“Masih marah padaku?”
Duduk di ruang baca dan separuh merebahkan diri di atas sofa, adalah seorang wanita berambut panjang berwarna keemasan, dengan kontur wajah lembut dan lipstik yang merah menyala. Gaunnya menyebar menyentuh lantai, suasana di sekitarnya tampak malas dan santai. Dia memegang sebuah novel bersampul tebal dengan warna cerah, judul berbahasa inggris dicetak tebal dan tegak hingga Keith sulit untuk mengabaikannya.
The Love Story, Alana Grey—begitu yang tertulis di sana, membuat Keith terpaksa memejam mata sejenak dan menghela napas panjang.
“Kayla, aku sedang bertanya padamu.” Keith mengambil beberapa langkah maju, tetap meninggalkan jarak sekiranya Kayla yang duduk di sana tidak merasa kesal karena diganggu. Sama sekali tidak ada jejak ketidaksabaran dalam vokalnya yang berat, hanya suara bernada rendah yang sarat akan rindu. Kelopak matanya yang kerap setengah terangkat kini menatap terang-terangan ke arah Kayla, menantikan saat wanita itu mendongak dan tersenyum saat menyambutnya pulang seperti biasa.
Akan tetapi, kali ini Kayla tidak menunjukkan reaksi sama sekali. Dia berhenti bergeming, hanya untuk memandang sekilas ke arah Keith dan lanjut membaca.
“Aku minta maaf, Kayla.” Serba salah, Keith juga tahu betul betapa dia sangat bersalah, tapi dia sama tak berdayanya untuk apa yang telah terjadi dan hanya mampu mengatakan kalimat itu yang dia sendiri tahu—basi.
Orang lain mungkin akan melotot dengan mulut menganga jika melihat bagaimana saat ini Keith mengubah raut wajahnya yang selalu terlihat tak berperasaan menjadi sesedih ini.
“Kayla, demi Tuhan aku ... aku belum menyentuhnya.” Meraup wajah, Keith bisa merasakan bagaimana Kayla kini kembali mendongak dan menyipit padanya dengan sorot mata menuduh. Bahunya tak lagi tegap, tapi juga tak bisa dikatakan melorot jatuh.
Seolah tidak cukup di sana, tanpa dipinta Keith kembali melanjutkan, “Aku bahkan memberinya kamar terpisah di bawah lantaiku, tidak mengizinkan dia berkeliaran ketika aku ada di sana, juga melarang dia untuk bicara bila tidak berkepentingan denganku.”
Melihat Kayla menutup dan meletakkan bukunya ke tepi, Keith berpikir jika wanita itu pasti mengerti, memakluminya seperti yang selalu dia lakukan, lalu memintanya datang sebelum dipeluk dan diberi kecup yang bertubi. Seperti biasa, seperti yang selalu terjadi di antara mereka.
“Hanya masalah waktu sampai kamu cukup berpikir sebelum kamu memutuskan menyebarkan benihmu di rahimnya, dan kamu membiarkan dia tidur di tempat terpisah, bahkan melarang dia untuk muncul dan berbicara denganmu?” Kayla menghela napas, tidak tampak terganggu.
Dari nadanya, seolah dia sengaja mendorong Keith agar bersatu dengan istri barunya. Kayla mengambil jeda sebelum kembali berkata, “Keith, kamu tidak perlu bertindak seekstrem itu. Aku tahu segalanya. Salahku karena berpikiran sempit sehingga menjadi seperti ini, menjadi pencemburu, padahal suamiku masih sangat mencintaiku, adalah wajar baginya untuk menikah lagi dan memiliki anak, karena aku cacat dan tidak mampu.”
“Kayla, jangan seperti ini.” Urat nadi mencuat di pelipisnya, menahan diri agar tidak marah saat mendengar Kayla begitu lancar merendahkan diri seolah begitu hina.
Berapa banyak usaha yang dia lakukan untuk membuat Kayla menjadi seseorang yang bebas dengan pribadi penuh percaya diri, untuk Kayla merasa senang dan merasa bersyukur karena menikah dengannya. Alih-alih hidup bahagia seperti yang diharapkan, semua harapan itu harus musnah di tangannya, hanya untuk sebuah keputusan yang telah diambil oleh ibunya sendiri.
