Tak ingin berlama-lama mendekam di ruangan yang membuatnya kian sesak, Anne langsung beranjak begitu Dokter Mega memenuhi kemauannya. Ia mendorong pintu cukup kuat dan mengembuskan napas panjang begitu berada di luar ruang.Orang-orang menatapnya aneh. Perawat yang menjadi pendamping Dokter Mega pun datang menyapa sekenanya sebelum masuk ke dalam. Ia bisa melihat sekitar yang dipenuhi banyak pengunjung dengan perut membesar.Hati Anne bagai diremas-remas. Ia pernah berada di posisi mereka dengan ditemani suami sambil mengajak si kecil bicara iseng. Ah, masa-masa indah itu kini lenyap sudah ketika diganti dengan momen mengerikan mendekati kehancuran.“Habis ini kamu mau ke mana?”Kaki Anne terpaksa terhenti ketika Varen memegangi lengannya. Ia lantas menoleh dan berujar, “Cari bukti lain soal kebenaran kalau bayi itu memang anaknya Pramam.”Varen melepas pegangan. Matanya mengerjap sambil menatap Anne cukup lama. “Wait, kamu udah tahu tempat untuk mencari bukti itu?”“Yeap,” sahut Anne
“Aku berani bersumpah jika adikku tidak pernah melakukan tindakan menjijikkan seperti itu!” sentak Maeve penuh keyakinan.Dalam benak, Anne ingin tertawa terbahak-bahak mendengar sumpah yang tak berdasar itu. Siapa sangka anggota keluarga Maeve telah menjadi seorang wanita perebut yang tak tahu malu. Kendati demikian, Anne masih memiliki setitik perasaan iba pada dua gadis di hadapannya.“Baiklah.” Anne mengangguk pelan. “Akan aku pegang ucapanmu itu asal jangan ganggu Mara sampai bayi dalam kandungannya lahir. Apa kalian mengerti?”“Ya … ya!” Jemi berseru setuju lebih dulu. “Kami mengerti, Kak.”Pandangan Anne beralih pada Maeve yang sibuk mempertimbangkan banyak hal. “Bagaimana Maeve? Kamu setuju?”Wanita itu akhirnya mengangguk dengan malas. Kelihatan sekali masih memendam keraguan di sana. Namun Anne tak peduli.“Akan aku kabari kalau Mara sudah menyelesaikan kesepakatan di antara kami,” ungkap Anne sebelum beranjak pergi. Matanya yang indah karena riasan itu menyorot dua kali leb
“Jam 10 malam baru pulang, apa bagusnya istri yang begitu?”“Dikasih tahu pura-pura nggak dengar, nanti tuli beneran, nangis.”Masih banyak sambutan ibu mertua Anne yang berupa sindiran keras. Sesekali wanita yang terlihat seperti pengangguran itu melemparinya dengan sarkasme, di depan Pramam, tapi pria itu tak lagi membelanya sebagai istri. Anne tak memasukkannya ke dalam hati, sebab percuma.Ia memilih pergi ke kamar dan merebahkan dirinya sebentar di ranjang. Baru setelah itu melepas beberapa perhiasan sembari menghapus jejak riasan yang masih menempel baik di wajah cantiknya. Pramam datang menyusul tak lama kemudian.Raut pria itu seperti sedang membawa beban banyak. Anne hanya melirik sekilas melalui pantulan cermin, baru setelahnya melanjutkan sesi rutinitasnya. Ia mengambil handuk dan hendak masuk ke kamar mandi.“Mau sampai kapan kamu begini terus, Ann?”Tangan Anne yang nyaris menggapai kenop pintu akhirnya terhenti. Kepalanya tertoleh pada Pramam yang bersandar di kursi deka
