“Mbak Anne tanya terus, kapan aku pulang dari rumah teman,” keluh Mara pada Pramam begitu pria itu tiba di kamar hotelnya. “Mas Uki sendiri ya yang kasih alasan nginap di rumah teman?”Semula tangan Pramam memeluk pinggang Mara, sekarang ia mengambil jarak dan berdiri bersisian pada wanita mudanya. Urung menjawab, Pramam menghela napas berat sembari mengacak rambut hingga tampak berantakan. Masih ada sisa pening karena pengaruh minuman keras yang ia tenggak siang tadi bersama Erkan.“Mas?” Mara memanggil lagi, membuat Pramam mendengkus. “Sebenarnya ada apa, sih di rumah? Kalau memang aku nggak diijinkan lagi tinggal di sana, ngomong aja dari sekarang. Nggak perlu begini.”Baru kali ini Pramam mendengar keluhan Mara. Padahal selama beberapa minggu menetap di kediamannya, wanita muda itu tampak biasa saja, malah menerima. Lalu sekarang, mengapa ia justru terkesan kesal seperti ini, sih?“Mertuaku datang,” ujar Pramam singkat.“Terus kenapa?”Membuang napas berat, Pramam memijat pelan pe
“Apa nggak sebaiknya ke rumah sakit aja, Bu?” Sonya menyarankan usai memberikan gelas berisi air hangat. Anne menggeleng pelan sekali.“Saya hanya perlu istirahat sebentar, tolong kamu handle para pelanggan, ya,” pintanya. “Nanti kalau ada pelanggan VIP yang tanya, bilang saja saya sedang keluar.”Sonya mengangguk. “Baik, Bu. Kalau ada perlu apa-apa, Ibu bisa panggil saya.”“Makasih, Nya.” Anne berusaha tersenyum ramah ketika pusing menyergap kepala. “Soal Bu Ina, jangan beri tahu apa pun soal kondisi saya ini ya. Kamu bisa tutup mulut, ‘kan?”“Tentu, Bu.”Gadis itu pergi keluar ruangan, meninggalkan Anne sendirian. Tak ada keraguan atau kekhawatiran pada anak buahnya yang satu itu, meski kelihatan cukup patuh pada Ina. Mau tak mau Sonya harus patuh pada ucapan Anne selaku atasannya yang baru.Anne meraih gelas berisi air hangat itu setelah memasukkan dua butir obat ke mulut. Sudah beberapa hari ini, ia sering mengeluh pusing. Tiap bangkit dari duduk sehabis memeriksa laporan, terkada
“Aku udah siapkan pakaian lengkap buat Mas, barangkali nanti malam Mas mau datang ke acaranya Tante Luisa. Much Love, Anne.”Pramam membuang napas kasar usai membaca kertas kecil berisi pesan yang dituliskan Anne untuknya. Membayangkan berada di rumah orangtua Varen saja sudah seperti neraka, apalagi kalau harus datang sungguhan ke sana? Kepalanya menggeleng agar pikiran itu lenyap.Setelah sarapan tadi, Anne langsung melesat ke ruang kerja di lantai dua. Katanya ada meeting dengan desainer baru yang baru direkrut di butiknya. Padahal ini akhir pekan, walaupun suaminya harus pergi ke kantor karena pekerjaan, bukankah sebaiknya Anne memberikan pelayan khusus untuk membangkitkan semangat kerjanya?Tatapan Pramam kini tertuju pada dirinya yang memantul di cermin besar. Tempat yang biasa dijadikan Anne untuk merias diri juga menempeli cairan di wajahnya setiap pagi dan malam. Setiap hari, sebelum Anne disibukkan dengan butik dan segala hal di dalamnya, Pramam pasti mendapatkan senyum dan