Keith merasa kelu, perasaan itu seolah menggumpal dalam daging dan menjadi sesuatu yang bertahan di dada, membuat Keith hampir sulit bernapas saking merasa sesak dan tak berdaya.
Keith ingin membuang muka, tapi juga tidak sanggup berpura-pura buta pada sepasang netra yang menatapnya berkaca-kaca.
“Jangan menangis, Kayla.” Keith berujar serak, memangkas jarak dan berdiri lebih dekat dengan wanita itu. “Aku tahu kamu sedang marah, jadi pukul saja aku, oke? Pukul aku.”
Kayla mengerjap, hingga setitik air mata jatuh membasahi pipinya. “Kamu tidak salah, Keith. Aku tidak marah padamu ... hanya saja—”
“Jadi kau juga marah pada ibu? Ibuku yang membuat keputusan hingga kita menjadi seperti ini. Kayla, tidak apa-apa jika kamu marah padanya, tapi tolong jangan abaikan aku lagi, hm?”
“Aku marah pada diriku sendiri karena tidak bisa berdamai dengan takdir kita yang seperti ini. Keith ... aku—” Kayla mengusap jejak air mata dengan telapak tangan.
Seolah tidak lagi sanggup memasung tatap pada seraut wajah lelah Keith yang terlihat tidak lebih baik darinya, dia berpaling saat berkata. “Aku hanya perlu waktu. Tolong beri aku lebih banyak waktu untuk menerima semua ini.”
Kalimat Kayla serupa vonis yang menghukum cambuk sanubarinya. Keith merasa sakit, tapi tidak punya tempat untuk melampiaskannya. Keith hanya ingin Kayla tahu jika pernikahannya dengan Sahara tidak akan menimbulkan riak di antara mereka. Keith berpikir, tidakkah Kayla sadar berapa banyak perasaan yang dia miliki dan semua itu dia persembahkan hanya untuk Kayla. Meskipun Keith tidak berani bersumpah, tapi hatinya tetap teguh dan tidak akan mendua, biarkan orang lain memiliki raganya.
Namun, untuk mengatakan semua itu tepat di depan wajah Kayla yang sedang terluka, Keith tahu semuanya percuma.
“Kalau begitu biarkan aku memelukmu, aku hanya ingin memelukmu, Kayla.” Keith pasrah andaikan Kayla menolak, dia siap pergi dengan langkah terseret meski goresan itu jelas menyakiti perasaannya juga.
“Setelah memelukku lalu ke mana kamu ingin pergi?”
“Aku—” Ke mana aku akan pergi? Aku akan pulang. Keith kehilangan kata-kata, sekarang tidak ada satu pun jawaban yang pantas dia perdengarkan pada Kayla. Dia hanya pengecut, yang bahkan tidak tahu harus menjawab apa.
“Sekarang kamu punya dua rumah, Keith.” Kayla mendongak dari tempatnya duduk, memperhatikan dalam pandangan separuh buram pada sosok menjulang yang membelakangi cahaya. Bayangan seorang remaja urakan dalam seragam SMA perlahan pupus dan berubah menjadi sosok dewasa dengan sorot mata kelam yang telah mengalami pasang surut kehidupan. Kayla berusaha mencari-cari di mana sosok Keith yang pernah begitu mencintai dan memanjakannya, tapi hanya transparan, seolah dia bisa hilang kapan saja.
“Sudahlah.” Helaan napas Kayla terasa begitu berat seolah sarat beban. Bagaimana pun juga Keith tetap harus pulang, meskipun pada akhirnya tetap bukan dirinya yang menjadi pilihan.
“Meskipun aku butuh waktu, aku masihlah istrimu yang berarti tidak perlu izin bagimu untuk menyentuhku. Apalagi sekadar pelukan seperti ini.”
Aroma khas di sekeliling Kayla kini melingkupi Keith sepenuhnya, membuat lelaki itu sejenak linglung. Kayla telah datang dan memeluknya dengan hangat, rambutnya yang panjang tergerai membelai punggung tangan Keith yang ikut mendekap rindu. Tidak yakin mengapa Keith menghela napas, entah untuk Kayla yang masih selembut biasa, atau degup jantungnya yang masih sama.
“Aku mencintaimu, Kayla.” Dikecupnya ubun-ubun wanita itu dengan sayang. “Kamu harus tahu jika cintaku tak pernah berubah, selalu untukmu.”