Siang itu Pramam diminta pulang ke rumah. Tak peduli dengan rapat mingguan bersama ketua tim di kantornya, Ina Basuki memaksanya karena Mara sudah menunjukkan beberapa gejala kontraksi.Di kursi penumpang baris belakang, Pramam menatap pemandangan ke luar jendela. Lalu lalang kendaraan membuat kepalanya makin berat kala mengingat betapa keji perbuatannya dengan Mara di belakang Anne.Jika Anne yang berada di posisi Mara sekarang, akankah perasaannya seperti sekarang? Mungkin sebaliknya. Mungkin Pramam jauh lebih senang menyambut kelahiran buah hati dan rela menunggui istri seharian sampai melahirkan. Namun dengan Mara, rasanya sangat berat.“Ini langsung ke rumah sakit, Tuan?” tanya sopir.Pramam menoleh dan menggeleng kemudian. “Kita ke rumah dulu aja. Saya mau memastikan keadaan Mara baru antar dia ke rumah sakit.”Setibanya di rumah, Pramam tak langsung turun dari mobil ia mencoba menghubungi Dokter Mega. Bersama kekalutan yang luar biasa, kejadian ini benar di luar dugaan. Mara su
“Maksimal dua minggu, tapi akan saya usahakan agar hasilnya keluar dengan cepat.”Begitulah penuturan Dokter Mega secara langsung yang Anne dapatkan. Wanita itu datang sukarela ke ruang kerja Varen dan menjelaskan semuanya. Anne sedikit melemaskan tubuh setelah banyak gemetaran karena memikirkan hal tidak-tidak selama menunggu Mara melahirkan.“Terus sekarang bayi itu di mana, Dok?” Anne angkat suara setelah menjauhkan jarinya yang sejak tadi ia gigiti kukunya. “Dia baik-baik saja, ‘kan?”Dokter Mega mengangguk sambil tersenyum separuh. “Semua aman, Nyonya. Bayi itu masih ada di NICU. Mengingat Pak Pramam sudah mengatur skenario kalau Nona Mara melahirkan jauh sebelum waktunya tiba. Bisa dibilang, Pak Pramam ingin membuat cerita bayi yang lahir premature agar Nyonya tidak curiga,” jelasnya.Anne menyeringai. “Bodoh.”Terlepas dari pembahasan itu, ponsel Anne berbunyi. Caller ID menunjukkan nama Pramam di sana. Ia mengangkat ponsel dan menggoyangkannya agar Dokter Mega sekaligus Varen
"Mirip kamu banget, Pram," ujar Ina pada putranya ketika menengok bayi mungil yang berada di suatu ruangan bersama bayi-bayi lain.Tatapan Ina menghangat. Ada binar di matanya. Tampak senang sekali mendapati seorang cucu setelah sekian lama. Senyumnya pun terus terpatri di bibir hingga membuat putranya heran sendiri."Namanya juga mini Pramam, Bu."Meski rautnya terlihat datar, tapi Pramam juga bahagia melihat gerakan kecil dari makhluk tak berdosa itu. Alangkah indahnya jika bayi tersebut adalah anak kandungnya bersama Anne. Bukan malah bersama Anne."Tuh lihat, dia minumnya aja semangat banget. Benar-benar kayak kamu waktu bayi dulu!" seru Ina. "Boleh nggak sih kalau Ibu mau gendong? Pengen nimang cucu lho, Pram."Pramam menatap ibunya lekat. Kepala lantas menggeleng pelan. Tepatnya ia masih ragu dengan pesan yang dilontarkan Dokter Mega padanya beberapa waktu lalu. Meski ini hanya skenario belaka, apa kiranya ada larangan untuk menyentuh bayi itu secara langsung?"Nanti coba Pram b
Sebelum Anne menyalakan mesin kendaraan untuk bertolak ke rumah sakit, demi mengantar Varen sekaligus menilik kondisi Mara, mendadak ia dikejutkan. Varen menyerahkan sebuah amplop coklat.“Ini apa?” tanyanya bingung.“Buka aja,” sahut Varen.Tanpa banyak bicara, Anne menerima. Ia mengambil isiannya yang berupa foto-foto serta satu harddisk yang entah apa isinya. Yang jelas, atensinya jatuh pada foto yang menggambarkan Pramam tengah bermesraan dengan Mara di suatu pantai. Ada pula di beberapa tempat yang Anne tak ketahui alamatnya.“Ini tambahan bukti perselingkuhan Pramam,” terang Varen. “Aku udah kasih semua bukti ke Pak Eman. Jadi, bisa dipastikan kamu akan mendapat ganti rugi lebih besar dari rencana awal.”Mengerjap kaget, tangan Anne gemetaran di sana. “Ren, tapi ….”Varen mengangguk sambil menepuk pundak Anne guna membuat tenang. “Aku paham bukan materi yang kamu inginkan, tapi … percayalah ibu mertuamu sanga picik. Dia nggak mau harta Pramam terkuras hanya karena menceraikan ka
