Tuan Smith tengah duduk di sebuah ruangan khusus untuk beristirahat menjelang sore itu. Namun, tiba-tiba saja Tuan Beauvoir tiba tanpa mengetuk pintu. Tuan Smith terkejut, sampai lupa untuk berkata-kata sesaat. “Aku tahu aku mengganggu, tapi aku menyukai ini,” ujar Tuan Beauvoir, ia tersenyum tanpa rasa bersalah. Gret! Tuan Smith mengepalkan tangannya, tidak menyangka akan bertemu dengan orang yang dia benci. Tuan Beauvoir menarik kursi, duduk di sana. Ia tetap bertahan di kursi dengan sikap santainya. Tuan Smith membuka matanya, sorot mata tajamnya terpaku pada sosok Tuan Beauvoir yang duduk di depannya tanpa undangan. “Apa yang kau lakukan di sini, Samuel Beauvoir?!” suara Tuan Smith meninggi, penuh kekesalan. Tuan Beauvoir hanya mengangkat satu alisnya, tersenyum sinis.
Malam itu, di kediaman Alexander. Suasana kamar tidur terasa hangat dan penuh cinta. Alexander dan Helena saling berpelukan erat, bantal empuk menopang mereka berdua sementara mereka tenggelam dalam perbincangan tentang liburan yang akan datang. “Alex, aku rasa negara A akan jadi tempat yang sempurna,” ujar Helena dengan mata berbinar. Alexander, dengan senyum lembutnya, mengangguk, “Ya, negara itu dengan pantai dan budayanya yang eksotis, siapapun pasti akan menyukainya.” Tidak lama kemudian, rencana pun disusun. Alexander menginstruksikan Han untuk mengatur segala keperluan perjalanan. Han mencatat semua detail dengan cermat sambil sesekali menatap Alexander yang sedang berdiskusi dengan Helena tentang aktivitas yang bisa dilakukan di negara tropis tersebut. Sementara itu, dua pengawal yang akan selalu setia mengamankan keluarga ini siap mengikuti ke mana pun mereka pergi
Plak! “Kau–” Elizabeth menatap Nona kedua keluarga Smith, Beatrice dengan tatapan marah, “Kenapa kau menamparku, hah?!” Beatrice tak lagi bisa menahan diri, Elizabeth terlalu suka mengatur namun jika terjadi kesalahan maka akan dilimpahkan kepada Beatrice dan juga Cecilia. “Kau tidak akan pernah mendapatkan tamparan ini kalau kau tidak bersikap egois, Kak!” balas Beatrice. Elizabeth masih memegangi pipinya yang terasa panas. Ada senyum penuh kemarahan mendengar jawaban dari Beatrice, namun bisa ia tahan untuk beberapa saat. Cecilia hanya bisa kebingungan melihat kedua Kakaknya bertengkar. “Beatrice, tindakanmu barusan ini benar-benar tidak akan pernah aku lupakan di seumur hidupku!” peringat Elizabeth, matanya terus menyalak penuh kemarahan. Mendengar ucapan Elizabeth, Beatrice membalasnya dengan senyuman yang sinis. “Kau benar-benar sama persis seperti itu, suka sekali memberikan ancaman dan menyalahkan orang lain. Kak Elizabeth, apa kau tahu betapa muak-nya aku memiliki
Di tengah keramaian sebuah kafe yang terkenal dengan minuman buahnya, Alexander berdiri dengan rasa sabar sambil memegang tangan dua anaknya yang riang bersemangat menunggu. Ia melirik menu yang dipajang di atas meja kasir, mempertimbangkan kombinasi rasa buah yang pas untuk membahagiakan Angel dan Rendy. “Kalau saja tidak memperhatikan mereka beberapa waktu terakhir ini, mungkin aku tidak akan tahu buah apa saja yang mereka sukai,” ujarnya, tersenyum senang penuh sukur. Tiba-tiba, sebuah senyuman yang manis dari seorang gadis cantik di seberang ruangan menangkap perhatian Alexander. “Eh, dia kenapa?” gumamnya, keheranan. Gadis itu memandanginya dengan tatapan yang tak bisa diartikan, senyumnya lebar dan mata berbinar. Alexander makin bingung, ia menoleh ke belakang dan ke samping, mencari-cari apakah ada orang lain yang mungkin menjadi sasaran senyuman tersebut. Namun, tidak ada siapa-siapa di belakang a
