kau yakin? Kau kan masih butuh banyak istirahat, tidak bole
Helena dan Alexander akhirnya tiba di rumah setelah melewati hari-hari berat di rumah sakit. Sebuah sambutan hangat telah menanti di depan pintu, semua anggota keluarga berkumpul dengan wajah penuh kebahagiaan. Angel dan Rendy tidak bisa menahan diri lebih lama saat melihat ibu mereka datang. Mereka berlari ke arah ibunya dengan langkah kecil yang penuh antusiasme. “Ibu! Ibu!” teriak mereka serempak, wajah mungil mereka dipenuhi senyum lebar. Namun, Alexander dengan sigap menahan keduanya sebelum mereka sempat melompat memeluk Helena. “Angel, Rendy, tunggu sebentar,” katanya lembut tetapi tegas. “Ibu kalian sedang sangat kelelahan. Jangan terlalu memeluk erat, dan tidak boleh meminta gendong, ya? Tubuh ibu masih sakit.” Angel dan Rendy saling berpandangan sejenak, lalu mengangguk dengan patuh. Mereka mendekati Helena perlahan, kemudian memeluknya dengan lembut. “Kami sangat merindukan Ibu,” bisik Rendy dengan suara yang hampir te
Malam itu udara di kamar rumah sakit terasa dingin meskipun pendingin ruangan sudah disetel ke suhu hangat. Emily duduk bersandar di tempat tidur, memandangi Han yang masih sibuk dengan laptop dan tumpukan dokumen di meja kecil di pojok ruangan. Pria itu terlihat sangat serius, jarang mengangkat wajahnya dari layar laptop. Wajahnya yang tenang dan fokus, membuat Emily kembali teringat masa lalu. “Bagaimana mungkin?” Emily bergumam dalam hati. “Pria yang dulu hampir tak pernah peduli padaku, kini justru hadir di saat aku terjatuh.” Dulu, selama pernikahan mereka, Han adalah pria yang dingin dan cuek. Sering pulang larut malam dengan alasan pekerjaan, sering mengabaikan keberadaan Emily di apartemen mereka. Pernikahan mereka yang bertahan dua tahun terasa lebih seperti kontrak daripada cinta. Dan ketika akhirnya mereka memutuskan untuk berpisah, Emily tidak pernah berharap Han akan kembali dalam kehidupannya, apalagi dengan
Han perlahan membuka matanya, mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan diri dengan cahaya pagi yang mulai memenuhi ruangan. Emily, yang sejak tadi menatapnya, dengan cepat mengalihkan pandangannya, berpura-pura sibuk dengan selimut di pangkuannya. Ia tidak ingin Han tahu bahwa dirinya telah lama memerhatikan pria itu. Han duduk tegak di sofa kecil tempatnya tidur, lalu mengusap wajahnya untuk mengusir rasa kantuk yang masih menempel. Setelah membenahi posisinya, matanya langsung tertuju pada Emily. “Sejak kapan kau bangun? Kenapa tidak membangunkanku?” tanyanya dengan suara serak khas orang yang baru bangun tidur. Emily menoleh, mencoba terlihat santai. “Baru saja. Aku juga baru bangun,” jawabnya pendek. Han mengangguk pelan, lalu bersandar sejenak sebelum berkata, “Pagi ini kau mau makan apa? Ada yang kau mau?” Emily menatap Han sebentar, lalu menjawab dengan nada datar, “Makanan rumah sakit saja cukup. Lag