Satu tamparan berhasil Anne berikan pada Pramam. Pria itu tak mengaduh apalagi membalas dengan kalimat mencecar seperti biasanya. Kini Pramam malah menangis sambil memeluk sebelah kakinya. Anne segera menggerakan kaki, bahkan menendang sampai Pramam melepaskannya. Ia benar-benar jijik pada sentuhan yang diberikan pria itu setelah apa yang terjadi. Namun, berbeda dengan dua orang yang berbuat zina, Ina malah mendekatinya dengan sorot tajam. “Kamu tahu kenapa Pramam selingkuh?” katanya menantang. “Itu karena kamu nggak becus jadi istri! Nggak bisa kasih dia keturunan!” Anne tergelak mendengarnya. “Oh ya?” Ia tak ingin kalah begitu saja. “Ibu aja bisa kasih keturunan, tapi Bapak masih bisa selingkuh dan punya anak lagi. Namanya Ares, ‘kan?” Ibu mertua dan suaminya itu saling berpandangan. Suasana makin tegang, sebab mereka berdua tak pernah membocorkan aib keluarga yang satu itu padanya. Anne tahu sendiri karena tak sengaja mencuri dengar saat ayah mertuanya datang ke rumah beberapa
“Mas, dari tadi kamu diam aja.” Mara menyeletuk pelan sembari menyorongkan piring berisi ikan asin yang baru diambil dari penggorengan. Asapnya mengepul dan memberikan aroma semerbak.“Gimana soal kantor?” tambahnya yang urung dibalas Pramam.Pramam akhirnya menoleh dan menanggapi, “Lancar, banyak proyek yang berhasil dan beberapa yang menang tender.”“Baguslah, klinikku juga mulai banyak pelanggannya.” Mara memaparkan dengan tenang, meski lidahnya kelu. Nyatanya mental yang sempat rusak itu belum sepenuhnya sembuh.Pramam mengangguk sembari meraih piring dan siap menyantapnya. Namun sebelum itu, ia kembali menatap Mara cukup lama.“Ra, ayo kita menikah.”Itu bukan ajakan, melainkan keharusan. Ia tak bisa membiarkan Mara hidup bersamanya tanpa ikatan apa pun. Ditambah ini semua atas permintaan Anne. Wanita itu tampaknya ingin sekali mereka melupakan Bagaskara.“Mas—“Pramam meraih tangan Mara dan menggenggamnya. Membuat bibir wanita itu bungkam seketika.“Kita nggak bisa begini terus.
“Mungkin semua anggota direksi, sudah mengetahui putra saya yang satu ini. Ares Basuki namanya, adik Pramam.” Dharma langsung memperkenalkan putra yang telah lama disembunyikannya begitu rapat dimulai. Tanpa basa-basi sekali.Pramam yang duduk di bangkunya kini mulai memanas. Melihat tampang Ares yang begitu percaya diri. Sementara di sebelahnya, Varen hanya bersikap santai. Tak terkejut sama sekali oleh pengumuman yang diberikan Dharma.“Jika rekan-rekan sekalian sudah tak bisa memercayakan perusahaan kita ini pada CEO sebelumnya, Ares bisa menggantikan. Kemampuannya juga mumpuni,” lanjut Dharma yang jelas mengesampingkan skill putra pertamanya yang jauh memiliki banyak pengalaman daripada Ares.Hingga kemudian, tangan Varen terangkat. Membuat Pramam terkejut dan beberapa anggota direksi yang lain.“Maaf menyanggah ucapan Anda, Pak Dharma. Tapi saya keberatan. Bagaimana bisa kami percaya pada Ares jika pengalamannya saja belum banyak?”Dharma mengerutkan kening. Mendadak bibirnya men
