“Apa maksud kamu pakai baju terbuka begitu dan makeup yang—“Pramam tak mampu menjelaskan lanjutannya. Pria itu kelewat frustasi, bahkan ia sudah ke sekian kali mengembuskan napas kasar di hadapan Anne. Membuat wanita itu mematung di tempat duduknya sekarang.“Kamu pamit ke toilet buat beginian?” tambah Pramam sambil mengusap bibir Anne yang diselimuti lipstick merah gelap yang makin membuatnya tampak menawan. “Sengaja kamu pakai yang menor-menor buat narik banyak laki-laki di luar sana?”Membuang napas pelan, Anne memiringkan kepala. Melihat pemandangan ke luar jendela mobil, tepatnya pada paviliun yang biasa menjadi tempatnya merenung seorang diri. Namun sikapnya itu lagi-lagi harus disudahi karena Pramam menarik dagunya kasar.Ia bisa merasakan jemari panjang itu bergerak menelusup ke area paha. Masuk ke dalam gaun yang memang didesain pas badan, minim bahan, juga kelihatan ketat sekali. Anne sukses menahan napas sembari menahan tangan Pramam agar tidak meneruskan geraknya di dalam
Anne melempar ponsel usai mendapati pesan singkat dari Pramam. Pria itu mungkin saja baru tiba di hotel dari Changi, tapi bukannya langsung istirahat malah menyuruhnya membeli ini dan itu. Padahal ia sendiri memiliki asisten pribadi yang bisa dimintai tolong.“Kenapa lagi?” Eve menyembul di balik pintu kamar. “Si Setan itu berbuat ulah?”Membuang napas kasar, Anne menatap Eve. Tahu betul siapa yang dimaksud sang teman. “Nggak, sih sebenarnya. Gue diminta beli keperluannya Mara, kayak susu ibu hamil dan beberapa baju,” jelasnya malas.“Oh itu.” Eve mengangguk mengerti. “Kalau lo emang nggak mau belikan, ya tolak aja.”“Masalahnya nggak seremeh itu, Eve.” Anne mengesah berat. “Urusan Mara juga tanggungjawab gue, program itu pun gue yang cetusin. Jadi ya … mau nggak mau gue turun langsung.”“Iya, sih. Cuma ….” Eve menggantungkan kata sesaat. Lalu berjalan mendekati meja bar dan menaiki salah satu stool yang kosong. “Emangnya lo nggak penasaran sama anak yang dikandung pelakor itu?”Anne
Kalau memang kebanyakan pria terlalu mudah berpaling dan melakukan sesuatu yang dianggap khilaf, mungkinkah pria di hadapannya juga melakukan yang sama? Anne menyorot tajam selagi memerhatikan gerak-gerik Varen. Pria itu baru bergabung ke meja di mana ia singgahi sembari menunggu Eve belanja sepatu di toko sebelah.“Ngapain lihatin sebegitunya?”Hingga akhirnya si pria sadar dan mulai risih atas sikapnya ini. Anne membuang wajah, kerutan di kening mulai muncul selama berpikir keras. Mungkinkah Varen juga masuk kriteria pria brengs*k?“Kenapa, Ann?” Varen sudah hilang kesabaran. Jemarinya menggoyangkan lengan Anne di atas meja. “Ada yang salah? Atau ada sesuatu di mukaku ya?”Alih-alih menjawab, Anne menoleh dan terkekeh. “Nggak ada apa-apa,” balasnya.“Serius?” Tampang cakep itu berubah ragu. Lantas diambilnya ponsel di saku celana dan ia pastikan melalui kamera depan.“Bener, kan, apa yang kubilang?” tukas Anne selagi memandang Varen yang mengerjap pelan di sana.Kehadiran pria itu b