Kayla hanya bersenandung, betah berlama-lama menyandarkan kepalanya di dada Keith sambil mendengarkan detak jantung laki-laki itu. Ada satu yang tidak berani dia pertanyakan, bagaimana jika dia sendiri yang lebih dulu berubah, akankah Keith tetap teguh dengan keyakinannya?
Di balik punggung suaminya, tatapan Kayla jatuh pada ponsel yang mengintip di balik bantal sofa. Layarnya berkedip-kedip, seseorang baru saja membalas pesannya.
•••
“Tuanmu tidak akan senang jika melihatku di sini, sebaiknya aku turun sebelum dia kembali.” Sahara membenahi selendang yang tersampir di bahunya.
Dia baru saja akan melangkahkan kaki ke kamar Keith, tapi teringat akan larangan yang diberikan oleh laki-laki itu terakhir kali. Rasanya aneh saat Keith tiba-tiba saja memerintahkannya menunggu di sini. Dari sudut mata, Sahara mencoba menilai baik-baik setiap gerakan Naina yang sayangnya masih tanpa celah.
Sepanjang perjalan, Naina banyak bercerita tentang asal-usul berbagai jenis macam bunga yang tumbuh di kediaman ini. Bahkan saat mereka sudah berjalan melalui koridor menuju kamarnya, Naina masih bercerita tentang ibu Keith.
“Ibu tuan Keith sangat baik. Beliau sering datang ke sini, tetap absen setidaknya seminggu sekali.”
Dari bagaimana raut wajah Naina terlihat, Sahara berani menebak jika ibu Keith pasti cukup baik untuk membuat gadis polos seperti Naina memujinya berulang kali.
“Ibu tuan Keith sangat menyukai buku dan juga bunga, selalu membawa jenis bunga yang berbeda setiap kali datang untuk ditanam di rumah ini. Awalnya, taman belakang itu akan dibuat untuk mendirikan sebuah perpustakaan yang terhubung langsung ke dalam rumah, tapi ibu tuan Keith bilang jangan, biarkan rumah ini terlihat sedikit hidup dengan beberapa jenis tumbuhan.”
“Tuan Keith tidak keberatan, jadilah taman belakang terlihat seperti itu sekarang.” Naina berceloteh panjang lebar, tidak lupa melirik Sahara dan sedikit banyak penasaran dengan reaksinya. “Lalu bagaimana dengan Nyonya? Apakah Nyonya menyukai bunga?”
Sahara tidak bisa menyalahkan Naina karena menjadi begitu cerewet, mungkin sikapnya yang suam-suam kuku membuat gadis itu berpikir jika dia merupakan salah satu tipe yang mudah dihadapi.
Mengingat berbagai jenis kembang dan tanaman hias merambat yang dia lihat beberapa saat yang lalu, Sahara mengulum bibir dan tidak butuh waktu lama untuk berpikir sebelum menjawab, “Aku tidak membencinya.” Tapi aku juga tidak begitu menyukainya, lanjut Sahara yang hanya diucapkan dalam hati.
Namun, melihat bunga-bunga yang tumbuh mekar di taman tak pelak mengingatkan Sahara pada ibunya sendiri. Ibunya pernah sangat mencintai bunga seperti itu adalah hidupnya sendiri. Sampai ayahnya memutuskan untuk menikah lagi dengan seorang janda beranak satu, mantan kekasih, cinta lama yang bersemi kembali. Ibunya jatuh sakit hampir seketika dan tidak lama kemudian meninggal dunia.
Sahara, sebagaimana anak yang terbuang, melihat saat-saat ketika bunga yang dulu dirawat oleh ibunya perlahan-lahan layu, meskipun sudah disiram, tapi tetap saja perlahan-lahan dia akan mati. Sahara tidak begitu menyukai bunga, tapi dia tidak pernah merasa keberatan merawat mereka untuk orang yang dihargai.
Deru mesin mobil yang memasuki pekarangan membangunkan Sahara dari kilas balik ingatan. Naina juga sudah berhenti berbicara, dan kini tampak lebih pendiam dan terkendali. Sahara dapat tahu hanya dari sekilas pandang, tampaknya Naina sangat takut pada Keith yang kerap memasang wajah kaku dan selalu tampak garang.