Nyonya Rose menatap Monica dengan pandangan tajam yang dipenuhi kecurigaan. Wanita itu baru saja keluar dari ruang baca Tuan Smith, dengan rambut yang sedikit acak-acakan dan blus yang terlihat tidak kusut, tidak rapi. Dengan langkah yang hati-hati, Nyonya Rose mulai mengikuti Monica dari kejauhan, bersembunyi di balik tirai dan lorong-lorong rumah yang besar itu. “Gadis itu, bukankah dia semakin sering datang ke rumah ini?” gumamnya, pelan. Ketegangan semakin terasa ketika Nyonya Rose melihat Monica berhenti di depan sebuah lukisan di koridor, berbicara sendiri dengan nada yang gelisah. "Apa yang sebenarnya sedang kau lakukan, Monica?” gumam Nyonya Rose dalam hati, matanya tidak pernah lepas dari sosok Monica.Keesokan harinya, Nyonya Rose memutuskan untuk lebih berhati-hati. Dia memasang sebuah kamera kecil di ruang baca Tuan Smith, berharap dapat menangkap percakapan atau kejadian yang bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
“Apa kau benar-benar akan sampai mati seperti ini saja, William?” Tuan Smith menatap istrinya itu dengan tatapan bertanya, namun terlihat tenang. “Jangan mengganggu, aku sedang tidak dalam mood yang baik.” Nyonya Rose dengan tangan gemetar melemparkan tumpukan dokumen ke meja kayu di depan Tuan Smith. Bukti itu dikirimkan padanya pagi tadi oleh seseorang, namun tidak tahu siapa. Wajahnya memerah, urat-urat lehernya menegang sementara matanya menyala dengan api kemarahan. “Ini apa? Ini semua apa?” teriaknya, sambil menunjuk ke arah dokumen yang tersebar. Tuan Smith, yang sudah berusia lanjut dengan rambut memutih, bangkit dari kursinya dengan perasaan terhina. Tangannya bergetar, bukan karena usia tapi karena kemarahan yang mendidih. “Kau tidak berhak menuduhku seperti ini, Rose!” balasnya dengan nada meninggi. “Aku tidak berhak? Aku istrimu, William! Dan ini—ini bukti kau berselingkuh dengan wanita ya
Kedua orang tua Monica merasa kecewa atas sikap putrinya yang tidak terpuji itu. Namun, apalah daya mengingat Monica juga satu-satunya anak yang menonjol selama ini. Dalam kemarahan yang begitu menuntut, Nyonya Rose terus menajamkan matanya seolah tiada akhir. “Nyonya, kami akui Monica memang melakukan kesalahan. Tapi, perbuatan semacam ini tidak mungkin terjadi hanya karena satu orang saja yang menginginkannya. Maka itu, sudahlah, kami harap semua berakhir sampai di sini, kami akan menasehati Monica, dan memastikan Monica tidak akan lagi memiliki hubungan dengan Tuan smith.” Janji Ibunya Monica, tertunduk lesu sambil berharap agar Nyonya Rose mengakhiri keributan ini. Nyonya Rose tersenyum kesal, namun sadar marah terus menerus juga tidak akan menghasilkan apapun. “Saat ini, aku sama sekali tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku akan berhenti untuk har
Nyonya Rose memasuki ruang baca dengan langkah gontai, raut wajahnya penuh dengan kekecewaan dan kemarahan. Tuan Smith, yang telah menduga kedatangan istrinya, sudah menyiapkan diri dengan bertumpuk-tumpuk dokumen di meja kerjanya. Dengan tatapan tajam, Tuan Smith memandang Nyonya Rose yang mendekat. “Kau masih ingin mencoba lagi, Rose?” suara Tuan Smith dingin dan penuh sindiran. Nyonya Rose menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. “Willian, aku hanya ingin yang terbaik untuk anak-anak kita,” ujarnya dengan suara yang terdengar lemah. “Kau yang hobi bermain perempuan, bagaimana aku tidak khawatir dengan tiga putriku?” Tuan Smith tertawa sinis, “Yang terbaik? Atau kau hanya ingin menguasai semua tanpa mempedulikan apa yang terjadi pada perusahaan ini dan masa depan mereka?” Ada kemarahan yang ditahan pria itu, ‘Bahkan satu anak sudah terbukti bu