“Maaf, Tuan Jarvis. Saya akan menegaskan bahwa saya tidak mencintai siapapun, bahkan diri saya sendiri.” tegas Emily, langkahnya lepas meninggalkan Jarvis di sana.
Jarvis menatap punggung Emily, jelas dia kecewa.Namun, dia tidak memiliki minat untuk menyerah.****Siang itu, di sebuah restoran, sesuai Jarvis dan Emily melakukan pengecekan tahap produksi. “Jadi, untuk tahap finishing, Miss Helena sudah memastikan semuanya sesuai standar. Tinggal menunggu hasil pengecekan akhir sebelum masuk ke proses pemasaran,” kata Emily sambil menandai sesuatu di dokumen di depannya. Jarvis mengangguk pelan, matanya tertuju pada wajah Emily yang terlihat serius dan fokus. Ia kagum dengan dedikasi wanita itu, tetapi ada sesuatu yang lebih dalam mengganggu pikirannya. Sudah empat hari ia berada di kota ini, memantau langsung proyek kerja sama antara perusahaannya dan perusahaan milik Helena. Empat hari pula ia terus berusaha menEmily berdiri di tengah situasi yang semakin panas. Clara terus melontarkan kata-kata tajam, menuduhnya sebagai perusak rumah tangga. Setiap kali Emily mencoba menjelaskan, Clara tidak memberinya kesempatan. Di sisi lain, Jarvis tak henti-hentinya membela Emily, membuat amarah dan kecemburuan Clara semakin memuncak.Akhirnya, mereka pun menjadi tontonan yang memalukan. “Jarvis, berhenti melindunginya!” teriak Clara histeris. ”Dia wanita tidak tahu malu yang menghancurkan keluarga kita! Dan kau, Emily, bagaimana bisa kau bersikap seolah-olah kau tidak bersalah?” Emily mengepalkan tangannya, mencoba menahan emosi yang memuncak. “Nyonya Clara, saya sudah mengatakan bahwa saya tidak memiliki perasaan apa pun terhadap suami Anda. Tidak pernah ada niat seperti itu dari saya.” Namun, Clara tidak mendengarkan. Dia terus menyerang Emily dengan kata-kata yang membuat suasana semakin tegang. Emily merasa seperti terperang
“To-tolong lahirkan anakku dengan selamat. Rawat dia dan jauhkan dia dari Sa–” Belum selesai berbicara, Helena dapat merasakan tangan anak majikan yang sudah dianggap sahabat sejak kecil itu perlahan mendingin. Jantung Helena sontak mencelos. “Nona!” paniknya histeris, bahkan terdengar di lorong rumah sakit. “Dokter tolong!” Ini seperti mimpi buruk! Beberapa saat lalu, keduanya masih berkomunikasi lewat sambungan telepon. Rachel khawatir setelah mengetahui Helena mendadak muntah-muntah. Padahal, Helena sudah tak pernah mengalami morning sickness lagi di usia kandungan yang sudah tua. Namun siapa sangka saat menunggu, Helena justru mendengar kabar Nona Tertua Wijaya itu mengalami kecelakaan. “Nona, bangun!” Helena berteriak lagi–berharap Rachel kembali bangun, “Bukankah Kamu bilang ingin menemani anakmu nanti bersekolah ke luar negeri? Dia bahkan belum lahir.” Sayangnya, garis di monitor EKG itu tetap lurus meski petugas medis melakukan tindakan penyelamatan. Bunyinya
Sarah tersentak mendengar suara bariton yang mendominasi itu. Bagaimana bisa Alexander yang baru di parkiran–membela Helena? Setahunya, pria itu begitu dingin, bahkan cenderung kaku meski di depan Rachel, istrinya. Tangan wanita itu sontak mengepal. “Dia pasti sedang berakting karena takut dikirim ke penjara sekarang, Alexander,” ucap Sarah. Helena jelas tak setuju. Namun, rasa sakit membuat gadis itu hanya sanggup menggelengkan kepala ketika Sarah kembali berbicara, “Aku memang berkata agar mengikhlaskan Rachel supaya dia tenang.” Wanita itu mendekati Alexander dengan langkah penuh kehati-hatian. “Tapi, aku ingin memberi pembunuh ini pelajaran!” “Jangan memberikan hukuman apapun, Kau bukan pihak berwajib, Sarah!” Mendengar itu, keberanian yang Sarah miliki untuk menindas Helena tiba-tiba saja menghilang. Terlebih sorot mata Alexander saat ini begitu menakutkan. Sarah jelas tidak boleh memantik lebih lagi. Di sisi lain, Helena semakin tidak bisa menahan rasa sakit itu. Dia ta