Sahara sengaja mempercepat langkah, berharap saat Keith masuk ke dalam rumah bertepatan dengan langkahnya yang terbenam di balik pintu. Akan tetapi, dia tidak tahu mengapa Keith terlihat begitu terburu-buru. Sahara awalnya tak ingin berhenti di jalurnya, ingin memperlakukan Keith seperti sesuatu yang tak terlihat dan berharap yang lain juga memiliki pikiran yang sama.
Siapa sangka, bertepatan saat Sahara melewati Keith yang kini tertinggal selangkah di belakang, pergelangan tangannya dicengkeram tiba-tiba.
“Kamu masih muncul di hadapanku?!”
Seolah darah tersedot habis dari wajahnya, Sahara berubah pucat menahan sakit yang tak terduga. Keith benar-benar menyakitinya. Dia tersentak mundur saat Keith menariknya kasar. Sahara hampir yakin jika dia baru saja mendengar derit gigi Keith saat mengencangkan rahang. Dia lebih terkejut dan nyaris tersedak saat bertemu tatap dengan sepasang mata Keith yang melotot penuh permusuhan.
“Kenapa? Sahara? Aku sudah memperingatkanmu untuk tidak muncul di hadapanku seperti ini, seperti saat ini. Ikut aku!”
“Lepaskan aku, Keith! Lepaskan aku! Tolong lepaskan aku!” Sahara merasa ngeri saat Keith menyeretnya masuk ke dalam kamar. Dengan semua gelagat yang ditampilkan, Sahara tidak sanggup membayangkan soal apa yang laki-laki itu ingin lakukan. Di saat-saat terakhir, Sahara menyadari kehadiran Naina yang menghilang, lalu ingat soal kebohongan yang gadis itu ucapkan.
“Lepaskan aku!” Sahara berteriak dan berusaha menarik tangannya agar lepas. Keith mencengkeram erat sekali, membuat Sahara yakin jika dia nekat menarik lebih keras maka pergelangan tangannya akan terkilir atau bahkan lepas. Keith tahu jika Sahara kesakitan, tapi dia tidak peduli. Melihat Sahara berani mengabaikan apa yang telah dia katakan, Keith marah dan ingin memberinya pelajaran.“Kamu berani berkeliling dan menunjukkan wajahmu di depanku bahkan setelah kuberi peringatan.” Keith menatap dengan berbahaya. Pergelangan tangan wanita itu terlalu tipis, akan patah jika dia mengerahkan sedikit lagi kekuatan untuk menyakitinya.“Aku tidak!” Sahara menyalak sambil melotot penuh permusuhan. Dengan mata memerah, dia ingin beringsut menjauh dari hadapan Keith, tatapan laki-laki itu yang menusuk membuat Sahara tak bisa berkutik. “Tanganku sakit, Keith ….” rintihnya.“Sakit, huh?” Keith menjebak Sahara diantara pintu kamar yang sudah dikunci. Lengannya mengapit wanita itu tanpa menyisakan jara
Seolah-olah seseorang baru saja membubuhkan kotoran tepat ke wajahnya, Sahara hanya ingin berlari ke kamar mandi dan membasuh diri saking merasa ternoda oleh pertanyaan sekaligus perbuatan Keith yang seolah buta pada penolakannya.. “Apakah kamu anjing?!” Tanpa sadar nada suaranya naik beberapa oktaf dengan kata-kata kasar yang keluar diluar kendali, Sahara menatap horor pada Keith yang mendorongnya semakin ke tepi. Dia lupa jika yang berada di atasnya adalah seorang pria dengan status suami, Keith bisa menunaikan haknya, sedangkan Sahara yang berusaha menolak dan merasa jijik justru akan menjadi orang yang berdosa. Sahara hanya merasa seolah-olah dia perempuan macam apa, yang begitu hina dan dihinakan dengan perlakukan semacam ini. “Dari awal aku sudah bilang jangan muncul di mana pun saat aku sedang di rumah, tapi kamu berlaku seolah perkataanku bukan apa-apa. Jadi, apakah kamu berharap aku akan menyentuhmu? Ingin aku membasuh dahagamu seperti ini?” Sahara sudah tidak bisa diam
