Teman mengobrol yang asik ditambah masalah rumah tangga berat dan beberapa gelas alkohol memang pasangan paling serasi untuk membuat seseorang lupa diri.Begitu pula dengan Dyandra malam ini. Jevon membuatnya sangat nyaman. Mereka bergurau sepanjang malam hingga tawa tidak berhenti mengalir dari bibir merahnya.Wajah Jevon yang tampan dengan harum parfum maskulin makin menambah nikmat suasana berbincang. Satu hal yang tidak disadarin oleh Dyandra adalah berapa gelas minuman beralkohol yang sudah ia habiskan.Berbeda dengan Dyandra, Jevon sadar betul berapa gelas yang sudah dihabiskan. Membuatnya bertanya, “Sepertinya kamu sudah mabuk, Dya? Bagaimana kalau kita naik ke kamar agar kamu bisa istirahat?” Dyandra yang makin sulit untuk membuka mata dan berpikir jernih hanya bisa tertawa dan mengangguk saja. Sama sekali tidak peduli dengan sekitar dan apa yang mungkin terjadi pada dirinya dengan mengiyakan ajakn tersebut.“Berapa nomor kamarmu? Mana kunci hotelmu?” tanya Jevon lagi.
Suasana pagi ini menjadi sangat kacau. Dyandra menjerit sekeras mungkin dan menendangi Skylar hingga pemuda itu terjatuh dari ranjang.Mengamuk sampai mengancam akan melaporkan Skylar pada polisi. Dikira Dyandra, lelaki itu baru saja berbuat tidak senonoh padanya semalam. “Apa kamu sudah gila? Mau apa panggil polisi?” jengah Skylar bangkit dari atas karpet hotel sambil mengusap tulang ekor yang nyeri. “Kamu tiduri aku semalam saat aku mabuk! Iya, kan?” jerit Dyandra mulai menangis. Skylar tertegun. Lucu sekali! Batinnya tertawa. Dyandra menangisi sesuatu yang tidak terjadi. Bukannya menenangkan, Skylar justru semakin menggoda.“Ehm, bukankah semalam kamu yang memaksa aku agar jangan kembali ke kamarku?” celetuknya duduk di atas kasur. “Aku kira kamu memang menginginkan semua ini untuk terjadi?”Sedikit mendorong tubuh ke belakang agar bisa meletakkan punggung di sandaran ranjang. Menaikkan tangan, menekuk dan memposisikannya ke belakang kepala. Kaki ia silangkan di atas ranja
Berpisah dengan Skylar karena lelaki gagah itu harus ke kamar mandi terlebih dahulu, membuat Dyandra berjalan sendiri ke tempat exit gate atau gerbang kedatangan. Apa yang kemudian menyambutnya di sana membuat mata terbelalak dan mulut terbuka tanpa bisa dicegah. Jantung berdegup lebih kencang daripada mobil balap di sirkuit pacu.“Mas Arka?” pekik Dyandra tertahan ketika melihat suaminya mmelangkah mendekati dirinya sambil tersenyum dan melambaikan tangan. Napas memburu, tetapi berusaha ditahan dan mengatur agar semua terlihat normal. Dyandra ingin menangis saja rasanya. Berkali-kali melihat ke belakang. Apakah Skylar sudah selesai dari kamar mandi dan menyusulnya?Kalau rekan kerjanya itu datang, mati sudah harga dirinya di depan Arka. Ia akan dikira berselingkuh dan keributan besar pasti terjadi. “Dya! Hai, Yank!” sapa Arka langsung menubruk istrinya, mencium pipi. “Sini, aku bawakan kopermu.”“Ta-tahu dari mana aku datang sekarang?” tanya Dyandra terbata sambil masih teru
