Mendengar Dyandra akan menelepon Arka dan mengatakan semua yang terjadi serta meminta cerai, Drupadi langsung mengambil ponsel adiknya. Lalu, ia masukkan ponsel itu ke dalam saku celanaya dan diakhiri dengan menggelengkan kepala.“Apa kubilang tadi? Jangan membuat keputusan di saat emosi! Kamu bisa menyesal!” larangnya tegas. “Tenangkan dirimu dulu, baru berpikir dan mengambil keputusan!”“Aku tidak peduli, Dru! Aku muak dengan Arka! Aku benci dia! Aku tidak mau lagi bersamanya!” seru Dyandra dengan linang air mata kian deras. Ia berdiri, meringsek ke arah Drupadi dan memaksa untuk mengambil kembali ponselnya. “Berikan ponselku! Aku mau meneleponnya! Aku mau pergi darinya!”Namun, Drupadi terus menghalangi dan mencegah. Terlihat kakak adik itu seperti sedang terlibat percekcokan, tetapi memang ini yang terbaik untuk Dyandra. “Aku tidak tahan lagi, Dru!” jerit Dyandra melepas semua kemarahannya. Lalu, tubuh molek itu ambruk ke atas lantai dan menangis tersedu-sedu. Memukuli la
Memasuki ruang kerja sang CEO tampan, Dyandra menghempaskan tubuh ke atas sofa kulit yang empuk. Matanya nanar menatap jendela, menerawang angkasa yang mulai beralih ke sore hari. Skylar mengeluarkan botol wine dari lemari pendinginnya. Membawa dua buah gelas dan ikut duduk di sisi kekasihnya. Ia tuang minuman tersebut dan memberikan satu gelas pada Dyandra. “Minumlah, tenangkan dirimu,” ucapnya tersenyum sendu.Dyandra melakukan apa yang diminta, menyesap wine putih tersebut, dan menarik napas panjang. Isaknya masih belum berhenti. Sepanjang perjalanan satu jam lebih dia pun terus menangis dan mengeluarkan semua unek-uneknya di dalam mobil.Skylar mendengarkan semua ocehan Dyandra dengan sabar dan tidak terpancing emosi sama sekali. Walau di dalam hati ia merasa ada segores perih akibat sang kekasih yang ternyata masih menyimpan cinta begitu dalam bagi lelaki lain –suaminya.Dyandra meneggak habis satu gelas wine itu, “Tuangkan lagi,” meminta lebih.
Makan malam yang sepi, tidak ada pembicaraan sama sekali. Ada empat orang di meja makan, tetapi semua hanya terdiam dan menatap piring masing-masing. Cersey melirik pada Arka yang tidak memandangnya. Lalu, ia melihat pada Moeryati, terakhir pada Dyandra. Senyum kemenangan terlukis di wajah muda dan cantiknya. Menarik napas satu kali, bersiap untuk mengucap sesuatu. "Ehm, aku ingin meminta ijin, Mbak Dyandra.”Arka dan Dyandra langsung mendongakkan kepala dan menatap tegang. Sang suami menelan salivanya dengan susah payah. Berpikir apakah Cersey akan meminta ijin untuk menjadi istri muda? Mereka sepakat untuk tidak berkata apa-apa.Sementara sang istri, tidak bisa berpikir apa pun dan menebak-nebak ijin apa yang akan diminta. “Kenapa? Ada apa?” sahut Dyandra berhenti makan.“Itu, tiga minggu lagi saya ada acara pernikahan saudara. Saya mau minta ijin untuk keluar kota selama satu minggu.” Mengucap dengan senyum ceria dan mata yang berbinar.“Luar kota?