“Apakah kamu tahu apa yang akan terjadi jika Keith tidak mengikat pergelangan tanganmu?”Pertanyaan pertama yang didengar Sahara setelah beberapa saat dia sadar dari pingsan datang dari seorang wanita berjas putih yang duduk di samping tempat tidurnya. Sahara tidak menjawab, tapi diamnya sudah cukup untuk membuat orang lain mengerti.“Aku adalah dokter pribadi yang bekerja untuk tuan Keith. Namaku Eveline, panggil saja aku Eve.” Eve adalah seorang dokter yang biasanya tidak terlalu suka menjaga formalitasnya, bahkan setelah bertahun-tahun bekerja di bawah naungan Keith, meskipun begitu dia tidak pernah mengatakan sesuatu yang melewati batasnya.Ada berbagai macam situasi yang selama ini dia jumpai dalam keluarga tersebut, dan biasanya tidak pernah separah ini. Paling banter adalah Kayla yang saat itu katanya salah mengira pil kontrasepsi sebagai obat kesuburan. Keith tersulut emosi dan terlanjur menampar istrinya tersebut hingga kepala Kayla terdorong ke samping dan membentur kisi je
“Kayla tidak mungkin melakukan hal bodoh itu, jangan mencoba menipuku!” Satu langkah mendekat yang diambil Keith membuat Naina gemetar tanpa sadar, wajahnya pucat dengan keringat dingin yang mengalir deras. “Apakah ibu? Ibuku yang menyuruhmu menuntunnya ke sana?!” Pertantaan Keith bergema lantang, membuat Naina berjengit sembari mengangguk-anggukan kepalanya dengan kuat.“Benar, Tuan! Nyonya besar yang menyuruhku, nyonya besar yang mengirimiku pesan untuk membuat nyonya Sahara dan Tuan tidur bersama.” Naina tidak berani lagi berbohong. Dia lelah diancam di sana-sini, belum lagi jika tuan besar sendiri yang memberi perintah, rasanya Naina ingin berhenti bekerja saat itu juga.Keith menarik kembali auranya yang berbahaya, dan mengusir Naina keluar dengan gigi terkatup. •••“Di mana menantu ibu? Keith, cepat panggil istrimu kemari.” Keith tidak terkejut dengan kedatangan ibunya pagi ini. Namun, dia terkejut dengan barang bawaan yang lumayan banyak, di saat sebelumnya ibunya hanya mem
Sahara menyingkirkan kantong kertas yang berisi segala macam obat herbal pendukung kesuburan yang dibawakan Raina untuknya. Ada juga beberapa helai jubah tidur berbahan sutera, Sahara bahkan tidak berani melirik untuk kali kedua, apalagi untuk memakainya.“Nyonya, nyonya besar menyuruh saya untuk membuatkan obat herbal dan meminta Nyonya agar meminumnya satu kali sehari, apakah tidak apa-apa?” Sahara menoleh saat Naina berdiri di depan pintu kamarnya. Dia membiarkan gadis pelayan itu menyimpan obat-obat tersebut di ruang dapur, dan menyimpan yang lain di dalam kamarnya. “Aku tidak akan meminum obat pahit itu lagi.” Sahara mengernyit, masih tertinggal rasa pahit dan asam yang beberapa saat lalu bersentuhan dengan lidahnya. Sahara memperhatikan saat Naina tampak ragu-ragu ingin mengatakan sesuatu. Dia meletakan bingkisan terakhir ke dalam lemari sebelum menoleh ke arah Naina sekali lagi.“Apa ada hal lain yang ingin kamu katakan?”Sahara tidak bisa tidak mengingat apa yang terjadi ke
“Berpakaian begitu tertutup, apakah kamu takut aku akan memakanmu?”Keith yang baru saja keluar dari kamar mandi, tersenyum miring pada Sahara yang berdiri kaku di depan pintu kamarnya.“Di mana aku harus tidur?” tanya Sahara, mengalihkan pandangan ke arah lain dari setengah tubuh Keith yang terbuka. Setelah kejadian tempo hari, Sahara telah kehilangan satu perempat bagian rasa gugupnya saat berhadapan dengan Keith. Namun, dia tetap akan rakut jika pria itu mulai mendekat dan mengintimidasinya dengan sentuhan.Keith melangkah ke arah ruang ganti, melepaskan handuknya begitu saja, dan dengan santai memilih piama untuk dikenakan. Tatapannya tertuju pada selimut yang terlipat rapi di kolong paling bawah, memikirkan sesuatu, tapi tidak memutuskan apa-apa.“Tidur saja di atas tempat tidurku, kecuali jika kamu ingin tidur di sofa atau bahkan di lantai dingin itu.” Keith menunjuk kedua tempat tersebut dengan ujung matanya, dia sendiri berjalan menuju tempat tidur dan duduk bersandar di sana