“Aku tidak tahu dia kenapa, Dru! Tiba-tiba dia memblokir aku begitu saja!” geram Dyandra ketika bertemu dengan kakaknya di kantor keesokan hari.“Apa dia marah denganmu?” duga sang kakak ikut berpikir keras.“Marah kenapa? Apa salahku?” erang Dyandra emosi.“Karena memukulnya di kamar hotel? Mungkin dia masih merasa sakit?”“Please, Dru! Jangan menggodaku! Aku bingung sekali ini, tahu tidak?” Dyandra memandang geram. “Semua salah paham itu sudah diluruskan. Dia hanya menjaga kehormatanku!”Drupadi justru terkikik. “Ya, siapa tahu, Dya?” tawanya menggelengkan kepala. “Atau mungkin dia kesal karena kamu menghilang?”“Justru itu yang aku ingin jelaskan kepadanya! Aku ingin menjelaskan kalau Arka menjemput, tetapi dia justru memblokir begitu saja! Itu namanya kurang ajar!” Dyandra terus mengomel.“Kamu naksir dia, ya, Dya?” seloroh Drupadi menahan rasa geli di perutnya.“Kamu jangan membuat gosip murahan, Dru!” sembur Dyandra mendelik.Yang disembur justru semakin tertawa. “Kamu
Dyandra berhenti di depan loby restoran dan memberikan kunci kepada petugas valley parking. Meski memakai sepatu kerja dengan hak tujuh sentimeter, ia berjalan sangat cepat menuju meja yang ditunjukkan oleh petugas resepsionis.Di sana, seorang lelaki sedang duduk bersama ayahnya. Terlihat mengobrol dengan santai, bahkan sesekali tertawa lepas.‘Bisa kamu, ya? Tertawa santai begitu setelah membuatku tidak karuan begini?’ kesal wanita itu di dalam hati. Langkahnya semakin cepat dan Skylar menoleh ketika melihat sosok wanita di ujung pelupuk matanya. “Dya! Ayo, segera duduk sini!” sambut Batara sang ayah. Ia berdiri dan menarik kursi di seberang Skylar untuk putrinya duduk.Dengan wajah cemberut dan tatapan tajam, Dyandra duduk di kursi yang dipersiapkan oleh Batara. Kini, ia langsung berhadapan dengan wajah tampan yang membuat hatinya berdebar sendiri. “Selamat siang, Dyandra,” sapa pemilik wajah tampan itu dengan suara beratnya sambil tersenyum simpul.“Siang!” jawab Dyandra
Arka hampir tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Hubungannya dengan Cersey yang baru seumur jagung memang terasa sangat intim. Akan tetapi ... beristri dua ...?Lelaki itu tidak pernah memikirkan hal ini sebelumnya. Bahkan tidak di dalam mimpi terliarnya sekalipun. Memiliki dua istri, bagaimana dengan Dyandra? Istri sahnya itu apakah tidak akan curiga nantinya?“Aku ... belum bisa memutuskan apa pun. Aku ... ini semua terlalu mendadak,” jawab Arka dengan lidah yang terasa kelu.“Ya, tidak apa, Mas. Kamu pikirkan saja dulu baik-baik. Lagipula, bukannya apa ... kamu tahu sendiri Mbak Dyandra tidak bisa punya anak. Apa kamu mau seumur hidup tidak memiliki keturunan yang dilahirkan secara normal?” Cersey tersenyum, terdengar lemah lembut. Akan tetapi, setiap perkataannya tertuju untuk mempengaruhi Arka agar mau menjadikannya istri kedua. “Aku dan Dya akan punya anak setelah ini darimu, dari rahimmu ….”“Iya, tapi apa selamanya mau begitu terus? Sewa rahim wanita lain? Kan leb
Ancaman Arka membuat Dyandra kembali terbelalak hingga matanya terbuka lebar. “A-apa? Kamu bilang apa barusan?”“Kalau kamu sudah tidak mau denganku, bicara terus terang! Aku akan mencari istri lain!” Arka kembali bersungut-sungut. “Ya, cari saja sana sesukamu!” tukas Dyandra akhirnya naik pitam dengan ocehan sang suami. “Silakan cari istri lain!” balasnya ikut geram. Arka terdiam. Lebih tepatnya … tertegun. Jawaban Dyandra semakin memperlihatkan kalau wanita itu sudah tidak mencintainya. “Ya, sudah. Kalau memang itu maumu!”Sambungan terhenti dan Arka bangkit dari kursi kerjanya. Ia berjalan mengelilingi ruangan kantor yang cukup luas sambil mengepalkan tangan ke segala arah. Bibirnya menggerutu tidak jelas. Memaki hubungannya dengan Dyandra yang dirasa semakin kacau dan tidak bisa diselamatkan. Sementara Dyandra juga tidak kalah terbelalaknya. Tidak ada angin, tidak ada hujan, mendadak lelaki itu berbicara mengenai cari istri baru. “Apa kamu mau menikahi Cersey, Mas?” pikirn