Kehadiran Arka mendadak di kantor Dyandra membuat sang wanita pucat pasi. Ditanya secara tajam dari mana, dengan siapa, dan kenapa berduaan dengan Skylar membuat jantungnya seakan berhenti berdetak. Kaki terasa lemas, hingga napas pun seakan sulit. “Jawab! Kamu dari mana dan siapa dia!” bentak Arka pada istrinya.“Tidak perlu kasar kepada Dyandra!” balas Skylar meninggikan suara dan menatap marah pada Arka.“Heh! Siapa kamu? Sedang apa kamu berduaan dengan istriku? Kalian dari mana!” teriak Arka semakin lupa diri. Tidak peduli dia berada di lobby dengan beberapa karyawan lalu lalang di sana.Pihak security terlihat bingung. Apa yang harus dilakukan? Melerai, menahan Arka yang berteriak-teriak, tetapi itu suami bos mereka. Akhirnya semua hanya diam dan menonton. Namun, salah satu dari mereka menelepon seseorang. “Kamu tidak perlu berteriak kepadaku!” Skylar mulai maju dan tangannya mengepal di samping tubuh. Sering mendengar bagaimana lelaki ini menyakiti D
Bentakan Arka yang menuduh Skylar berselingkuh dengan istrinya di kamar hotel dibareangi dengan sebuah bogem mentah ke arah lelaki tersebut. Ia sudah kehilangan akal sehat.Jeritan Dyandra terdengar nyaring ketika sekian detik kemudian baik Arka maupun Skylar telah saling mencengkeram kerah baju satu sama lain dan berusaha memukuli wajah musuh. Pukulan pertama dari Tuan Hasbyan berhasil dihindari oleh Tuan Kiersten. Kini, lelaki blasteran itu hendak balas memukul Arka, tetapi suami Dyandra tersebut sukses menghindar. Keduanya gagal menghantam wajah satu sama lain. Akhirnya, mereka saling mencekik kerah baju berbalut dasi. Mengguncang tubuh sama gagah. Kini, bahkan mereka sudah mulai saling menendangi kaki satu sama lain.“HENTIKAAAN!” Drupadi berteriak menggelegar. Ia yang dikabari oleh pihak security kini telah hadir di antara dua lelaki saling unjuk kekuatan dan kemarahan. Namun, baik Arka maupun Skylar tidak ada niatan untuk melepaskan cengkerama
Dalam kepanikan, emosi serta harga diri yang runtuh karena ribut dengan Arka di depan umum, Dyandra mengirim pesan kepada Skylar tanpa pikir panjang. Menginginkan agar mereka berdua berhenti berhubungan. Akan tetapi, sang lelaki menanggapinya dingin.Bunyi satu notifikasi terdengar dari ponselnya. Skylar membalas detik itu juga.[Kalau kamu ijinkan, detik itu juga akan kubawa kamu pergi dari suamimu. Tapi bukankah ada bayi yang kamu tunggu? Kalau memang kamu ingin kita berakhir, katakan langsung kepadaku di saat sudah tidak ada lagi emosi dan air mata di wajahmu.]Dyandra makin sesak membaca itu semua. Skylar tidak ingin berpisah dengannya? Lalu, bagaimana dengan ini semua? Ah, kepala Dyandra rasanya makin berat dan ia tidak ingin memikirkan hal ini lagi.Dengan cepat mematikan ponsel, lalu menaruhnya di dalam lemari pembersih seperti yang pernah ia lakukan sebelumnya. Setelah itu, kaki mulus yang dibalut rok span sepanjang lutut segera berlari menuju ruang kanto
Keesokan hari, Dyandra menelepon sebuah nama yang kemarin sempat ingin ia jauhi. Akan tetapi, tidak lagi. “Ya?” jawab Skylar datar. Lelaki itu semalaman tidak bisa tidur sama sekali. Tangannya sudah gatal ingin menghubungi Dyandra di nomor asli sang wanita, tetapi selalu menahan niat tersebut. Tidak mau membuat keadaan semakin rumit bagi kekasih gelapnya. “Maafkan aku, Sky ….”“Maaf kenapa?” Skylar menahan napas. Apakah Dyandra benar-benar ingin berpisah dengannya? Sampai sini sajakah hubungan mereka?“Maaf karena kemarin terlampau emosi dan menginginkan hubungan kita berakhir,” ucap Dyandra terdengar menyesal.Helaan napas lega terdengar dari bibir kemerahan alami sang lelaki. “Kamu tidak ingin kita berakhir?” Memastikan sekali lagi.“Ya, aku tidak ingin kita berakhir. Kemarin aku sangat takut dan merasa terintimidasi oleh Arka. Maafkan aku, ya?” “Tidak perlu minta maaf, aku tidak marah. Aku memahami semuanya. Kamu baik-baik saja? Kalian
