Pasang mata Anne menyipit seketika sewaktu mendengar supir sekaligus asisten pribadi Varen menyampaikan nama hotel yang mereka tempati. Rupanya sama seperti tempat Anne menginap malam ini selama di Surabaya. Dan sekarang, ia sudah berada di kendaraan yang sama dengan Varen.Asisten pribadi Varen menawarkan sekaligus memberikan pesan jika bosnya sendiri yang meminta agar Anne diikutsertakan. Itupun dengan catatan jika urusan di bar benar-benar selesai. Mengingat dirinya yang masih merasakan efek mabuk, lumayan riskan memang jika pergi sendirian. Jadi keputusannya menyetujui penawaran pemuda itu pun bukan hal salah.Di sampingnya, Varen masih memejamkan mata. Sesekali mulutnya terbuka dan mengeluarkan bisikan yang entah apa artinya. Anne menatap wajah tak sadar itu selama beberapa waktu, sebelum betah memandangi perjalanan. Di bawah gemerlap lampu jalan dan sinar rembulan, ia tak menduga akan bertemu Varen dan pulang bersama dari bar seperti ini.“Silakan, Bu Anne turun lebih dulu. Biar
“You okay?”Entah sejak kapan tepatnya Varen datang mendekati mejanya, Anne tak tahu. Yang jelas sekarang tangannya gemetaran hebat, ditambah pundaknya yang kelihatan sekali. Tak mampu ia sembunyikan, meski sudah berusaha keras sekalipun. Seharusnya Anne sadar jika rautnya gampang sekali terbaca jika diserang kalut dan kepanikan seperti ini.“Ann?”Mendengar namanya disebut, ia menggigit bibir dan akhirnya mengangguk pelan. Bibirnya perlahan terbuka dan mengucap bahwa keadaannya baik-baik saja. Daripada tadi, ia merasa jauh lebih baik karena kedatangan Varen. Pria itu pun tak segan-segan duduk di sampingnya sambil mengusap punggung tangannya pelan.“I’m here, don’t worry,” bisik Varen menguatkan.Sembari mengumpulkan niat untuk berujar, Anne mengatur napasnya pelan-pelan. Mencoba membalas tatapan Varen yang kini terus tertuju padanya. Seakan mengunci dirinya agar tak pergi ke mana-mana.“Mas Pramam udah di bandara, Ren,” ujarnya lirih. “Mungkin dia juga tahu aku sehotel sama kamu.”Me
“Maaf ya, Mbak. Karena aku, Mbak Anne sama suami jadi berantem begini.”Anne membuang napas pelan saat mendengar tuturan Mara yang lembut. Ia tak tahu apa yang ada di dalam hati wanita itu. Yang dilakukannya sekarang hanya menggeleng pelan, menolak ucapan Mara.“Jangan menyalahkan diri, mungkin Mas Pram lagi sensi karena kecapekan baru sampai Surabaya,” balasnya sambil tersenyum simpul. “Lagi pula ngidam itu wajar buat ibu hamil. Seharusnya aku ngertiin kondisimu, Mar.”Sementara itu, Varen yang masih betah di tempat duduknya usai kepergian Pramam lantaran emosi, ia menggoyangkan gelas minumannya. Es teh yang dipesan tadi gulanya masih mengendap banyak di dasar lantaran belum sepenuhnya larut. Daripada melihat pemandangan Anne yang bersandiwara, ia memilih meraih sendok dan mengaduk minuman.Dari kejauhan, dapat ia saksikan betapa dongkolnya suami Anne di area parkir. Bersama asisten pribadi yang disuruhnya tadi, Varen pikir itu cara terbaik agar tidak melihat pertunjukan debat rumah