Masih tidak percaya telah terkunci di dalam sebuah gudang bersama dengan Skylar, Dyandra terus menggedor pintu memanggil nama kakaknya. Akan tetapi, tidak ada jawaban sama sekali.“Sudahlah, nanti tanganmu retak karena menggedor pintu terus menerus,” hela Skylar yang sudah lebih dulu pasrah. Ia yakin tidak akan lama dikurung di gudang ini. “Tidak usah sok peduli denganku,” dengkus Dyandra melirik ketus.“Siapa yang bilang aku peduli? Aku hanya memberi tahu apa yang akan terjadi. Jangan pikir itu karena aku peduli kepadamu.”“Ya, ya, ya. Lelaki sepertimu memang tidak pernah peduli akan apa pun terutama perasaan wanita,” cibir Dyandra akhirnya berhenti menggedor pintu.Ia menghela napas panjang. Mengambil satu buah pakaian yang tidak terpakai dari rak bertuliskan “rejected” dan menjadikannya alas untuk duduk. Skylar melakukan hal serupa. Kini mereka duduk berdampingan dengan bersender pada pintu.“Apa menurutmu kita akan terkurung lama? Ponselku tertinggal di ruang kerja. Aku t
Seorang wanita sedang duduk di sebuah meja restoran bersama satu orang anak perempuan berusia tiga tahun yang teramat cantik dan menggemaskan. Keduanya nampak asyik memandangi layar ponsel. Sang Bunda berucap, “Hari ini kita merayakan ulang tahunnya Ayah Arka. Kamu harus selalu mendoakan Ayah Arka, ya?” Mengatakan itu dengan mata berbinar, mengecup kening putrinya dengan khidmat. Ada satu desiran perih yang tak pernah bisa tertutup sempurna di dalam kalbu sang wanita. Ada satu cinta yang akan selalu ia kenang. Dari seseorang yang telah berkorban nyawa untuknya. Maka, ia akan memastikan nama sang almarhum suami selalu harum di mata putri mereka. Hasya yang baru menginjak usia tiga tahun hanya manggut-manggut mendengar permintaan ibunya. Ia menatap layar dan memandangi lelaki yang disebut sebagai ayahnya. “Ayah Arka, ya, Bunda?” ucapnya manis dan polos. “Iya, Ayah Arka. Setelah dari restoran ini, kita akan mengunjungi makamnya dan berdoa di sana
Dyandra datang ke rumah duka yang telah dipenuhi oleh keluarga besar Hasbyan serta kerabat lain. Rumah itu, tempatnya tinggal bersama Arka selama sepuluh tahun terakhir. Melangkah gontai, naik ke lantai dua, ke kamar mereka. Sekelebat ingatan muncul. Bahwa pada suatu waktu, ia melangkah dengan kegontaian yang sama di tangga ini setelah mendengar dengan telinganya sendiri bagaimana sang suami meniduri wanita lain. “Tuhan, kenapa sakit sekali?” tangisnya terisak ketika duduk di atas ranjang dan memandangi seluruh kamar tidur mereka. Foto pernikahan, foto liburan keliling dunia, bahkan foto saat mereka masih kuliah bersama terpampang rapi di sana. Arka tidak pernah mengenyahkan foto-foto ini, bahkan setelah surat curai ia layangkan satu bulan lalu. Hancur, Dyandra sangat hancur melihat semua kenangan diri yang tak akan terulang kembali. Perih yang tak terperi mengoyak setiap detik hingga air mata tak bisa berhenti mengalir. Mengambil pi
