Tampak di luar bangunan banyak orang berlalu lalang di bawah sinar matahari yang terik. Tak ada keluhan yang terpancar di wajah mereka. Berbeda dengan Anne yang terduduk di bangku dengan ditemani sang teman sambil menahan rasa yang bergejolak di dada.Pengakuan Dokter Mega cukup berpengaruh pada kondisi Anne setelahnya. Embusan napas berat terus muncul dan mengganggu Varen. Pria itu ingin menghibur, tapi bingung harus dengan cara apa. Bersuara pun sepertinya percuma.“Jalan satu-satunya DNA,” tukas Anne setelah diam sejak tiba di restoran dekat hotel. “Kita nggak tahu dengan siapa Mara berhubungan selain sama Pramam, ‘kan?”Varen menatap Anne cukup lama. Kemudian menghela napas sebelum memberi tanggapan.“Setahuku mereka berdua cukup intens dalam menjalani hubungan, bahkan Pramam sendiri kelewat protektif,” terangnya sedikit berat karena bisa membuat hati Anne makin tak karuan. “Jadi, besar kemungkinan bayi itu memang anak mereka berdua.”Anne memalingkan wajah ke sisi lain. Ia menutu
Kehamilan Mara sudah memasuki trimester tiga. Seharusnya Anne merasakan sensasi senang akan hal itu, karena sebentar lagi programnya selesai begitu bayi dalam kandungan Mara lahir. Sayangnya, perasaan antusias dan penuh semangat yang sempat mengendap di dada nyatanya berkurang perlahan-lahan.Sekarang, ia menatap Mara yang beberapa kali mengusap perut dan memegangi pinggulnya yang makin terasa pegal—barangkali. Staff Anne sigap membantu dan mempersilakan wanita hamil itu duduk di sofa sembari badannya diukur.“Mbak ….” Mara memanggil sungkan ketika bersitatap dengan Anne yang berdiri memerhatikan sejak tadi. “Kayaknya ini berlebihan.”Anne mengusap sikunya dalam posisi bersidekap sembari mengulas senyum. “Anggap aja hadiah, toh semenjak aku pegang butik ini, kamu belum pernah mampir. Apalagi coba beberapa pakaian di sini, ‘kan?”Mara mengangguk pelan. Lalu meneruskan kelanjutan dari staff yang mengarahkan. Sementara tak jauh dari tempat Mara dan Anne, seorang wanita beberapa kali mend
Di balik kaca jendela besar di ruangan kerjanya, Anne bisa menangkap semua gerak-gerik mobil suaminya yang masih terparkir di pelataran. Ditambah hilangnya Ina yang tadi sempat duduk melihat-lihat katalog butiknya, tapi sekarang entah ke mana.Semenjak Maeve datang, Anne sudah menduga jika Pramam tahu. Mengingat dua saudara Mara memang pernah bertemu dengan kekasih CEO wanita itu yang tak lain adalah Pramam Basuki.“Lagi di mana, Mas?” Anne menyapa Pramam melalui telepon. Ia ingin memastikan satu hal sekaligus menambah rasa panik pria itu yang sengaja bersembunyi di suatu tempat. “Kata Sonya kamu mau ke sini, ‘kan?”“I-iya, Sayang.” Pramam menjawab sedikit terbata.“Terus?” Anne mengulas senyum. “Aku lihat mobil kamu di halaman depan, tapi kok … kita belum ketemu?”“Oh ini mau masuk, sebentar … tadi ada meeting urgen yang harus dihadiri.”Ingin rasanya Anne terkekeh mendengarnya, tapi ditahan dan diganti dengan balasan. “Hmm, oke. Aku tunggu di ruangan.”Begitu panggilan berakhir, Ann
