Hati Anne bagai tercabik-cabik mendengar keluhan Mama yang sama persis dengan apa yang ia rasakan sekarang. Namun sekali lagi, ia belum yakin bisa mengatakan semuanya dengan gamblang. Mengingat masih banyak hal yang belum dipastikan kebenarannya.Sampai kemudian, ia mengulas senyum dan mengusap lengan Mama sebelum memeluknya. “Ma, jangan berpikiran macam-macam gitu, ah,” bisiknya tenang. “Anne itu baik-baik aja, kalaupun Ibu pergi sama Mara ya nggak pa-pa. Toh, aku sebagai menantu memang jarang ada waktu buat nemenin Ibu belanja.”“Mbak ….” Suara Mama parau.Anne menelan ludah kepayahan. “Mama tahu sendiri, kan, sekarang aku sibuknya ngalahin Papa dan Mama?” Ia mengendurkan pelukan dan menatap Mama lurus. “Aku lagi mencoba hal yang sebelumnya aku tinggalkan. Berdiri dengan kedua kakiku sendiri pasti jauh lebih penting daripada memikirkan kemungkinan buruk di masa depan. Begitu, kan, yang selalu Mama ajarkan?”Sebagai ibu, Tira memang kerap memberikan wejangan pada putri sulungnya untu
Mama bersungut begitu Anne memasuki kamar. Wanita itu sudah mengenakan piyama yang diberikan sang putri. Tak lupa teh herbal yang tadi sempat ditawarkan.“Kenapa cemberut begitu, Ma?” Anne mendekati sang ibu ke pinggiran tempat tidur. “Kalau soal ucapan Ibu, jangan terlalu Mama pikirkan.”Mama menghela napas berat. Menandakan kekesalannya yang sudah meluap-luap. Tak bisa ditahan lagi, sekalipun mendapat nasihat dari Anne.“Mama nggak habis pikir, Ina masih aja senewen sama Mama dan kamu,” terang Mama. “Memangnya masalah kalau Mama nginap di rumah anak Mama sendiri? Toh rumah megah ini udah sepenuhnya milik kamu, nama pemiliknya juga punya Mbak Anne, ‘kan?”Anne mengangguk sambil memamerkan senyum simpul. “Mama benar, tapi ya … sikap Ibu dari dulu memang udah begitu. Karakter sulit diubah, Ma,” jelasnya santai. “Sekarang abaikan aja sikap sama omongan Ibu daripada sakit hati?”“Betul.” Mama menimpali bersama rautnya tak lagi kesal. “Akhirnya Mama bisa lihat kamu lebih bijaksana, Mbak,
“Nggak sekalian ngajak satu RW buat datang ke rumah ini?”Tangan Anne mengepal seketika saat mendengar sindiran telak keluar dari bibir ibu mertuanya. Kedatangan Papa yang menyusul Mama di pagi hari bukan kehendaknya. Kalau saja niat Papa segera diketahuinya, Anne pasti meminta pria itu datang lain waktu.Sewaktu Anne menuntaskan mandinya dan berencana pergi ke meja makan, ia dikejutkan dengan Papa yang berjalan bersama Mama setelah dipersilakan Pramam. Hal paling mengejutkannya lagi, kehadiran Mara yang berada di tengah-tengah keluarganya. Itu disebabkan Ibu atas paksaan dan penuh drama, kata Pramam.Sementara itu Papa justru terkekeh guna menanggapi besan yang menyebalkan. “Nanti kalau anak Anne dan Pramam sudah lahir, saya undang banyak teman ke rumah,” tandasnya bersama nada jenaka.Emosi Anne perlahan meredam. Papa memang selalu saja memiliki cara yang unik untuk menghadapi segala sesuatunya. Contohnya seperti sekarang ini. Alih-alih membalas Ina dengan perkataan menyindir, Papa
