Dua anak manusia yang sedang mabuk kepayang dan dipenuhi dengan rasa kekecewaan pada pernikahan masing-masing menumpahkan semua deburan asa di atas ranjang berukuran para raja. Ditambah dengan suasana mendung di luar dan keharuman pinus segar makin membuatnya saling mendebarkan hati satu sama lain.
Skylar ingin menaikkan level pergumulan mereka. Tidak hanya berkutat pada bagian atas raga indah sang jelita, tetapi juga mulai merasakan pusat kenikmatan di antara kedua kaki mulus tak bercela. Semua hasrat kelaki-lakiannya sudah bangkit tak terbendung.Perlahan, tangannya memasuki dalam rok span Dyandra. Mengusap bagian dalam paha wanita yang sudah menggelepar tak berdaya di atas ranjang. Terlihat pasrah dengan apa yang akan ia lakukan.Lalu, lelaki gagah dan berparas sangat tampan itu menggerakkan telapak tangannya ke atas. Terus naik, dan terus naik hingga hampir sampai di pangkal paha. Ia bisa merasakan aura panas yang lebih eksotis di banding yang terasa di antara dArka menatap dirinya yang memakai setelan jas mahal kualitas dari kain terbaik dengan harga puluhan juta. Bermerek Valentino seharga lima puluh jutaan, khusus didatangkan dari luar negeri untuk hari yang istimewa baginya.Senyum kecil disungging di ujung bibir, bukan sebuah senyum lebar memancarkan kebahagiaan. Sesekali melepas napas panjang. Sesekali pula menundukkan kepala, menahan hentakan tak nyaman yang menguar di dalam dada. Sekitar lima belas menit lagi ia harus keluar dari kamar ganti ini untuk menikahi seorang wanita yang sedang mengandung anaknya. Seorang wanita yang sekian bulan terakhir menghangatkan malam-malam terdingin dan terperih akibat penolakan yang didapat.Ini adalah hari yang bahagia, bukan? Ya, seharusnya ini hari yang bahagia untuk Arka!Seharusnya ….Namun, mengapa siratan gundah serta risau masih terbaca jelas ketika ia menatap pantulan dirinya sendiri di kaca tinggi itu? Mengapa rasa bersalah meraupi sebagian besar hati dan pikira
Bersamaan dengan pernikahan yang terjadi antara Arka dan Cersey, berangkat pula Dyandra dan Skylar menuju sebuah lokasi di tepi laut di mana mereka akan menghabiskan satu malam berdua di sana.Turun dari kendaraan mewah sang lelaki, tangan Dyandra langsung digenggam erat oleh Skylar. Seakan ia tidak ingin kehilangan momen berharga ini meski hanya satu detik saja.Jika Dyandra memakai short pants 20cm di atas lutut dan memamerkan paha mulus tak bercelanya, Skylar menutup bagian atas tubuhnya dengan sebuah kaos press body yang memamerkan kegagahan dada bidang nan gagah tersebut.Sama-sama memakai kacamata hitam dan senyum di bibir masing-masing, langsung menuju kamar termahal di hotel tersebut yang langsung berhadapan dengan indahnya laut biru. Membuka pintu kamar, membiarkan petugas meletakkan bawaan mereka yang tidak banyak, lalu saling menatap saat kembali hanya ada mereka berdua di kamar.“Suka kamarnya?” tanya Skylar langsung menarik tubuh molek ke dalam peluk
Selesai membersihkan diri, Dyandra memakai baju tidur dengan bahan sutra tipis. Saking tipisnya sampai bra serta segitiga mungil di bawah pusar samar terlihat menantang. Berbelahan dada rendah dengan bentuk huruf V, di mana ujungnya tepat berada pada ceruk di antara dua buah payudara kenyal. Bagian bawah gaun tipis berwarna putih tulang itu memilki ketinggian lima belas sentimeter di atas lutut mulus sang wanita. Ujungnya berenda, menampilkan kesan manis. Begitu pula dua tali mungil di pundak yang menjadikan penampilan Dyandra semakin menggemaskan. Mengoleskan body lotion harum lembut ke seluruh tubuh, serta memakai wewangian di sekitar leher. Memulas make up sederhana, tetapi tetap membuat parasnya segar dan jelita. Bibir dipoles dengan lipgloss merah muda berasa buah strawberry. Rambut dibiarkan tergerai, karena menurutnya itu akan menambah kesan sensual ketika … misalkan … ia akan berada di atas tubuh gagah seorang Skylar Kiersten. Tersenyum dan mengangguk yak