“Bu, kenapa Ibu bersikap seperti tadi, sih?”Keluhan itu muncul begitu Pramam tiba di rumah. Ia juga sudah memastikan Mara masuk ke kamar. Mengingat reaksi wanita itu cenderung tak senang semenjak melihat kejadian tadi di ruang kerja Anne.“Sikap ibu yang mana?” Ina balas bertanya seakan tak merasa bersalah. “Semua benar, kok. Ada yang salah?”“Jelas salah, Bu.” Pramam membuang napas berat. “Momen seperti itu udah jarang Pramam dan Anne alami, kenapa Ibu malah meminta Pramam pulang dan meninggalkan istri di sana?”Betapa mendidihnya pikiran dan benak Pramam sekarang sewaktu mengingat bagaimana tanggapan Anne tentangnya. Istrinya itu juga mengungkapkan bahwa petang nanti akan terlambat pulang. Sudah jelas kesempatan langkahnya hilang begitu saja.“Ibu bisa nggak sih, beri sebentar saja kesempatan untuk kami merasa seperti suami-istri lagi?” imbuh Pramam makin murka. “Semenjak Anne diberi tanggungjawab pegang butik Ibu itu, dia jadi nggak ada waktu di rumah. Pramam pusing, Bu. Pramam ju
Tak ingin berlama-lama mendekam di ruangan yang membuatnya kian sesak, Anne langsung beranjak begitu Dokter Mega memenuhi kemauannya. Ia mendorong pintu cukup kuat dan mengembuskan napas panjang begitu berada di luar ruang.Orang-orang menatapnya aneh. Perawat yang menjadi pendamping Dokter Mega pun datang menyapa sekenanya sebelum masuk ke dalam. Ia bisa melihat sekitar yang dipenuhi banyak pengunjung dengan perut membesar.Hati Anne bagai diremas-remas. Ia pernah berada di posisi mereka dengan ditemani suami sambil mengajak si kecil bicara iseng. Ah, masa-masa indah itu kini lenyap sudah ketika diganti dengan momen mengerikan mendekati kehancuran.“Habis ini kamu mau ke mana?”Kaki Anne terpaksa terhenti ketika Varen memegangi lengannya. Ia lantas menoleh dan berujar, “Cari bukti lain soal kebenaran kalau bayi itu memang anaknya Pramam.”Varen melepas pegangan. Matanya mengerjap sambil menatap Anne cukup lama. “Wait, kamu udah tahu tempat untuk mencari bukti itu?”“Yeap,” sahut Anne
“Aku berani bersumpah jika adikku tidak pernah melakukan tindakan menjijikkan seperti itu!” sentak Maeve penuh keyakinan.Dalam benak, Anne ingin tertawa terbahak-bahak mendengar sumpah yang tak berdasar itu. Siapa sangka anggota keluarga Maeve telah menjadi seorang wanita perebut yang tak tahu malu. Kendati demikian, Anne masih memiliki setitik perasaan iba pada dua gadis di hadapannya.“Baiklah.” Anne mengangguk pelan. “Akan aku pegang ucapanmu itu asal jangan ganggu Mara sampai bayi dalam kandungannya lahir. Apa kalian mengerti?”“Ya … ya!” Jemi berseru setuju lebih dulu. “Kami mengerti, Kak.”Pandangan Anne beralih pada Maeve yang sibuk mempertimbangkan banyak hal. “Bagaimana Maeve? Kamu setuju?”Wanita itu akhirnya mengangguk dengan malas. Kelihatan sekali masih memendam keraguan di sana. Namun Anne tak peduli.“Akan aku kabari kalau Mara sudah menyelesaikan kesepakatan di antara kami,” ungkap Anne sebelum beranjak pergi. Matanya yang indah karena riasan itu menyorot dua kali leb
“Jam 10 malam baru pulang, apa bagusnya istri yang begitu?”“Dikasih tahu pura-pura nggak dengar, nanti tuli beneran, nangis.”Masih banyak sambutan ibu mertua Anne yang berupa sindiran keras. Sesekali wanita yang terlihat seperti pengangguran itu melemparinya dengan sarkasme, di depan Pramam, tapi pria itu tak lagi membelanya sebagai istri. Anne tak memasukkannya ke dalam hati, sebab percuma.Ia memilih pergi ke kamar dan merebahkan dirinya sebentar di ranjang. Baru setelah itu melepas beberapa perhiasan sembari menghapus jejak riasan yang masih menempel baik di wajah cantiknya. Pramam datang menyusul tak lama kemudian.Raut pria itu seperti sedang membawa beban banyak. Anne hanya melirik sekilas melalui pantulan cermin, baru setelahnya melanjutkan sesi rutinitasnya. Ia mengambil handuk dan hendak masuk ke kamar mandi.“Mau sampai kapan kamu begini terus, Ann?”Tangan Anne yang nyaris menggapai kenop pintu akhirnya terhenti. Kepalanya tertoleh pada Pramam yang bersandar di kursi deka