Bersama kantong belanja yang baru diberikannya pada Rina, si asisten, Anne menghela napas panjang. Kakinya begitu berat ketika digerakkan menuju pintu rumah. Meski sudah ada asisten lain yang menyambut kedatangannya, tetap saja tak membantu sama sekali.“Air hangat untuk berendamnya sudah saya siapkan, Nyonya,” ujar asisten lain. “Apa mau mandi sekarang?”Anne berhenti sesaat, lalu mengangguk pelan. “Boleh,” balasnya. Matanya kini beralih pada Rina yang melangkah cepat menuju living room. “Mara ke mana, Rin?”Wanita muda itu memutar kepala, menghentikan langkah untuk menjawab, “Ada di kamar, Nyonya. Mau saya panggilkan?”“Nggak usah, kamu siapkan aja makan malam buat dia,” titahnya. “Saya nggak perlu, udah makan banyak di luar tadi.”“Baik, Nyonya.”Semenjak tahu rahasia besar antara Pramam dan Mara, Anne kini mulai menjaga jarak. Ia tak lagi singgah ke kamar Mara untuk menanyakan kondisi ataupun saling berbagi. Ya, meskipun kerenggangan itu sudah terjalin sejak Anne diminta mengurus
“Jangan tegang gitu, Mar, berasa kayak lagi disidang aja?” tegur Anne sambil menepuk pundak Mara.Ia bisa menangkap kerlingan mata Mara yang tampak tak berkenan membahas pacar CEO yang mana adalah suaminya sendiri. Gerak-geriknya juga menunjukkan ketegangan, ditambah sekarang matanya mengerjap cepat sebelum akhirnya mengalihkan pandangan. Lantas senyum Anne mengembang seketika.Kemudian Mara menggeleng. “Aku udah nggak ada hubungan apa pun sama dia, Mbak,” cetusnya yang Anne yakini betul adalah kebohongan belaka.“Kenapa nggak kamu kejar aja kalau memang kalian masih cinta?”Dada Anne mulai mendidih ketika mendengar tipu daya yang diutarakan Mara. Jelas-jelas wanita muda itu masih menjalin hubungan baik dengan Pramam. Bahkan mungkin di belakangnya—di dalam rumah megah ini—mereka masih saling membahagiakan satu sama lain.“Entah.” Mara mengangkat kedua bahu. Kembali menatap wajah Anne yang memberi senyum tipis. “Aku nggak mau berharap banyak, apalagi hubungan itu mustahil untuk dilanju
Selama ia hidup dikelilingi banyak harta dan orang berada, bukan hal aneh jika mendapati kelicikan seseorang. Terutama suaminya sendiri yang berani menghempaskan beberapa orang demi menutupi aibnya sendiri. Namun, bukankah kelewatan jika menyuruh orang dan memecat karyawan agar perselingkuhannya tak terendus istri?Sekarang Anne baru menenggak habis sisa minuman alkohol di gelas. Kepalanya mulai terasa berat, tapi ia cukup lega karena pikiran penuhnya perlahan mereda. Tidak seperti saat mendapati informasi dari Eve siang tadi.“Ternyata kamu di sini.”Suara familier itu membuat Anne menoleh cepat. Matanya yang semula menyipit kini terbuka lebar begitu mengetahui Varen sudah duduk di kursi kosong sampingnya. Bersama raut khawatir, tapi bisa ditutupi oleh senyum manisnya.Anne berdecak. “Kamu mirip bakteri, di mana-mana ada,” katanya spontan. “Ngapain di Surabaya?”“Mau jawaban jujur?”Menghela napas kasar, Anne memalingkan wajah. Membiarkan Varen memesan minuman dan camilan lebih dulu.