Pintu ruang operasi terbuka dengan lambat. Beberapa orang keluar dan memperlihatkan bukan wajah-wajah yang senang atau pun bahagia. Akan tetapi ….“Keluarga Pak Arka?” Mereka kembali bertanya, dan Dyandra melangkah gontai. Di belakangnya ada Moeryati yang juga berjalan teramat limbung hingga harus dipegangi oleh adiknya. “Arka ….” Dyandra tidak bisa meneruskan pertanyaan. Kalimat selanjutnya menyangkut di tenggorokan. Satu kata yang tidak bisa ia ucap. Tidak, tolonglah jangan seperti ini! Tidak atas namanya! Jerit Dyandra di dalam hati. Bagaimana ia bisa memaafkan dirinya sendiri kalau akhirnya ….“Maafkan kami, tapi … untuk sesaat beliau stabil. Selanjutnya, ada pembuluh darah lain yang mendadak pecah di otak dan ….”“Anakku!” jerit Moeryati menghentakkan kaki ke lantai berkali-kali. Ia mengguncang tubuh Aryati semakin lama semakin kecang. “Arkaaa!” Ambruk sudah Moeryati ke atas lantai sambil menangis, meraung, tersedu-sedu d
Batara terbelalak, begitu pula istrinya dan sang besan. Anak-anak mereka menjadi target pembunuhan? Kegilaan apa lagi ini di rumah tangga Dyandra dan Arka.“Di pinggir jalan tadi ada sebuah bengkel sepeda motor yang sudah tutup. Dia memiliki CCTV yang mengarah ke jalanan. Kami sudah memeriksanya dan apa yang terlihat makin menguatkan bukti bahwa ini bukanlah kecelakaan biasa,” tutur Sersan Andi. Dyandra masih termangu, ia mencoba mengingat apa yang terjadi. “Ban mobilku mendadak kempes. Pak Tri menepi. Tiba-tiba ada sepeda motor kencang menubruknya. Aku segera keluar untuk melihat kondisi Pak Tri. Kemudian … kemudian ….”Tak mampu meneruskan kalimat karena setelah itu terjadilah hal yang membuatnya sangat syok hingga kini. Kedua tangan gemetar saat mengingat detik demi detik nyawa hampir melayang. “Aku tidak tahu Arka dari mana … dia … dia … aku ditarik! Dia tertubruk mobil!” raung Dyandra memeluk ibunya dan menangis kencang. “Pak Arka
Terus menjerit, suara Dyandra mulai tertutup oleh sirine mobil ambulans dan polisi yang datang ke lokasi nahas tersebut. Orang ramai mengatakan tabrak lari kepada dua orang petugas hukum berseragam cokelat yang datang. Dari dalam ambulans, dua orang segera turun dan memeriksa keadaan Arka. “Kritis, cepat bawa ke rumah sakit,” ucap salah satu dari mereka dan berlari kembali ke dalam mobil untuk mengambil ranjang dorong. Pak Tri saat diperiksa oleh petugas ternyata sudah meninggal dunia. Leher sopir malang itu patah saat ditubruk sangat kencang oleh pengendara sepeda motor. Dengan dibantu oleh warga sekitar, ambulans berhasil membawa Arka masuk dan Dyandra duduk di kursi panjang, menatap nanar pada Arka yang sudah tidak sadarkan diri.“Halo, Dru?” isaknya menelepon sang kakak dan segera menjelaskan apa yang terjadi. “Tolong jemput Bu Wuri dan Hasya. Aku mau ke rumah sakit bersama Mas Arka!” pintanya sesenggukkan. Drupadi terengah, tidak
Dyandra spontan menuruni mobil saat melihat sopirnya tertubruk sepeda motor dengan kencang hingga terpental. Ia menjerit kencang sambil menghampiri. Sama sekali tidak tahu bahwa semua ini adalah rekayasa yang dibuat oleh Pondra dan Rani untuk menyingkirkan sang target. Baru saja beberapa detik di pinggir jalan raya, dua buah lampu terang menerjang. Sontak menoleh ke belakang, mata Dyandra terbelalak saat sebuah kendaraan menuju ke arahnya dengan snagat kencang. Tidak ada niat untuk mengerem, apalagi membanting setir agar tidak menubruknya. Dengan sangat jelas, mobil itu ingin menggempur tubuhnya. Semua terjadi dengan sangat cepat hingga rasa syok menguasai sang wanita. Membuat tubuhnya membeku tak dapat berbuat apa pun, termasuk menghindari bencana yang sebentar lagi terjadi. Seiring mendekatnya dua sinar bundar tersebut, Dyandra hanya bisa memejamkan mata dan menutup wajah. Ia pasrah jika memang ini akhir hidup yang tertulis untuknya.