Kalimat tadi membuat Alexander yang kini menatap Tuan Besar Smith–memancarkan kemarahan. Namun, ada senyum tipis penuh arti di bibirnya, seolah tengah mencemooh Tuan Smith yang selalu saja mudah mengatakan apapun tanpa berkedip. “Ingat! Segera lakukan ucapanku tadi, Alexander. Hal ini penting agar Keluarga Wijaya berada di genggaman kita,” tambah Tuan Smith, "Kau tahu kalau—" “Aku akan menghukum Helena dengan caraku sendiri. Tidak perlu membawa wanita itu ke penjara, Ayah," ungkap Alexander pada akhirnya. Hal ini membuat dahi Tuan Smith mengerut. Sorot matanya yang tajam menjelaskan bahwa dia sangat tidak setuju dengan ucapan Alexander barusan. “Apa Kau sedang bercanda, Alexander?” Gegas Alexander menggelengkan kepalanya. Dia tidak bisa mengirimkan Helena ke penjara walaupun semua orang menginginkannya. “Apa kau sudah gila? Kau akan membuat anggota keluarga Wijaya berang. Bisnis kita bisa runyam!” Tuan Smith kembali menekan Alexander. "Apa kau menginginkan itu?" “Tentu, tidak
Alexander menghela napas. "Ada sesuatu yang perlu kulakukan.."Meski tak mengerti, asisten Alexander itu mengangguk.Namun, ia yakin itu akan sangat berpengaruh besar bagi hidup Helena.***"Tuan Alexander?" gumam Helena kala melihat Alexander datang.Tubuhnya masih lemas. Ada rasa sakit yang terasa dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. Tapi, apalah daya jika mulutnya bahkan tidak memiliki hak untuk mengeluh?Helena lantas memilih menghindari tatapan matanya dari Alexander sebelum dia merasakan sakit pada dadanya. Di sisi lain, Alexander terus menatap Helena. Langkah kakinya mulai mendekati bayi yang dilahirkan Helena melalui bedah caesar. Bayi laki-laki yang saat ini sedang tertidur dengan tenang, membuat Alexander tersenyum puas. “Baguslah. Wajahmu sangat mirip dengan Rachel, ini adalah sebuah keberuntungan, bukan?” bisiknya. “Selamat datang di dunia yang penuh dengan kejutan ini, Nak.” Helena tersentak. Namun, ia menoleh ke arah lain, tidak berani mendengarkan pembicaraa
“Berhentilah untuk mengatakan hal tidak penting, Sarah,” peringat Alexander. “Di hari kelahiran putraku, aku tak mau ada kata-kata buruk yang terucap.” Kaget, Sarah langsung menutup mulutnya rapat. Jika terus mengatakan sesuatu tentang Helena, jelas dialah yang akan ditendang keluar dari ruangan itu. Untungnya, situasi kembali kondusif kala Keluarga Wijaya kembali fokus dengan Rendy. Mereka memuja wajah bayi laki-laki yang rupanya persis seperti Rachel. Lemparan pujian terus terdengar, membuat Alexander pun merasa lega. Waktu semakin berlalu. Jam untuk mengunjungi pasien sudah habis, membuat keluarga Wijaya memutuskan keluar dari ruangan tersebut. “Alex, bagaimana jika Rendy biar kami saja yang merawatnya?” tanya Tuan Wijaya penuh harap. Sudah kehilangan putri semata wayangnya, keluarga Wijaya pun berharap dapat merawat keturunan dari Rachel. Tentu saja dengan cepat Alexander menggelengkan kepalanya. Mimik wajahnya nampak bersalah. “Maaf, tapi aku sendiri juga ba