Pasang mata Anne menyipit seketika sewaktu mendengar supir sekaligus asisten pribadi Varen menyampaikan nama hotel yang mereka tempati. Rupanya sama seperti tempat Anne menginap malam ini selama di Surabaya. Dan sekarang, ia sudah berada di kendaraan yang sama dengan Varen.Asisten pribadi Varen menawarkan sekaligus memberikan pesan jika bosnya sendiri yang meminta agar Anne diikutsertakan. Itupun dengan catatan jika urusan di bar benar-benar selesai. Mengingat dirinya yang masih merasakan efek mabuk, lumayan riskan memang jika pergi sendirian. Jadi keputusannya menyetujui penawaran pemuda itu pun bukan hal salah.Di sampingnya, Varen masih memejamkan mata. Sesekali mulutnya terbuka dan mengeluarkan bisikan yang entah apa artinya. Anne menatap wajah tak sadar itu selama beberapa waktu, sebelum betah memandangi perjalanan. Di bawah gemerlap lampu jalan dan sinar rembulan, ia tak menduga akan bertemu Varen dan pulang bersama dari bar seperti ini.“Silakan, Bu Anne turun lebih dulu. Biar
“You okay?”Entah sejak kapan tepatnya Varen datang mendekati mejanya, Anne tak tahu. Yang jelas sekarang tangannya gemetaran hebat, ditambah pundaknya yang kelihatan sekali. Tak mampu ia sembunyikan, meski sudah berusaha keras sekalipun. Seharusnya Anne sadar jika rautnya gampang sekali terbaca jika diserang kalut dan kepanikan seperti ini.“Ann?”Mendengar namanya disebut, ia menggigit bibir dan akhirnya mengangguk pelan. Bibirnya perlahan terbuka dan mengucap bahwa keadaannya baik-baik saja. Daripada tadi, ia merasa jauh lebih baik karena kedatangan Varen. Pria itu pun tak segan-segan duduk di sampingnya sambil mengusap punggung tangannya pelan.“I’m here, don’t worry,” bisik Varen menguatkan.Sembari mengumpulkan niat untuk berujar, Anne mengatur napasnya pelan-pelan. Mencoba membalas tatapan Varen yang kini terus tertuju padanya. Seakan mengunci dirinya agar tak pergi ke mana-mana.“Mas Pramam udah di bandara, Ren,” ujarnya lirih. “Mungkin dia juga tahu aku sehotel sama kamu.”Me
“Mas, dari tadi kamu diam aja.” Mara menyeletuk pelan sembari menyorongkan piring berisi ikan asin yang baru diambil dari penggorengan. Asapnya mengepul dan memberikan aroma semerbak.“Gimana soal kantor?” tambahnya yang urung dibalas Pramam.Pramam akhirnya menoleh dan menanggapi, “Lancar, banyak proyek yang berhasil dan beberapa yang menang tender.”“Baguslah, klinikku juga mulai banyak pelanggannya.” Mara memaparkan dengan tenang, meski lidahnya kelu. Nyatanya mental yang sempat rusak itu belum sepenuhnya sembuh.Pramam mengangguk sembari meraih piring dan siap menyantapnya. Namun sebelum itu, ia kembali menatap Mara cukup lama.“Ra, ayo kita menikah.”Itu bukan ajakan, melainkan keharusan. Ia tak bisa membiarkan Mara hidup bersamanya tanpa ikatan apa pun. Ditambah ini semua atas permintaan Anne. Wanita itu tampaknya ingin sekali mereka melupakan Bagaskara.“Mas—“Pramam meraih tangan Mara dan menggenggamnya. Membuat bibir wanita itu bungkam seketika.“Kita nggak bisa begini terus.
“Mungkin semua anggota direksi, sudah mengetahui putra saya yang satu ini. Ares Basuki namanya, adik Pramam.” Dharma langsung memperkenalkan putra yang telah lama disembunyikannya begitu rapat dimulai. Tanpa basa-basi sekali.Pramam yang duduk di bangkunya kini mulai memanas. Melihat tampang Ares yang begitu percaya diri. Sementara di sebelahnya, Varen hanya bersikap santai. Tak terkejut sama sekali oleh pengumuman yang diberikan Dharma.“Jika rekan-rekan sekalian sudah tak bisa memercayakan perusahaan kita ini pada CEO sebelumnya, Ares bisa menggantikan. Kemampuannya juga mumpuni,” lanjut Dharma yang jelas mengesampingkan skill putra pertamanya yang jauh memiliki banyak pengalaman daripada Ares.Hingga kemudian, tangan Varen terangkat. Membuat Pramam terkejut dan beberapa anggota direksi yang lain.“Maaf menyanggah ucapan Anda, Pak Dharma. Tapi saya keberatan. Bagaimana bisa kami percaya pada Ares jika pengalamannya saja belum banyak?”Dharma mengerutkan kening. Mendadak bibirnya men