Han menghabiskan hari-harinya dengan kesibukan yang tiada henti. Minggu ini adalah puncak dari segala rutinitas yang melelahkan. Kantor menuntut kehadirannya setiap hari, dengan berbagai rapat penting yang harus dijalani, terutama bersama Alexander, mitra kerjanya. Namun, seberapa sibuk pun Han, ia selalu menyempatkan diri untuk pergi ke rumah sakit setelah pekerjaannya selesai. Setiap malam Han tidur di sofa yang kecil di ujung ruangan, tak jauh dari ranjang Emily. Sebuah rutinitas yang ia jalani tanpa keluhan. Tapi hari ini berbeda. Dokter membawa kabar baik, Emily sudah diperbolehkan pulang.“Selamat, Nona Emily. Namun, kami juga akan menjadwalkan hari dan tanggal untuk pemeriksaan anda nanti,” ucap Dokter. Emily tersenyum, mengangguk dengan patuh, dan bahagia. “Baiklah. Terimakasih banyak, Dokter.” Han membantu Emily mengemas pakaian dan barang-barang kecilnya. Saat ia melipat sw
Han dan Emily kembali duduk di sofa kecil di apartemen itu, tangan Han menggenggam erat gelas air mineral yang belum disentuhnya. Tatapannya penuh dengan keraguan, tetapi akhirnya ia menarik napas dalam dan berbicara dengan nada yang tegas namun penuh emosi. “Emily, aku tahu ini mungkin terdengar tiba-tiba, tapi... aku tidak bisa terus menahan perasaan ini. Aku ingin kita mencoba lagi. Buka hati kita, beri diri kita kesempatan untuk memahami sejauh mana perasaan ini tertinggal selama ini.” Emily terdiam, matanya menatap Han dengan sorot yang sulit diterka. Perlahan, ia menganggukkan kepala. “Mungkin memang sudah waktunya, Han. Kita terlalu lama menghindar. Setelah semua yang terjadi, nyatanya aku dan kau tidak pernah benar-benar membuka diri untuk orang lain.” Han mengangguk pelan, seolah melepaskan beban yang sudah lama mengganjal di dadanya. Tapi sebelum suasana menjadi lebih tenang, Emily menarik napas panjang, dan sebuah perta
Helena keluar dari kamar mandi dengan langkah perlahan. Di depan pintu, Alexander terlihat mondar-mandir, wajahnya jelas menunjukkan kegelisahan yang tak bisa disembunyikan. Ketika pintu terbuka, dia langsung menatap Helena dengan penuh harap. “Bagaimana hasilnya, Sayang?” tanyanya cepat, suaranya sedikit bergetar. Helena berdiri diam tanpa ekspresi, membuat Alexander semakin tegang. Untuk beberapa detik, ruangan itu terasa sunyi, hanya diisi dengan napas tertahan Alexander. Namun, perlahan, bibir Helena melengkung menjadi senyuman. Dia mengangkat alat uji kehamilan yang digenggamnya, menunjukkan garis dua yang jelas. “Positif,” ujar Helena dengan suara lembut. Alexander membeku sejenak, lalu dalam hitungan detik dia melangkah cepat ke arah Helena dan memeluknya erat. Tubuhnya bergetar, dan suara tangis kecil terdengar dari pria yang biasanya selalu tenang dan tegar.