“Kok lewat sana, Ren?” tanya Anne ketika mendapati Varen yang melangkah ke jalur lain. “Ini lho jalan keluarnya ke sini!”Varen menoleh, tampangnya terlihat santai. Tak seperti orang linglung yang sempat terlintas di pikiran Anne. Justru pria itu berjalan mendekatinya sambil memasukkan sebelah tangan ke saku celana.“Aku langsung ke Bali, Ann. Ada konferensi di sana besok malam ini,” ungkap pria itu tenang.Mengerjap kaget, Anne melongo dibuatnya. Begitu heran mendengar penuturan Varen yang terkesan mustahil. Jika memang pria itu ada kepentingan di Bali, mengapa ia ikut kembali ke Jakarta bersamanya?“Nggak usah kaget gitu,” imbuh Varen. “Sengaja aku ikut kamu biar mastiin semuanya baik-baik aja.”Anne memutar kedua bola mata. “Hanya karena diselingkuhi suami, jangan kamu pikir aku bisa semudah itu terjun dari pesawat,” sarkasnya sebal.Ia akui mentalnya kerap kali down ketika mengingat-ingat betapa brengseknya Pramam dan culasnya Mara di belakangnya. Namun, itu semua tak membuatnya m
“Bu, di mana-mana orang ngidam pasti pengen diturutin. Toh rawon di Surabaya bukan perkara sulit bagi Mas Pram, jadi jangan terlalu mempermasalahkan hal ini ya, Bu.”Seketika Anne mendesah sambil memejamkan mata. Baru kali ini ia memiliki keberanian untuk membalas ucapan ibu mertuanya yang seringkali menunjukkan sikap egois dan angkuh. Biasanya Anne akan mengangguk setuju agar lepas dari perdebatan panjang dengan ibu mertua.Dan sekarang, telinganya sudah bersiap untuk menerima deretan kata-kata yang akan terlontar padanya. Dalam hitungan detik, jantungnya sudah mulai bersiap, tapi tak ada suara yang terdengar selain helaan napas pendek. Membuatnya membuka mata dan melihat ponsel yang masih menunjukkan panggilan tengah berlansung.“Bu?” panggilnya guna memastikan.“Lebih baik kamu pulang sekarang, Ibu tunggu. Ini Rina sudah masak makan malam soalnya.”Tak ada suara menantang atau aksi protes yang ditunjukkan ibu dari Pramam itu. Bahkan Anne lumayan tersentak ketika panggilan berakhir
“Maaf—“Hanya satu kata itu yang mampu keluar dari mulut gemetar Pramam. Matanya mengarah pada lantai dingin yang dipijakinya sekarang. Ia tak berani menatap sang ibu yang masih menangis histeris di tempat duduk.“Apa bayi yang ada di kandungan wanita itu … anak haram?”Sontak Pramam menengadah. Sukses menuai senyum miring yang tersemat di bibir Ina. Nyatanya ia langsung tahu kebenaran gila yang sengaja ditutupi putranya dengan singkat. Membuat batinnya kini memanas karena harus menerima kenyataan pahit bahwa putranya ini sama bejatnya dengan suaminya sendiri.“Sungguh, Pramam bisa jelaskan, Bu.” Pramam melangkah mendekati Ina, hendak bersimpuh dan meraih tangan wanita itu. Namun, langsung ditepis Ina. “Ibu—““Rupanya kamu nggak hanya selingkuh dan menghamili selingkuhanmu saja ya?” Ina menggeleng heran sambil mendecakkan lidah. “Tapi kamu juga tega membohongi Anne dengan menyetujui keinginannya untuk bersedia menyewakan rahim wanita murahan itu?”Menyadari suara lengkingan keluar dar
Anne menggigit bibir bawahnya kuat-kuat hingga cairan aroma berkarat dirasakan lidahnya. Tak merasa pedih atau perih, ia justru masih dihinggapi kebingungan dan keterkejutan luar biasa. Bagaimanapun ia senang mendengar kabar jika ibu mertuanya sudah menerima Mara sebagai wanita yang menyewakan rahim agar Pramam memiliki keturunan.Sekalipun Anne tahu ada pengkhianatan di rumahnya, tetap saja perasaan bahagia yang semula menyerang benak, kini berubah menjadi kekhawatiran. Ia seakan sudah kalah telak dengan Mara yang maju ratusan langkah di depannya. Sementara ia sendiri masih merangkak.Mungkin itu pula yang menyebabkan ibu mertuanya tak pernah datang ke butik. Bahkan tak memberikan komplain atas rencananya membongkar sistem butik yang menjadi tanggungjawabnya sekarang. Ia membuang napas panjang sebelum meraih botol wine dari kabinet ruang kerjanya.“Pertama, suami direbut,” gumam Anne sambil menuangkan minuman ke gelas khusus. “Kedua, mertuaku. Besok apa lagi ya?”Anne menenggak satu