Siang itu Pramam diminta pulang ke rumah. Tak peduli dengan rapat mingguan bersama ketua tim di kantornya, Ina Basuki memaksanya karena Mara sudah menunjukkan beberapa gejala kontraksi.Di kursi penumpang baris belakang, Pramam menatap pemandangan ke luar jendela. Lalu lalang kendaraan membuat kepalanya makin berat kala mengingat betapa keji perbuatannya dengan Mara di belakang Anne.Jika Anne yang berada di posisi Mara sekarang, akankah perasaannya seperti sekarang? Mungkin sebaliknya. Mungkin Pramam jauh lebih senang menyambut kelahiran buah hati dan rela menunggui istri seharian sampai melahirkan. Namun dengan Mara, rasanya sangat berat.“Ini langsung ke rumah sakit, Tuan?” tanya sopir.Pramam menoleh dan menggeleng kemudian. “Kita ke rumah dulu aja. Saya mau memastikan keadaan Mara baru antar dia ke rumah sakit.”Setibanya di rumah, Pramam tak langsung turun dari mobil ia mencoba menghubungi Dokter Mega. Bersama kekalutan yang luar biasa, kejadian ini benar di luar dugaan. Mara su
“Mas, dari tadi kamu diam aja.” Mara menyeletuk pelan sembari menyorongkan piring berisi ikan asin yang baru diambil dari penggorengan. Asapnya mengepul dan memberikan aroma semerbak.“Gimana soal kantor?” tambahnya yang urung dibalas Pramam.Pramam akhirnya menoleh dan menanggapi, “Lancar, banyak proyek yang berhasil dan beberapa yang menang tender.”“Baguslah, klinikku juga mulai banyak pelanggannya.” Mara memaparkan dengan tenang, meski lidahnya kelu. Nyatanya mental yang sempat rusak itu belum sepenuhnya sembuh.Pramam mengangguk sembari meraih piring dan siap menyantapnya. Namun sebelum itu, ia kembali menatap Mara cukup lama.“Ra, ayo kita menikah.”Itu bukan ajakan, melainkan keharusan. Ia tak bisa membiarkan Mara hidup bersamanya tanpa ikatan apa pun. Ditambah ini semua atas permintaan Anne. Wanita itu tampaknya ingin sekali mereka melupakan Bagaskara.“Mas—“Pramam meraih tangan Mara dan menggenggamnya. Membuat bibir wanita itu bungkam seketika.“Kita nggak bisa begini terus.
“Mungkin semua anggota direksi, sudah mengetahui putra saya yang satu ini. Ares Basuki namanya, adik Pramam.” Dharma langsung memperkenalkan putra yang telah lama disembunyikannya begitu rapat dimulai. Tanpa basa-basi sekali.Pramam yang duduk di bangkunya kini mulai memanas. Melihat tampang Ares yang begitu percaya diri. Sementara di sebelahnya, Varen hanya bersikap santai. Tak terkejut sama sekali oleh pengumuman yang diberikan Dharma.“Jika rekan-rekan sekalian sudah tak bisa memercayakan perusahaan kita ini pada CEO sebelumnya, Ares bisa menggantikan. Kemampuannya juga mumpuni,” lanjut Dharma yang jelas mengesampingkan skill putra pertamanya yang jauh memiliki banyak pengalaman daripada Ares.Hingga kemudian, tangan Varen terangkat. Membuat Pramam terkejut dan beberapa anggota direksi yang lain.“Maaf menyanggah ucapan Anda, Pak Dharma. Tapi saya keberatan. Bagaimana bisa kami percaya pada Ares jika pengalamannya saja belum banyak?”Dharma mengerutkan kening. Mendadak bibirnya men