Hingga terdengar debuman pintu kamar mandi yang dibanting tertutup, baru saat itulah Sahara berani membuka mata dan perlahan-lahan bangkit berdiri dengan gemetar. Sahara merasa jijik luar biasa, dia berlari keluar kamar dan kembali ke lantai utama menuju kamarnya. Di sana, dia tidak sengaja berpapasan dengan Naina, Sahara bahkan tidak ingin tahu apa yang membuat gadis itu bangun pagi-pagi buta.Sahara bahkan membuang jilbabnya sembarangan ke tempat sampah. Tiba di kamar mandi, hal pertama yang dilakukan adalah mengisi penuh bak mandi dengan air dingin, lalu mencelupkan seluruh kepalanya ke dalamnya.Menjijikkan!Keith sangat menjijikkan!Dengan semua kebencian yang bergumul di dalam dada, Sahara mengabaikan rasa sakit di kulit kepala saat berusaha mengenyahkan semua bekasan milik Keith yang membuat seluruh tubuhnya mati rasa.Sahara melupakan peringatan Eve soal bekas luka di pergelangan tangannya yang tidak diperbolehkan menyentuh air. Saat ini, di balik lengan panjang sweater yang
“Ulang tahun pamanmu? Maaf, Kayla, aku benar-benar lupa.” Keith memegang tangan Kayla, keduanya berdiri berhadap-hadapan di depan cermin rias. Mata Keith jatuh pada kalung permata yang istrinya kenakan, lantas bertanya, “Aku pernah memberikan kalung secantik ini untukmu?” Kayla tersenyum tipis, kemudian menggeleng pelan. “Kamu menjadi semakin pelupa, Keith. Kamu memesan kalung ini untukku saat kamu pergi ke luar kota satu tahun lalu dan menitipkannya pada Naina. Kamu tidak secara langsung memberikannya padaku.” Keith seketika terbahak, suara tawa yang bernada rendah, yang apa bila Kayla tidak berhati-hati saat mendengar, maka dia akan menemukan dirinya terperangkap di dalamnya. Tawa yang jarang terlihat, yang dipenuhi sihir dan jaring yang menyesatkan. Tentu saja, Kayla tidak bersedia diperangkap. “Maaf, aku sungguh minta maaf karena melupakan banyak hal akhir-akhir ini.” Jemari Keith mengelus sebentar kalung yang lekat di antara perpotongan leher istrinya, disusul wajahnya yang p
Jam digital di atas meja sudah menunjukkan pukul 12 malam, Sahara tidak bisa tertidur bahkan ketika matanya telah lelah terpejam.Kamar yang dia tempati masih bisa menembus segala sesuatu yang terjadi di luar. Melalui denting gelas dan gelas, juga bincang yang disertai tawa.Kedua mata Sahara terbuka menatap langit-langit dalam keremangan, dia mulai jarang keluar setelah seminggu sejak kedatangan Farhan.Sahara masih terlalu takut untuk bertemu langsung dengan Keith, setelah apa yang laki-laki itu lakukan. Keningnya akan otomatis mengernyit dengan bibir yang digigit saat kilas balik tentang hari itu kembali terbayang.Tidak bisa dia enyahkan rasa jijik juga takut dari telapak tangan Keith yang membelainya di sembarang tempat, panas suhu tubuhnya, gigitan yang menyisakan memar di perpotongan lehernya, akan lebih baik jika Sahara bisa mengikis tempat yang terkena.Denting gelas yang samar-samar terdengar menyadarkan Sahara, jika di luar sana Keith tidak sedang sendiri. Entah siapa yang