“Mana bisa aku tega bersikap begitu ke kakakku sendiri, Mbak?” Arian bergerak mendekati Anne. Rautnya kelihatan bersalah. “Aku memilih jalan ini biar Mbak nggak sakit. Karena nggak semua kebenaran harus diketahui, aku justru nggak rela Mbak tahu. Aku takut Mbak sakit dan akhirnya menderita sendirian.” Kelopak mata Anne bergetar. Diikuti pula dengan bibirnya. “Ri …” katanya lirih. “Mau kapan pun Mbak tahu, entah itu di awal atau akhir, tetap aja sama. Mbak tetap sakit hati dan merasa kurang sebagai istri. Apalagi setelah tahu kalau ternyata pengkhianatan itu terjadi beberapa tahun ke belakang. Rasanya nggak nyangka dan … Mbak bisa hampir gila kalau terus-terusan mikir alasannya.” Si pemuda memeluk tubuh Anne yang sudah gemetaran. Ditambah tangis yang pecah seperti bisikan. Arian mengusap pelan punggung sang kakak dengan sigap dan penuh pengertian. “Sekarang Mbak usap air mata itu, tunjukkan ke dunia kalau Mbak ini kuat,” tukas Arian. “Soal Mas Pram, semalam aku hanya menyebut Mbak ya
“Mas, dari tadi kamu diam aja.” Mara menyeletuk pelan sembari menyorongkan piring berisi ikan asin yang baru diambil dari penggorengan. Asapnya mengepul dan memberikan aroma semerbak.“Gimana soal kantor?” tambahnya yang urung dibalas Pramam.Pramam akhirnya menoleh dan menanggapi, “Lancar, banyak proyek yang berhasil dan beberapa yang menang tender.”“Baguslah, klinikku juga mulai banyak pelanggannya.” Mara memaparkan dengan tenang, meski lidahnya kelu. Nyatanya mental yang sempat rusak itu belum sepenuhnya sembuh.Pramam mengangguk sembari meraih piring dan siap menyantapnya. Namun sebelum itu, ia kembali menatap Mara cukup lama.“Ra, ayo kita menikah.”Itu bukan ajakan, melainkan keharusan. Ia tak bisa membiarkan Mara hidup bersamanya tanpa ikatan apa pun. Ditambah ini semua atas permintaan Anne. Wanita itu tampaknya ingin sekali mereka melupakan Bagaskara.“Mas—“Pramam meraih tangan Mara dan menggenggamnya. Membuat bibir wanita itu bungkam seketika.“Kita nggak bisa begini terus.
“Mungkin semua anggota direksi, sudah mengetahui putra saya yang satu ini. Ares Basuki namanya, adik Pramam.” Dharma langsung memperkenalkan putra yang telah lama disembunyikannya begitu rapat dimulai. Tanpa basa-basi sekali.Pramam yang duduk di bangkunya kini mulai memanas. Melihat tampang Ares yang begitu percaya diri. Sementara di sebelahnya, Varen hanya bersikap santai. Tak terkejut sama sekali oleh pengumuman yang diberikan Dharma.“Jika rekan-rekan sekalian sudah tak bisa memercayakan perusahaan kita ini pada CEO sebelumnya, Ares bisa menggantikan. Kemampuannya juga mumpuni,” lanjut Dharma yang jelas mengesampingkan skill putra pertamanya yang jauh memiliki banyak pengalaman daripada Ares.Hingga kemudian, tangan Varen terangkat. Membuat Pramam terkejut dan beberapa anggota direksi yang lain.“Maaf menyanggah ucapan Anda, Pak Dharma. Tapi saya keberatan. Bagaimana bisa kami percaya pada Ares jika pengalamannya saja belum banyak?”Dharma mengerutkan kening. Mendadak bibirnya men