Anne tidak bisa mencegah kepergian Varen yang harus kembali ke Indonesia petang ini. Mengingat banyaknya pekerjaan si pria yang memiliki tanggungjawab besar menjadi direktur utama rumah sakit. Belum lagi bisnis Varen yang beragam.Pria itu kini sedang menilik arloji yang melingkar baik di pergelangan tangan. Kemudian menatap paspor sebelum beralih ke ponselnya yang mendadak berdering, menandakan sebuah notifikasi datang. Kemungkinan dari klien atau orangtuanya.“Kamu hati-hati di jalan. Salam buat tante sama om di rumah, ya.” Dan akhirnya ucapan itu meluncur juga dari mulutnya saat perasaannya yang campur aduk mulai mereda.Tangan Varen terangkat. Mendarat di kepala Anne dan membelainya pelan. “Siap laksanakan,” katanya yang kemudian beralih pada Rina. “Tolong dijaga ibunya ya, Rin. Sama titip buat Bagaskara.”“Baik, Pak.” Kepala Rina bergerak naik-turun. “Ini Bapak sama Ibu udah kayak pasangan suami-istri beneran, tapi sayang harus LDR-an,” tuturnya blak-blakan.Anne kontan memberika
Beberapa orang sudah mulai meninggalkan bangkunya. Namun dari pihak keluarga Pramam dan Anne masih betah di sana. Keduanya saling pandang satu sama lain, terlihat nyala api yang masih begitu membara dari mata Jayan Gumelar dan istrinya.Meski persidangan sudah usai dan putri mereka yang menang, tetap saja perasaan amarah masih bercokol di dada. Rasanya hasil ini belum sepenuhnya layak diterima. Padahal semua harta Pramam sudah diserahkan sebagian besar untuk Anne.“Pa ….” Pramam memanggil begitu mendekati ayah mertua. Tepatnya mantan ayah mertua yang tampak jelas memendam kekesalan terhadapnya. “Saya minta maaf sekali lagi atas semua ini. Semoga—““Lebih baik tutup mulutmu itu!” bentak Jayan Gumelar yang muak. “Sekalipun Anne yang menang dari kasus ini, jangan harap hidupmu bisa bahagia dengan wanita simpananmu itu, Pram.”Pramam tertegun. Ia menelan ludah kepayahan sebelum akhirnya mengangguk. “Apa yang diucapkan Papa memang benar, setelah ini saya akan berusaha lebih keras untuk men
Tepat sebulan sudah ia menetap di Saitama, Jepang. Tak seperti di negeri sendiri, Anne harus belajar mandiri. Pergi membeli keperluan hingga mengurus Bagaskara. Semula, ia diantar Arian dan ditemani sampai lima hari."Apa pun itu, kabari aku ya, Mbak. Mama dan Papa juga memaksa minta ditelepon Mbak setiap waktu." Begitulah permintaan Arian sebelum pergi. "Bang Varen juga jangan dilupain, dia juga termasuk orang penting yang wajib Mbak Anne kasih kabar!"Anne nyaris saja meneloyor kepala Arian kalau pemuda itu tak segera menghindar. Semakin ke sini, ada banyak yang menggodanya dengan melibatkan nama Varen. Sungguh, ia makin tak enak hati. Terlebih tempat yang ditinggalinya sekarang merupakan kondonium Varen. Pria itu membelinya secara cuma-cuma atas uang yang diterimanya saat ditunjuk menjadi direktur utama rumah sakit pertama kali.Lalu sekarang, pria itu tengah berkutat dengan beberapa kardus besar yang baru diantar jasa kirim. Anne yang masih menimang Bagaskara hanya memerhatikan da
Melihat bagaimana tampang kedua orangtuanya yang baru datang, Pramam bisa menyimpulkan jika sesuatu tidak sejalan dengan harapan. Mengingat kemarin, Bapak dan Ibu sudah berencana ingin menemui keluarga dari pihak Anne. Dan hasilnya besar kemungkinan buruk untuknya dan Mara.“Ibu dan Bapak udah mencoba segala cara. Kami pergi ke rumah Jayan dan bertemu Anne. Ya, istrimu itu sudah memutuskan, Pram. Dan rasanya tak bisa diganggu gugat lagi,” ungkap Ina Basuki mengawali percakapan bersama Pramam dan Mara yang diminta ikut serta.“Jadi, saya nggak bisa ketemu darah daging saya sekali ini saja, begitu?” tanggap Mara melalui layangan protesnya.“Nak Mara, saya sudah berusaha.” Kini Dharma yang mengambil alih. “Jadi, kamu harus menerima semua ini. Sebab jika kamu terus menentang dan ingin mengambil alih bayi itu, kemungkinan besar kamu akan dijebloskan ke penjara.”Kata penjara begitu menakutkan bagi mereka. Pramam pun tak pernah berpikir sampai sejauh itu efek yang diterimanya setelah menipu