"Kenapa semuanya menjadi seperti ini?" isak Helena, seorang diri setelah Alexander dan bawahannya berlalu.Tak pernah ia bayangkan keinginannya untuk menyelamatkan sang ibu, malah membuat hidupnya berakhir berantakan. Meski tanpa kata, ia tahu Alexander pasti tak akan membuat hidupnya tenang dalam pernikahan ini.Belum lagi dengan keluarga Wijaya yang membencinya."Rachel, apa yang harus kulakukan?" gumamnya pedih. Sungguh, Helena ingin kabur jika tak teringat janjinya pada sahabat. Bahkan hingga hari di mana ia mengikuti Alexander dan Rendy ke Kediaman pria itu, gadis itu masih saja tak tenang.** “Selamat datang, Tuan,” sapa pelayan rumah begitu membukakan pintu untuk Alexander.Pria itu hanya menganggukkan kepalanya membalas sapaan dari pelayan rumah.Ia lalu berjalan menuju ke sebuah kamar yang akan ditempati Rendy dan Helena. “Shhhh....” desis Helena pelan.Jahitan pada perutnya benar-benar terasa ngilu. Langkah kakinya jelas tak bisa cepat, hingga tertinggal jauh dari
Han memperhatikan Alexander yang terdiam untuk beberapa saat.Dia tentu memiliki alasan yang kuat mengapa tetap membuat Helena berada di sekitarnya.Tapi, orang lain pasti akan menganggapnya atasannya ini gila. Baru beberapa hari istrinya meninggal, langsung bisa mendapatkan istri yang baru? Hanya saja, tubuh Han meremang kala menyadari Alexander tersenyum smirk. “Kenapa aku harus menjelaskan padamu, Han?” Asisten Alexander itu tertunduk. “Maafkan Saya, Tuan. Rasa ingin tahu yang sangat besar ini membuat saya benar-benar melakukan hal lancang sebesar ini,” sesalnya. Di sisi lain, Alexander melirik pada foto pernikahannya bersama Rachel yang masih tergantung di sana.Foto yang diletakkan sesuai dengan perintah dan juga keinginan Rachel.Alexander tampak berpikir, sebelum berkata, “Han, meskipun kau mengetahui banyak hal tentangku, tapi ada bagian-bagian yang tidak perlu Kau ketahui.” Ditatapnya Han dengan tajam lalu melanjutkan, “jangan pernah menanyakan alasan dari apa yang a
Emily berdiri di tengah situasi yang semakin panas. Clara terus melontarkan kata-kata tajam, menuduhnya sebagai perusak rumah tangga. Setiap kali Emily mencoba menjelaskan, Clara tidak memberinya kesempatan. Di sisi lain, Jarvis tak henti-hentinya membela Emily, membuat amarah dan kecemburuan Clara semakin memuncak.Akhirnya, mereka pun menjadi tontonan yang memalukan. “Jarvis, berhenti melindunginya!” teriak Clara histeris. ”Dia wanita tidak tahu malu yang menghancurkan keluarga kita! Dan kau, Emily, bagaimana bisa kau bersikap seolah-olah kau tidak bersalah?” Emily mengepalkan tangannya, mencoba menahan emosi yang memuncak. “Nyonya Clara, saya sudah mengatakan bahwa saya tidak memiliki perasaan apa pun terhadap suami Anda. Tidak pernah ada niat seperti itu dari saya.” Namun, Clara tidak mendengarkan. Dia terus menyerang Emily dengan kata-kata yang membuat suasana semakin tegang. Emily merasa seperti terperang
“Maaf, Tuan Jarvis. Saya akan menegaskan bahwa saya tidak mencintai siapapun, bahkan diri saya sendiri.” tegas Emily, langkahnya lepas meninggalkan Jarvis di sana. Jarvis menatap punggung Emily, jelas dia kecewa. Namun, dia tidak memiliki minat untuk menyerah. ****Siang itu, di sebuah restoran, sesuai Jarvis dan Emily melakukan pengecekan tahap produksi. “Jadi, untuk tahap finishing, Miss Helena sudah memastikan semuanya sesuai standar. Tinggal menunggu hasil pengecekan akhir sebelum masuk ke proses pemasaran,” kata Emily sambil menandai sesuatu di dokumen di depannya. Jarvis mengangguk pelan, matanya tertuju pada wajah Emily yang terlihat serius dan fokus. Ia kagum dengan dedikasi wanita itu, tetapi ada sesuatu yang lebih dalam mengganggu pikirannya. Sudah empat hari ia berada di kota ini, memantau langsung proyek kerja sama antara perusahaannya dan perusahaan milik Helena. Empat hari pula ia terus berusaha men