“Sudah dua minggu Keith tidak pulang, dan kalian berdua sepertinya juga berhenti saling berhubungan. Kayla, apakah kamu sedang bertengkar dengannya?”Uap dari secangkir teh chamomile panas tampak mengepul mengeluarkan asap, Kayla tidak jadi meraih gelas itu tatkata suara Raina menggema di belakangnya.Kayla menoleh tanpa tersenyum pada ibu mertuanya tersebut, dengan santai menjawab, “Tidak. Hubungan kami baik-baik saja, sama seperti biasa.”“Begitukah? Baguslah.”“Kenapa Ibu bertanya? Tidak sabar ingin melihat aku dan Keith berpisah?” Rambut kuning keeamasannya sedikit bergoyang saat dia membenahi duduk, kini menghadap ke arah Raina yang berdiri di meja pantri dengan wajah masam.Kekeh menghina diiringi senyum merendahkan tersemat di bibir yang lebih tua, Raina sudah lama tidak suka dengan cara Kayla yang selalu bersikap berani dan kurang sopan padanya.Mengingat dulu bagaimana dia sendiri yang memberi restu kepada Keith yang ingin menikahi wanita keturunan Inggris-Asia tersebut, seka
Kemarahan Farhan memuncak saat ia menghadapi Keith, kata-katanya penuh dengan ketidakpercayaan terhadap situasi tersebut, tidak bisa membayangkan bagaimana Keith bisa menyiksa Sahara sampai seperti ini.Keith melangkah maju dengan raut wajah kaku dan berkata dengan dingin, “Sahara adalah istriku, orang luar seharusnya tahu tempat dan tidak ikut campur dalam keluarga kami.”Farhan berusaha menahan amarah yang sudah berkumpul di ubun-ubun, dan tatapannya tajam menghunus langsung ke arah Keith dengan sorot penuh peringatan. “Apakah sebagai seorang suami, kamu harus menyiksa Sahara hingga seperti ini?! Kamu pikir aku tidak punya keberanian dan akan duduk diam melihat adikku menderita di tanganmu?!”Sahara menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sendiri meskipun gemetar oleh ketegangan yang tersebar di sekitarnya. Dia tidak ingin konflik di antara kakaknya dan Keith semakin diperbesar.Mengingat betapa banyak kekayaan dan seberapa besar kekuasaan yang dimiliki Keith, bukan tid
Suara dingin Keith menembus gemerisik kain di bawah tubuh mereka saat pria itu berkata, "Menidurimu? Tentu saja akan kulakukan." Mengatakan kalimat tersebut, Keith menghilangkan seringainya dan hanya memperlihatkan raut wajah kaku tanpa ekspresi.Jika beberapa waktu yang lalu dia masih punya akal untuk menghentikan semua perlakuannya terhadap Sahara, mengingatkan diri agar tidak memaksa, saat ini Keith melemparkan semua hal itu ke belakang kepala."Sia-sia aku menikahimu dengan uang 15 miliar jika aku tidak melakukan apa-apa," lanjutnya.Sahara bernapas nyaris satu-satu, semua rambut di tubuhnya berdiri tegak menghadapi kengerian yang akan terjadi."Apakah Afkar tidak pernah menyentuhmu seperti ini?"Sahara sontak menahan napas dalam setiap kata yang diucapkan, tubuhnya tegang dengan antisipasi atas apa yang akan terjadi. Nama Afkar yang disebut kontan membuat bulu kuduknya merinding, iris matanya bergetar dengan campuran rasa takut dan juga sakit.“Keith, tolong ….” suaranya hampir
Sahara menangis hingga suaranya berubah serak, sementara Keith menyaksikan semua itu dengan ketidakpedulian. Meskipun Sahara sudah berjuang melepaskan diri dengan sekuat tenaga, tapi berhadapan langsung dengan kekuatan Keith yang luar biasa, tentu saja perjuangannya hanya berakhir sia-sia.Seluruh tubuh Sahara basah oleh keringat dingin yang mengalir deras, dia sangat ketakutan hingga detak jantungnya terasa nyeri.Tempat di mana telapak tangan Keith jatuh, seolah-olah ada ular berbisa yang sedang merayap di atasnya, membuat Sahara tanpa sadar menahan napas, sementara air matanya terus mengalir tanpa bisa ditahan."Jangan, tolong, jangan perlakukan aku seperti ini, Keith. Kumohon ... jangan seperti ini." Sahara merintih, menangis dengan sedih.Keith terlanjur dikuasai emosi dan juga nafsu yang membumbung tinggi. Kulit yang dia sentuh terasa panas dan dingin di saat yang bersamaan, begitu halus di bawah telapak tangannya yang kasar, begitu mudah meninggalkan jejak merah yang samar.“A