Jemari Skylar menelusuri kain segitiga tipis berwarna merah yang dipakai oleh Dyandra. Menekan area tengah dengan jari tengahnya yang besar dan tebal. Lalu, dengan gerakan nakal menyelinap masuk dari balik renda-renda mungil.“Aahh!” pekik sang wanita tertahan ketika merasa kulit di area sensitifnya disentuh perlahan. Skylar membungkam pekik tertahan itu dengan ciuman buasnya. Membuat Dyandra tak bisa lagi mengeluarkan suara apa pun selain desahan serta erangan.Bagaimana tidak mendesah dan mengerang kalau sekarang ujung jari tengah Skylar yang sedemikian kokoh dan solid senang melintas di antara lipatan paling tertutup seorang wanita. Menggelincirkan jarinya hingga menyentuh sebuah titik yang kalau disentuh ….“Skylaaar!” rintih Dyandra menggelengkan kepala dengan spontan dan kukunya makin mencengkeram pundak tak berpakain sang lelaki. “Sssttt, nikmati saja, Darling. Kamu milikku, dan aku milikmu. Selamanya kita akan seperti ini, aku berjanji itu kepadamu
Mendengar istrinya pernah tidak pulang ke rumah pada satu malam, Arka terkejut tidak kepalang tanggung. Darahnya langsung mendidih dan berpikir kalau Dyandra menghabiskan malam dengan lelaki lain. “Sekarang di mana Bu Dyandra?” tanyanya menahan gemuruh murka. “Sepertinya tadi sudah pulang dari kantor, Tuan. Security tidak mengatakan kalau beliau keluar rumah,” jawab pelayannya menunjuk ke atas, ke lantai dua. “Mungkin Nyonya di kamarnya?”Arka langsung berlari menaiki tangga dan menuju kamar tidur mereka. Kembang kempis, napas memburu cepat, panas. Semakin mendekati kamar, semakin ia merasa gelap menaungi.Membuka pintu, melihat istrinya ada di atas ranjang sedang memegang ponsel. “Dya!” bentaknya kencang hingga mengagetkan Dyandra.“Chat dengan siapa kamu, hah? Dengan selingkuhanmu, ‘kan?” amuknya merampas ponsel tersebut dan menatap layar dengan terus terengah.Dyandra merasa jantungnya berdegup kencang melihat Arka datang seperti orang kesetanan be
Drupadi tertegun mendengar suara Arka mendadak terdengar di telinganya. Sampai menatap layar ponsel, memastikan bahwa yang barusan ia terima teleponnya adalah Dyandra.“Di mana Dya?” tanya Drupadi berpura-pura tenang.“Tidak usah banyak tanya! Dya ada di sini, di sampingku dan kularang mengucapkan apa-apa kepadamu. Nah, sekarang jawab aku! Hari apa Dyandra menginap di rumahmu?”“Apa begini caramu bicara dengan kakak iparmu, hah, Bocah? Kamu itu umur berapa? Berani sekali membentakku seperti ini!” ketus Drupadi sudah tidak tahan ingin memaki Arka.“Jawab saja pertanyaanku, Dru!” Arka pun tak peduli jika dia harus membentak kakak iparnya berkali-kali. “Dya menginap di rumahku hari Sabtu! Puas?” sembur Drupadi sangat kencang. “Sekali lagi kamu berani kurang ajar kepadaku, awas, ya!” Arka terengah dan menatap istrinya. Jawaban Drupadi benar. Berarti Dyandra tidak asal menyebut ketika mengatakan ia menginap di rumah kakaknya. Perlahan menekan tombol merah