“Bapak ada di dalam, Bu, saya sudah sampaikan tadi.”Erin, sekretaris Pramam menyambut ramah Anne seperti biasa. Anne membalasnya dengan senyum dan ucapan terima kasih sekenanya. Lalu mendorong pintu ruang kerja suaminya.Hari ini, ia sengaja menyempatkan datang ke kantor untuk memberikan kejutan. Nyatanya sudah lama ia tak berkunjung ke tempat si biadab itu. Ya, hitung-hitung bersandiwara agar rencananya tetap berjalan dengan baik.Pramam mengangkat wajah dari layar monitor di hadapannya. Beralih memandangi Anne yang baru masuk ruangan. Ia bangkit dari duduk, segera menghambur pada istrinya dengan memberi pelukan hangat.Entah bagaimana, akhir-akhir ini Pramam memang sedikit berubah. Lebih perhatian dan memaksakan diri untuk terus menempelinya. Mungkin karena ucapan Papa beberapa hari lalu yang berhasil menohok pertahanan seorang Pramam Basuki.“Kamu bawa apa, Sayang?” Mata Pramam merujuk pada tentengan yang dibawa Anne.“Your Lunch, udah lama aku nggak masakin sesuatu buat kamu. Ap
“Keberatan?”Anne menoleh cepat ke arah Varen yang hendak meraih koper dari tangannya. Lekas ia menggeleng dan melanjutkan langkah. Di belakang, Varen mengikuti. Melaju lebih cepat agar bisa bersisian dengannya.“Maksudku keberatan soal aku yang ikut kamu ke Singapore?” tanya Varen lagi.Bibir Anne sedikit terbuka. Ia baru sadar jika sudah salah paham atas pertanyaan Varen dari awal. Lantas ia tersenyum sambil menggeleng pelan.Sejak telepon dari Varen semalam berakhir, Anne sudah menyiapkan diri berangkat bersama pria itu. Sekalipun ia menolak, Varen pasti tidak akan menyerah. Ia bisa saja diam-diam pergi dan membantu tanpa sepengetahuan Anne.“Suatu kehormatan bisa ditemani Pak Direktur, ‘kan?” godanya seraya mengerlingkan mata. “Memang kapan lagi aku bisa datang tanggungjawab dari pemilik rumah sakitnya langsung?”Varen nyaris berdecak. “Direktur, tolong digaris bawahi,” koreksinya. “Rumah sakit itu masih punya eyang, aku yang sedikit mujur ini diberi kepercayaan pegang jabatan itu
Tidak terlalu sulit menemukan Dokter Mega di rumah sakit terbesar di Singapura. Penampilan wanita itu cukup mudah dikenali. Bersama senyum cerdik, Anne mengangguk pelan pada Varen sebelum memulai aksi.Ia mengenakan kacamata hitam dan topi, lalu berjalan berlawan arah ketika Dokter Mega keluar dari ruangan. Dalam hitungan ketiga, Anne menyerbu pundak wanita itu kuat-kuat dan terjadilah drama yang dibuat.“I’m sorry …” ujar Anne spontan. Ia mendongak dan memasang wajah terkejut. “Lho … Dokter?”“Nyonya Anne?” Wanita yang berprofesi sebagai dokter kandungan itu kelihatan syok sekali. Mulutnya terbuka lebar dan membuang muka, mungkin takut disangka yang tidak-tidak.Anne mengikuti tatapan Dokter Mega dan melayangkan kata, “Saya nggak nyangka lho bisa ketemu Dokter di rumah sakit ini. Omong-omong lagi ada urusan apa, Dok?”Wanita itu tak sempat menjawab karena seorang anak kecil memanggilnya dengan sebutan mama, baru keluar dari ruangan. Pemandangan itu sukses membuat senyum samar yang me
Tampak di luar bangunan banyak orang berlalu lalang di bawah sinar matahari yang terik. Tak ada keluhan yang terpancar di wajah mereka. Berbeda dengan Anne yang terduduk di bangku dengan ditemani sang teman sambil menahan rasa yang bergejolak di dada.Pengakuan Dokter Mega cukup berpengaruh pada kondisi Anne setelahnya. Embusan napas berat terus muncul dan mengganggu Varen. Pria itu ingin menghibur, tapi bingung harus dengan cara apa. Bersuara pun sepertinya percuma.“Jalan satu-satunya DNA,” tukas Anne setelah diam sejak tiba di restoran dekat hotel. “Kita nggak tahu dengan siapa Mara berhubungan selain sama Pramam, ‘kan?”Varen menatap Anne cukup lama. Kemudian menghela napas sebelum memberi tanggapan.“Setahuku mereka berdua cukup intens dalam menjalani hubungan, bahkan Pramam sendiri kelewat protektif,” terangnya sedikit berat karena bisa membuat hati Anne makin tak karuan. “Jadi, besar kemungkinan bayi itu memang anak mereka berdua.”Anne memalingkan wajah ke sisi lain. Ia menutu