Pandangan Pramam memendar ke sekeliling ruang yang biasa ditempati Anne. Meski sudah mendapat informasi dari salah satu pegawai butik mengenai istrinya yang tak datang sama sekali, ia tetap tak percaya sebelum benar-benar melihatnya secara langsung. Benar saja, wanita itu tak ada di ruangan. Begitu pula kendaraan yang biasa digunakan Anne tak terparkir di depan.“Sial! Jadi, di mana sebenarnya Anne sekarang?”Jemari Pramam meremas rambut kasar. Sejalan dengan tatapan yang terpejam dan tubuh yang baru dihempaskan ke sofa. Satu tangan lain sibuk mengotak-atik layar ponsel, mencari nama sang istri dan memanggilnya tanpa mengulur waktu banyak.“Kamu di mana?” tanyanya langsung begitu istrinya mengangkat. “Kata Tyas kamu ke butik, aku udah di ruang kerja kamu, tapi nggak ada siapa-siapa.”“Ah, aku emang nggak jadi ke butik. Kliennya batalin janji, katanya mau lewat online aja.”Pramam hendak berdecak ketika mendengar suara santai Anne itu. Lantas ia kembali mengajukan tanya, “Kok bisa?”“Y
“Mana mungkin aku punya hubungan sama Mara, Ann?” Pramam tersenyum kaku. “Kamu ini mikirnya kejauhan.”“Bukan aku yang mikir kejauhan, segala hal yang mustahil itu bisa aja jadi sesuatu yang mungkin terjadi.”Tanpa berlama-lama dan menunggu respon dari sang suami, Anne mengulas seulas senyum sekenanya. Kemudian mengambil satu gaun dan mantel, sebelum melangkah keluar. Meninggalkan Pramam yang mungkin mulai panik sendirian.Anne meraih pewarna bibir pink coral yang cocok dengan skin tone-nya. Tampak segar dan tidak kelihatan menor. Ia suka sekali dengan gaya no makeup-makeup look begini. Meski penampilannya kelihatan tak menggunakan riasan, tapi sebenarnya wajahnya dipenuhi makeup.“You looks so gorgeous!” puji Pramam begitu keluar mengenakan kemeja putih tulang yang sudah disiapkannya sejak tadi pagi.Anne menoleh, menarik sudut bibir. Membentuk senyum miring yang samar. Meski tubuhnya sudah dibalut gaun, Anne sengaja menimpanya dengan mantel. Enggan memperlihatkan pakaian yang dikena
“Aku sengaja pakai gaun yang lumayan senonoh begini,” aku Anne sambil menarik sudut bibir, membentuk senyum miring. “Do you like it?”Bagian dadanya memang rendah dan membuat isiannya tampak padat. Tentu efek kehamilannya beberapa waktu lalu mempengaruhi bentuk badan Anne. Termasuk pasokan ASI yang kerap keluar tanpa ia sadari.“Stop it!” tegur Varen yang beberapa kali menghela napas berat. Matanya enggan menatap wajah Anne, apalagi melihat bagian tubuh yang terekspos cukup banyak. “Itu bukan lagi lumayan senonoh, tapi terbuka banget! Kamu sengaja ya pakai baju begitu?”Terkekeh pelan, Anne mengiyakannya. “Ini kali pertama aku datang ke pesta lagi, mana mungkin aku menyia-nyiakannya tanpa buat heboh, ‘kan?”Anggap saja Anne gila atau sudah kehilangan kewarasannya. Memang benar seperti itu, sebab dalam kepalanya ia ingin sekali melanggar setiap perkataan Pramam. Setidaknya ia menginginkan kebebasan, setelah apa yang dialaminya selama bertahun-tahun menikah dengan Pramam Basuki.“Nggak
“Apa maksud kamu pakai baju terbuka begitu dan makeup yang—“Pramam tak mampu menjelaskan lanjutannya. Pria itu kelewat frustasi, bahkan ia sudah ke sekian kali mengembuskan napas kasar di hadapan Anne. Membuat wanita itu mematung di tempat duduknya sekarang.“Kamu pamit ke toilet buat beginian?” tambah Pramam sambil mengusap bibir Anne yang diselimuti lipstick merah gelap yang makin membuatnya tampak menawan. “Sengaja kamu pakai yang menor-menor buat narik banyak laki-laki di luar sana?”Membuang napas pelan, Anne memiringkan kepala. Melihat pemandangan ke luar jendela mobil, tepatnya pada paviliun yang biasa menjadi tempatnya merenung seorang diri. Namun sikapnya itu lagi-lagi harus disudahi karena Pramam menarik dagunya kasar.Ia bisa merasakan jemari panjang itu bergerak menelusup ke area paha. Masuk ke dalam gaun yang memang didesain pas badan, minim bahan, juga kelihatan ketat sekali. Anne sukses menahan napas sembari menahan tangan Pramam agar tidak meneruskan geraknya di dalam