Ditemani oleh kakaknya, Dyandra mendatangi rumah sakit tempat Albert Kiersten dilarikan setelah terkena serangan jantung di ruang kantornya. Mereka duduk di sebuah cafetaria yang terletak cukup terpencil, jauh dari keramaian. Skylar kemudian terlihat berjalan dengan gontai. Langsung duduk di sisi Dyandra dan keduanya bertatapan sendu. Tak mampu berkata apa pun kepada satu sama lain. “Bagaimana dengan Om Albert?” tanya Drupadi menghela napas. “Sedang dipersiapkan untuk operasi. Ayahku memang benar terkena serangan jantung,” jawab Skylar dengan masih menatap pada kekasih gelapnya. “Beliau akan selamat, ‘kan? Maksudku, ini bukan kasus berat atau yang … yah, kamu tahulah maksudku,” tanya Drupadi lagi memastikan. “Setiap operasi pemasangan ring jantung akan ada resikonya. Tapi, dokter terbaik telah menangani. Jika tidak ada masalah, ya, Papa akan baik-baik saja,” angguk Skylar. Drupadi menghela napas lega. “Baiklah, aku mau ke k
Cersey terengah hebat ketika ponselnya mendadak tidak lagi ada suara Arka, ternyata sang suami telah menghentikan pembicaraan mereka. Jemari wanita cantik itu bergetar hebat bersamaan dengan rasa mual yang meraji perutnya. “Talak tiga? Talak tiga katamu, Mas Arka? Talak tiga, hah?” desisnya makin lama makin menjerit. Air mata menuruni lereng pipi putih yang telah dibubuhi dengan perona berwarna merah. Pertama hanya tetes demi tetes, tetapi lama kelamaan menjadi linangan ombak di samudera luas. Sangat deras, dan bibirnya kian gemetar. “TIDAAK! TIDAAAK!” Membanting ponsel ke atas sofa teramat kencang. Menjerit histeris, menjambak rambutnya sendiri. Mengambil mangkok buah yang ada di atas meja. Lalu, ia lempar sepenuh tenaga ke atas lantai hingga pecah berserakkan. Belum puas, tangannya kembali merajah vas bunga, menggempurkan ke dinding berlapis wall paper berwarna emas. “AKU BENCI KAMU, DYANDRA! AKU BENCI KAMU!” jerit Cersey tak berhe
Degup jantung Cersey sudah tidak aman lagi. Mendengar kalimat dari Arka bahwa mereka tidak bisa bersama ke depannya bagai gulungan tsunami menghantam dari sekian sisi. Tidak hanya kanan dan kiri, tetapi juga depan, belakang, atas, dan bawah. Bernapas memburu, dada kembang kempis, mata memerah berair, dan sekeliling terasa begitu menekan hingga sulit bernapas. Tinggal di ruang ber-AC sepanjang hari, tetapi kenapa sekarang seolah ada di Gurun Sahara? Dengan matahari tepat berada di atas kepala, menyinari dengan terik. “Cersey, maafkan aku. Hanya saja, ini terpak—”“Karena Mbak Dyandra? Karena kamu mau kembali kepadanya. Iya, ‘kan?” bentak Cersey memotong pembicaraan sang suami. Sebenarnya, ia sudah pernah menduga hal ini akan terjadi. Semenjak Dyandra mengajukan surat cerai, Arka seperti orang gila tak tentu arah. Antara obsesi atau cinta kepada istri pertamanya itu tidak jelas.Satu hal yang jelas adalah, ia tidak lagi mendatangi Cersey