Anne tidak bisa mencegah kepergian Varen yang harus kembali ke Indonesia petang ini. Mengingat banyaknya pekerjaan si pria yang memiliki tanggungjawab besar menjadi direktur utama rumah sakit. Belum lagi bisnis Varen yang beragam.Pria itu kini sedang menilik arloji yang melingkar baik di pergelangan tangan. Kemudian menatap paspor sebelum beralih ke ponselnya yang mendadak berdering, menandakan sebuah notifikasi datang. Kemungkinan dari klien atau orangtuanya.“Kamu hati-hati di jalan. Salam buat tante sama om di rumah, ya.” Dan akhirnya ucapan itu meluncur juga dari mulutnya saat perasaannya yang campur aduk mulai mereda.Tangan Varen terangkat. Mendarat di kepala Anne dan membelainya pelan. “Siap laksanakan,” katanya yang kemudian beralih pada Rina. “Tolong dijaga ibunya ya, Rin. Sama titip buat Bagaskara.”“Baik, Pak.” Kepala Rina bergerak naik-turun. “Ini Bapak sama Ibu udah kayak pasangan suami-istri beneran, tapi sayang harus LDR-an,” tuturnya blak-blakan.Anne kontan memberika
Beberapa orang sudah mulai meninggalkan bangkunya. Namun dari pihak keluarga Pramam dan Anne masih betah di sana. Keduanya saling pandang satu sama lain, terlihat nyala api yang masih begitu membara dari mata Jayan Gumelar dan istrinya.Meski persidangan sudah usai dan putri mereka yang menang, tetap saja perasaan amarah masih bercokol di dada. Rasanya hasil ini belum sepenuhnya layak diterima. Padahal semua harta Pramam sudah diserahkan sebagian besar untuk Anne.“Pa ….” Pramam memanggil begitu mendekati ayah mertua. Tepatnya mantan ayah mertua yang tampak jelas memendam kekesalan terhadapnya. “Saya minta maaf sekali lagi atas semua ini. Semoga—““Lebih baik tutup mulutmu itu!” bentak Jayan Gumelar yang muak. “Sekalipun Anne yang menang dari kasus ini, jangan harap hidupmu bisa bahagia dengan wanita simpananmu itu, Pram.”Pramam tertegun. Ia menelan ludah kepayahan sebelum akhirnya mengangguk. “Apa yang diucapkan Papa memang benar, setelah ini saya akan berusaha lebih keras untuk men
Tepat sebulan sudah ia menetap di Saitama, Jepang. Tak seperti di negeri sendiri, Anne harus belajar mandiri. Pergi membeli keperluan hingga mengurus Bagaskara. Semula, ia diantar Arian dan ditemani sampai lima hari."Apa pun itu, kabari aku ya, Mbak. Mama dan Papa juga memaksa minta ditelepon Mbak setiap waktu." Begitulah permintaan Arian sebelum pergi. "Bang Varen juga jangan dilupain, dia juga termasuk orang penting yang wajib Mbak Anne kasih kabar!"Anne nyaris saja meneloyor kepala Arian kalau pemuda itu tak segera menghindar. Semakin ke sini, ada banyak yang menggodanya dengan melibatkan nama Varen. Sungguh, ia makin tak enak hati. Terlebih tempat yang ditinggalinya sekarang merupakan kondonium Varen. Pria itu membelinya secara cuma-cuma atas uang yang diterimanya saat ditunjuk menjadi direktur utama rumah sakit pertama kali.Lalu sekarang, pria itu tengah berkutat dengan beberapa kardus besar yang baru diantar jasa kirim. Anne yang masih menimang Bagaskara hanya memerhatikan da
Melihat bagaimana tampang kedua orangtuanya yang baru datang, Pramam bisa menyimpulkan jika sesuatu tidak sejalan dengan harapan. Mengingat kemarin, Bapak dan Ibu sudah berencana ingin menemui keluarga dari pihak Anne. Dan hasilnya besar kemungkinan buruk untuknya dan Mara.“Ibu dan Bapak udah mencoba segala cara. Kami pergi ke rumah Jayan dan bertemu Anne. Ya, istrimu itu sudah memutuskan, Pram. Dan rasanya tak bisa diganggu gugat lagi,” ungkap Ina Basuki mengawali percakapan bersama Pramam dan Mara yang diminta ikut serta.“Jadi, saya nggak bisa ketemu darah daging saya sekali ini saja, begitu?” tanggap Mara melalui layangan protesnya.“Nak Mara, saya sudah berusaha.” Kini Dharma yang mengambil alih. “Jadi, kamu harus menerima semua ini. Sebab jika kamu terus menentang dan ingin mengambil alih bayi itu, kemungkinan besar kamu akan dijebloskan ke penjara.”Kata penjara begitu menakutkan bagi mereka. Pramam pun tak pernah berpikir sampai sejauh itu efek yang diterimanya setelah menipu