Anne melempar ponsel usai mendapati pesan singkat dari Pramam. Pria itu mungkin saja baru tiba di hotel dari Changi, tapi bukannya langsung istirahat malah menyuruhnya membeli ini dan itu. Padahal ia sendiri memiliki asisten pribadi yang bisa dimintai tolong.“Kenapa lagi?” Eve menyembul di balik pintu kamar. “Si Setan itu berbuat ulah?”Membuang napas kasar, Anne menatap Eve. Tahu betul siapa yang dimaksud sang teman. “Nggak, sih sebenarnya. Gue diminta beli keperluannya Mara, kayak susu ibu hamil dan beberapa baju,” jelasnya malas.“Oh itu.” Eve mengangguk mengerti. “Kalau lo emang nggak mau belikan, ya tolak aja.”“Masalahnya nggak seremeh itu, Eve.” Anne mengesah berat. “Urusan Mara juga tanggungjawab gue, program itu pun gue yang cetusin. Jadi ya … mau nggak mau gue turun langsung.”“Iya, sih. Cuma ….” Eve menggantungkan kata sesaat. Lalu berjalan mendekati meja bar dan menaiki salah satu stool yang kosong. “Emangnya lo nggak penasaran sama anak yang dikandung pelakor itu?”Anne
“Mas, dari tadi kamu diam aja.” Mara menyeletuk pelan sembari menyorongkan piring berisi ikan asin yang baru diambil dari penggorengan. Asapnya mengepul dan memberikan aroma semerbak.“Gimana soal kantor?” tambahnya yang urung dibalas Pramam.Pramam akhirnya menoleh dan menanggapi, “Lancar, banyak proyek yang berhasil dan beberapa yang menang tender.”“Baguslah, klinikku juga mulai banyak pelanggannya.” Mara memaparkan dengan tenang, meski lidahnya kelu. Nyatanya mental yang sempat rusak itu belum sepenuhnya sembuh.Pramam mengangguk sembari meraih piring dan siap menyantapnya. Namun sebelum itu, ia kembali menatap Mara cukup lama.“Ra, ayo kita menikah.”Itu bukan ajakan, melainkan keharusan. Ia tak bisa membiarkan Mara hidup bersamanya tanpa ikatan apa pun. Ditambah ini semua atas permintaan Anne. Wanita itu tampaknya ingin sekali mereka melupakan Bagaskara.“Mas—“Pramam meraih tangan Mara dan menggenggamnya. Membuat bibir wanita itu bungkam seketika.“Kita nggak bisa begini terus.
“Mungkin semua anggota direksi, sudah mengetahui putra saya yang satu ini. Ares Basuki namanya, adik Pramam.” Dharma langsung memperkenalkan putra yang telah lama disembunyikannya begitu rapat dimulai. Tanpa basa-basi sekali.Pramam yang duduk di bangkunya kini mulai memanas. Melihat tampang Ares yang begitu percaya diri. Sementara di sebelahnya, Varen hanya bersikap santai. Tak terkejut sama sekali oleh pengumuman yang diberikan Dharma.“Jika rekan-rekan sekalian sudah tak bisa memercayakan perusahaan kita ini pada CEO sebelumnya, Ares bisa menggantikan. Kemampuannya juga mumpuni,” lanjut Dharma yang jelas mengesampingkan skill putra pertamanya yang jauh memiliki banyak pengalaman daripada Ares.Hingga kemudian, tangan Varen terangkat. Membuat Pramam terkejut dan beberapa anggota direksi yang lain.“Maaf menyanggah ucapan Anda, Pak Dharma. Tapi saya keberatan. Bagaimana bisa kami percaya pada Ares jika pengalamannya saja belum banyak?”Dharma mengerutkan kening. Mendadak bibirnya men