Hotel itu dipenuhi dengan dekorasi elegan, mencerminkan suasana bahagia dan sakral yang tengah dirasakan semua orang. Hari ini adalah hari pernikahan Patricia dan Helios. Meski perjalanan menuju hari ini penuh dengan perdebatan dan perbedaan pendapat di antara keluarga, akhirnya semuanya berakhir dengan keputusan untuk mendukung pasangan tersebut. Patricia, dengan perut yang mulai terlihat membesar, tampak cantik dalam gaun putih sederhana namun anggun. Helios, yang biasanya dingin dan kaku, menunjukkan sisi yang lebih lembut hari ini. Pandangannya penuh cinta saat menatap Patricia berjalan di altar, menggandeng Tuan Beauvoir yang mengantar menantunya dengan senyuman bangga. Di antara tamu undangan, Rendy dan Angel mencuri perhatian. Kedua anak Helena dan Alexander itu mengenakan pakaian formal yang membuat mereka terlihat sangat menggemaskan. Angel dengan gaun putihnya dan Rendy dengan setelan jas mini membuat para tamu tak henti-hentinya m
Emily tersenyum lembut, menggenggam tangan Han yang terasa hangat di jemarinya. Mereka berjalan beriringan di lorong apartemen menuju pintu unit mereka. Sudah dua bulan sejak mereka memutuskan untuk tinggal bersama, sebuah langkah besar yang diambil setelah melewati masa lalu yang penuh luka. “Pikirkan, kita akan jadi koki malam ini,” ujar Han dengan nada bercanda, membuat Emily tertawa kecil. “Jangan lupa siapa yang paling ahli di dapur,” balas Emily sambil mengangkat alis, menggodanya. Di dalam apartemen, mereka segera memulai persiapan makan malam. Han dengan serius mengolah steak daging sapi di dapur, sementara Emily sibuk menyiapkan meja makan, meletakkan piring, gelas, dan lilin kecil untuk suasana yang lebih hangat. Setelah selesai, Han membawa dua piring steak ke meja dan meletakkannya dengan hati-hati. “Makan malam istimewa untuk kita,” katanya dengan nada puas. Emily meletakkan gelas di depan masing
Sinar mentari pagi perlahan menghangatkan udara, menciptakan kilauan indah di atas laut yang tenang. Di tengah keindahan itu, Alexander berdiri di hadapan Helena dengan mata penuh cinta. Di tangannya, sebuah cincin berlian bersinar, memantulkan cahaya pagi. Helena menatap Alexander, matanya berbinar namun berkabut oleh air mata haru. “Apa ini, Alexander?” bisiknya, suaranya bergetar. Alexander menggenggam tangan Helena dengan lembut. “Ini bukan hanya cincin, Sayang. Ini adalah janji. Janji bahwa aku akan selalu mencintaimu, melindungimu, dan menjadi pendampingmu dalam suka dan duka. Apakah kau bersedia untuk terus bersamaku?” Helena tidak mampu menahan air matanya. Dengan penuh keyakinan, dia mengangguk. “Ya, Alexander. Aku bersedia.” Alexander menyematkan cincin itu di jari manis Helena. Sentuhan dingin berlian bercampur dengan kehangatan cinta mereka. Setelahnya, Alexander menarik Helena ke dalam pelukannya,
Pagi itu, langit cerah tanpa awan, angin sepoi-sepoi dari laut menghembus lembut, menyambut keluarga Alexander yang tiba di sebuah pantai yang luar biasa indah. Pasir putih bersih terbentang sejauh mata memandang, berpadu dengan birunya laut yang jernih dan tenang. Angel dan Rendy berlari ke arah air dengan penuh semangat, membawa sekop kecil dan ember mainan mereka. “Ibu! Ayah! Lihat kami membuat istana pasir terbesar di dunia!” teriak Angel dengan tawa ceria. Helena tertawa kecil, melambaikan tangan pada anak-anaknya. “Hati-hati di dekat air, ya!” Alexander membawa tikar piknik dan membentangkannya di bawah bayangan pohon kelapa. Dia menatap Helena, yang mengenakan gaun pantai berwarna pastel, tampak anggun dan mempesona. “Duduklah, Sayang. Mari kita nikmati momen ini,” ajaknya lembut. Helena menurut, duduk di samping Alexander sambil memperhatikan anak-anak mereka bermain. Angel dan Rendy terlihat asyik membangun r