Sampai di lobby apartemen mewah, Dyandra melangkah turun dari taksi. Menoleh ke kanan dan ke kiri hingga mendapati seorang lelaki sedang duduk santai di meja bar sebuah café, memandanginya. Ia terdiam, menahan tiap getaran di dalam syaraf yang menyebar di seluruh tubuh. Sudahlah, tatap tajam sekaligus syahdu lelaki itu selalu membuatnya lemah. Belum lagi senyumnya yang mampu melelehkan batu terkeras sekali pun. Tiap hentakan kaki Skylar terlihat sangat gagah. Berbalut jas resmi berwarna abu-abu muda yang satu warna dengan celana panjangnya, dan berpadu dengan hem berwarna hitam, dia terlihat ….‘Matilah aku, Skylar …. Apa yang akan terjadi dengan kita siang ini?” Napas Dyandra memburu, dan cepat berusaha ia atur agar terlihat tenang.Sampailah Skylar di depannya. “Hai,” sapa bibir seksi tersebut singkat. “Kita naik sekarang?”Dyandra menelan salivanya dengan kesulitan. Akan tetapi, ia berhasil melakukannya dan mengangguk.“Ayo,” ucap Skylar langsung m
Seorang wanita sedang duduk di sebuah meja restoran bersama satu orang anak perempuan berusia tiga tahun yang teramat cantik dan menggemaskan. Keduanya nampak asyik memandangi layar ponsel. Sang Bunda berucap, “Hari ini kita merayakan ulang tahunnya Ayah Arka. Kamu harus selalu mendoakan Ayah Arka, ya?” Mengatakan itu dengan mata berbinar, mengecup kening putrinya dengan khidmat. Ada satu desiran perih yang tak pernah bisa tertutup sempurna di dalam kalbu sang wanita. Ada satu cinta yang akan selalu ia kenang. Dari seseorang yang telah berkorban nyawa untuknya. Maka, ia akan memastikan nama sang almarhum suami selalu harum di mata putri mereka. Hasya yang baru menginjak usia tiga tahun hanya manggut-manggut mendengar permintaan ibunya. Ia menatap layar dan memandangi lelaki yang disebut sebagai ayahnya. “Ayah Arka, ya, Bunda?” ucapnya manis dan polos. “Iya, Ayah Arka. Setelah dari restoran ini, kita akan mengunjungi makamnya dan berdoa di sana
Dyandra datang ke rumah duka yang telah dipenuhi oleh keluarga besar Hasbyan serta kerabat lain. Rumah itu, tempatnya tinggal bersama Arka selama sepuluh tahun terakhir. Melangkah gontai, naik ke lantai dua, ke kamar mereka. Sekelebat ingatan muncul. Bahwa pada suatu waktu, ia melangkah dengan kegontaian yang sama di tangga ini setelah mendengar dengan telinganya sendiri bagaimana sang suami meniduri wanita lain. “Tuhan, kenapa sakit sekali?” tangisnya terisak ketika duduk di atas ranjang dan memandangi seluruh kamar tidur mereka. Foto pernikahan, foto liburan keliling dunia, bahkan foto saat mereka masih kuliah bersama terpampang rapi di sana. Arka tidak pernah mengenyahkan foto-foto ini, bahkan setelah surat curai ia layangkan satu bulan lalu. Hancur, Dyandra sangat hancur melihat semua kenangan diri yang tak akan terulang kembali. Perih yang tak terperi mengoyak setiap detik hingga air mata tak bisa berhenti mengalir. Mengambil pi