Anne sudah menemukan nama yang tepat untuk bayinya. Maknanya indah dan cukup menggambarkan ketampanan si bayi. Siapa tahu jika sudah besar nanti, tak hanya penampilannya yang baik, tapi juga sifatnya. Menjadi sosok kuat dan pelindung bagi orang sekelilingnya.Itulah harapan yang terus digaungkan Anne sepanjang perjalanannya menuju kediaman Papa-Mama. Ia masih diantar supir pribadi yang dipekerjakan Papa untuknya. Di usia sedewasa ini, Anne masih dianggap sebagai putri kecil Papa yang harus mendapat pemantauan ekstra. Begitulah kira-kira alasan Papa ketika membujuknya beberapa waktu lalu.“Non, mau mampir dulu atau langsung ke rumah Bapak?”“Langsung aja ke rumah,” balasnya pada si supir.Jalanan saat itu cukup lengang. Tak banyak kendaraan yang berlalu-lalang. Mengingat jam baru menunjukkan pukul 10 pagi. Sudah pasti jalanan tak padat merayap seperti pagi tadi atau sore ketika jam pulang kantor.Setengah jam berlalu, kendaraan yang ditumpanginya sudah tiba di pelataran rumah mewah ora
“Pram! Pramam!”Teriakan Ina yang terus memanggil satu nama itu membuat Pramam mengangkat wajah. Tubuhnya ikut bangkit bersama langkah yang diseret menuju sumber suara. Begitu berhasil membuka pintu, ia melihat ibunya sedang memapah Mara yang tampaknya lemas—entah karena apa.“Ada apa ini, Bu?” tanyanya langsung membantu menggendong Mara ke sofa. “Dia sakit?”Ina menggeleng panik. “Waktu di teras, Pak Yon udah lihat dia jalan lemas kayak gini,” terangnya. “Apa dia mabuk?”Pramam langsung memastikan keadaan Mara, tapi tak ada aroma minuman keras dari wanita itu. Hanya saja, tatapnya teralih pada pakaian Mara yang basah. Terlebih dari dadanya. Aneh, mengingat waktu itu belum memasuki musim penghujan dan keadaan di luar pun masih terang benderang.“Ra?” panggilnya pelan. “Kamu kenapa sebenarnya?”Wanita itu tak bereaksi. Tatapannya kosong dan makin membuat Pramam serta Ina bingung. Lantas Pramam mengangkat tubuh itu ke kamar agar Mara bisa istirahat lebih leluasa di sana.Setelah membar
Anne terhenyak. Batinnya bagai ditusuk tombak sewaktu menangkap presensi Mara tengah bersimpuh di hadapannya. Ia sempat melirik Sonya, asisten sekaligus sekretarisnya yang kini menunduk. Mungkin gadis itu juga tak bisa menyelesaikan masalah ini sebelum atasannya datang ke butik setelah beberapa waktu.“Sudah saya paksa, Bu, tapi dia tetap bersikeras menunggu di sini. Saya nggak bisa berbuat macam-macam, mengingat pelanggan sudah banyak yang datang.”Akhirnya Sonya membuka suara. Anne mengangguk setelah melepaskan napas panjangnya. Ia meminta anak buahnya untuk kembali ke kegiatannya masing-masing, lalu membiarkan Mara.“Apa mau kamu ke sini?”Dingin. Kesan Anne pada Mara sudah berubah drastis. Tak lagi ramah atau dipenuhi kehangatan saat bertutur kata. Setiap orang, bisa mengubah kepribadiannya setelah momen besar terjadi. Terlebih bagi Anne sendiri, ia sudah mengalami kejadian yang membuat hatinya pecah akibat pengkhianatan suami.“Mbak ….” Mara merangkak mendekati kedua kaki Anne ya