Kehamilan Mara sudah memasuki trimester tiga. Seharusnya Anne merasakan sensasi senang akan hal itu, karena sebentar lagi programnya selesai begitu bayi dalam kandungan Mara lahir. Sayangnya, perasaan antusias dan penuh semangat yang sempat mengendap di dada nyatanya berkurang perlahan-lahan.Sekarang, ia menatap Mara yang beberapa kali mengusap perut dan memegangi pinggulnya yang makin terasa pegal—barangkali. Staff Anne sigap membantu dan mempersilakan wanita hamil itu duduk di sofa sembari badannya diukur.“Mbak ….” Mara memanggil sungkan ketika bersitatap dengan Anne yang berdiri memerhatikan sejak tadi. “Kayaknya ini berlebihan.”Anne mengusap sikunya dalam posisi bersidekap sembari mengulas senyum. “Anggap aja hadiah, toh semenjak aku pegang butik ini, kamu belum pernah mampir. Apalagi coba beberapa pakaian di sini, ‘kan?”Mara mengangguk pelan. Lalu meneruskan kelanjutan dari staff yang mengarahkan. Sementara tak jauh dari tempat Mara dan Anne, seorang wanita beberapa kali mend
“Mas, dari tadi kamu diam aja.” Mara menyeletuk pelan sembari menyorongkan piring berisi ikan asin yang baru diambil dari penggorengan. Asapnya mengepul dan memberikan aroma semerbak.“Gimana soal kantor?” tambahnya yang urung dibalas Pramam.Pramam akhirnya menoleh dan menanggapi, “Lancar, banyak proyek yang berhasil dan beberapa yang menang tender.”“Baguslah, klinikku juga mulai banyak pelanggannya.” Mara memaparkan dengan tenang, meski lidahnya kelu. Nyatanya mental yang sempat rusak itu belum sepenuhnya sembuh.Pramam mengangguk sembari meraih piring dan siap menyantapnya. Namun sebelum itu, ia kembali menatap Mara cukup lama.“Ra, ayo kita menikah.”Itu bukan ajakan, melainkan keharusan. Ia tak bisa membiarkan Mara hidup bersamanya tanpa ikatan apa pun. Ditambah ini semua atas permintaan Anne. Wanita itu tampaknya ingin sekali mereka melupakan Bagaskara.“Mas—“Pramam meraih tangan Mara dan menggenggamnya. Membuat bibir wanita itu bungkam seketika.“Kita nggak bisa begini terus.
“Mungkin semua anggota direksi, sudah mengetahui putra saya yang satu ini. Ares Basuki namanya, adik Pramam.” Dharma langsung memperkenalkan putra yang telah lama disembunyikannya begitu rapat dimulai. Tanpa basa-basi sekali.Pramam yang duduk di bangkunya kini mulai memanas. Melihat tampang Ares yang begitu percaya diri. Sementara di sebelahnya, Varen hanya bersikap santai. Tak terkejut sama sekali oleh pengumuman yang diberikan Dharma.“Jika rekan-rekan sekalian sudah tak bisa memercayakan perusahaan kita ini pada CEO sebelumnya, Ares bisa menggantikan. Kemampuannya juga mumpuni,” lanjut Dharma yang jelas mengesampingkan skill putra pertamanya yang jauh memiliki banyak pengalaman daripada Ares.Hingga kemudian, tangan Varen terangkat. Membuat Pramam terkejut dan beberapa anggota direksi yang lain.“Maaf menyanggah ucapan Anda, Pak Dharma. Tapi saya keberatan. Bagaimana bisa kami percaya pada Ares jika pengalamannya saja belum banyak?”Dharma mengerutkan kening. Mendadak bibirnya men