Pintu ruang operasi terbuka dengan lambat. Beberapa orang keluar dan memperlihatkan bukan wajah-wajah yang senang atau pun bahagia. Akan tetapi ….“Keluarga Pak Arka?” Mereka kembali bertanya, dan Dyandra melangkah gontai. Di belakangnya ada Moeryati yang juga berjalan teramat limbung hingga harus dipegangi oleh adiknya. “Arka ….” Dyandra tidak bisa meneruskan pertanyaan. Kalimat selanjutnya menyangkut di tenggorokan. Satu kata yang tidak bisa ia ucap. Tidak, tolonglah jangan seperti ini! Tidak atas namanya! Jerit Dyandra di dalam hati. Bagaimana ia bisa memaafkan dirinya sendiri kalau akhirnya ….“Maafkan kami, tapi … untuk sesaat beliau stabil. Selanjutnya, ada pembuluh darah lain yang mendadak pecah di otak dan ….”“Anakku!” jerit Moeryati menghentakkan kaki ke lantai berkali-kali. Ia mengguncang tubuh Aryati semakin lama semakin kecang. “Arkaaa!” Ambruk sudah Moeryati ke atas lantai sambil menangis, meraung, tersedu-sedu d
Batara terbelalak, begitu pula istrinya dan sang besan. Anak-anak mereka menjadi target pembunuhan? Kegilaan apa lagi ini di rumah tangga Dyandra dan Arka.“Di pinggir jalan tadi ada sebuah bengkel sepeda motor yang sudah tutup. Dia memiliki CCTV yang mengarah ke jalanan. Kami sudah memeriksanya dan apa yang terlihat makin menguatkan bukti bahwa ini bukanlah kecelakaan biasa,” tutur Sersan Andi. Dyandra masih termangu, ia mencoba mengingat apa yang terjadi. “Ban mobilku mendadak kempes. Pak Tri menepi. Tiba-tiba ada sepeda motor kencang menubruknya. Aku segera keluar untuk melihat kondisi Pak Tri. Kemudian … kemudian ….”Tak mampu meneruskan kalimat karena setelah itu terjadilah hal yang membuatnya sangat syok hingga kini. Kedua tangan gemetar saat mengingat detik demi detik nyawa hampir melayang. “Aku tidak tahu Arka dari mana … dia … dia … aku ditarik! Dia tertubruk mobil!” raung Dyandra memeluk ibunya dan menangis kencang. “Pak Arka
Terus menjerit, suara Dyandra mulai tertutup oleh sirine mobil ambulans dan polisi yang datang ke lokasi nahas tersebut. Orang ramai mengatakan tabrak lari kepada dua orang petugas hukum berseragam cokelat yang datang. Dari dalam ambulans, dua orang segera turun dan memeriksa keadaan Arka. “Kritis, cepat bawa ke rumah sakit,” ucap salah satu dari mereka dan berlari kembali ke dalam mobil untuk mengambil ranjang dorong. Pak Tri saat diperiksa oleh petugas ternyata sudah meninggal dunia. Leher sopir malang itu patah saat ditubruk sangat kencang oleh pengendara sepeda motor. Dengan dibantu oleh warga sekitar, ambulans berhasil membawa Arka masuk dan Dyandra duduk di kursi panjang, menatap nanar pada Arka yang sudah tidak sadarkan diri.“Halo, Dru?” isaknya menelepon sang kakak dan segera menjelaskan apa yang terjadi. “Tolong jemput Bu Wuri dan Hasya. Aku mau ke rumah sakit bersama Mas Arka!” pintanya sesenggukkan. Drupadi terengah, tidak
Dyandra spontan menuruni mobil saat melihat sopirnya tertubruk sepeda motor dengan kencang hingga terpental. Ia menjerit kencang sambil menghampiri. Sama sekali tidak tahu bahwa semua ini adalah rekayasa yang dibuat oleh Pondra dan Rani untuk menyingkirkan sang target. Baru saja beberapa detik di pinggir jalan raya, dua buah lampu terang menerjang. Sontak menoleh ke belakang, mata Dyandra terbelalak saat sebuah kendaraan menuju ke arahnya dengan snagat kencang. Tidak ada niat untuk mengerem, apalagi membanting setir agar tidak menubruknya. Dengan sangat jelas, mobil itu ingin menggempur tubuhnya. Semua terjadi dengan sangat cepat hingga rasa syok menguasai sang wanita. Membuat tubuhnya membeku tak dapat berbuat apa pun, termasuk menghindari bencana yang sebentar lagi terjadi. Seiring mendekatnya dua sinar bundar tersebut, Dyandra hanya bisa memejamkan mata dan menutup wajah. Ia pasrah jika memang ini akhir hidup yang tertulis untuknya.