Anne tidak bisa mencegah kepergian Varen yang harus kembali ke Indonesia petang ini. Mengingat banyaknya pekerjaan si pria yang memiliki tanggungjawab besar menjadi direktur utama rumah sakit. Belum lagi bisnis Varen yang beragam.Pria itu kini sedang menilik arloji yang melingkar baik di pergelangan tangan. Kemudian menatap paspor sebelum beralih ke ponselnya yang mendadak berdering, menandakan sebuah notifikasi datang. Kemungkinan dari klien atau orangtuanya.“Kamu hati-hati di jalan. Salam buat tante sama om di rumah, ya.” Dan akhirnya ucapan itu meluncur juga dari mulutnya saat perasaannya yang campur aduk mulai mereda.Tangan Varen terangkat. Mendarat di kepala Anne dan membelainya pelan. “Siap laksanakan,” katanya yang kemudian beralih pada Rina. “Tolong dijaga ibunya ya, Rin. Sama titip buat Bagaskara.”“Baik, Pak.” Kepala Rina bergerak naik-turun. “Ini Bapak sama Ibu udah kayak pasangan suami-istri beneran, tapi sayang harus LDR-an,” tuturnya blak-blakan.Anne kontan memberika
Beberapa orang sudah mulai meninggalkan bangkunya. Namun dari pihak keluarga Pramam dan Anne masih betah di sana. Keduanya saling pandang satu sama lain, terlihat nyala api yang masih begitu membara dari mata Jayan Gumelar dan istrinya.Meski persidangan sudah usai dan putri mereka yang menang, tetap saja perasaan amarah masih bercokol di dada. Rasanya hasil ini belum sepenuhnya layak diterima. Padahal semua harta Pramam sudah diserahkan sebagian besar untuk Anne.“Pa ….” Pramam memanggil begitu mendekati ayah mertua. Tepatnya mantan ayah mertua yang tampak jelas memendam kekesalan terhadapnya. “Saya minta maaf sekali lagi atas semua ini. Semoga—““Lebih baik tutup mulutmu itu!” bentak Jayan Gumelar yang muak. “Sekalipun Anne yang menang dari kasus ini, jangan harap hidupmu bisa bahagia dengan wanita simpananmu itu, Pram.”Pramam tertegun. Ia menelan ludah kepayahan sebelum akhirnya mengangguk. “Apa yang diucapkan Papa memang benar, setelah ini saya akan berusaha lebih keras untuk men
Tepat sebulan sudah ia menetap di Saitama, Jepang. Tak seperti di negeri sendiri, Anne harus belajar mandiri. Pergi membeli keperluan hingga mengurus Bagaskara. Semula, ia diantar Arian dan ditemani sampai lima hari."Apa pun itu, kabari aku ya, Mbak. Mama dan Papa juga memaksa minta ditelepon Mbak setiap waktu." Begitulah permintaan Arian sebelum pergi. "Bang Varen juga jangan dilupain, dia juga termasuk orang penting yang wajib Mbak Anne kasih kabar!"Anne nyaris saja meneloyor kepala Arian kalau pemuda itu tak segera menghindar. Semakin ke sini, ada banyak yang menggodanya dengan melibatkan nama Varen. Sungguh, ia makin tak enak hati. Terlebih tempat yang ditinggalinya sekarang merupakan kondonium Varen. Pria itu membelinya secara cuma-cuma atas uang yang diterimanya saat ditunjuk menjadi direktur utama rumah sakit pertama kali.Lalu sekarang, pria itu tengah berkutat dengan beberapa kardus besar yang baru diantar jasa kirim. Anne yang masih menimang Bagaskara hanya memerhatikan da
Melihat bagaimana tampang kedua orangtuanya yang baru datang, Pramam bisa menyimpulkan jika sesuatu tidak sejalan dengan harapan. Mengingat kemarin, Bapak dan Ibu sudah berencana ingin menemui keluarga dari pihak Anne. Dan hasilnya besar kemungkinan buruk untuknya dan Mara.“Ibu dan Bapak udah mencoba segala cara. Kami pergi ke rumah Jayan dan bertemu Anne. Ya, istrimu itu sudah memutuskan, Pram. Dan rasanya tak bisa diganggu gugat lagi,” ungkap Ina Basuki mengawali percakapan bersama Pramam dan Mara yang diminta ikut serta.“Jadi, saya nggak bisa ketemu darah daging saya sekali ini saja, begitu?” tanggap Mara melalui layangan protesnya.“Nak Mara, saya sudah berusaha.” Kini Dharma yang mengambil alih. “Jadi, kamu harus menerima semua ini. Sebab jika kamu terus menentang dan ingin mengambil alih bayi itu, kemungkinan besar kamu akan dijebloskan ke penjara.”Kata penjara begitu menakutkan bagi mereka. Pramam pun tak pernah berpikir sampai sejauh itu efek yang diterimanya setelah menipu