Anne tidak bisa mencegah kepergian Varen yang harus kembali ke Indonesia petang ini. Mengingat banyaknya pekerjaan si pria yang memiliki tanggungjawab besar menjadi direktur utama rumah sakit. Belum lagi bisnis Varen yang beragam.Pria itu kini sedang menilik arloji yang melingkar baik di pergelangan tangan. Kemudian menatap paspor sebelum beralih ke ponselnya yang mendadak berdering, menandakan sebuah notifikasi datang. Kemungkinan dari klien atau orangtuanya.“Kamu hati-hati di jalan. Salam buat tante sama om di rumah, ya.” Dan akhirnya ucapan itu meluncur juga dari mulutnya saat perasaannya yang campur aduk mulai mereda.Tangan Varen terangkat. Mendarat di kepala Anne dan membelainya pelan. “Siap laksanakan,” katanya yang kemudian beralih pada Rina. “Tolong dijaga ibunya ya, Rin. Sama titip buat Bagaskara.”“Baik, Pak.” Kepala Rina bergerak naik-turun. “Ini Bapak sama Ibu udah kayak pasangan suami-istri beneran, tapi sayang harus LDR-an,” tuturnya blak-blakan.Anne kontan memberika
Beberapa orang sudah mulai meninggalkan bangkunya. Namun dari pihak keluarga Pramam dan Anne masih betah di sana. Keduanya saling pandang satu sama lain, terlihat nyala api yang masih begitu membara dari mata Jayan Gumelar dan istrinya.Meski persidangan sudah usai dan putri mereka yang menang, tetap saja perasaan amarah masih bercokol di dada. Rasanya hasil ini belum sepenuhnya layak diterima. Padahal semua harta Pramam sudah diserahkan sebagian besar untuk Anne.“Pa ….” Pramam memanggil begitu mendekati ayah mertua. Tepatnya mantan ayah mertua yang tampak jelas memendam kekesalan terhadapnya. “Saya minta maaf sekali lagi atas semua ini. Semoga—““Lebih baik tutup mulutmu itu!” bentak Jayan Gumelar yang muak. “Sekalipun Anne yang menang dari kasus ini, jangan harap hidupmu bisa bahagia dengan wanita simpananmu itu, Pram.”Pramam tertegun. Ia menelan ludah kepayahan sebelum akhirnya mengangguk. “Apa yang diucapkan Papa memang benar, setelah ini saya akan berusaha lebih keras untuk men
Tepat sebulan sudah ia menetap di Saitama, Jepang. Tak seperti di negeri sendiri, Anne harus belajar mandiri. Pergi membeli keperluan hingga mengurus Bagaskara. Semula, ia diantar Arian dan ditemani sampai lima hari."Apa pun itu, kabari aku ya, Mbak. Mama dan Papa juga memaksa minta ditelepon Mbak setiap waktu." Begitulah permintaan Arian sebelum pergi. "Bang Varen juga jangan dilupain, dia juga termasuk orang penting yang wajib Mbak Anne kasih kabar!"Anne nyaris saja meneloyor kepala Arian kalau pemuda itu tak segera menghindar. Semakin ke sini, ada banyak yang menggodanya dengan melibatkan nama Varen. Sungguh, ia makin tak enak hati. Terlebih tempat yang ditinggalinya sekarang merupakan kondonium Varen. Pria itu membelinya secara cuma-cuma atas uang yang diterimanya saat ditunjuk menjadi direktur utama rumah sakit pertama kali.Lalu sekarang, pria itu tengah berkutat dengan beberapa kardus besar yang baru diantar jasa kirim. Anne yang masih menimang Bagaskara hanya memerhatikan da