Ditemani oleh kakaknya, Dyandra mendatangi rumah sakit tempat Albert Kiersten dilarikan setelah terkena serangan jantung di ruang kantornya. Mereka duduk di sebuah cafetaria yang terletak cukup terpencil, jauh dari keramaian. Skylar kemudian terlihat berjalan dengan gontai. Langsung duduk di sisi Dyandra dan keduanya bertatapan sendu. Tak mampu berkata apa pun kepada satu sama lain. “Bagaimana dengan Om Albert?” tanya Drupadi menghela napas. “Sedang dipersiapkan untuk operasi. Ayahku memang benar terkena serangan jantung,” jawab Skylar dengan masih menatap pada kekasih gelapnya. “Beliau akan selamat, ‘kan? Maksudku, ini bukan kasus berat atau yang … yah, kamu tahulah maksudku,” tanya Drupadi lagi memastikan. “Setiap operasi pemasangan ring jantung akan ada resikonya. Tapi, dokter terbaik telah menangani. Jika tidak ada masalah, ya, Papa akan baik-baik saja,” angguk Skylar. Drupadi menghela napas lega. “Baiklah, aku mau ke k
Cersey terengah hebat ketika ponselnya mendadak tidak lagi ada suara Arka, ternyata sang suami telah menghentikan pembicaraan mereka. Jemari wanita cantik itu bergetar hebat bersamaan dengan rasa mual yang meraji perutnya. “Talak tiga? Talak tiga katamu, Mas Arka? Talak tiga, hah?” desisnya makin lama makin menjerit. Air mata menuruni lereng pipi putih yang telah dibubuhi dengan perona berwarna merah. Pertama hanya tetes demi tetes, tetapi lama kelamaan menjadi linangan ombak di samudera luas. Sangat deras, dan bibirnya kian gemetar. “TIDAAK! TIDAAAK!” Membanting ponsel ke atas sofa teramat kencang. Menjerit histeris, menjambak rambutnya sendiri. Mengambil mangkok buah yang ada di atas meja. Lalu, ia lempar sepenuh tenaga ke atas lantai hingga pecah berserakkan. Belum puas, tangannya kembali merajah vas bunga, menggempurkan ke dinding berlapis wall paper berwarna emas. “AKU BENCI KAMU, DYANDRA! AKU BENCI KAMU!” jerit Cersey tak berhe
Degup jantung Cersey sudah tidak aman lagi. Mendengar kalimat dari Arka bahwa mereka tidak bisa bersama ke depannya bagai gulungan tsunami menghantam dari sekian sisi. Tidak hanya kanan dan kiri, tetapi juga depan, belakang, atas, dan bawah. Bernapas memburu, dada kembang kempis, mata memerah berair, dan sekeliling terasa begitu menekan hingga sulit bernapas. Tinggal di ruang ber-AC sepanjang hari, tetapi kenapa sekarang seolah ada di Gurun Sahara? Dengan matahari tepat berada di atas kepala, menyinari dengan terik. “Cersey, maafkan aku. Hanya saja, ini terpak—”“Karena Mbak Dyandra? Karena kamu mau kembali kepadanya. Iya, ‘kan?” bentak Cersey memotong pembicaraan sang suami. Sebenarnya, ia sudah pernah menduga hal ini akan terjadi. Semenjak Dyandra mengajukan surat cerai, Arka seperti orang gila tak tentu arah. Antara obsesi atau cinta kepada istri pertamanya itu tidak jelas.Satu hal yang jelas adalah, ia tidak lagi mendatangi Cersey