“Namun, aku tetap tidak akan pernah menyerah begitu saja. Ayah ada dipihakku, tak mungkin kulepaskan kesempatan itu begitu saja,” lanjut Nathan.Keith menatap ke arah saudaranya dengan tatapan tajam menusuk, ada juga sekelumit perasaan menghina. Kedua tangan tergenggam erat, memendam niat membunuh yang tidak berusaha disembunyikan.Di sisi lain, Sahara terjepit di antara pertarungan mereka, napasnya tersengal dengan cemas memikirkan cara untuk menjauh dari sana.Seolah Keith mampu mendengar apa yang terbesit dalam benaknya, lengannya sekali lagi dicengkeram, tubuhnya ditarik agar berdiri lebih dekat tanpa tempat untuk melarikan diri, sementara atensinya masih terarah pada sosok Nathan.“Kamu menganggap ayah akan selalu berada di sisimu, Nathan? Kamu pikir hal itu tidak akan membuatmu terkalahkan?” ujar Keith dengan nada yang penuh kebencian.Dia mengencangkan rahangnya dengan kedua alis bertaut saat dia melanjutkan dengan geram, “Kamu han
Sahara ingat jaraknya dengan sofa yang terletak di tengah ruang tamu tidak sedekat ini sebelumnya. Namun, dia terus melangkah mundur saat Keith berusaha mendekatinya.Wanita yang baru saja keluar dari rumah sakit tersebut tampak semakin pucat saat jarak keduanya semakin dekat.Sahara terkepung dalam situasi yang mencekam, merasa denyut panik memenuhi setiap serat tubuhnya ketika berhadapan dengan niat Keith yang semakin jelas.Raut wajahnya tegang saat dia mengangkat tangan dan menahan tubuh besar Keith yang terus mengimpitnya demi pertahanan diri.“Jangan dekati aku, Keith!” teriak Sahara dengan suara yang gemetar. Dia ketakutan setengah mati.Naina selalu menghilang di saat-saat seperti ini, entah gadis itu sengaja bersembunyi. Tuhan tahu betapa kalutnya jantung Sahara kini berdetak dengan keringat yang mengalir di dahinya.Namun, se
“Halo, Sahara, bukan?” Pria itu menjulurkan tangannya, tersenyum dengan kecerobohan yang jelas terdengar dalam nada suaranya. Dia bahkan terkekeh ringan usai menyebut nama Sahara dengan pelafalan yang tepat.“Aku Nathan, kakak laki-laki Keith,” lanjutnya.Sahara sejenak tertegun, tidak tahu bagaimana harus menanggapi. Satu hal yang pasti, dia mengabaikan uluran tangan Nathan dan tetap berdiri di sana tanpa bergerak.Tidak terlihat kecanggungan saat Nathan menarik kembali tangannya dan kini dimasukkan ke dalam saku.“Aku mengerti,” ucap Nathan di antara suasana yang tidak pasti. Matanya melirik ke arah Naina sekilas, tapi segera berpusat kembali pada Sahara.“Maaf, kamu tidak ingin bersentuhan denganku pasti karena khawatir membuat Keith marah,” sambung Nathan masih dengan tawa kecil di ujung kalimatnya. “Aku tahu dia ada
“Aku benar-benar tidak terkejut saat mengetahui jika kamu akhirnya berakhir di tempat ini.”Raina mencibir dengan sudut bibir terangkat. Kedua alisnya naik saat menatap wanita yang duduk di atas ranjang rumah sakit dengan sorot ketidakpedulian.Sementara Sahara terduduk kaku dengan raut wajah yang menegang.“Sahara, tampaknya aku terlalu meremehkanmu saat berpikir kamu dapat setuju dan dengan patuh akan memberiku cucu tanpa menciptakan masalah yang tidak perlu,” lanjut Raina dengan mata menyipit tidak suka ke arah Sahara.“Dan kamu pasti juga meremehkanku, tidak tahu bahwa aku dapat melakukan sesuatu yang membuatmu tetap tunduk dan rela melakukan segala yang kuperintahkan.” Dengan kedua tangan yang terlipat di depan dada, Raina berbalik dan pergi ke arah sofa, mendudukkan dirinya di sana. Meskipun ruangan tempat Sahara dirawat merupakan ruang khusus VIP, tapi Raina masih mengerutkan hidungnya dengan jijik. Bagaimanapun bersihnya, bau disinfektan tetap tidak bisa dipisahkan dengan te