Anne tidak bisa mencegah kepergian Varen yang harus kembali ke Indonesia petang ini. Mengingat banyaknya pekerjaan si pria yang memiliki tanggungjawab besar menjadi direktur utama rumah sakit. Belum lagi bisnis Varen yang beragam.Pria itu kini sedang menilik arloji yang melingkar baik di pergelangan tangan. Kemudian menatap paspor sebelum beralih ke ponselnya yang mendadak berdering, menandakan sebuah notifikasi datang. Kemungkinan dari klien atau orangtuanya.“Kamu hati-hati di jalan. Salam buat tante sama om di rumah, ya.” Dan akhirnya ucapan itu meluncur juga dari mulutnya saat perasaannya yang campur aduk mulai mereda.Tangan Varen terangkat. Mendarat di kepala Anne dan membelainya pelan. “Siap laksanakan,” katanya yang kemudian beralih pada Rina. “Tolong dijaga ibunya ya, Rin. Sama titip buat Bagaskara.”“Baik, Pak.” Kepala Rina bergerak naik-turun. “Ini Bapak sama Ibu udah kayak pasangan suami-istri beneran, tapi sayang harus LDR-an,” tuturnya blak-blakan.Anne kontan memberika
Beberapa orang sudah mulai meninggalkan bangkunya. Namun dari pihak keluarga Pramam dan Anne masih betah di sana. Keduanya saling pandang satu sama lain, terlihat nyala api yang masih begitu membara dari mata Jayan Gumelar dan istrinya.Meski persidangan sudah usai dan putri mereka yang menang, tetap saja perasaan amarah masih bercokol di dada. Rasanya hasil ini belum sepenuhnya layak diterima. Padahal semua harta Pramam sudah diserahkan sebagian besar untuk Anne.“Pa ….” Pramam memanggil begitu mendekati ayah mertua. Tepatnya mantan ayah mertua yang tampak jelas memendam kekesalan terhadapnya. “Saya minta maaf sekali lagi atas semua ini. Semoga—““Lebih baik tutup mulutmu itu!” bentak Jayan Gumelar yang muak. “Sekalipun Anne yang menang dari kasus ini, jangan harap hidupmu bisa bahagia dengan wanita simpananmu itu, Pram.”Pramam tertegun. Ia menelan ludah kepayahan sebelum akhirnya mengangguk. “Apa yang diucapkan Papa memang benar, setelah ini saya akan berusaha lebih keras untuk men
Tepat sebulan sudah ia menetap di Saitama, Jepang. Tak seperti di negeri sendiri, Anne harus belajar mandiri. Pergi membeli keperluan hingga mengurus Bagaskara. Semula, ia diantar Arian dan ditemani sampai lima hari."Apa pun itu, kabari aku ya, Mbak. Mama dan Papa juga memaksa minta ditelepon Mbak setiap waktu." Begitulah permintaan Arian sebelum pergi. "Bang Varen juga jangan dilupain, dia juga termasuk orang penting yang wajib Mbak Anne kasih kabar!"Anne nyaris saja meneloyor kepala Arian kalau pemuda itu tak segera menghindar. Semakin ke sini, ada banyak yang menggodanya dengan melibatkan nama Varen. Sungguh, ia makin tak enak hati. Terlebih tempat yang ditinggalinya sekarang merupakan kondonium Varen. Pria itu membelinya secara cuma-cuma atas uang yang diterimanya saat ditunjuk menjadi direktur utama rumah sakit pertama kali.Lalu sekarang, pria itu tengah berkutat dengan beberapa kardus besar yang baru diantar jasa kirim. Anne yang masih menimang Bagaskara hanya memerhatikan da
Melihat bagaimana tampang kedua orangtuanya yang baru datang, Pramam bisa menyimpulkan jika sesuatu tidak sejalan dengan harapan. Mengingat kemarin, Bapak dan Ibu sudah berencana ingin menemui keluarga dari pihak Anne. Dan hasilnya besar kemungkinan buruk untuknya dan Mara.“Ibu dan Bapak udah mencoba segala cara. Kami pergi ke rumah Jayan dan bertemu Anne. Ya, istrimu itu sudah memutuskan, Pram. Dan rasanya tak bisa diganggu gugat lagi,” ungkap Ina Basuki mengawali percakapan bersama Pramam dan Mara yang diminta ikut serta.“Jadi, saya nggak bisa ketemu darah daging saya sekali ini saja, begitu?” tanggap Mara melalui layangan protesnya.“Nak Mara, saya sudah berusaha.” Kini Dharma yang mengambil alih. “Jadi, kamu harus menerima semua ini. Sebab jika kamu terus menentang dan ingin mengambil alih bayi itu, kemungkinan besar kamu akan dijebloskan ke penjara.”Kata penjara begitu menakutkan bagi mereka. Pramam pun tak pernah berpikir sampai sejauh itu efek yang diterimanya setelah menipu