Suasana makan malam yang selalu canggung dan penuh tekanan bagi Dyandra berubah jadi menegangkan saat Cersey mengatakan sesuatu yang ditunggu selama sekian bulan terakhir. “Ka-kamu kenapa?” Dyandra terbelalak menatap madunya. “Air ketubanku pecah, Mbak!” jerit Cersey kebingungan dan langsung menatap pada suami sirinya. Moeryati sontak bangkit dari kursi. “Cucu Mama akan lahir! Cepat ke rumah sakit, Arka!” Sang lelaki yang sempat tertegun dan hanya bisa memandangi kedua istrinya kini telah beranjak dari kursinya dan memanggil sang sopir. "Pak Gito! Pak Gito!” Degup jantung di dalam rongga dada Dyandra melonjak kencang. Bayi mungil akan lahir. Bayi itu ... anaknya .... Proses Surrogate Mother yang ia lakukan di Amerika kini akan segera berakhir dengan kebahagiaan baginya. “Cersey biar naik mobil dengan Arka, Mama, dan Pak Gito. Kamu setir mobil sendiri saja, Dyandra!” perintah Moeryati sambil berjalan menuju tangga. Ia akan kembali ke kamar dan mengambil
Terkejut, kenapa harus Cersey yang memberi nama anaknya? “Tidak mau, Mas! Nama itu akan melekat seumur hidup pada anakku. Yang memberi nama adalah aku, ibunya!” tolak Dyandra. Arka menghela napas, “Aku sudah menjanjikan pada Cersey kalau dia boleh memberi nama anak kita.”“Siapa suruh memberi janji tanpa bertanya padaku? Apa lagi yang sudah kamu janjikan kepadanya tanpa bertanya atau meminta ijin kepadaku, hah?” sindir Dyandra menatap ketus. Tertegun dengan pertanyaan ini, lelaki itu menatap lekat pada istrinya. “Apa maksudmu?” “Masalah nama saja ribut! Cersey sudah mau melahirkan! Arka, tidak usah hiraukan istrimu!” sentak Moeryati kemudian menarik lengan putranya agar menjauh dari Dyandra. Menahan ledakan di dalam dada, Dyandra melengos, tidak mau melihat Arka dan Moeryati berjalan menuju lift. Ia lebih memilih menggunakan eskalator saja untuk naik ke lantai tiga rumah sakit. Berada di pusat kesehatan termewah dan termahal, tidak lantas membuat s
Seorang wanita sedang duduk di sebuah meja restoran bersama satu orang anak perempuan berusia tiga tahun yang teramat cantik dan menggemaskan. Keduanya nampak asyik memandangi layar ponsel. Sang Bunda berucap, “Hari ini kita merayakan ulang tahunnya Ayah Arka. Kamu harus selalu mendoakan Ayah Arka, ya?” Mengatakan itu dengan mata berbinar, mengecup kening putrinya dengan khidmat. Ada satu desiran perih yang tak pernah bisa tertutup sempurna di dalam kalbu sang wanita. Ada satu cinta yang akan selalu ia kenang. Dari seseorang yang telah berkorban nyawa untuknya. Maka, ia akan memastikan nama sang almarhum suami selalu harum di mata putri mereka. Hasya yang baru menginjak usia tiga tahun hanya manggut-manggut mendengar permintaan ibunya. Ia menatap layar dan memandangi lelaki yang disebut sebagai ayahnya. “Ayah Arka, ya, Bunda?” ucapnya manis dan polos. “Iya, Ayah Arka. Setelah dari restoran ini, kita akan mengunjungi makamnya dan berdoa di sana
Dyandra datang ke rumah duka yang telah dipenuhi oleh keluarga besar Hasbyan serta kerabat lain. Rumah itu, tempatnya tinggal bersama Arka selama sepuluh tahun terakhir. Melangkah gontai, naik ke lantai dua, ke kamar mereka. Sekelebat ingatan muncul. Bahwa pada suatu waktu, ia melangkah dengan kegontaian yang sama di tangga ini setelah mendengar dengan telinganya sendiri bagaimana sang suami meniduri wanita lain. “Tuhan, kenapa sakit sekali?” tangisnya terisak ketika duduk di atas ranjang dan memandangi seluruh kamar tidur mereka. Foto pernikahan, foto liburan keliling dunia, bahkan foto saat mereka masih kuliah bersama terpampang rapi di sana. Arka tidak pernah mengenyahkan foto-foto ini, bahkan setelah surat curai ia layangkan satu bulan lalu. Hancur, Dyandra sangat hancur melihat semua kenangan diri yang tak akan terulang kembali. Perih yang tak terperi mengoyak setiap detik hingga air mata tak bisa berhenti mengalir. Mengambil pi