Emily duduk di meja kerjanya, menatap layar ponsel dengan alis berkerut. Sebuah pesan baru saja masuk dari Jarvis, CEO tempatnya bekerja. Isi pesan itu membuat Emily bingung. “Aku sudah tiba di negara tempatmu berada. Mari kita diskusikan perkembangan kerja sama dengan AFG secara langsung.” Awalnya, Jarvis mempercayakan proyek penting ini sepenuhnya kepada Emily. Namun, tiba-tiba pria berusia 39 tahun itu memutuskan datang sendiri. Emily tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa Jarvis sudah menikah dan memiliki anak. Mengapa ia harus datang langsung? Emily menghela napas panjang. Bagaimanapun juga, ia tidak punya pilihan lain selain menyambut kedatangan atasannya itu. “Baiklah. Saya akan menemui anda di bandara,” balas Emily. Setelah membalas pesan dengan singkat, Emily segera mengambil kunci mobil dan menuju bandara. Di bandara, Emily memaksakan senyum saat
Emily berdiri di pinggir jalan, matanya terpaku pada lalu lintas yang padat. Tangannya terangkat, berusaha menghentikan taksi yang lewat, namun nihil. Jalanan tampak seperti lautan kendaraan yang tak bergerak. Ia memeluk tasnya erat-erat, melamun, memikirkan kejadian tadi di kafe. Rasanya absurd, pertemuan yang seharusnya sederhana malah berubah menjadi ajang memperdebatkan nilai hidup. Tapi ia tahu, tidak ada gunanya terus memikirkannya. Tidak semua hal butuh tempat di pikiranmu, Emily, gumamnya dalam hati, mencoba menyadarkan diri.“Bisa gila kalau memikirkan hal itu,” gumamnya. Namun, lamunannya terputus ketika sebuah mobil berhenti di depannya. Kaca jendela mobil perlahan turun, memperlihatkan wajah seseorang yang tak asing. Han. Mata Emily terbelalak sesaat sebelum ia memalingkan wajahnya, seolah keberadaan Han adalah sesuatu yang ingin ia hindari. Ia mencoba untuk tetap fokus mencari t
Malam itu, di sebuah kafe. Emily menggenggam mini bag di pangkuannya erat-erat, seolah benda kecil itu adalah pelampiasan rasa frustrasi yang membuncah dalam hatinya. Duduk di sebuah kafe mewah di pusat kota, ia berhadapan dengan seorang pria bernama Arthur, pria yang dijodohkan oleh orang tuanya. “Jadi, Emily, kau kerja di mana sekarang?” tanya Arthur sambil menyandarkan tubuhnya di kursi, tatapan angkuh terpancar dari kedua matanya. Emily hanya mendengus pelan, mencoba menahan diri. Dalam hati, ia masih tidak percaya betapa absurd–nya situasi ini. Orang tuanya, yang sudah bertahun-tahun tidak berkomunikasi dengannya, tiba-tiba saja sibuk mencampuri urusan pribadinya begitu ia kembali ke negara asalnya. Tidak ada pelukan hangat, tidak ada upaya membangun kembali hubungan yang rusak, hanya agenda perjodohan seperti ini. “Saya bekerja di bidang yang tidak terlalu menarik bagi orang-orang seperti Anda,”