Anne tidak bisa mencegah kepergian Varen yang harus kembali ke Indonesia petang ini. Mengingat banyaknya pekerjaan si pria yang memiliki tanggungjawab besar menjadi direktur utama rumah sakit. Belum lagi bisnis Varen yang beragam.Pria itu kini sedang menilik arloji yang melingkar baik di pergelangan tangan. Kemudian menatap paspor sebelum beralih ke ponselnya yang mendadak berdering, menandakan sebuah notifikasi datang. Kemungkinan dari klien atau orangtuanya.“Kamu hati-hati di jalan. Salam buat tante sama om di rumah, ya.” Dan akhirnya ucapan itu meluncur juga dari mulutnya saat perasaannya yang campur aduk mulai mereda.Tangan Varen terangkat. Mendarat di kepala Anne dan membelainya pelan. “Siap laksanakan,” katanya yang kemudian beralih pada Rina. “Tolong dijaga ibunya ya, Rin. Sama titip buat Bagaskara.”“Baik, Pak.” Kepala Rina bergerak naik-turun. “Ini Bapak sama Ibu udah kayak pasangan suami-istri beneran, tapi sayang harus LDR-an,” tuturnya blak-blakan.Anne kontan memberika
Beberapa orang sudah mulai meninggalkan bangkunya. Namun dari pihak keluarga Pramam dan Anne masih betah di sana. Keduanya saling pandang satu sama lain, terlihat nyala api yang masih begitu membara dari mata Jayan Gumelar dan istrinya.Meski persidangan sudah usai dan putri mereka yang menang, tetap saja perasaan amarah masih bercokol di dada. Rasanya hasil ini belum sepenuhnya layak diterima. Padahal semua harta Pramam sudah diserahkan sebagian besar untuk Anne.“Pa ….” Pramam memanggil begitu mendekati ayah mertua. Tepatnya mantan ayah mertua yang tampak jelas memendam kekesalan terhadapnya. “Saya minta maaf sekali lagi atas semua ini. Semoga—““Lebih baik tutup mulutmu itu!” bentak Jayan Gumelar yang muak. “Sekalipun Anne yang menang dari kasus ini, jangan harap hidupmu bisa bahagia dengan wanita simpananmu itu, Pram.”Pramam tertegun. Ia menelan ludah kepayahan sebelum akhirnya mengangguk. “Apa yang diucapkan Papa memang benar, setelah ini saya akan berusaha lebih keras untuk men
Tepat sebulan sudah ia menetap di Saitama, Jepang. Tak seperti di negeri sendiri, Anne harus belajar mandiri. Pergi membeli keperluan hingga mengurus Bagaskara. Semula, ia diantar Arian dan ditemani sampai lima hari."Apa pun itu, kabari aku ya, Mbak. Mama dan Papa juga memaksa minta ditelepon Mbak setiap waktu." Begitulah permintaan Arian sebelum pergi. "Bang Varen juga jangan dilupain, dia juga termasuk orang penting yang wajib Mbak Anne kasih kabar!"Anne nyaris saja meneloyor kepala Arian kalau pemuda itu tak segera menghindar. Semakin ke sini, ada banyak yang menggodanya dengan melibatkan nama Varen. Sungguh, ia makin tak enak hati. Terlebih tempat yang ditinggalinya sekarang merupakan kondonium Varen. Pria itu membelinya secara cuma-cuma atas uang yang diterimanya saat ditunjuk menjadi direktur utama rumah sakit pertama kali.Lalu sekarang, pria itu tengah berkutat dengan beberapa kardus besar yang baru diantar jasa kirim. Anne yang masih menimang Bagaskara hanya memerhatikan da
Melihat bagaimana tampang kedua orangtuanya yang baru datang, Pramam bisa menyimpulkan jika sesuatu tidak sejalan dengan harapan. Mengingat kemarin, Bapak dan Ibu sudah berencana ingin menemui keluarga dari pihak Anne. Dan hasilnya besar kemungkinan buruk untuknya dan Mara.“Ibu dan Bapak udah mencoba segala cara. Kami pergi ke rumah Jayan dan bertemu Anne. Ya, istrimu itu sudah memutuskan, Pram. Dan rasanya tak bisa diganggu gugat lagi,” ungkap Ina Basuki mengawali percakapan bersama Pramam dan Mara yang diminta ikut serta.“Jadi, saya nggak bisa ketemu darah daging saya sekali ini saja, begitu?” tanggap Mara melalui layangan protesnya.“Nak Mara, saya sudah berusaha.” Kini Dharma yang mengambil alih. “Jadi, kamu harus menerima semua ini. Sebab jika kamu terus menentang dan ingin mengambil alih bayi itu, kemungkinan besar kamu akan dijebloskan ke penjara.”Kata penjara begitu menakutkan bagi mereka. Pramam pun tak pernah berpikir sampai sejauh itu efek yang diterimanya setelah menipu