Pintu ruang operasi terbuka dengan lambat. Beberapa orang keluar dan memperlihatkan bukan wajah-wajah yang senang atau pun bahagia. Akan tetapi ….“Keluarga Pak Arka?” Mereka kembali bertanya, dan Dyandra melangkah gontai. Di belakangnya ada Moeryati yang juga berjalan teramat limbung hingga harus dipegangi oleh adiknya. “Arka ….” Dyandra tidak bisa meneruskan pertanyaan. Kalimat selanjutnya menyangkut di tenggorokan. Satu kata yang tidak bisa ia ucap. Tidak, tolonglah jangan seperti ini! Tidak atas namanya! Jerit Dyandra di dalam hati. Bagaimana ia bisa memaafkan dirinya sendiri kalau akhirnya ….“Maafkan kami, tapi … untuk sesaat beliau stabil. Selanjutnya, ada pembuluh darah lain yang mendadak pecah di otak dan ….”“Anakku!” jerit Moeryati menghentakkan kaki ke lantai berkali-kali. Ia mengguncang tubuh Aryati semakin lama semakin kecang. “Arkaaa!” Ambruk sudah Moeryati ke atas lantai sambil menangis, meraung, tersedu-sedu d
Batara terbelalak, begitu pula istrinya dan sang besan. Anak-anak mereka menjadi target pembunuhan? Kegilaan apa lagi ini di rumah tangga Dyandra dan Arka.“Di pinggir jalan tadi ada sebuah bengkel sepeda motor yang sudah tutup. Dia memiliki CCTV yang mengarah ke jalanan. Kami sudah memeriksanya dan apa yang terlihat makin menguatkan bukti bahwa ini bukanlah kecelakaan biasa,” tutur Sersan Andi. Dyandra masih termangu, ia mencoba mengingat apa yang terjadi. “Ban mobilku mendadak kempes. Pak Tri menepi. Tiba-tiba ada sepeda motor kencang menubruknya. Aku segera keluar untuk melihat kondisi Pak Tri. Kemudian … kemudian ….”Tak mampu meneruskan kalimat karena setelah itu terjadilah hal yang membuatnya sangat syok hingga kini. Kedua tangan gemetar saat mengingat detik demi detik nyawa hampir melayang. “Aku tidak tahu Arka dari mana … dia … dia … aku ditarik! Dia tertubruk mobil!” raung Dyandra memeluk ibunya dan menangis kencang. “Pak Arka
Terus menjerit, suara Dyandra mulai tertutup oleh sirine mobil ambulans dan polisi yang datang ke lokasi nahas tersebut. Orang ramai mengatakan tabrak lari kepada dua orang petugas hukum berseragam cokelat yang datang. Dari dalam ambulans, dua orang segera turun dan memeriksa keadaan Arka. “Kritis, cepat bawa ke rumah sakit,” ucap salah satu dari mereka dan berlari kembali ke dalam mobil untuk mengambil ranjang dorong. Pak Tri saat diperiksa oleh petugas ternyata sudah meninggal dunia. Leher sopir malang itu patah saat ditubruk sangat kencang oleh pengendara sepeda motor. Dengan dibantu oleh warga sekitar, ambulans berhasil membawa Arka masuk dan Dyandra duduk di kursi panjang, menatap nanar pada Arka yang sudah tidak sadarkan diri.“Halo, Dru?” isaknya menelepon sang kakak dan segera menjelaskan apa yang terjadi. “Tolong jemput Bu Wuri dan Hasya. Aku mau ke rumah sakit bersama Mas Arka!” pintanya sesenggukkan. Drupadi terengah, tidak
Dyandra spontan menuruni mobil saat melihat sopirnya tertubruk sepeda motor dengan kencang hingga terpental. Ia menjerit kencang sambil menghampiri. Sama sekali tidak tahu bahwa semua ini adalah rekayasa yang dibuat oleh Pondra dan Rani untuk menyingkirkan sang target. Baru saja beberapa detik di pinggir jalan raya, dua buah lampu terang menerjang. Sontak menoleh ke belakang, mata Dyandra terbelalak saat sebuah kendaraan menuju ke arahnya dengan snagat kencang. Tidak ada niat untuk mengerem, apalagi membanting setir agar tidak menubruknya. Dengan sangat jelas, mobil itu ingin menggempur tubuhnya. Semua terjadi dengan sangat cepat hingga rasa syok menguasai sang wanita. Membuat tubuhnya membeku tak dapat berbuat apa pun, termasuk menghindari bencana yang sebentar lagi terjadi. Seiring mendekatnya dua sinar bundar tersebut, Dyandra hanya bisa memejamkan mata dan menutup wajah. Ia pasrah jika memang ini akhir hidup yang tertulis untuknya.