Melihat bagaimana tampang kedua orangtuanya yang baru datang, Pramam bisa menyimpulkan jika sesuatu tidak sejalan dengan harapan. Mengingat kemarin, Bapak dan Ibu sudah berencana ingin menemui keluarga dari pihak Anne. Dan hasilnya besar kemungkinan buruk untuknya dan Mara.“Ibu dan Bapak udah mencoba segala cara. Kami pergi ke rumah Jayan dan bertemu Anne. Ya, istrimu itu sudah memutuskan, Pram. Dan rasanya tak bisa diganggu gugat lagi,” ungkap Ina Basuki mengawali percakapan bersama Pramam dan Mara yang diminta ikut serta.“Jadi, saya nggak bisa ketemu darah daging saya sekali ini saja, begitu?” tanggap Mara melalui layangan protesnya.“Nak Mara, saya sudah berusaha.” Kini Dharma yang mengambil alih. “Jadi, kamu harus menerima semua ini. Sebab jika kamu terus menentang dan ingin mengambil alih bayi itu, kemungkinan besar kamu akan dijebloskan ke penjara.”Kata penjara begitu menakutkan bagi mereka. Pramam pun tak pernah berpikir sampai sejauh itu efek yang diterimanya setelah menipu
Anne sudah menemukan nama yang tepat untuk bayinya. Maknanya indah dan cukup menggambarkan ketampanan si bayi. Siapa tahu jika sudah besar nanti, tak hanya penampilannya yang baik, tapi juga sifatnya. Menjadi sosok kuat dan pelindung bagi orang sekelilingnya.Itulah harapan yang terus digaungkan Anne sepanjang perjalanannya menuju kediaman Papa-Mama. Ia masih diantar supir pribadi yang dipekerjakan Papa untuknya. Di usia sedewasa ini, Anne masih dianggap sebagai putri kecil Papa yang harus mendapat pemantauan ekstra. Begitulah kira-kira alasan Papa ketika membujuknya beberapa waktu lalu.“Non, mau mampir dulu atau langsung ke rumah Bapak?”“Langsung aja ke rumah,” balasnya pada si supir.Jalanan saat itu cukup lengang. Tak banyak kendaraan yang berlalu-lalang. Mengingat jam baru menunjukkan pukul 10 pagi. Sudah pasti jalanan tak padat merayap seperti pagi tadi atau sore ketika jam pulang kantor.Setengah jam berlalu, kendaraan yang ditumpanginya sudah tiba di pelataran rumah mewah ora
“Pram! Pramam!”Teriakan Ina yang terus memanggil satu nama itu membuat Pramam mengangkat wajah. Tubuhnya ikut bangkit bersama langkah yang diseret menuju sumber suara. Begitu berhasil membuka pintu, ia melihat ibunya sedang memapah Mara yang tampaknya lemas—entah karena apa.“Ada apa ini, Bu?” tanyanya langsung membantu menggendong Mara ke sofa. “Dia sakit?”Ina menggeleng panik. “Waktu di teras, Pak Yon udah lihat dia jalan lemas kayak gini,” terangnya. “Apa dia mabuk?”Pramam langsung memastikan keadaan Mara, tapi tak ada aroma minuman keras dari wanita itu. Hanya saja, tatapnya teralih pada pakaian Mara yang basah. Terlebih dari dadanya. Aneh, mengingat waktu itu belum memasuki musim penghujan dan keadaan di luar pun masih terang benderang.“Ra?” panggilnya pelan. “Kamu kenapa sebenarnya?”Wanita itu tak bereaksi. Tatapannya kosong dan makin membuat Pramam serta Ina bingung. Lantas Pramam mengangkat tubuh itu ke kamar agar Mara bisa istirahat lebih leluasa di sana.Setelah membar
Anne terhenyak. Batinnya bagai ditusuk tombak sewaktu menangkap presensi Mara tengah bersimpuh di hadapannya. Ia sempat melirik Sonya, asisten sekaligus sekretarisnya yang kini menunduk. Mungkin gadis itu juga tak bisa menyelesaikan masalah ini sebelum atasannya datang ke butik setelah beberapa waktu.“Sudah saya paksa, Bu, tapi dia tetap bersikeras menunggu di sini. Saya nggak bisa berbuat macam-macam, mengingat pelanggan sudah banyak yang datang.”Akhirnya Sonya membuka suara. Anne mengangguk setelah melepaskan napas panjangnya. Ia meminta anak buahnya untuk kembali ke kegiatannya masing-masing, lalu membiarkan Mara.“Apa mau kamu ke sini?”Dingin. Kesan Anne pada Mara sudah berubah drastis. Tak lagi ramah atau dipenuhi kehangatan saat bertutur kata. Setiap orang, bisa mengubah kepribadiannya setelah momen besar terjadi. Terlebih bagi Anne sendiri, ia sudah mengalami kejadian yang membuat hatinya pecah akibat pengkhianatan suami.“Mbak ….” Mara merangkak mendekati kedua kaki Anne ya