Anne sudah menemukan nama yang tepat untuk bayinya. Maknanya indah dan cukup menggambarkan ketampanan si bayi. Siapa tahu jika sudah besar nanti, tak hanya penampilannya yang baik, tapi juga sifatnya. Menjadi sosok kuat dan pelindung bagi orang sekelilingnya.Itulah harapan yang terus digaungkan Anne sepanjang perjalanannya menuju kediaman Papa-Mama. Ia masih diantar supir pribadi yang dipekerjakan Papa untuknya. Di usia sedewasa ini, Anne masih dianggap sebagai putri kecil Papa yang harus mendapat pemantauan ekstra. Begitulah kira-kira alasan Papa ketika membujuknya beberapa waktu lalu.“Non, mau mampir dulu atau langsung ke rumah Bapak?”“Langsung aja ke rumah,” balasnya pada si supir.Jalanan saat itu cukup lengang. Tak banyak kendaraan yang berlalu-lalang. Mengingat jam baru menunjukkan pukul 10 pagi. Sudah pasti jalanan tak padat merayap seperti pagi tadi atau sore ketika jam pulang kantor.Setengah jam berlalu, kendaraan yang ditumpanginya sudah tiba di pelataran rumah mewah ora
“Pram! Pramam!”Teriakan Ina yang terus memanggil satu nama itu membuat Pramam mengangkat wajah. Tubuhnya ikut bangkit bersama langkah yang diseret menuju sumber suara. Begitu berhasil membuka pintu, ia melihat ibunya sedang memapah Mara yang tampaknya lemas—entah karena apa.“Ada apa ini, Bu?” tanyanya langsung membantu menggendong Mara ke sofa. “Dia sakit?”Ina menggeleng panik. “Waktu di teras, Pak Yon udah lihat dia jalan lemas kayak gini,” terangnya. “Apa dia mabuk?”Pramam langsung memastikan keadaan Mara, tapi tak ada aroma minuman keras dari wanita itu. Hanya saja, tatapnya teralih pada pakaian Mara yang basah. Terlebih dari dadanya. Aneh, mengingat waktu itu belum memasuki musim penghujan dan keadaan di luar pun masih terang benderang.“Ra?” panggilnya pelan. “Kamu kenapa sebenarnya?”Wanita itu tak bereaksi. Tatapannya kosong dan makin membuat Pramam serta Ina bingung. Lantas Pramam mengangkat tubuh itu ke kamar agar Mara bisa istirahat lebih leluasa di sana.Setelah membar
Anne terhenyak. Batinnya bagai ditusuk tombak sewaktu menangkap presensi Mara tengah bersimpuh di hadapannya. Ia sempat melirik Sonya, asisten sekaligus sekretarisnya yang kini menunduk. Mungkin gadis itu juga tak bisa menyelesaikan masalah ini sebelum atasannya datang ke butik setelah beberapa waktu.“Sudah saya paksa, Bu, tapi dia tetap bersikeras menunggu di sini. Saya nggak bisa berbuat macam-macam, mengingat pelanggan sudah banyak yang datang.”Akhirnya Sonya membuka suara. Anne mengangguk setelah melepaskan napas panjangnya. Ia meminta anak buahnya untuk kembali ke kegiatannya masing-masing, lalu membiarkan Mara.“Apa mau kamu ke sini?”Dingin. Kesan Anne pada Mara sudah berubah drastis. Tak lagi ramah atau dipenuhi kehangatan saat bertutur kata. Setiap orang, bisa mengubah kepribadiannya setelah momen besar terjadi. Terlebih bagi Anne sendiri, ia sudah mengalami kejadian yang membuat hatinya pecah akibat pengkhianatan suami.“Mbak ….” Mara merangkak mendekati kedua kaki Anne ya