Pagi itu, suasana di rumah keluarga Alexander dipenuhi semangat dan kegembiraan. Helena tengah memeriksa koper terakhir sambil memastikan semua dokumen perjalanan sudah siap. Angel dan Rendy berlarian di sekitar ruang tamu, terlalu antusias memikirkan liburan yang akan mereka jalani. Alexander turun dari tangga dengan kemeja santai, membawa beberapa dokumen yang masih harus ia selesaikan. Namun, senyumnya yang hangat menunjukkan bahwa bahkan urusan pekerjaan tidak bisa mengurangi antusiasmenya untuk perjalanan ini. “Semua siap?” tanyanya kepada Helena. Helena mengangguk sambil tersenyum. “Ya, semuanya sudah rapi. Aku juga sudah mengatur siapa yang akan menangani perusahaan ku selama kita pergi.” Selama mereka pergi, perusahaan Smith akan berada di bawah kendali penuh Tuan Smith dan para eksekutif senior yang sudah dipercaya keluarga Alexander selama bertahun-tahun. Alura Fashion Group, perusahaan f
Sore itu, suasana kantor mulai lengang. Para karyawan satu per satu meninggalkan meja mereka, bersiap pulang setelah hari yang panjang. Alexander baru saja menyadari bahwa ada dokumen penting yang tertinggal di ruangannya. Ia meminta Helena menunggu di dekat lobi sementara ia kembali ke ruang kerjanya.“Sayang, ada yang tertinggal. Kau tunggu sini saja, aku akan segera kembali!”“Ya,” jawab Helena. Helena berdiri di dekat lift, matanya mengamati gedung kantor yang mulai sepi. Tak lama kemudian, ia melihat Vera keluar dari ruangan dengan langkah cepat. Perempuan itu tampak terkejut melihat Helena, namun segera menyapa dengan sopan. “Selamat sore, Nyonya Helena,” ujar Vera sambil sedikit membungkuk. Helena mengangguk kecil, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Sore juga, Vera.” Ketika Vera melangkah menjauh, Helena tanpa sadar memanggilnya. “Vera.” Langkah Vera terhenti, dan ia berba
Helena melangkah masuk ke kantor Alexander dengan langkah ringan. Sudah hampir seminggu libur sekolah dimulai, dan Rendy memilih tinggal di rumah Tuan dan Nyonya Wijaya. Angel juga ikut serta karena tidak mau jauh dari kakaknya. Tuan dan Nyonya Wijaya, dengan kasih sayang tulus mereka, memperlakukan Angel seperti cucu kandung sendiri.Itu pun lah yang membuat Helena meminta Angel memanggil Taun dan Nyonya Wijaya dengan sebutan, ‘kakak dan nenek’. Bagi Helena, situasi ini adalah berkah terselubung. Rumah yang biasanya penuh dengan tawa anak-anak kini terasa sepi, dan ia merasa bosan jika hanya duduk tanpa melakukan apa-apa. Oleh karena itu, ia menerima ajakan Alexander untuk ikut ke kantor dan membantunya bekerja. Namun, Alexander memiliki aturan khusus. “Kau boleh bantu aku, tapi ada syaratnya,” ucapnya dengan senyum khas yang selalu berhasil membuat Helena menggeleng tak percaya. “Syarat apa lagi, sih
Menjelang sore, Alexander mengajak Helena dan kedua anak mereka, Angel dan Rendy, untuk meninggalkan kantor dan pergi ke pusat perbelanjaan. Alexander merasa sudah terlalu lama tenggelam dalam pekerjaan, dan ia ingin memberikan waktu berkualitas untuk keluarganya. Di pusat perbelanjaan, Angel dan Rendy langsung bersemangat saat melihat tempat permainan anak-anak. “Ibu, Atah, aku mau main itu!” seru Angel sambil menunjuk area permainan. Alexander tersenyum. “Ayo kita biarkan mereka bermain,” katanya kepada Helena. Beruntung, tepat di sebelah tempat permainan itu ada sebuah restoran. Alexander memutuskan untuk mengajak Helena duduk di sana, menikmati makanan ringan sambil memperhatikan kedua anak mereka bermain. Helena tersenyum bahagia, merasa momen seperti ini adalah kebahagiaan sederhana yang tak ternilai. Namun, suasana berubah ketika seorang pria tiba-tiba mendekati meja mereka. “Maaf, apakah ini benar Hece