Anne sudah menemukan nama yang tepat untuk bayinya. Maknanya indah dan cukup menggambarkan ketampanan si bayi. Siapa tahu jika sudah besar nanti, tak hanya penampilannya yang baik, tapi juga sifatnya. Menjadi sosok kuat dan pelindung bagi orang sekelilingnya.Itulah harapan yang terus digaungkan Anne sepanjang perjalanannya menuju kediaman Papa-Mama. Ia masih diantar supir pribadi yang dipekerjakan Papa untuknya. Di usia sedewasa ini, Anne masih dianggap sebagai putri kecil Papa yang harus mendapat pemantauan ekstra. Begitulah kira-kira alasan Papa ketika membujuknya beberapa waktu lalu.“Non, mau mampir dulu atau langsung ke rumah Bapak?”“Langsung aja ke rumah,” balasnya pada si supir.Jalanan saat itu cukup lengang. Tak banyak kendaraan yang berlalu-lalang. Mengingat jam baru menunjukkan pukul 10 pagi. Sudah pasti jalanan tak padat merayap seperti pagi tadi atau sore ketika jam pulang kantor.Setengah jam berlalu, kendaraan yang ditumpanginya sudah tiba di pelataran rumah mewah ora
“Pram! Pramam!”Teriakan Ina yang terus memanggil satu nama itu membuat Pramam mengangkat wajah. Tubuhnya ikut bangkit bersama langkah yang diseret menuju sumber suara. Begitu berhasil membuka pintu, ia melihat ibunya sedang memapah Mara yang tampaknya lemas—entah karena apa.“Ada apa ini, Bu?” tanyanya langsung membantu menggendong Mara ke sofa. “Dia sakit?”Ina menggeleng panik. “Waktu di teras, Pak Yon udah lihat dia jalan lemas kayak gini,” terangnya. “Apa dia mabuk?”Pramam langsung memastikan keadaan Mara, tapi tak ada aroma minuman keras dari wanita itu. Hanya saja, tatapnya teralih pada pakaian Mara yang basah. Terlebih dari dadanya. Aneh, mengingat waktu itu belum memasuki musim penghujan dan keadaan di luar pun masih terang benderang.“Ra?” panggilnya pelan. “Kamu kenapa sebenarnya?”Wanita itu tak bereaksi. Tatapannya kosong dan makin membuat Pramam serta Ina bingung. Lantas Pramam mengangkat tubuh itu ke kamar agar Mara bisa istirahat lebih leluasa di sana.Setelah membar
Anne terhenyak. Batinnya bagai ditusuk tombak sewaktu menangkap presensi Mara tengah bersimpuh di hadapannya. Ia sempat melirik Sonya, asisten sekaligus sekretarisnya yang kini menunduk. Mungkin gadis itu juga tak bisa menyelesaikan masalah ini sebelum atasannya datang ke butik setelah beberapa waktu.“Sudah saya paksa, Bu, tapi dia tetap bersikeras menunggu di sini. Saya nggak bisa berbuat macam-macam, mengingat pelanggan sudah banyak yang datang.”Akhirnya Sonya membuka suara. Anne mengangguk setelah melepaskan napas panjangnya. Ia meminta anak buahnya untuk kembali ke kegiatannya masing-masing, lalu membiarkan Mara.“Apa mau kamu ke sini?”Dingin. Kesan Anne pada Mara sudah berubah drastis. Tak lagi ramah atau dipenuhi kehangatan saat bertutur kata. Setiap orang, bisa mengubah kepribadiannya setelah momen besar terjadi. Terlebih bagi Anne sendiri, ia sudah mengalami kejadian yang membuat hatinya pecah akibat pengkhianatan suami.“Mbak ….” Mara merangkak mendekati kedua kaki Anne ya