Ditemani oleh kakaknya, Dyandra mendatangi rumah sakit tempat Albert Kiersten dilarikan setelah terkena serangan jantung di ruang kantornya. Mereka duduk di sebuah cafetaria yang terletak cukup terpencil, jauh dari keramaian. Skylar kemudian terlihat berjalan dengan gontai. Langsung duduk di sisi Dyandra dan keduanya bertatapan sendu. Tak mampu berkata apa pun kepada satu sama lain. “Bagaimana dengan Om Albert?” tanya Drupadi menghela napas. “Sedang dipersiapkan untuk operasi. Ayahku memang benar terkena serangan jantung,” jawab Skylar dengan masih menatap pada kekasih gelapnya. “Beliau akan selamat, ‘kan? Maksudku, ini bukan kasus berat atau yang … yah, kamu tahulah maksudku,” tanya Drupadi lagi memastikan. “Setiap operasi pemasangan ring jantung akan ada resikonya. Tapi, dokter terbaik telah menangani. Jika tidak ada masalah, ya, Papa akan baik-baik saja,” angguk Skylar. Drupadi menghela napas lega. “Baiklah, aku mau ke k
Cersey terengah hebat ketika ponselnya mendadak tidak lagi ada suara Arka, ternyata sang suami telah menghentikan pembicaraan mereka. Jemari wanita cantik itu bergetar hebat bersamaan dengan rasa mual yang meraji perutnya. “Talak tiga? Talak tiga katamu, Mas Arka? Talak tiga, hah?” desisnya makin lama makin menjerit. Air mata menuruni lereng pipi putih yang telah dibubuhi dengan perona berwarna merah. Pertama hanya tetes demi tetes, tetapi lama kelamaan menjadi linangan ombak di samudera luas. Sangat deras, dan bibirnya kian gemetar. “TIDAAK! TIDAAAK!” Membanting ponsel ke atas sofa teramat kencang. Menjerit histeris, menjambak rambutnya sendiri. Mengambil mangkok buah yang ada di atas meja. Lalu, ia lempar sepenuh tenaga ke atas lantai hingga pecah berserakkan. Belum puas, tangannya kembali merajah vas bunga, menggempurkan ke dinding berlapis wall paper berwarna emas. “AKU BENCI KAMU, DYANDRA! AKU BENCI KAMU!” jerit Cersey tak berhe
Degup jantung Cersey sudah tidak aman lagi. Mendengar kalimat dari Arka bahwa mereka tidak bisa bersama ke depannya bagai gulungan tsunami menghantam dari sekian sisi. Tidak hanya kanan dan kiri, tetapi juga depan, belakang, atas, dan bawah. Bernapas memburu, dada kembang kempis, mata memerah berair, dan sekeliling terasa begitu menekan hingga sulit bernapas. Tinggal di ruang ber-AC sepanjang hari, tetapi kenapa sekarang seolah ada di Gurun Sahara? Dengan matahari tepat berada di atas kepala, menyinari dengan terik. “Cersey, maafkan aku. Hanya saja, ini terpak—”“Karena Mbak Dyandra? Karena kamu mau kembali kepadanya. Iya, ‘kan?” bentak Cersey memotong pembicaraan sang suami. Sebenarnya, ia sudah pernah menduga hal ini akan terjadi. Semenjak Dyandra mengajukan surat cerai, Arka seperti orang gila tak tentu arah. Antara obsesi atau cinta kepada istri pertamanya itu tidak jelas.Satu hal yang jelas adalah, ia tidak lagi mendatangi Cersey