Anne sudah menemukan nama yang tepat untuk bayinya. Maknanya indah dan cukup menggambarkan ketampanan si bayi. Siapa tahu jika sudah besar nanti, tak hanya penampilannya yang baik, tapi juga sifatnya. Menjadi sosok kuat dan pelindung bagi orang sekelilingnya.Itulah harapan yang terus digaungkan Anne sepanjang perjalanannya menuju kediaman Papa-Mama. Ia masih diantar supir pribadi yang dipekerjakan Papa untuknya. Di usia sedewasa ini, Anne masih dianggap sebagai putri kecil Papa yang harus mendapat pemantauan ekstra. Begitulah kira-kira alasan Papa ketika membujuknya beberapa waktu lalu.“Non, mau mampir dulu atau langsung ke rumah Bapak?”“Langsung aja ke rumah,” balasnya pada si supir.Jalanan saat itu cukup lengang. Tak banyak kendaraan yang berlalu-lalang. Mengingat jam baru menunjukkan pukul 10 pagi. Sudah pasti jalanan tak padat merayap seperti pagi tadi atau sore ketika jam pulang kantor.Setengah jam berlalu, kendaraan yang ditumpanginya sudah tiba di pelataran rumah mewah ora
“Pram! Pramam!”Teriakan Ina yang terus memanggil satu nama itu membuat Pramam mengangkat wajah. Tubuhnya ikut bangkit bersama langkah yang diseret menuju sumber suara. Begitu berhasil membuka pintu, ia melihat ibunya sedang memapah Mara yang tampaknya lemas—entah karena apa.“Ada apa ini, Bu?” tanyanya langsung membantu menggendong Mara ke sofa. “Dia sakit?”Ina menggeleng panik. “Waktu di teras, Pak Yon udah lihat dia jalan lemas kayak gini,” terangnya. “Apa dia mabuk?”Pramam langsung memastikan keadaan Mara, tapi tak ada aroma minuman keras dari wanita itu. Hanya saja, tatapnya teralih pada pakaian Mara yang basah. Terlebih dari dadanya. Aneh, mengingat waktu itu belum memasuki musim penghujan dan keadaan di luar pun masih terang benderang.“Ra?” panggilnya pelan. “Kamu kenapa sebenarnya?”Wanita itu tak bereaksi. Tatapannya kosong dan makin membuat Pramam serta Ina bingung. Lantas Pramam mengangkat tubuh itu ke kamar agar Mara bisa istirahat lebih leluasa di sana.Setelah membar
Anne terhenyak. Batinnya bagai ditusuk tombak sewaktu menangkap presensi Mara tengah bersimpuh di hadapannya. Ia sempat melirik Sonya, asisten sekaligus sekretarisnya yang kini menunduk. Mungkin gadis itu juga tak bisa menyelesaikan masalah ini sebelum atasannya datang ke butik setelah beberapa waktu.“Sudah saya paksa, Bu, tapi dia tetap bersikeras menunggu di sini. Saya nggak bisa berbuat macam-macam, mengingat pelanggan sudah banyak yang datang.”Akhirnya Sonya membuka suara. Anne mengangguk setelah melepaskan napas panjangnya. Ia meminta anak buahnya untuk kembali ke kegiatannya masing-masing, lalu membiarkan Mara.“Apa mau kamu ke sini?”Dingin. Kesan Anne pada Mara sudah berubah drastis. Tak lagi ramah atau dipenuhi kehangatan saat bertutur kata. Setiap orang, bisa mengubah kepribadiannya setelah momen besar terjadi. Terlebih bagi Anne sendiri, ia sudah mengalami kejadian yang membuat hatinya pecah akibat pengkhianatan suami.“Mbak ….” Mara merangkak mendekati kedua kaki Anne ya