“Ngomong-ngomong, apa wanita bernama Vera itu cantik?”“Apakah menurutmu yang namanya Vera itu cantik?” balas Alexander. Helena meletakkan cangkir teh yang tinggal separuh di atas meja. Matanya tertuju pada Alexander yang duduk di seberangnya, tangan laki-laki itu sibuk membolak-balik dokumen yang sejak tadi menemani istrinya itu. “Jadi, bagaimana menurutmu soal penampilan Vera?” tanya Helena lagi sambil menatap suaminya. Suaranya terdengar datar, tapi ada sesuatu di balik tatapannya yang memaksa Alexander untuk berhenti membaca. Alexander mendongak, seulas senyum kecil muncul di bibirnya. Ia meletakkan dokumen itu di sisi meja, lalu bergeser mendekat ke arah istrinya. Kedua tangannya meraih bahu Helena, menariknya hingga mereka saling bersentuhan. “Sayang kau serius dengan pertanyaan itu?” tanya Alexander, merasa heran. “Masalah kecantikan, jelas Helena milik Alexander Smith tidak ada duanya,” ucapnya dengan nada meng
Helena dan Alexander sudah mendengar kabar tentang Monica. Keduanya sepakat untuk tidak ikut campur dalam keputusan Tuan Smith. Itu adalah urusan keluarga Smith, dan mereka lebih memilih untuk tetap fokus pada kehidupan serta pekerjaan masing-masing. Alexander tengah berada di Smith Corporation, perusahaan keluarga Tuan Smith, untuk mengurus berbagai persiapan penting. Salah satu agendanya adalah merekrut asisten sekretaris baru untuk menggantikan posisi Han yang akan segera kosong. Rencananya, Han akan segera menduduki kursi CEO di perusahaan milik Alexander. Seusai rapat pagi dengan dewan direksi, Alexander memeriksa berkas seorang kandidat yang telah melalui tahapan seleksi terakhir. Namanya Vera, seorang kandidat yang memiliki latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja yang impresif. Tanpa ragu, Alexander menyetujui jadwal wawancara langsung dengannya siang itu. Ketika Vera memasuki ruangan,
“Aku... aku...” Monica memaksakan senyum di wajahnya meski tubuhnya terasa gemetar hebat. Jantungnya berdegup cepat, sementara pikirannya kacau balau. Ia mencoba menenangkan dirinya, berusaha tampil normal. Dengan suara yang dibuat lembut, ia menyapa Tuan Smith yang berdiri di hadapannya. “Selamat pagi, sayang. Kau... sudah bangun lebih pagi dari biasanya,” katanya sambil memaksakan senyum. Namun, bukannya jawaban hangat, Tuan Smith membalas dengan senyum sinis, senyum yang menusuk hati Monica seperti belati. Di sampingnya, Ken berdiri dengan tatapan dingin dan sikap acuh, seolah menikmati keadaan. “Bagaimana rasanya, Monica?” tanya Tuan Smith tiba-tiba. Suaranya rendah, penuh ironi. “Bagaimana perasaanmu setelah rencanamu gagal? Racun itu... sayangnya, tidak cukup untuk membunuhku.” Monica tersentak, meski ia mencoba menjaga ekspresinya tetap tenang. “Racun? Aku... aku tidak mengerti apa yang kau maksud,” jawabnya deng
Monica melangkah perlahan ke dalam ruangan baca Tuan Smith. Cahaya temaram dari lampu di sudut ruangan mempertegas bayangan tubuhnya yang mendekat. Di sana, di kursi favoritnya, Tuan Smith tertidur lelap, kepalanya bersandar miring. Monica berhenti sejenak, mengamati lelaki yang pernah ia panggil suami itu.“Dia sudah meminum teh itu, kan?” bisik Monica. Di meja kecil di samping kursi, cangkir teh herbal tampak setengah kosong. Monica menatap cairan dalam cangkir itu dengan penuh kepuasan. Racun yang ia campurkan sudah hampir habis. Ia tersenyum tipis, senyuman yang penuh arti, sembari membayangkan drama yang akan segera terjadi.“Bagus!” ucapnya, pelan. Monica mendekat, menggerakkan telapak tangannya di depan wajah Tuan Smith untuk memastikan dia benar-benar tidak sadarkan diri. Napas pria itu terdengar teratur, dalam, dan lambat. Ia segera meninggalkan ruangan, memastikan langkahnya tidak menimbulkan