Anne sudah menemukan nama yang tepat untuk bayinya. Maknanya indah dan cukup menggambarkan ketampanan si bayi. Siapa tahu jika sudah besar nanti, tak hanya penampilannya yang baik, tapi juga sifatnya. Menjadi sosok kuat dan pelindung bagi orang sekelilingnya.Itulah harapan yang terus digaungkan Anne sepanjang perjalanannya menuju kediaman Papa-Mama. Ia masih diantar supir pribadi yang dipekerjakan Papa untuknya. Di usia sedewasa ini, Anne masih dianggap sebagai putri kecil Papa yang harus mendapat pemantauan ekstra. Begitulah kira-kira alasan Papa ketika membujuknya beberapa waktu lalu.“Non, mau mampir dulu atau langsung ke rumah Bapak?”“Langsung aja ke rumah,” balasnya pada si supir.Jalanan saat itu cukup lengang. Tak banyak kendaraan yang berlalu-lalang. Mengingat jam baru menunjukkan pukul 10 pagi. Sudah pasti jalanan tak padat merayap seperti pagi tadi atau sore ketika jam pulang kantor.Setengah jam berlalu, kendaraan yang ditumpanginya sudah tiba di pelataran rumah mewah ora
“Pram! Pramam!”Teriakan Ina yang terus memanggil satu nama itu membuat Pramam mengangkat wajah. Tubuhnya ikut bangkit bersama langkah yang diseret menuju sumber suara. Begitu berhasil membuka pintu, ia melihat ibunya sedang memapah Mara yang tampaknya lemas—entah karena apa.“Ada apa ini, Bu?” tanyanya langsung membantu menggendong Mara ke sofa. “Dia sakit?”Ina menggeleng panik. “Waktu di teras, Pak Yon udah lihat dia jalan lemas kayak gini,” terangnya. “Apa dia mabuk?”Pramam langsung memastikan keadaan Mara, tapi tak ada aroma minuman keras dari wanita itu. Hanya saja, tatapnya teralih pada pakaian Mara yang basah. Terlebih dari dadanya. Aneh, mengingat waktu itu belum memasuki musim penghujan dan keadaan di luar pun masih terang benderang.“Ra?” panggilnya pelan. “Kamu kenapa sebenarnya?”Wanita itu tak bereaksi. Tatapannya kosong dan makin membuat Pramam serta Ina bingung. Lantas Pramam mengangkat tubuh itu ke kamar agar Mara bisa istirahat lebih leluasa di sana.Setelah membar
Anne terhenyak. Batinnya bagai ditusuk tombak sewaktu menangkap presensi Mara tengah bersimpuh di hadapannya. Ia sempat melirik Sonya, asisten sekaligus sekretarisnya yang kini menunduk. Mungkin gadis itu juga tak bisa menyelesaikan masalah ini sebelum atasannya datang ke butik setelah beberapa waktu.“Sudah saya paksa, Bu, tapi dia tetap bersikeras menunggu di sini. Saya nggak bisa berbuat macam-macam, mengingat pelanggan sudah banyak yang datang.”Akhirnya Sonya membuka suara. Anne mengangguk setelah melepaskan napas panjangnya. Ia meminta anak buahnya untuk kembali ke kegiatannya masing-masing, lalu membiarkan Mara.“Apa mau kamu ke sini?”Dingin. Kesan Anne pada Mara sudah berubah drastis. Tak lagi ramah atau dipenuhi kehangatan saat bertutur kata. Setiap orang, bisa mengubah kepribadiannya setelah momen besar terjadi. Terlebih bagi Anne sendiri, ia sudah mengalami kejadian yang membuat hatinya pecah akibat pengkhianatan suami.“Mbak ….” Mara merangkak mendekati kedua kaki Anne ya